7
by sirhayani
part of zhkansas
PART 7
Bukannya membawaku pulang, dia malah membawaku ke taman sekolah.
"Katanya mau nganterin gue pulang?" Aku menatap Noah kesal. Dia hanya melemparkan 'tatapan penuh cinta pada Zoey' di mana posisi cowok itu sedang berbaring di sebuah kursi taman dan kepalanya ada di pangkuanku.
Dia bisa berada di posisi ini saat aku sedang tidak fokus. Alhasil, aku tidak bisa membuatnya menjauh. Bisa saja aku segera berdiri seperti apa yang Luca lakukan padaku, tetapi aku tak bisa membayangkan bagaimana kepala Noah terhantam duluan ke tanah.
Betapa canggungnya berada di posisi ini. Mungkin begini perasaan Luca saat aku duduk di pangkuannya dan dilihat banyak orang. Aku masih punya nasib bagus karena kami hanya berduaan di taman.
"Gue pengin mandiii! Gerah seharian pakai seragam sekolah."
"Tadi gue ajak mandi di rumah gue, lo enggak mau."
"Ya iyalah. Intinya gue pengin pulang." Untuk apa juga aku mandi di rumahnya? Aku menduga dia sedang merencanakan sesuatu yang akan merugikanku jika aku mengikuti ajakannya.
Dia hanya tersenyum simpul sambil memainkan ujung rambut Zoey. Aku yakin, Zoey tetap cantik jika dilihat dari posisi Noah sekarang.
"Minggir nggak!" seruku. "Enggak mau? Gue berdiri, nih? Bentar lagi lo geger otak. Gue masih baik nawarin dulu daripada berdiri tiba-tiba."
"Gue suka lo yang kayak gini. Meski nolak, tapi tetap ngerespons ajakan gue." Noah sedang mengepang ujung rambutku. "Apa sekarang lo jadiin gue alat buat Mahardika cemburu? Makanya lo lebih jinak hari ini?"
Noah tak dekat pada dunia spiritual. Aku saja masih tak menyangka ada di posisi ini. Jadi, wajar bila Noah tak curiga dengan beberapa perbedaan sikap yang jelas antara aku dan Zoey. Mustahil dia berpikir bahwa Zoey bereda karena jiwa di dalam raga Zoey bukan jiwa Zoey asli.
"Gue sedih kalau lo iyain," katanya lagi dengan manja. "Tapi kalau cara itu bisa buat kita dekat, lakuin aja. Siapa tahu lo jatuh cinta sama gue."
Omongannya saja manis, tetapi aku percaya Alanna bahwa cowok ini redflag. Melihat betapa khawatirnya Alanna jika saudara laki-lakinya itu dekat dengan Zoey membuatku harus berhati-hati pada cowok ini. Namun, alat untuk membuat Mahardika cemburu sepertinya boleh juga. Toh, Noah tidak terlalu peduli karena yang penting baginya adalah dekat dengan Zoey.
"Bikin Mahardika cemburu boleh juga," kataku sambil pura-pura sedang menimbang-nimbang.
Noah langsung bangun dan duduk di sampingku. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan membuka kamera ponselnya tersebut. Dia mendekat, menoleh, lalu tangannya menyentuh pipiku dengan lembut. Aku sempat khawatir dia akan mencuri cium karena wajah kami begitu dekat, tetapi sepertinya dia masih memikirkan dampaknya jika sikap kurang ajarnya di luar batas.
"Ayo pura-pura ciuman. Kayaknya kamera agak di belakang gue, ya? Supaya muka lo kelihatan jelas." Sepasang matanya tak lepas memandang kedua mataku. Dia memiringkan kepala dan aku gugup bagai seorang cewek yang akan benar-benar berciuman dengan cowok yang duduk di depannya. Aku sampai memejamkan mata dan memegang erat rok sekolah yang kukenakan.
Dibanding dicium Mahardika secara tiba-tiba di mobil pagi tadi, aku lebih gugup berpura-pura ciuman dengan Noah. Situasinya jelas berbeda.
Kamera ponsel berbunyi, menandakan sebuah foto telah berhasil diambil. Namun, aku masih belum berani membuka mata. Wajah Noah masih terasa di dekatku.
"Gue suka kalau lo nurut kayak gini." Suara Noah terdengar begitu jelas di telingaku.
Kelopak mataku langsung terbuka dan tanganku refleks mendorong dada Noah agar menjauh. Dia tersenyum senang dan dengan cepat kembali membaringkan kepalanya di pangkuanku.
"Hei! Gue enggak pengin lo balik di situ!" seruku kesal. Namun, dia bersikap masa bodoh, menaikkan kaki kirinya di atas lutut kanan yang tertekuk sembari memainkan ponsel.
"Gue berhasil kirim. Belum dia baca. Palingan lagi senang-senang sama cewek barunya," kata Noah dengan enteng saking seringnya Mahardika gonta-ganti cewek sehingga hal tersebut sudah menjadi hal biasa.
Bagaimana bisa Zoey masih mempertahankan hubungannya dengan Mahardika?
"Lo sedih?" tanya Noah, menatapku sambil menaikan alis.
Tidak mungkin. Aku hanya sedang merenung, tak habis pikir mengapa Zoey bisa tahan berada di situasi ini. Diselingkuhi oleh pacar sekaligus tunangan sendiri dan dikejar-kejar oleh cowok psikopat.
"Ayo pulang," kataku dengan suara lemah. Aku selalu kehabisan tenaga jika berurusan dengan Noah. "Gue ngantuk berat."
"Tidur di rumah gue, mau?" tanya Noah dengan tatapan sok polosnya.
"No!" Aku memijat pelipisku. "Kalau enggak mau anterin gue pulang, gue bakalan pulang sendiri. Ini terakhir kalinya kita ketemu."
Dia langsung bangun dan berdiri. Tangannya terulur padaku dengan senyum semringah. "Ayo gue anterin pulang. Jangan ngambek gitu, dong."
Noah mungkin akan melakukan apa pun yang Zoey inginkan, tapi karena itu juga aku takut jika saja Noah kecewa padaku. Bagaimana jika aku dibunuh?! Benar-benar mengerikan.... Aku meraih tangannya, lalu dia menggenggam tanganku begitu erat. Aku sudah tak bisa lepas darinya kecuali memintanya untuk melepaskan tanganku atau dia yang berinisiatif sendiri untuk melepasku.
Aku berhenti melangkah ketika mendapati diriku sendiri sedang membaca di bawah pohon taman. Sendirian. Tubuh asliku dan jiwa remajaku yang sedang berusaha memperbaiki hidupnya. Mataku memanas memandang betapa kesepiannya diriku di sekolah ini yang dulu tak kusadari karena terlalu sibuk mengejar mimpi.
Lihat wajahku yang cemong itu. Aku belum peduli skincare di masa ini. Boro-boro membeli pencuci muka, untuk makan saja sulit. Alhasil, aku menggunakan sabun batang paling murah untuk dipakai di seluruh tubuh termasuk wajah.
"Lo lihatin apaan?" tanya Noah. "Dia siapa?"
Sejak awal, aku tak mau mendekati diriku sendiri menggunakan tubuh Zoey agar aku di masa ini tak bersinggungan sedikit pun dengan Zoey dan kehidupannya.
Aku tak pernah dekat dengan cowok. Tak pernah ditembak cowok. Tak pernah tahu apakah ada yang menyukaiku atau tak pernah ada. Aku ingin tahu, bagaimana pandangan cowok tentangku.
"Menurut lo, dia itu gimana?" Aku masih terus memperhatikan diriku yang sedang memejamkan mata sambil merapalkan hafalan.
"Menurut gue?" Noah merangkulku, lalu tangannya mencubit pelan pipiku. Kupukul tangannya itu dengan kesal. "Enggak gimana-gimana. Dia siapa, sih, sampai lo perhatiin segitunya? Lihat mukanya. Bibirnya kenapa komat-kamit? Jelek banget. Cuma lo cewek cantik di dunia ini."
Aku menyikut perutnya hingga dia mengaduh. "Gue enggak minta pendapat lo dia jelek atau enggak."
"Lagian ngapain sih nanya orang nggak penting?"
Meski wajar saja Noah berpikir demikian, tetapi tetap saja aku merasa sakit hati! Dikatai jelek oleh lawan jenis itu benar-benar menyakitkan. Hah.... Salahku yang mencari penyakit. Apa yang aku harapkan dari Noah yang di pikirannya hanya ada Zoey, Zoey, dan Zoey?
Banyak yang bilang, bahwa ucapan cowok jauh lebih tajam dibanding cewek. Aku dikatai jelek oleh cowok membuatku jadi tak bersemangat. Aku berjalan meninggalkan taman dengan tangan yang masih terus digenggam oleh Noah.
"Kok cemberut, Neng?"
"...."
"Apa lo cemburu karena gue sempat merhatiin tuh cewek cukup lama?"
"Tahu, ah."
***
Aku duduk bersila di atas tempat tidur ternyaman yang pernah aku tempati sembari menatap sebuah percakapan yang sangat layak untuk dilihat sambil memakan camilan.
Mahardika sent a photo.
Mahardika: apa maksudnya ini?
Mahardika: kalau pengin mancing perhatian gue, enggak usah berlebihan
me: idih, siapa yang mancing, sih? gue kan udah bilang gue dan lo untuk sementara jauhan dulu
me: gue. butuh. waktu.
Mahardika: jangan ngasih noah ruang. bukannya lo takut sama dia?
Tanganku berhenti saat akan memasukkan ciki ke dalam mulut. Zoey takut pada Noah? Makanya Zoey tak membiarkan Noah dekat dengannya sedikit pun? Lalu kenapa cewek itu menyuruhku untuk membuat Noah jatuh cinta jika dia sendiri takut padanya! Aku benar-benar tak habis pikir.
Sebentar. Dari percakapan pesan ini, bukankah Mahardika terlihat peduli? Bukannya dia sendiri yang membiarkan Noah dekat dengan Zoey? Ah, atau karena Mahardika tahu bahwa Zoey tak akan mungkin memberikan kesempatan Noah dekat dengannya, makanya Mahardika mempersilakan saja.
Aku mulai serius membalas pesan Mahardika. Sepertinya, dia baru melihat pesan Noah di malam hari karena merasa pesan Noah tak penting, yang ternyata berisi kiriman foto yang menarik perhatiannya.
me: lo yang selalu ngebiarin dia deket-deket gue.
me: lo juga yang marah disaat gue ngasih dia ruang
Aku terkejut ketika Mahardika menghubungiku lewat panggilan telepon. Segera kusentuh ikon merah.
me: gue bilang kan kalau gue pengin jauh dari lo
me: ini aja gue masih toleransi soal lo yang nge-chat gue tiba-tiba
Mahardika: hari ini lo banyak berubah
me: emang kenapa? gue kan power ranger pink
Dia tidak membalas. Aku sampai mengguling diri karena tertawa membayangkan ekspresi Mahardika saat ini. Humorku benar-benar buruk, tetapi sesekali aku ingin mempermainkannya.
me: ini terakhir kalinya gue ngechat lo. jangan hubungi gue sebelum gue yang hubungi duluan. jangan deketin gue secara langsung sebelum gue deketin duluan. jangan pernah protes apa pun yang gue lakuin karena selama ini lo juga seenaknya sendiri, kan? itu cukup adil. bahkan apa yang gue lakuin selama ini enggak sebanding dengan yang lo lakuin ke gue
Mahardika: oke
Aku menunggu balasan. Tak ada balasan lagi. Sudah hampir tengah malam dan mataku terasa berat. Aku berakhir tidur dan memimpikan sebuah momen di mana Zoey berinteraksi dengan Luca.
Aku melihat dalam sudut pandang Zoey yang berdiri tak jauh dari Luca. Pandangan cowok itu sama saat menatapku pagi tadi. Dia berdiri memandang Zoey tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun.
"Ngapain lo masih bertahan sama cowok kayak Mahardika?" tanya Luca. "Dia cuma bajingan yang manfaatin lo doang."
"Maksud lo apaan ngomong gitu?" Zoey bertanya dengan marah. "Gue enggak butuh pendapat lo. Emangnya lo siapa? Tahu banget soal Dika?"
"Semua juga tahu kalau dia suka main cewek."
Setelah itu, tak ada balasan lagi dari Zoey. Zoey hanya pergi setelah menyambar bahu Luca dengan sengaja. Zoey yang telah dibutakan oleh cinta, lebih membela Mahardika dengan segala keburukannya yang telah diketahui banyak orang.
Mungkin, tentang Mahardika yang selalu selingkuh itu hanya menjadi rahasia umum sebatas sekolah, yang tak sampai ke telinga kedua orang tua Zoey maupun Mahardika. Mungkin, Zoey juga merahasiakan hal itu agar kedua orang tua Zoey tak kecewa pada Mahardika dan membuat hubungan mereka berakhir karena orang tua Zoey yang tak merestui.
Aku kembali berada di dalam ruangan hampa, melihat sekeliling lewat mata Zoey. Ingatan Zoey kembali berpindah pada percakapannya dengan sang iblis.
"Aku benci Luca. Aku selalu enggak suka dengan tatapannya yang selau ngebuat aku rendah diri. Karena itu, aku pengin balas dendam. Siapa pun kamu yang ada di ragaku, tolong buat dia bertekuk lutut."
Aku membuka mata yang masih terasa berat, lalu termenung.
Hanya karena itu?
Hanya karena benci tatapan Luca, Zoey ingin membalas dendam dengan cara membuat Luca melihatnya dengan tatapan memuja-muja?
Aku menghela napas panjang. Menambah-nambah pekerjaan yang tak penting saja. Luca masih peduli padanya. Luca pasti tak tahan melihat hubungan mereka yang tertolong lagi.
Aku menguap saat ponsel Zoey berdering. Siapa yang menelepon jam segini? Kuambil dengan malas. "Alanna?" Aku menerima panggilannya. "Ya, halo?"
"Gue berhasil nyingkrin Noah!"
Mataku langsung segar. "Gimana? Gimana?"
"Gue berhasil nyingkirin dia. Walau sayangnya enggak sampai mati, tapi harus dirawat di luar negeri. So, lo bisa dengan tenang deketin Luca tanpa gangguan cowok gila itu."
Jangan tanya betapa cepatnya jantungku berdebar saat ini. "Pakai pembunuh bayaran lagi...?"
"Yap. Kali ini, dia hampir bener-bener mati. Jantungnya nyaris ketusuk tahu. andaikan mama enggak ngelarang hilangin nyawanya, udah gue kirimin pembunuh bayaran lain buat bunuh dia di rumah sakit."
Gila....
Dasar keluarga psikopat!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro