Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5 : Menuruti Janji

Setelah pengiyaan yang aku berikan pada tawaran Mirza beberapa hari lalu—tentang ajakan menikah—aku setiap hari berdebar menunggu pria itu mengutarakan kebenaran ini pada Syakila. Bahkan, berulang kali aku mencoba latihan sebelum bertemu dengan calon mantan sahabat.

Yakin, bahwa hubungan kami dari semasa SMA akan hancur seperti halnya perpisahan yang akan Syakila dan Mirza jalani.

Selama penantian ajakan Mirza untuk mengakui kebenaran perasaan kami, aku juga berusaha untuk mengenal calon suamiku dengan baik. Dari cerita Fatma dan suaminya, serta beberapa anak. Dari mereka, aku jadi tahu satu hal, bahwa Mirza adalah seorang pria tanpa cela. Semua hal dalam dirinya bersifat positif, sehingga semakin ke sini, aku kian jatuh dalam pesonanya.

Sampai tiba di suatu hari, ketika aku sedang duduk di kursi taman memperhatikan anak-anak yang bermain sembari memeriksa ponsel untuk mengecek perkembangan bisnis—Mirza tiba-tiba saja datang. Ia tidak mengatakan apa pun, dan aku hampir tidak sadar andai tidak mendengar gesekan dari suaranya duduk.

Sontak, aku langsung gugup. Ponsel—walau masih mengecek pekerjaan—langsung aku letakkan di atas pangkuan. Kemudian menunduk dalam untuk mendengarkan suaranya.

Namun, tidak ada. Mirza tidak juga bersuara selama beberapa menit, sehingga aku harus kembali melirik ragu pada pria itu. Menemukan bahwa Mirza sedang menatap kosong ke depan, yang aku tahu sedang mempertimbangkan sesuatu. Entah apa.

"Kamu ... pikirin apa?" tanyaku ragu dengan suara lirih.

"Sesuatu."

Aku mendengkus geli yang terdengar samar karena jawaban pria ini.

"Ya, aku tahu. Yang aku tanyakan, sesuatu yang kamu pikirin itu, apa?" Sekali lagi, aku memperjelas pertanyaan agar tidak lagi dipermainkan kata-kata oleh Mirza.

Pria itu tidak langsung menjawab, tetapi beralih melirikku dengan pandangan kosong. Ia sempat menjatuhkan arah lirikannya, sebelum—berusaha memberanikan diri—untuk memandangku lagi.

Sekarang, aku merasa cemas dengan keseriusan ekspresi pria ini.

"Saya sepertinya tidak bisa jaga ucapan saya, Mahira."

Tanganku langsung mencengkeram ponsel di pangkuan dengan sangat erat, bahkan sampai buku-buku tangan memutih. Aku menunduk dalam demi menyembunyikan kekecewaan yang sekarang mulai merayapi hati.

"Tentang?" Meski sedikit mengerti maksud ucapan Mirza, tetapi aku tetap bertanya lebih lanjut untuk memperjelas maksud pria ini.

"Pernikahan ... kita, dan juga saya bersama Syakila."

Aku semakin merasakan nyeri yang intens memenuhi dada bagian kiri. Secara perlahan, perih itu merayap hingga tenggorokan—membuatnya tercekat sampai aku harus meneguk ludah dengan kasar agar bisa lebih baik—dan berakhir di mata yang mulai memanas. Bersiap menjatuhkan cairan asin bening dari sana.

"Oke." Bahkan hanya satu kata, tetapi sangat berat keluar dari tenggorokan dan diutarakan oleh bibir gemetarku.

Dari sini, aku tidak akan berharap lagi—semoga secepatnya. Aku hendak berdiri, meninggalkan kebahagiaan semu yang sejujurnya mustahil untuk aku gapai ini. Namun, memang dasar bodoh! Salahku menaruh kepercayaan terlalu besar.

"Tapi, Mahira, t—tunggu!"

Seharusnya aku tidak berhenti, sebab takut jika Mirza semakin menumbuhkan perasaan berharap dalam diriku. Namun bagaimana lagi? Pria itu bukan hanya sekadar merenggut hati, tetapi juga pikiran dan begitu mudah mempengaruhi tubuhku.

Meski berhenti, aku tetap mempertahankan posisi membelakangi Mirza demi bisa menyembunyikan lemahnya hati ini, dan agar tidak terlalu dalam lagi menaruh perasaan padanya.

"Tapi saya tidak bisa jauh dari kamu, Mahira." Mirza mengatakan kalimat itu sembari menahan pergelangan tanganku yang dilapisi lengan gamis dalam genggamannya.

Semakin membuatku goyah pertahanan karena perasaan nyaman yang ia berikan, tetapi ketakutan bahwa akan ada orang menyaksikan ini dan melaporkannya pada Syakila, aku buru-buru mengentakkan pegangan Mirza.

Demi memberikan penegasan pada pria yang selalu aku anggap dewasa dan bijaksana ini, aku merotasi tubuh menghadap Mirza. Mengabaikan bahwa karena tindakan ini menyebabkan air mata yang berusaha aku tahan, jatuh seketika membasahi pipi. Namun, aku membiarkannya.

"Jika tidak ada solusi, maka jangan menambah masalah," ucapku dengan suara gemetar. "Besok, saya akan coba bawa Mikayla ke rumah saya."

Aku bisa melihat dengan jelas bahwa Mirza teringat sangat enggan atas pernyataan barusan, bahkan ia meneguk saliva secara kasar karena hal itu.

Tidak bisa. Kelemahanku bertambah dua kali lipat melihat pemandangan itu, jadi aku memilih untuk memutar tubuh. Meninggalkan tempat yang menjadi saksi cintaku tumbuh pada Mirza, berharap bahwa perasaan ini akan tertinggal di sana, dan aku akan pergi dengan tenang.

Namun untuk mewujudkan itu, aku harus memutus semua pertemuan, interaksi, atau koneksi dengan Mirza, juga panti asuhan ini. 

*

Walau belum terlalu dekat, tetapi Mikayla sudah merasakan kebaikanku sehingga menerima tawaran untuk pergi dari panti asuhan ini. Ada juga sedikit hasutan serta beberapa janji palsu, sehingga gadis itu mau pergi dari tempat ini.

Awalnya, tugasku hanya satu, mendapatkan hati Mikayla. Namun fakta mengatakan bahwa hatiku sendiri yang tercuri di sini. Sekarang, aku punya misi lain, menghapus nama Mirza dari hati dan pikiran.

Agar tidak lepas tanggung jawab dari janji yang pernah terucap untuk menjadi pengurus di panti, maka aku menugaskan satu orang menggantikanku dengan bayaran setimpal. Selanjutnya, kontak Mirza aku hapus dan blokir, sehingga tidak memiliki koneksi apa pun yang mengganggu misi move on ini. Plus, aku juga memperbanyak interaksi dengan Syakila dengan harapan bahwa aku semakin sadar pria yang aku cintai sudah beristri.

Sehingga dengan segala usaha itu, tiga Minggu setelah keluar dari panti asuhan, aku merasa lebih baik—walau mungkin hanya sekadar berbohong ke diri sendiri. Namun, aku yakin, kebohongan pada perasaan ini akan menetap dan menjadi kenyataan suatu hari nanti, setelah hatiku kebal.

Tepat di minggu ketiga, di saat aku sedang berlari bersama Mikayla demi kebugaran kami—aku terpaksa menghentikan olahraga saat telepon dari mama datang. Aku tetap melanjutkan jalan santai dengan sebelah tangan menggenggam Mikayla, sementara tangan lainnya membawa ponsel ke telinga.

"Halo, Ma."

"Halo, Nak. Kamu di mana? Lagi sibuk? Mama ganggu, nggak?"

Deretan pertanyaan itu membuatku bergeming sejenak untuk memikirkan jawaban. Dari tiga pertanyaan tersebut, aku dengan yakin menyimpulkan bahwa Mama ingin bertemu denganku.

Berhubung tidak ada kegiatan wajib, dan Mikayla harus sering-sering dipertemukan Mama agar akrab, maka aku memilih memberikan jawaban jujur.

"Cuman lari aja, Ma, olahraga. Nggak sibuk-sibuk banget."

"Bisa sekalian ke rumah Mama nggak? Mama mau bicara penting sama kamu."

Berhubung aku dan Mama tidak memiliki hubungan bisnis yang sama, serta isyarat privasi dari obrolan ini dengan ke rumah beliau, aku sedikit bisa menerka dengan yakin tujuan Mama saat ini.

Sekarang, aku menyesal sudah menjawab jujur.

"Kalau Mama masih ngurusin perjodohan nggak berguna itu, nggak bisa, Ma. Aku lagi sibuk urus anak. Mama bilang aja kalau mahar yang aku minta 500 miliar, 2 rumah 10 tingkat, 4 mobil sport, sama satu jet pribadi. Udah. Aku tutup teleponnya."

Aku baru saja menjauhkan ponsel tanpa mau mendengarkan balasan Mama. Namun, belum sempat menekan ikon merah untuk mematikan sambungan, sebuah suara bariton yang amat aku kenali, terdengar dari ponselku.

"Mahira."

Aku meneguk saliva secara kasar, dengan debat kuat yang sempat mereda selama tiga Minggu, kini kembali hadir. Padahal, ini hanya suara yang mungkin saja secara kebetulan mirip.

Namun, dari caranya menyebut namaku dengan rendah dan tenang, aku tidak bisa mengelak.

Ini ... suara Mirza.

"Saya mau penuhi janji saya kemarin, Mahira."

Tidak salah lagi!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro