21
by sirhayani
part of zhkansas
21
Ternyata begini rasanya punya teman akrab.
Hidupku benar-benar datar. Bagaimana mungkin aku punya teman jika aku berambisi untuk hidup lebih layak dengan cara belajar sampai membuatku sering mimisan? Zoey, Alanna, Chessa. Ketiga cewek itu tak akan tahu bagaimana susahnya hidup miskin. Mereka tak perlu bingung mendapatkan biaya untuk acara jalan-jalan bertiga mereka karena ada orang tua mereka yang akan langsung memberikan ketika mereka meminta.
Zoey bisa membeli sebuah tas yang harganya setara dengan biaya hidupku bersama Mama selama beberapa tahun. Tak perlu jauh-jauh ke tas, baju atasan Zoey saja cukup untuk biaya hidupku bersama Mama dalam setahun.
Aku ingin terlahir kaya, tetapi karena Mama sejak awal tak pernah merasakan harta yang berlimpah, maka suatu saat aku yang akan mendapatkan kekayaan itu dengan usahaku.
Makanya, aku harus segera kembali.
"Setiap ke mal, pasti enggak pernah enggak mampir ke photo box." Chessa memegang kedua pipinya dengan masing-masing ujung jari telunjuknya. "Cheese."
Aku dan Alanna mengikuti pose Chessa.
"Kenang-kenangan, tahu!" seru Alanna. "Ke photo box tuh vibe-nya beda aja dibanding foto biasa. Makanya sebelum keliling, kita harus foto-foto di sini dulu."
Aku pernah melihat foto selfie Alanna saat cewek itu berfoto di kamarnya. Di dindingnya ada banyak foto kebersamaannya bersama Zoey, Chessa, dan juga Haira. Foto berdua dengan Zoey jauh lebih banyak dibanding foto berempat mereka. Alanna benar-benar menyayangi Zoey sebagai sahabatnya. Awalnya aku mengira bahwa status Alanna, Chessa, dan Haira hanyalah dayang-dayang dari Zoey. Namun, rupanya tidak demikian. Alanna yang terlalu loyal pada Zoey sampai membuatnya terlihat seperti babu. Sementara Chessa dan Haira, kecantikan kedua cewek itu tertutupi oleh kecantikan Zoey yang membuat Zoey seperti tokoh utama dalam sebuah cerita.
Alanna memelukku dan menempelkan pipinya di pipiku, membuatku susah payah menekuk lutut. Chessa berada di belakang kami dan membuat kedua tangannya berbentuk love. Setelah hasil keluar, kami mendapatkan semua foto dengan tiga salinan.
Kami berkeliling mal. Terkadang singgah ke toko tas. Terkadang ke toko sandal dan sepatu. Terkadang ke toko pakaian. Aku sudah beberapa kali hang out bersama mereka berdua ditambah Haira saat Haira belum pindah sekolah, tetapi aku masih saja selalu membelalak karena melihat harga yang tertera di label harga.
Berkali-kali aku mengucapkan hal ini; duniaku dan dunia Zoey bagaikan langit dan bumi.
"Ini gimana, Zoey? Gue bingung banget aduuh. Yang ini cantik, ini juga. Pusiing." Alanna memegang dua tas mini di sisi kanan dan kirinya. Bagaimana bisa tas sekecil itu muat dengan ponselnya yang berukuran lebih dari enam inci? Apa gunanya sebuah tas jika sekecil itu? Dompetnya bahkan tak akan muat masuk ke dalam sana.
Aku pura-pura berpikir. Kutunjuk tas berwarna biru muda. "Ini cantik. Warnanya mirip langit." Aku mengintip harganya dan melotot setelah itu.
"Oke, gue pilih ini!" Alanna menghampiri pegawai toko, meninggalkanku yang masih shock berat karena harga tas sekecil itu.
Yah, aku memang sudah sering melihat harga-harga yang membuat ginjalku bergetar, tetapi tetap saja aku masih tak terbiasa dengan semua ini.
Mereka membayar dengan sebuah kartu kredit. Papi juga memberikanku kartu kredit khusus setiap kali aku pamit untuk hang out. Semua ini milik Zoey. Aku tak bisa berfoya-foya karena tak tahu juga akan aku apakan pakaian-pakaian atau tas itu. Sudah banyak pakaian, tas, dan sandal Zoey yang berada di kamar khususnya.
"Lo enggak beli apa-apa di sini?" Chessa menghampiriku sembari menenteng beberapa tas belanjaannya.
Aku mengangkat kedua lenganku. Sudah ada dua tas belanja. Satu tas belanja berisi pakaian yang kubeli di toko sebelumnya. Satu lagi berisi sepatu. Aku tetap membelinya untuk menghindari Alanna yang akan memaksaku membeli sesuatu jika aku pulang dengan tangan kosong.
Dibanding tas belanjaku yang hanya dua, Chessa dan Alanna jauh lebih banyak. Masing-masing di antara mereka lebih dari lima belanjaan.
"Kita bawa barang belanjaan ko mobil habis itu lunch." Alanna memimpin jalan dengan ceria. "Let's go."
Dia benar-benar bahagia.
Ah, kapan Alanna tidak bahagia? Dia selalu tersenyum kecuali jika itu berkaitan dengan Noah Kahil yang dia benci.
"Habis ujian kan kita libur panjang, tuh. Gimana kalau kita liburan ke Paris? Ajakin Haira!" seru Alanna. "Ada banyak tempat yang pengin gue datengin bareng kalian!"
Ugh, aku hanya ingin segera kembali ke masa depan, tapi ... tunggu.
Di masa depan, dari ingatan yang aku lihat dari pesan-pesan yang dikirim Zoey kepada Alanna, bukankah Alanna sudah meninggal karena bunuh diri?
***
Aku berdecak mengambil ponsel yang terus menerus menghubungiku. Seluruh tubuhku rasanya remuk karena hang out bersama Alanna dan Chessa hingga sore hari. Siapa yang menelepon tengah malam begini? Setelah mengucek mata, aku mengernyitkan dahi. "Chessa?"
Segera kuterima panggilan darinya yang kembali masuk.
"ZOEY!" teriaknya, lalu dia terisak-isak. "Alanna! Alanna ... Alanna masuk rumah sakit."
Aku membatu.
"Alanna.... Hiks ... Alanna coba bunuh diri. Tuh anak bego banget. Kenapa mau bunuh diri? Apa kita enggak cukup buat dia bahagia? Zoey ... hik ... Zoey gue gue di di rumah sakit. Dia dia...."
Bunuh diri?
Menghubungkan Alanna dan kata bunuh diri saja adalah hal yang tidak masuk akal.
Aku menyugar rambut, lalu menghela napas panjang. Teringat dengan fakta bahwa di kehidupanku yang asli, Alanna meninggal karena bunuh diri....
"Gimana? Dokter?!" Suara Chessa semakin samar-samar.
"Halo? Ches? Chessa? Di rumah sakit mana?" teriakku sambil buru-buru memakai sweter. "Halo?"
"Nggak mungkin!" Teriakan Chessa membuatku terdiam. "Alanna nggak mungkin mati semudah itu!"
Kedua lututku lemas. Aku terjatuh ke lantai sambil menutup mulut.
"Tante!"
"Alanna overdosis obat, Nak. Alanna nggak mungkin nggak tahu kalau konsumsi banyak obat itu berbahaya."
"Kenapa Tante enggak nangis? DOKTER ITU BARUSAN BILANG ALANNA NGGAK BISA DISELAMATKAN!"
"Tenangin diri kamu, oke? Tenang, ya.... Tante juga sedih, tapi apa nangis-nangis meraung dan ganggu pasien lain itu akan bisa membuat Alanna kembali?"
Mataku memanas. Satu demi satu tetesan air mata jatuh ke lantai.
Sial....
Alanna tak mungkin berpikir untuk bunuh diri.
Ini pasti pembunuhan.
***
Pada akhirnya, kasus meninggalnya Alanna ditutup dengan kasus bunuh diri.
Hasilnya sudah final.
Semua bukti merujuk pada percobaan bunuh diri.
Namun, mengapa aku tak percaya?
Aku berpikir bahwa Noah ada di balik meninggalnya Alanna, tetapi dia belum tiba di Indonesia. Sama seperti Alanna yang mengutus seseorang untuk menjadi pembunuh, Noah pasti juga melakukan hal itu. Dia tak perlu mengotori tangannya, tetapi dia bisa menyewa pembunuh untuk melenyapkan nyawa Alanna tanpa meninggalkan jejak.
Pertengkaran mereka memang seperti ini. Saling bunuh. Alanna bahkan hampir membunuh Noah. Sekarang giliran Noah yang membunuh Alanna. Alanna tidak berhasil. Noah berhasil.
Semua hal tentang meninggalnya Alanna memang spekulasiku. Namun, seperti pemikiranku yang tak akan pernah berubah, bahwa Alanna dan kata bunuh diri tak akan mungkin berkaitan.
Semua orang yang datang ke pemakaman Alanna menggunakan pakaian serba hitam. Aku, Mahardika, Chessa, Haira, kedua orang tua Alanna, kerabat Alanna yang lain, beberapa guru yang akrab dengan Alanna, dan hampir teman kelas juga daang.
Baru kali ini aku melihat wajah kedua orang tua Alanna. Papa Alanna hanya menatap datar makam Alanna yang baru saja selesai dirapikan. Mama Alanna hanya bisa menunduk menahan tangisnya. Chessa dan Haira terisak pelan. Sementara aku hanya diam. Tak menangis. Hanya memandang nama Alanna Kahil yang tertulis di makam Alanna.
Mungkin, ketika Zoey masih hidup, dia juga menangis terisak-isak seperti yang terjadi pada Chessa dan Haira.
Aku mundur dari kerumunan dan memilih untuk berdiri di belakang orang-orang. Kupandangi punggung mereka yang bergetar karena tangis. Mahardika menyusulku dan berdiri di sampingku. Dia merangkul tubuhku dan mengusap pelan lengan bagian atasku yang disentuhnya. Aku menghela napas panjang, lalu melirik seseorang yang berdiri di bawah pohon.
Noah...?
Aku hanya membisu saat menatapnya. Mahardika sepertinya tak menyadari apa yang aku pandangi di balik kacamata hitam yang kupakai. Aku tak salah lihat. Seorang yang berdiri di bawah pohon dengan kemeja hitam dan celana jeans hitam itu adalah Noah Kahil, kakak kandung Alanna. Meski dia menggunakan kacamata hitam, tetapi aku bisa sangat mengenalinya.
Hanya saja, auranya sedikit berbeda dari terakhir kali kami bertemu.
Dia tetaplah Noah, tetapi mengapa dia seperti bukan Noah yang kukenal?
Cowok itu tersenyum. Aku menatap Mahardika yang tengah melihat ke depan. Rupanya Noah tersenyum padaku.
Kutatap kembali posisi Noah. Dia tak terlihat. Aku menatap Mahardika dan pamit sebentar. Segera memasuki kerumunan untuk membuat Mahardika terkecoh, tetapi aku kembali keluar ke bagian kerumunan yang berbeda. Segera kucari Noah. Aku berlari ketika menemukan cowok itu berjalan menuju pintu keluar pemakaman.
Namun, aku tidak bisa menggapainya. Dia memasuki sebuah mobil dan sempat menoleh padaku dan memberi senyum penuh arti.
Aku ingin bertanya apakah dia yang membunuh Alanna? Namun, apakah aku berani bertanya seberani itu?
Bukankah lebih baik aku berpura-pura tak tahu saja?
Baik di masa asliku maupun masa sekarang, penyebab kematian Alanna pasti tak akan berbeda.
"Zoey?" Aku menoleh pada Chessa yang baru saja memanggilku. "Gue enggak pernah lihat lo nangisin kepergian Alanna. Bahkan Alanna meninggal pun, lo tetap enggak peduli, ya?"
Itu karena aku bukan Zoey yang asli sehingga tak menangis berlarut-larut seperti yang Chessa lakukan.
Aku meneguk ludah. "Kenapa lo bisa ada di rumah Alanna waktu itu?"
Chessa tertawa, lalu menahan bibirnya yang bergetar. "Lo juga masih enggak ingat hari ulang tahun Alanna, ya? Sudah gue duga. Tuan Putri enggak mungkin mau tahu apa pun kecuali tentang dirinya sendiri."
Aku terdiam membisu.
"Alanna meninggal di usianya yang baru aja menginjak tujuh belas. Usia dewasanya. Usia yang dia tunggu-tunggu!" Chessa mendengkus. "Zoey, lo selalu enggak suka ngasih kejutan ke ulang tahun orang lain. Lo selalu pengin jadi tokoh utama satu-satunya. Haira udah enggak ada di kota ini. Jadi, gue yang nyiapin semuanya sendirian, tapi apa yang gue dapat? Alanna sekarat. Dan sekarang berakhir kayak gini."
Chessa mendongak dan memejamkan mata, lalu dia berbalik dan kembali ke pemakaman Alanna.
Mata dan hidungku terasa perih. Untung saja aku memakai kacamata hitam. Mahardika berlari menghampiriku dan memelukku dengan erat.
Ah, sejak kapan kedua bahuku bergetar hebat?
Sejak kapan aku menjadi secengeng ini?
Sejak kapan aku peduli pada pertemanan Zoey?
"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa." Mahardika mengusap punggungku ketika aku mengeluarkan suara tangus kencang. "Ada gue di sini. Gue enggak akan pernah ninggalin lo di situasi apa pun, Zoey."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro