9
by sirhayani
part of zhkansas
9
Sebelumnya, aku tak tahu sama sekali tentang klub yang dibuat oleh Luca. Klub yang aku tahu hanya klub matematika dan fisika. Aku juga sibuk kerja dan di tahun ketiga hanya belajar mandiri di rumah.
Tak ada yang tahu siapa peringkat paralel pertama di sekolah ini. Bahkan peringkat kelas pun tak diumumkan. Beberapa siswa sampai mendata semua nilai para murid di kelas untuk mengetahui peringkat mereka. Kata seorang guru, nilai adalah privasi. Tak dibuatnya peringkat agar tak ada yang merasa rendah diri.
Pertanyaannya, siapa yang lebih pintar antara aku dan Luca?
Tak ada jawaban pasti. Kami pintar di bidang yang masing-masing kami kuasai. Luca bisa membuat klub, mungkin ajuannya diterima oleh pihak sekolah karena dia memang pintar. Dia juga berasal dari keluarga berada karena memiliki motor dengan harga yang katanya mendekati seratus juta. Kemungkinan besar orang tuanya berdonasi untuk pembangunan sekolah. Sungguh berbeda denganku, si penerima beasiswa yang berusaha keluar dari kemiskinan.
Untunglah tempat duduk Zoey berada di bangku belakang sehingga aku bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk mengerjakan soal-soal tersebut secara diam-diam.
"Ini soal apa, sih?" bisik Alanna terheran-heran setelah aku langsung mencoret sebuah jawaban. "Gimana lo bisa tahu secepat itu?"
"Penalaran," balasku. "Psikotes."
"Emang ini soal?" Alanna mengamati lembaran tersebut. "Masuk ujian nanti?"
"Ujian nasional sih enggak masuk."
Mungkin, Alanna asing dengan soal-soal seperti ini karena belum belajar untuk persiapan ujian tes. Apa dia tidak ikut bimbingan belajar?
Luca hebat, dia membuka klub belajar dan memberikan soal psikotes sebagai syarat masuk agar mereka yang asing dengan soal-soal seperti itu menjadi terbiasa. Apalagi untuk segala persiapan nanti.
Akhirnya! Aku berhasil menyelesaikan seratus soal bertepatan dengan bel istirahat kedua berbunyi. "Gue mau ketemu Luca."
"Lo banyak berubah, ya!" Alanna mengapit lenganku dan menggesek pipinya di bahuku. Sementara itu, kami berdiri, mengucap terima kasih pada guru yang sedang bersiap untuk keluar. "Bangga gue sama lo."
"Harus bangga, dong. Zoey kan sahabat kesayangan lo." Chessa muncul dengan wajah judesnya, dia duduk di meja Alanna. Dia menyipitkan mata pada Alanna. "Ngomong-ngomong, Kakak lo katanya kena musibah? Terus sekarang lagi dirawat di luar negeri? Negara mana?"
Alanna mengangkat bahu. "Gue enggak dikasih tahu Mama."
"Jangan-jangan...."
Alanna mengangguk seolah tahu apa yang Chessa pikirkan. "Yap, dia hampir mati di tangan orang suruhan gue."
"UHHUK!" Haira tersedak, terbatuk berkali-kali sampai di pipinya tercoreng lip stick. "ALANNAAA NGOMONG KOK SESANTAI ITU, SIH?"
Mereka yang sudah lama bersama saja masih selalu shock jika Alanna menceritakan sisi psikopatnya apalagi aku yang baru terhitung hari ada di antara mereka.
"Jantungnya hampir kena tahu. Dikit lagi padahal kena." Alanna menghela napas dengan penuh kekecewaan. "Sayang banget."
Aku masih tak mengerti jalan pikiran dua bersaudara itu. "Kalau dia mati, lo enggak bisa lihat dia lagi, dong?"
"Nggak apa-apa." Alanna memeluk lenganku dengan erat. "Waktu kecil, gue enggak berdaya. Kaki gue cacat karena dia."
"Gimana...?"
"Dia sengaja motong jempol kaki gue, terus dia awetin di dalam stoples. Katanya, kalau gue mati dan dikubur di tanah, dia masih punya sesuatu yang gue tinggalkan di lemari koleksi hewan-hewan yang dia bunuh dan mumikan."
Aku sontak menutup mulut. TIDAK! Kenapa aku harus membuat cowok psikopat itu jatuh cinta?
Selama beberapa hari ini, tak ada cowok yang berani mendekati Zoey secara langsung selain Noah. Mereka hanya berani menghubungi lewat media sosial Zoey atau pesan pribadi whatsapp. Mungkin, mereka tak ingin mencari masalah dengan Mahardika kecuali cowok segila Noah sehingga mendekati Zoey secara diam-diam.
"Dulu dia selalu seenaknya ke gue, tapi semenjak Papa mau ngambil semua fasilitas yang Papa kasih ke dia, dia enggak lagi macem-macem ke gue! Makanya gue balas dendam. Haha."
"Orang tua lo enggak marah lo selalu ngirim pembunuh bayaran?"
"Mama sih marah karena enggak suka pertikaian. Mama cengeng, sih. Kalau Papa justru bangga," katanya dengan enteng. Alanna tiba-tiba memelukku. "Yang penting tuh sekarang lo aman dari predator!"
Yah..., setidaknya untuk sementara aku bisa fokus pendekatan dengan Luca. Soal mengambil hati Noah itu belakangan saja.
"Gimana dengan Mahardika?" tanya Chessa padaku. Sepertinya dia berusaha mengalihkan pembahasan. Dari ekspresi wajahnya, dia terlihat menahan mual. Mungkin tak tahan membayangkan keluarga psikopat itu. "Tadi pagi dia datang bareng cewek lain, loh."
Aku berhasil diantar denga sopir baru dan memberikan alasan kepada Mami dan Papi bahwa aku tak ingin membuat lagi repot Mahardika. Mahardika mengambil kesempatan itu untuk menjemput cewek barunya.
"Enggak usah peduliin," balasku. "Biarin aja dia."
"Ayo kita makan di kantin?" Alanna keluar dari mejanya dengan semangat. "Pasti Mahardika dan l*nt*nya lagi nongkrong di sana. Luca juga pasti ada. Ayo, lo harus gerak cepat buat deketin Luca."
"Ayo." Aku merapikan lembaran-lembaran yang sudah kujawab, lalu membawanya menuju kantin. Haira panik karena belum selesai menghapus lip stick di pipinya. Sementara Chessa membawanya paksa keluar dari kelas ini. Kami berjalan menuju kantin dan menjadi sorotan siswa-siswi yang melihat. Keberadaan Zoey dan teman-temannya memang sebuah perpaduan yang menarik untuk dilihat.
Setelah tiba di kantin yang cukup ramai padahal ini adalah waku istirahat kedua, aku melihat sekeliling dan menemukan Luca berada di antara teman-temannya yang sedang menongkrong. Luca yang tak banyak gaya. Mereka semua terlihat akrab. Dari semua itu, keberadaan seorang cewek menjadi perhatianku. Bukan hanya aku, tetapi hampir semua yang ada di kantin sepertinya memperhatikan mereka. Di antara cowok-cowok itu, ada seorang cewek yang sedang tertawa manja di samping Mahardika. Posisi cewek itu dan Mahardika begitu dekat sampai lengan mereka saling berdempetan. Meski Mahardika tak memperlihatkan ekspresi apa-apa, tetapi dia membiarkan cewek itu berdekatan dengannya.
Bagaimana mungkin Zoey asli tidak mengamuk melihat pemandangan seperti ini?
"Wah, bikin emosi," bisik Alanna, geregetan.
"Ingat, enggak usah peduliin dia dan ceweknya," kataku sambil belangkah.
"Oke, bagian dari rencana, ya? Dengan cara masa bodo dengan apa yang dia lakuin dan fokus seluruhnya pada Luca!" bisik Alanna, berseru. Dia menoleh sebentar ke belakang. "Si Chessa dan Haira lagi siapin makanan buat lunch."
"Bagus." Perutku juga sudah keroncongan. Metabolisme Zoey benar-benar cepat. Aku berhenti di dekat Luca yang duduk paling ujung. Cowok-cowok yang tadinya berisik dan tertawa-tawa, entah membicarakan apa, tiba-tiba terdiam karena keberadaanku. Tak peduli dengan Mahardika, aku justru fokus pada Luca yang menatapku sambil menaikkan alis. Aku menaruh kertas-kertas soal tersebut di atas mejanya.
"Gue bisa selesaiin dalam beberapa jam. Enggak perlu nunggu besok." Luca menatap lembaran soal. Matanya bergerak, sepertinya sedang mengamati jawaban-jawabanku di beberapa soal terakhir yang berada di lembaran pertama. "So, bisa kan gue jadi salah satu anggota klub belajar lo?"
Meski aku tak melihat sekitar dan tatapan hanya fokus pada Luca, tetapi aku bisa merasakan berbagai pandangan menatap kami. Aku juga bisa merasakan Mahardika sedang menatap apa yang kulakukan.
"Oke. Lo bisa ikut tiap pulang sekolah. Samping ruang klub Fisika," kata Luca, menerimaku tanpa banyak bertanya. Dia sudah melihat aku mengerjakan soal-soal itu dengan cepat. Pasti tak perlu mengetes lagi, kan?
Aku tersenyum semanis mungkin. Mumpung Mahardika sedang memperhatikan. Meski sayang sekali Luca yang menjadi target tak melihatku sama sekali. Padahal aku ingin menebar pesona seorang Zoey. "Oke, sampai ketemu nanti." Lalu aku berbalik pergi tanpa menatap Mahardika sedikit pun.
***
"Kalian pulang duluan. Gue kan ikut klub belajarnya Luca."
"Gue enggak bisa ikut gitu?" Alanna menatapku penuh harap. Sayangnya, Chessa yang peka langsung menarik cewek itu untuk keluar kelas. "Gue pengin ikuut!"
"Enggak usah! Lo cuma ganggu!" teriak Chessa sambil menarik paksa Alanna.
Haira mencium pipiku, lalu dia lari terbirit-birit menyusul mereka berdua yang sudah tak terlihat di kelas.
Aku juga sudah memberitahukan Mami bahwa aku akan pulang terlambat dan tak perlu menyuruh sopir menjemput karena akan pulang dengan seorang teman. Rencananya, aku akan pulang dengan Luca, tetapi sebelum ke klubnya aku harus membuat lutut mulus Zoey terluka. Aku ingin akting sebagai seorang cewek tegar, yang meski kesakitan, tetapi tetap bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Siapa pun yang melihat tak akan tega, kan?
Akhirnya, tak ada siapa-siapa lagi di kelas ini selain aku. Aku ingin membenturkan lutut ini ke benda tajam agar berdarah sekalian, tetapi membayangkannya duluan ternyata mengerikan. Di sisi lain aku ingin semuanya agar akting kesakitanku terlihat alami.
Aku menatap kaki meja, sisi pintu kelas, dan sudut-sudut tajam lainnya, lalu meneguk ludah. Aku mencoba semuanya satu per satu. Dari yang awalnya meringis karena benturan pelan sampai menutup mulut karena hampir berteriak kesakitan. Untung saja tak ada siapa-siapa.
Lutut mulus Zoey berakhir terluka. Aku baru saja melakukan hal ekstrem untuk menarik perhatian Luca. Jika aku benar-benar menyukai Luca dan ingin menarik perhatiannya dengan menyakiti diri sendiri, maka aku sungguh manusia yang mengerikan. Bersikap manipulatif demi menarik perhatian seseorang yang diincar, bukankan itu sifat seseorang dengan tingkat obsesi parah?
Aku berjalan terseok dan ketika aku berada di ambang pintu ruang klub belajar Luca, aku berhenti tertatih dan melangkah dengan anggun menuju sebuah temapat kosong yang berhadapan dengan meja Luca. Aku juga bingung mengapa bagian itu kosong, tetapi sepertinya Alanna ada di balik hal tersebut.
Aku bertopang dagu, menatap Luca yang sedang berdiri di depan papan tulis dengan tampang serius. "Apa anggota klub baru harus memperkenalkan diri?"
Dia menyangga kedua tangannya di meja. Dia menatapku. "Enggak perlu," katanya, lalu menatap siswa-siswi lain. "Setiap hari ada murid yang masuk ke klub, ada juga yang keluar. Kita enggak berpatokan ke materi, tapi jawab dan bahas soal-soal Ujian Nasional tahun-tahun sebelumnya."
Oh, ya. Syarat dasar untuk masuk ke klub belajar Luca adalah berada di jurusan IPA. Dulu, aku juga lebih sering mempelajari soal Ujian Nasional tahun-tahun sebelumnya.
Andai dulu aku tahu klub yang dibuat Luca, maka mungkin saja aku akan masuk. Sayangnya, aku sibuk dengan duniaku sendiri.
Seseorang dari kelas lain membagikan fotokopian rangkap soal. Aku memegangnya satu dan tersenyum melihat soal-soal tersebut. Aku tak menyangka berada di posisi yang membuatku bernostalgia.
TUK TUK
Aku melirik Luca yang baru saja mengetuk ujung spidol di meja sebanyak dua kali. Dia menatap ke bagian bawahku tanpa mengatakan apa-apa.
Oh, luka di lutut! Dia menyadarinya~ Namun, ada yang terasa aneh. Aku menunduk ke samping dan membelalak saat melihat darah dari lutut tersebut mengalir di sepanjang kaki hingga terkena kaos kaki putih yang kukenakan.
"Kayaknya lo perlu ke UKS," katanya, perhatian. Yes! Secuek-cueknya manusia, tak mungkin diam saja jika melihat di depan mata sesamanya sedang terlukan, kan?
"UKS tutup," balasku dengan wajah tegar. Hanya ada sedikit perih karena aku sedang duduk, tetapi berbeda jika aku berjalan. Ketika berjalan, sakitnya luar biasa.
"Semua udah kebagian, kan?" tanya Luca.
"Sudaah!"
"Hari ini, kalian pelajari di rumah masing-masing. Besok pertemuan selanjutnya." Luca merapikan tasnya, lalu berhenti. "Atau, ada yang mau gantiin gue arahin yang lain? Hari ini gue ada keperluan mendadak."
Keperluan mendadak.... Hm, aku tidak mau percaya diri, tetapi bukankah apa yang dilakukan Luca berkaitan denganku? Tiba-tiba sekali dia ada keperluan mendadak.
"Oh, biar gue aja." Seorang cowok berdiri dari duduknya. Luca mengangguk dan menjauh dari meja depan.
"Thanks, besok kita bahas ulang," kata Luca.
Sungguh. Dia terlihat seperti guru muda. Mengagumkan juga, dibanding Noah yang hanya peduli dengan obsesinya untuk memiliki Zoey atau Mahardika yang sedang membangun asrama putri.
Di situasi biasa, dia hanya akan bicara seperlunya. Namun, jika sudah berdiri di depan banyak orang dan memimpin sebuah perkumpulan belajar, dia akan berbicara dengan penuh wibawa.
Dia juga tak pernah pacaran. Sepertinya karena lebih mementingkan pendidikan dan menganggap bahwa pacaran adalah hal yang tak penting. Mengapa kami tidak bertemu lebih cepat? Aku mungkin akan jatuh cinta pada Luca yang memiliki sisi seperti ini.
Tunggu....
Tadi, bukankah aku, tubuh dan jiwa remajaku sudah bertemu dengan Luca dan malah terlihat seperti seseorang yang sedang jatuh cinta?
TIDAK! BUKAN PERTEMUAN SEPERTI ITU YANG KUMAKSUD! Aku ingin jatuh cinta dengan Luca yang cerdas, bukan Luca yang tampan.
Luca menatapku, lalu menggerakkan kepalanya ke luar kelas. "Ayo."
Aku menunjuk diriku, pura-pura bingung. "Gue?"
Dia mengangguk, lalu melangkah duluan. Aku mengambil tasku dan buru-buru mengejarnya. Sempat tertatih, tetapi langsung berjalan tegap ketika dia menoleh ke belakang, menatapku. "Kita ke UKS. Lo tunggu di depan sana aja. Gue ambil kunci cadangan penjaga sekolah."
Aku mengangguk dan kami melangkah ke arah yang berbeda. Bukankah dia terlalu peduli pada Zoey? Setelah ini, aku akan memintanya mengantarku pulang. Setibanya di depan UKS, aku duduk di bangku koridor sembari memikirkan bagaimana memulai percakapan untuk menyuruhnya mengantarku pulang.
Saat seseorang datang, aku langsung berdiri dengan senyum merekah. Namun ternyata bukan Luca yang datang, melainkan Mahardika. Senyumku langsung hilang. Kini memandangnya dengan tatapan datar. Cowok itu berhenti di hadapanku dengan ekspresi marahnya.
"Lo sengaja narik perhatian Luca? Sengaja buat gue cemburu?"
Dia cemburu? Serius, dia cemburu? Dia mengakui bahwa dirinya cemburu? Bukankah cemburu adalah kata keramat bagi mereka yang menyukai seseorang?
Mahardika ini membingungkan.
Aku memalingkan pandangan darinya. "Ngapain lo muncul? Udah gue bilang, kan? Untuk sementara kita jauhan sampai gue yang duluan deketin lo."
"Zoey."
Aku menatapnya dengan kesal. "Apa? Gue yakin lo enggak bego. Enggak mungkin enggak ngerti omongan gue, kan? Atau gue harus ngomong pakai bahasa alien biar lo ngerti?"
Dia terdiam sebentar. "Ini seperti bukan lo. Semarah-marahnya lo, enggak pernah pakai gue-lo sebelumnya. Tetap aku-kamu."
"Itu artinya gue udah hampir mencapai batas kesabaran," kataku, sambil beredekap dan memalingkan wajah. "Tinggal nunggu waktu perasaan gue menghilang. Kalau udah benar-benar hilang, gue bisa ucap kata putus. Dan lo bisa bebas. Silakan bangun istana harem lo."
Aseeek. Ternyata aku bisa akting juga.
Aku meliriknya. Dia tak mengatakan apa-apa. Mungkin, tak menyangka Zoey bisa melawan. Ada Luca yang sedang berjalan di sana. Aku dengan cepat membayangkan Mama.
"Lo pikir selama ini gue enggak sakit hati lo selingkuhin?" Ayo menangislah! Air mataku mulai memenuhi kelopak mata membayangkan betapa rapuhnya Mama. "Gue sakit hati. Gue selalu lo rendahin. Selalu enggak lo peduliin."
Dia mendongak dan berdecak, lalu meraih pergelangan tanganku. "Ayo ke apartemen gue. Kita bicara di sana."
Aku membelalak. "Gue enggak mau! Lepasin!" teriakku seperti orang gila saat Luca semakin dekat. Aku juga takut dibawa ke apartemen Mahardika! Biasanya anak-anak orang kaya mendapatkan sebuah apartemen dari orang tuanya tinggal sendirian di sana.
"Sakiiit!" seruku dengan sedikit nada.
"Lepasin." Luca muncul di dekat kami bak pahlawan kesiangan. Dia menatap tak respek pada Mahardika. "Sekalipun dia masih berstatus sebagai tunangan lo, bukan berarti lo bisa seenaknya nyakitin dia, kan?"
Mahardika terdengar menghela napas panjang. "Berhenti. Jangan ikut campur. Ini urusan kami."
Luca menatapku. "Ini pilihan lo. Ikut gue atau dia? Kalau lo ikut dia, gue juga enggak bisa berbuat banyak."
Aku menarik kencang tanganku dari Mahardika. Pegangannya terlepas sampai Mahardika terkejut. Aku mendekati Luca dan tak peduli lagi dengan ekspresi Mahardika.
"Gue ikut lo." Jawabanku barusan membuat Luca terlihat sedikit terkejut. Mungkin, dia tak menyangka karena biasanya, sesering apa pun Mahardika menyakiti Zoey, Zoey tetap memilih Mahardika.
"Kita balikin kunci UKS dulu. Terus, ngobatin lo di tempat lain." Luca mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya, lalu dia berjongkok dan mengikatnya di bagian atas lututku. Dia melakukan hal itu di dekat Mahardika!
Drama percintaan anak-anak orang kaya benar-benar seru untuk diikuti.
"Tempat lain itu di mana?" tanyaku ketika Luca memimpin jalan menuju parkiran siswa.
"Rumah gue."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro