19
by sirhayani
part of zhkansas
19
Aku tidak pernah melihat Mahardika semarah ini. Dia seperti penculik yang membawaku paksa ke apartemennya. Sepertinya, dia menganggap serius pernyataanku bahwa aku menyukai Aylin. Padahal Aylin adalah diriku sendiri.
Ketika kami tiba di ruang tamu, dia langsung mendorongku ke sofa. Tanpa minta maaf sama sekali bahkan setelah aku meringis kesakitan karena rasanya organ tubuhku saling bersenggolan. Dia juga terlihat tak merasa bersalah. Hanya ada raut wajah kekecewan yang bercampur amarah.
Dia lebih emosi ketika aku menyukai Aylin dibanding Luca.
"Kamu serius soal tadi?" Rahangnya terlihat mengeras. Dia masih saja berdiri di hadapanku yang sedang duduk, membuatku lelah mendongak. "Kenapa aku ngerasa kamu bohong soal suka sama ceweknya Luca?"
"Kalau aku serius gimana? Kamu berhenti deketin aku?"
Mahardika menunduk, lalu memegang daguku dan membuatku membelalak. "Aku enggak akan berhenti deketin kamu. Kamu serius suka sama cewek itu? Kalau gitu, aku akan buat kamu kembali normal."
Perasaanku tidak enak. Kutepis tangan Mahardika yang masih ada di daguku. "Apa pun rencana lo, enggak akan gue biarin berhasil."
Dia menatapku dengan tegas. "Oke, kita lihat apa kamu yang berhasil gagalin rencana aku."
Setelah itu aku tak bisa berkata-kata lagi selain menahan teriakan karena Mahardika yang baru saja duduk di sampingku, dengan cepat membawaku berada di pangkuannya. Satu tangannya menahan punggungku agar tak bisa kabur. Tangannya yang lain menahan tengkukku agar bibirku tak berhasil menghindar dari bibirnya.
Ini adalah ciuman penuh paksaan yang dilakukan Mahardika setelah cowok itu berjanji tidak akan menyentuhku lagi.
Dia tidak khilaf, tapi beginilah rencana untuk membuatku kembali lurus versinya.
Aku tak bisa menghindar. Secara fisik saja aku sudah kalah, membuatku berakhir pasrah. Ciuman yang tadinya penuh paksaan kini berubah menjadi lembut. Seluruh tubuhku lemas. Efek kupu-kupu di perutku semakin terasa.
Kenapa perasaanku menjadi aneh?
Tidak....
Aku tidak ingin terbawa suasana!
"Berhenti!" seruku ketika berhasil lepas dari pungutannya. Kutatap Mahardika penuh amarah sembari mengelap bibirku dengan punggung tangan. "Berengsek."
Dia tersenyum miring. "Kamu masih normal."
"Tukang ingkar janji!" seruku kesal. "Lepasin gue!"
"Enggak akan. Ngaku dulu, apa maksud lo berusaha ngebuat mereka putus?"
Tentu saja aku tak akan mengatakan yang sebenarnya. "Ibunya Aylin orang baik bangetnya kebangetan dan pernah nolongin gue. Makanya gue heran sama tuh cewek, ibunya banting tulang nyari kerja sana sini tapi dia malah asyik pacaran. Emang si Luca mau bantuin keuangan Aylin? Dia aja masih minta uang dari orang tuanya. Sama kayak lo yang masih minta uang dari orang tua."
Mahardika tersenyum. "Ternyata gitu ceritanya, tapi kenapa kamu mau putus dari aku?"
"Gue kan udah bilang, gue enggak mau kejadian yang kayak barusan terjadi." Aku melotot. "Sekarang, lepasin gue. Lo udah ingkar janji nyentuh-nyentuh gue sembarangan. Gue marah. Mau pulang. Lepasin nggak?"
"Kamu kalau marah kayak gini kenapa gemesin banget, sih?" Aku memelototinya. "Sekarang aku tarik janji aku soal enggak nyentuh kamu. Supaya kamu bisa marah-marah seperti tadi."
Sifat seperti barusan bukannya tak disukai cowok ini?
"Kenapa?" Dia menaikkan alis dan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, tanpa berniat melepaskanku sedikit pun. "Keberatan?"
Kenapa aku semakin emosi, ya? Apakah ini masa PMS? "Gue udah bohongin lo selama ini. Sifat gue enggak kalem, enggak anggun, dan enggak ada wibawa seperti yang lo lihat. Gue masih sama kayak Zoey yang tantruman. Gue egois. Enggak sabaran. Gue masih anggap lo rakyat jelata. Lo orang rendahan. Bajingan gila. Berengsek. Apa yang gue lakuin setelah gue hilang ingatan itu cuma upaya gue untuk berubah karena ngerasa sifat gue dulu itu bener-bener sampah, tapi sekarang gue tahu kenapa gue yang dulu memperlakukan lo kayak gitu, karena lo jauh lebih sampah!"
Hening.
Barusan aku meluapkan emosiku.
Mahardika juga tak memperlihatkan respons apa pun selain memandangku dengan datar. Apakah dia sekecewa itu?
"Iya, aku memang cowok berengsek," katanya, menatapku sendu. "Kamu ingat nggak, saat kita berdua liburan ke puncak? Aku yang inisiatif ambil keperawanan kamu. Setelah kejadian itu kamu jadi lebih lunak ke aku. Apa mungkin kamu takut aku tinggalin? Padahal aku enggak akan mungkin ninggalin kamu. Tapi karena kejadian itu juga, kamu jadi makin cemburuan. Selalu anggap besar hal-hal sepele. Sifat kamu malah makin bikin aku muak karena selalu membesar-besarkan masalah."
Mahardika menghela napas panjang, lalu memelukku erat.
Masalahnya, posisi ini membuatku tak nyaman. Aku masih ada di pangkuannya. Seperti katak....
"Tapi, Zoey. Sejak kamu berubah karena hilang ingatan, aku makin yakin kalau hubungan kita bisa diselamatkan. Selama beberapa bulan ini, aku juga berusaha memperbaiki diri demi kenyamanan kamu." Mahardika berbicara di dekat leherku, membuatku tak nyaman. "Tadi aku bercanda soal narik kata-kata aku yang enggak akan nyentuh kamu sembarangan. Aku masih akan nepatin janji buat enggak nyentuh-nyentuh kamu, tapi aku masih boleh meluk kamu, kan?"
Entahlah. Apa yang aku lakukan sekarang lebih membingungkan. Aku membalas pelukan Mahardika. Apakah bahu cowok memang selebar ini? Apakah memeluk Mahardika memang senyaman ini? Pelukan Mahardika yang terasa hangat membuat rasa kesepian dalam diriku sedikit demi sedikit menghilang.
Perempuan memang butuh laki-laki, ya?
Apakah aku sanggup hidup tanpa cinta setelah kepergian Mama nanti?
Apakah aku sanggup hidup sendirian disaat aku tak punya siapa-siapa lagi?
Aku memikirkan hal barusan secara acak hanya karena merasakan hal baru dari pelukan Mahardika yang seolah-oleh memeluk Zoey tanpa ingin kehilangannya.
Sayangnya, Zoey tak bisa kembali lagi dan merasakan cinta tulus dari Mahardika.
Terlebih lagi, yang Zoey tahu, Mahardika telah lama berpaling darinya.
"Kalau misalkan suatu saat perasaan kamu ke aku menghilang karena kehadiran cewek baru di hidup kamu?" gumamku.
"Itu enggak akan mungkin. Cuma kamu satu-satunya di hidup aku."
Yah, wajar saja Mahardika mengatakan demikian. Saat ini adalah cerita tentang dia dan Zoey. Cewek bernama Kanina itu belum muncul di hidup Mahardika.
"Enggak ada yang nggak mungkin." Aku memejamkan mata. "Suatu saat, kamu mungkin akan ketemu cewek lain dan jatuh cinta ke cewek itu."
Mataku terasa panas. Kenapa aku menangis?
"Zoey...?" Mahardika menjauhkanku dan menatapku lekat-lekat. Hatiku terasa sakit membayangkan kisah percintaan Mahardika dan Zoey.
Mahardika menghapus air mataku dan sialnya aku semakin terisak. Zoey tak mendapatkan kebahagiaan sampai akhir hidupnya.
Zoey, kenapa kamu memilih untuk meminta bantuan pada iblis itu? Kamu tidak akan pernah bisa kembali dan kita tak akan pernah bisa bertemu dan berbincang secara langsung.
***
Kelopak mataku langsung terbuka. Aku segera duduk dan melihat sekeliling. Ternyata aku belum pulang dan malah ketiduran di salah satu kamar yang ada di unit apartemen Mahardika, yang jelas, ini bukan kamar pribadi Mahardika karena sejak awal aku sudah memberi peringatan kepadanya agar dia tidak membawaku ke kamarnya.
Bagaimana aku berakhir di sini? Seingatku, tadi aku entah kenapa menangis sambil memeluk Mahardika. Setelah itu aku merasakan kantuk yang berat dan samar-samar kurasakan Mahardika menggendongku.
Meski sekarang sudah malam hari, tetapi sepertinya Papi dan Mami tidak mencariku. Mungkin, Mahardika sudah menghubungi mereka. Aku segera bangkit dari tempat tidur sembari kusingkap selimut yang menyelimuti tubuhku yang masih terbalut seragam sekolah. Hanya dasi dan sepasang kaos kaki yang terlepas dari tempatnya. Mana mungkin Mahardika berani macam-macam. Dia tahu betul bahwa aku tak akan memaafkannya jika dia melecehkanku disaat aku dalam keadaan tak sadar.
Aku ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Setelah keluar dari sana, aku keluar dari kamar untuk mencari Mahardika. Cowok itu ternyata sedang di dapur. Bau harum dari masakannya sudah tercium sejak aku membuka pintu kamar.
Aku tidak pandai memasak. Entah kenapa, setiap kali aku memasak pasti akan keasinan. Pada akhirnya membuat masakanku tidak enak dan berakhir di tempat sampah. Aku selalu menangis tanpa air mata, frustrasi karena makananku selalu tak enak di lidah. Makanya, aku tak pernah memasak dan lebih memilih merepotkan Mama atau membeli lauk dan sayur jadi. Kedua hal itu jauh lebih hemat karena hanya ada kami berdua di rumah. Jika aku yang memasak, maka hanya akan boros karena membuang-buang makanan. Mama selalu berusaha menghabiskan makananku, yang pada akhirnya membuat beliau sakit kepala, atau mendaur ulang masakanku yang hanya berakhir sia-sia karena tak bisa diselamatkan.
"Masak apa?" Aku mengintip panci dengan antusias. "Omelet?"
"Iya. Tunggu, ya? Bentar lagi jadi."
Aku mengangguk dan segera duduk di kursi. Mataku terpejam kurang dari sedetik, tetapi pandanganku tiba-tiba melihat suasana yang berbeda.
Kenapa aku berada di kamar tadi? Aku melihat sekeliling. Apa tadi itu mimpi? Tidak.... Kenapa aku berdiri di depan kamar mandi?
Aku yakin bahwa semua yang terjadi tadi adalah nyata. Segera kulangkahkan kaki untuk keluar dari kamar ini. Bau harum dari masakan Mahardika tercium.
Sama seperti tadi.
Aku berlari ke dapur dan kuhampiri Mahardika di dekatnya. Dia sedang memasak omelet....
"Laper? Tunggu, ya? Bentar lagi selesai," kata Mahardika, yang membuatku sempat sulit bernapas.
Apa yang terjadi?
Aku tak mengatakan apa-apa dan segera berbalik menuju kursi, tetapi tiba-tiba pandanganku melihat hal lain. Ini bukan dapur. Aku berbalik dan ternyata aku baru saja berjalan dari depan kamar mandi.
Aku segera berlari keluar dari kamar ini dan mencium aroma masakan Mahardika. Segera kuhampiri cowok itu dengan napas tersengal. Mahardika membuat omelet.... Dia menatapku bingung, lalu mematikan kompornya.
"Kamu kenapa?" Mahardika menghampiriku dengan tatapan khawatir.
Aku memejamkan mata, lalu membuka mataku.
Dan yah, aku kembali berada di depan kamar mandi.
Apa ini time loop...?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro