Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

by sirhayani

part of zhkansas

PART 5

"DAH!" Aku menjauh setelah menepis kasar tangan Noah dari pipiku. Dia malah terkekeh. Aku hanya bisa memelototinya karena tak sanggup untuk mengucap sumpah serapah, tetapi dia masih saja menertawakanku.

Ah, lupa. Sekarang dia pasti seperti sedang melihat bayi kucing yang marah.

Getaran dari ponsel mengalihkan perhatian kami berdua. Ponsel yang bergetar di atas selimut yang menutupi kakiku tersebut menunjukkan sebuah nama dengan profil tanpa foto.

"Mahardika?" Noah bertanya dengan senyum puas memandang nama Mahardika di layar ponsel. "Namanya lo ubah, ya? Bukan nama kontak kesayangan lagi? Kemajuan yang bagus," katanya sembari menepuk-nepuk puncak kepalaku. Kemudian tangannya yang lain dengan cepat mengambil ponsel itu dan menerima panggilan dari Mahardika sembari mengedipkan sebelah matanya padaku. Padahal aku sengaja membiarkan panggilan dari Mahardika tak terjawab.

"Halo?" sapa Noah.

Awalnya tak ada suara, tetapi beberapa detik kemudian ada balasan dari Mahardika yang bahkan bisa aku dengar. "Noah...? Ngapain lo bareng Zoey? Gue mau ngomong sama dia. Balikin handphone-nya sekarang."

"Dia enggak pengin ngobrol sama lo. Lo udah bikin dia nangis." Aku hanya diam berpangku tangan mengamati interaksi di antara mereka. "Sekarang dia bareng gue. Habis gue peluk."

"....Apa?"

"Habis. Gue. Peluk," katanya penuh penekanan. "Atau lebih tepatnya ... pelukan? Dia udah mulai terbuka sama gue. Menurut lo gimana? Sekarang gue bisa jadi miliknya, kan?"

"Jadi anjingnya aja."

Noah menjauhkan ponsel dari dekat telinganya setelah Mahardika mengakhiri pangilan suara itu sepihak. "Wow, dia kayaknya lagi badmood."

Pasti karena Zoey menamparnya dua kali hari ini. Kuambil ponsel itu dari tangan Noah dan segera mengirimkan pesan kepada Mahardika.

me: gue enggak pengin ketemu lo untuk beberapa saat, tapi ingat ya, kita enggak pernah putus. gue cuma butuh waktu buat nenangin diri

Mahardika: "lo"?

Mahardika: apa maksud lo nenangin diri?

Mahardika: hari ini lo enggak kayak biasanya, lag-lagi nyari perhatian?

Mahardika: enggak usah aneh-aneh. enggak mempan. sekarang ayo ketemu

Mahardika: kita bicara.

Dia sadar hari ini Zoey tak seperti biasanya. Rencanaku berhasil meskipun harus mengalami hal-hal mengejutkan.

Disaat jemariku dengan semangat mengetikkan balasan sambil tersenyum tanpa sadar, Noah tiba-tiba memegang wajahku, menangkup kedua pipiku dengan satu tangannya dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan. "Kenapa lo senyum-senyum sambil lihat HP?"

Dia bersikap seolah-olah dia dan Zoey sangat dekat. Aku menepis tangannya dan segera membungkus diriku dengan selimut UKS.

"Zoooey?" panggilnya sambil menarik-narik selimut saat aku sedang fokus mengetikkan balasan untuk Mahardika.

"Duh. Jangan ganggu gue dulu! Kalau lo berisik, gue enggak akan biarin lo deket-deket gue lagi." Setelah aku mengatakan itu, aku tak mendengar suara Noah lagi. Bahkan tak terdengar suara napasnya, tetapi dia belum bangun dari duduknya.

me: enggak. untuk sementara kita enggak usah ketemu

Mahardika: oke

Mahardika: palingan lo cuma bertahan sehari seperti sebelum-sebelumnya

Jiwa yang ada di tubuh Zoey adalah jiwaku dan aku tentu saja akan bertahan sampai berhari-hari. Dengan begitu, dia akan mulai uring-uringan sendiri dan mendatangiku lebih dulu.

Aku memutuskan untuk tidak membalas apa-apa lagi. Kubuka selimut yang menutupi tubuhku dan terdiam melihat Noah yang masih duduk di tepi brankar.

Dia mengangkat alis. "Mau jadi cewek gue?"

"No!" balasku dengan cepat. Aku sempat berpikir menjadikan Noah sebagai cowok simpanan Zoey, tetapi perasaanku tak enak jika punya hubungan istimewa dengan cowok ini.

Toh, membuat seseorang jatuh cinta tak harus menjadikannya sebagai pacar, kan?

Aku segera duduk dan memandangnya yang sedang tersenyum semringah. Ketika dia memegang punggung tanganku, aku menangkis tangannya dengan cepat.

"Kok lo gitu sih sama gue?" Dia merajuk.

"Masalahnya lo nyentuh-nyentuh cewek orang. Lagian, gue tuh enggak suka sama lo. Ngapain lo ngejar-ngejar gue terus?" tanyaku, mencoba untuk mengulik pandangannya pada Zoey lebih dalam lagi.

Dia terdiam sesaat. Bahkan senyumnya sempat memudar walau dia kembali tersenyum lagi. Kemudian cowok itu memajukan tubuhnya hingga aku sontak mundur. "Lo seperti bukan Zoey. Gaya bicara lo juga beda sejak subuh tadi." Dia menyadarinya.... "Atau jangan-jangan lo bukan Zoey gue?"

Aku memutar bola mata. "Iya, dari dulu kan memang bukan Zoey lo."

Tangannya terangkat dan mencubit kedua pipiku hingga aku menjerit kesakitan. Tirai pembatas terbuka. Bu Dokter sekolah muncul dengan ekspresi terkejutnya.

"Saya cuma cubit pipinya kok, Dok. Enggak ngapa-ngapain. Nih," kata Noah ketika dia menatap Bu Dokter sambil menggoyang kedua pipiku dengan cubitannya. Bu Dokter kembali menutup tirai sambil menggeleng-geleng dengan senyum.

"Sakit!" Seruanku hanya dibalas dengan kekehan olehnya. Aku turun dari brankar dan keluar dari UKS sementara Noah terus mengikutiku dari belakang.

Bagaimana cara membuat Noah jatuh cinta pada Zoey? Aku tak punya ide untuk cowok ini. Mengerikan juga membayangkan dia yang ingin membunuh Mahardika. Mungkin tadi dia bercanda, tetapi ekspresinya dan intonasinya tidak seperti sedang bercanda. Sikap Alanna yang menyewa pembunuh bayaran saja menguatkan pemikiranku bahwa seorang Noah Kahil berasal dari keluarga psikopat.

Apakah seorang psikopat bisa jatuh cinta? Apa yang aku tahu mereka hanya orang-orang yang penuh dengan obsesi. Tidak bisa merasakan yang namanya cinta.

"Lo pengin ke mana, Zoey?" Noah menarik telunjukku dari belakang saat aku mempercepat langkah untuk menghindar darinya yang terus mengekoriku.

"Entah...." Ucapanku terhenti sesaat dan langkahku memelan saat pandanganku terpaku pada seorang yang sedang bersandar di pilar koridor kelas XII. Luca Alaska. Dia sedang sendirian sambil memandang ke lapangan basket. Tatapannya lalu beralih pada Noah, lalu beralih padaku.

Aku tak berniat untuk berpaling. Hingga langkahku berhenti di dekatnya, aku masih terus memandangnya. Padahal dia tak mengatakan apa-apa, hanya memandangku, tetapi tatapannya membuatku ingin meminta maaf padanya padahal aku tak salah apa-apa. Ini adalah pertama kalinya kami bersitatap. Aku yang asli tak mungkin berada di situasi ini karena meskipun kami berada di sekolah yang sama, tetapi dunia kami sungguh berbeda.

Seorang ketua BEM di kampusku dulu memiliki aura yang hampir mirip dengan Luca. Tak banyak bicara. Lebih banyak aksi dan tindakan. Menjadi idola cewek-cewek kampus. Siapa pun yang berhadapan dengannya akan langsung sungkan sekalipun orang itu lebih tua darinya. Itulah wibawa seorang yang memiliki aura pemimpin dan Luca memiliki aura itu.

"Masih aja deketin cewek orang?" Akhirnya, pandangan Luca beralih pada Noah.

"Siapa yang enggak pengin punya cewek kayak Zoey?" Noah menggenggam tanganku. "Gue yakin, setidaknya lo pernah tertarik sama dia."

Luca melirikku tak berkedip. Bukan berarti dia sedang terpana, tetapi tatapannya seolah-olah berkata, apa yang harus disukai dari dia, sih?

Entah apa yang Luca lakukan pada Zoey sampai Zoey ingin membalas dendam padanya. Mengingat Zoey bunuh diri lalu rela menjual jiwanya demi membalas dendam kepada mereka pertiga, bukankah mereka bertiga telah melakukan kesalahan fatal yang tak bisa Zoey maafkan?

Sejak awal, aku seolah tak memiliki empati dan sibuk memikirkan diri sendiri. Meskipun aku tak punya urusan dengan Zoey, harusnya aku bisa lebih berempati pada apa yang dialami olehnya.

"Ngapain lo lihatin dia terus?" tanya Noah sambil menutup mataku dengan kedua tangannya dari belakang. "Lo enggak lagi mikir ide buat jadiin dia alat cemburu Mahardika lagi, kan?"

Lagi?

"Enggak, kok." Aku langsung berlari setelah berhasil lepas dari Noah dan bersembunyi di sebuah kelas sampai siswa-siswi yang ada di kelas ini menatapku heran. Untung saja, mereka langsung pura-pura tidak melihatku setelah itu.

Beberapa menit berlalu, aku mengintip keluar kelas. Noah sudah tidak terlihat. Sementara Luca sedang duduk di bangku koridor yang tak jauh dari pilar tempatnya bersandar tadi. Dia sepertinya sedang mendengarkan musik karena ada airpds yang terlihat di telinganya.

Zoey terlalu mencolok karena kecantikan dan kepopulerannya. Sekarang dia semakin mencolok karena aku melakukan hal-hal konyol. Meski begitu, sepertinya aku lebih percaya diri dan bodo amat terhadap pandangan sekeliling ketika berada di tubuh Zoey dibanding tubuhku sendiri.

Aku keluar dari persembunyian dan menghampiri Luca yang sedang mendengarkan musik. Kuhentikan langkahku tepat di hadapannya yang sedang duduk santai sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Dia mendongak dan menaikkan alis tanpa mengatakan apa-apa.

Sungguh! Aku tak pandai berinteraksi dengan yang namanya laki-laki!

"Hai," sapaku, berusaha untuk terlihat friendly. Sepertinya, Luca benar-benar cowok yang sulit didekati. "Menurut lo, gue itu gimana?"

Hah. Kenapa aku malah menanyakan hal itu? Aku benar-benar tak bisa membuat strategi yang bagus untuk hal semacam ini.

Luca hanya mengalihkan tatapannya dariku. Gerak-geriknya itu menunjukkan bahwa pertanyaanku tak penting untuk dijawab. Aku duduk di sampingnya dan bersedekap.

"Ngapain lo duduk di sini?" tanyanya tanpa menoleh memandangku. Dia fokus menatap para siswa yang bermain di lapangan basket. "Kalau cuma pengin buat Mahardika cemburu, itu enggak akan mempan."

"Siapa juga yang pengin buat tuh cowok cemburu?"

Dia menoleh dan mengernyit. "Apalagi kalau bukan itu? Lo biasanya deketin gue cuma buat hal-hal enggak penting."

Sepertinya, sekarang waktu yang tepat untuk melihat bagaimana pandangannya terhadap Zoey. Kunaikkan paha kananku di atas paha kiri, kusangga sikuku di atas sana, lalu aku bertopang dagu sambil menoleh pada Luca.

"Kok lo kayak marah gitu? Kesel cuma gue jadiin alat? Penginnya gue deketin dengan tulus?" tanyaku sambil tersenyum melihatnya menghela napas seolah yang aku katakan barusan adalah sebuah omong kosong. Dia benar-benar tak punya perasaan khusus sedikit pun pada Zoey. "Lo dengerin lagu apa?"

Dia tak menjawab. Apa dia sedang pura-pura tuli? Aku menggeser tubuhku mendekat padanya. Untungnya, dia tidak menjauh dan membuatku semakin berani menggeser tubuh hingga lengan kami saling bersentuhan. Dia tidak protes sama sekali, tetapi lengannya dia jauhkan dari sentuhan kulit lenganku. Aku menajamkan pendengaran untuk mengetahui apa yang sedang dia dengarkan. Benar. Dia tidak mendengarkan lagu, tetapi ada percakapan formal dua orang yang menggunakan bahasa Jerman. Sepertinya dia belajar menggunakan bahasa tersebut. Sepertinya Luca hanya sedang membiasakan diri mendengarkan percakapan Jerman.

Aku mengulurkan tanganku padanya. "Ich heiße Aylin Naira."

Dia menoleh dan mengernyit. "Aylin Naira?"

Ups. Aku lupa bahwa saat ini aku bukan Aylin. Kutarik tanganku yang tidak dibalas olehnya. "Nama akal-akalan."

Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Apa yang harus aku lakukan pada cowok macam ini? Bahkan cewek secantik dan semanis Zoey tak membuatnya tertarik. Meskipun ada gosip bahwa dia penyuka sesama jenis, tetapi sepertinya itu tidak mungkin. Biasanya, orang-orang berspekulasi sepihak seperti itu karena tak pernah terdengar bahwa cowok sekeren dan setampan ini tak memiliki pacar.

Aku harus melakukan segala cara untuk menarik perhatiannya. Misalnya, berpura-pura jatuh, lalu ditangkap oleh Luca seperti adegan-adegan klasik genre romansa.

Ini memalukan, tapi sepertinya aku harus mencobanya? Aku naik ke bangku dan berdiri di sana sampai Luca menoleh padaku sambil mengernyit, meski pada akhirnya dia kembali menatap lapangan dan terlihat tak peduli pada apa yang aku lakukan. Siswa-siswi di sekitar sampai menatapku dengan heran.

"Di atas ada sarang laba-laba." Kutatap seekor laba-laba yang membuat sarang di sudut plafon, lalu pandanganku turun ke bawah memandang Luca yang masih duduk di tempatnya. Bagaimana cara agar aku jatuh ke pangkuannya dengan aman?

Aku sudah gila, ya?

Ada banyak cara, tetapi mengapa di pikiranku terlintas hal seperti ini? Sepertinya, otakku sudah tidak bekerja dengan baik karena kekacauan yang kualami. Aku menghela napas panjang sampai terdengar keras. Luca mungkin mendengarnya. Tak apa. Semoga dia mulai bersimpati dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa Zoey terlihat tak seperti biasanya? Seperti apa yang Mahardika dan Noah pikirkan tentangku.

Atau aku berakting menangis saja sekarang? Aku benar-benar frustrasi. Segera kuputar tubuhku. Aku lupa bahwa aku sedang turun dari bangku, bukan tangga, membuat tubuhku tak seimbang dan terjatuh tepat di pangkuan Luca tanpa sengaja. Luca langsung memegang punggungku. Ini momen yang aku maksud! Aku sudah pasrah, tetapi malah terjadi disaat aku sudah putus asa.

Kami saling pandang dan aku berusaha memandangnya dengan tatapan terkejut dan berusaha mengeluarkan air mata. Mata bulat Zoey harus kuperlihatkan seimut mungkin agar membuat Luca menyadari betapa menariknya seorang Zoey Putri Abigail.

Namun, semua tak sesuai harapan.

Luca Alaska melepaskan pegangannya padaku dan berdiri tanpa aba-aba, membuatku terjatuh dan sempat terguling di lantai. Sementara cowok itu? Pergi begitu saja tanpa membantuku sama sekali!

Aku terduduk di lantai, menganga sambil menatap punggung Luca yang baru saja menghilang karena belokan koridor.

***


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro