13
by sirhayani
part of zhkansas
PART 13 - MAKE THEM FALL IN LOVE WITH YOU
"BILANG KALAU SEMUA INI PALSU!"
Saat Alanna muncul di ambang pintu kelas setelah suara sepatunya terdengar keras di koridor, dia langsung menghampiriku sembari berteriak seperti barusan dan memperlihatkan layar ponselnya.
Sebuah foto 'pemandangan'.
Pemandangan itu adalah Mahardika yang sedang memeluk Zoey dengan penuh cinta.
Hah.
Jadi, saat aku turun dari mobil tadi, Mahardika tiba-tiba memelukku dan menjadi perhatian orang-orang yang ada di sana. Aku bisa melihat jelas beberapa orang buru-buru mengambil ponsel mereka dan memotret kami. Aku tak protes dengan pelukan itu karena mungkin saja Mahardika sengaja menunjukkan hal itu untuk memberitahukan kepada semua orang bahwa Zoey adalah miliknya yang tak boleh diganggu oleh siapa pun.
"Lo bisa lihat sendiri. Itu nyata." Aku tersenyum bahagia.
"Lo akhirnya berhasil naklukin Mahardika!" Alanna duduk di bangku yang ada di depan mejaku. "Udah gue duga, deketin Luca untuk ngebuat Mahardika cemburu memang paling tepat. Sekarang lihat, siapa yang nggak bisa hidup tanpa siapa?" katanya dengan suara pelan. "Sekarang adalah harus ngebuat Mahardika bertekuk lutut ke lo," kata Alunna dengan semangat.
Aku menoleh ke pintu kelas. Haira masuk dengan senyum polosnya sambil menatapku. Setelah melihat ingatan Zoey, aku tak lagi respek padanya. Pasti Haira sudah melihat foto Mahardika yang sedang memelukku karena Mahardika berhasil menarik sorotan. Sejak Haira muncul di kelas hingga dia duduk di bangkunya, dia tak mengatakan apa pun selain menyapaku dan Alanna. Setelah itu, dia langsung mengambil alat-alat make up-nya.
Aku bertopang dagu sambil menoleh ke samping, menatap Haira yang sedang mengoleskan lip stick di bibirnya. Dia terlihat tak puas dengan hasil akhir, tetapi di mataku Haira menggunakan make up sebagai caranya menyembunyikan ekspresi untuk masalah lain. Ketika dia terlihat kesal, orang-orang akan berpikir bahwa dia tak puas dengan make up-nya.
Ah, aku terlalu jauh berspekulasi negatif dan malah menduga secara subjektif. Perasaan Zoey di ingatan itu jadi terbawa padaku, membuatku tak bisa lagi melihat Haira secara biasa.
"Aduuuh, gue salah bawa warna lipstick." Haira menoleh kepadaku. "Ini terlalu merah nggak, sih?"
Aku tersenyum kecil. "Bagus, kok. Lo cocok. Gue juga pengiiin pakai yang cerah-cerah gitu, tapi Mahardika nggak suka. Penginnya bibir gue natural. Jadi, gue pakai lip balm aja yang ada SPF-nya."
Haira menatap cermin dan kembali mengoleskan lipstick merah itu di bibirnya yang sengaja dia manyunkan. Sengaja atau tidak, lipstick itu mengarah ke sudut bibirnya hingga terlihat berantakan.
"Aaa, nyebelin banget." Haira mengambil tisu basah dan menghapus total lipstick di bibirnya. Dia memasukan semua alat make up dasarnya ke dalam tas kecil, lalu bersandar di kursi sambil bersedekap. "Dari tadi di rumah, make up gue selalu gagal."
Kenapa bicaranya centil begitu, sih? Aku jadi geregetan. Sekarang, dia ingin terlihat alami seperti keinginan Mahardika, ya?
"Wah, bibir lo pink banget, Ra!" pujiku sambil bertepuk tangan. Dia menoleh malu. "Kenapa selama ini lo tutupin, sih?"
Haira mengambil cermin. "Selalu pecah-pecah gitu bibir gue. Makanya gue tutupi." Apanya yang pecah-pecah! Bibirnya terlihat sehat dan tak ada garis-garis karena sering menglupas sel kulit mati secara paksa.
"Gue pakai lip balm aja kali, ya?" Haira menoleh sambil mengerucutkan bibir. "Biar kelihatan sehat kayak bibir lo. Lip stick kadang bikin bibir kering."
"Kalau tahu bikin bibir lo kering, kenapa tetap pakai?" seru Alanna, terlihat heran.
"Aaa gue enggak bawa lip balm. Boleh minta punya lo?" tanya Haira padaku.
"No," kataku, tegas. "Bibir itu area sensitif tahu. Enggak boleh pakai lip balm bekas orang lain."
"Tapi kalau ciuman bibir sama Mahardika boleh-boleh aja, ya?" goda Alanna, membuatku melotot. Bicaranya terlalu blak-blakan. Pasti siswa-siswi di kelas ini sedang mengatai Zoey dalam hati.
Akan tetapi, berkat perkataan Alanna, Haira jadi terlihat berusaha tenang untuk menyembunyikan perasaan aslinya.
Kusangga sikuku di atas meja. Tanganku mengepal dan tanpa sadar kugigit buku ibu jariku. Aku mendapatkan rencana baru.
Bukankah Haira adalah alat yang paling tepat untuk membuatku memiliki alasan menjauhi Mahardika agar bisa putus dari cowok itu suatu saat nanti?
***
Sebenarnya aku lelah harus berpacaran dan bersikap romantis. Entah kenapa, membuatku geli dan muak. Namun, aku harus melewati semua itu dan menjadi penurut setidaknya sampai Mahardika terlihat benar-benar tak bisa jauh dari Zoey lagi.
Di istirahat pertama, aku dan Mahardika makan bersama. Alanna sampai tak menyangka aku berada di posisi yang paling Zoey inginkan sejak lama karena entah sudah berapa lama Mahardika menghabiskan waktu istirahatnya dengan cewek-cewek simpanannya itu dan mengabaikan Zoey.
Di istirahat kedua, aku menurut saat Mahardika menyuruhku untuk datang ke ruang rahasia mereka. Toh, jika Mahardika macam-macam aku akan meminta putus saat itu juga. Mahardika tidak meminta melakukan hal-hal aneh, tetapi dia hanya ingin menaruh kepalanya di pahaku, menjadikannya sebagai bantal untuk tidur.
Aku jadi teringat Noah. Bagaimana keadaan cowok itu sekarang? Aku tak bisa membayangkan dadanya harus dijahit begitupun bagian dalam rongga dadanya.
Alanna benar-benar psikopat, tetapi sikapnya pada Zoey tak terlihat bahwa psikopat.
"Gue kan udah bilang nggak mau kalau soal sentuhan fisik." Aku menghela napas sambil mendongak. Sudah beberapa menit berlalu sejak Mahardika tidur. Aku sempat bersikeras di awal agar Mahardik tak perlu meminta yang aneh-aneh, tetapi dia lebih mengotot untuk melakukan hal yang katanya dia rindukan.
"Kenapa enggak bisa kena sentuhan fisik, sih?" tanya Mahardika. Aku menunduk. Mahardika sudah bangun. Kedua kelopak matanya terbuka dan sedikit menyipit. Aku pikir dia hanya tidur-tiduran saja, ternyata benar-benar tertidur. "Padahal sebelumnya lo yang paling suka sentuhan fisik dibanding gue."
Sentuhan fisik yang Mahardika maksud pasti ke arah negatif dan kotor. "Risi aja. Mungkin sejak gue hilang ingatan."
"Risi apa jijik?"
"Kok jijik, sih?"
"Soalnya kalau jijik memang itu sifat lo yang dulu. Lo jijik kalau habis sentuhan sama manusia-manusia yang lo anggap rakyat jelata."
Aku tersenyum masam. Bagaimana ya jika Zoey tak sengaja menyentuh diriku yang asli? "Memangnya gue Tuan Putri?"
"Iya, Tuan Putri dari Abigail."
Aku tersenyum. "Gue ketawa, nih?"
"Gue enggak ngelucu, kok." Mahardika bangun. Dia menggeser duduknya hingga mepet di sampingku, lalu menyandarkan pipinya di kepalaku. "Lo memang Tuan Putri."
Aku tak tahu melakukan apa selain tertawa kecil. Lagipula, aku orang yang serius. Nyaris tak pernah bercanda seumur hidupku. Basa-basi bukan lah hal yang aku sukai. To the point adalah hal yang selalu aku terapkan dan aku inginkan dari orang lain setiap berinteraksi denganku.
Berpacaran di dalam ruangan dan hanya haha hihi atau mengatakan sesuatu omong kosong sungguh melelahkan.
Mahardika kembali bicara. "Nanti malam gue jemput, ya?"
"Mau ke mana?"
"Dinner."
Aku mengangguk dan segera berdiri. Kuulurkan tangan pada Mahardika. "Bentar lagi bel. Mending balik sekarang." Mahardika meraih tanganku dan kami melangkah keluar dari ruangan ini. "Tapi gue harus pakai baju apa, ya? Kayaknya harus beli baju baru."
"Gue udah kirim baju ke rumah lo."
"Hah?" Kutatap Mahardika saat menoleh. "Udah? Kok bisa?"
"Di butik langganan kita—ah, lo mungkin enggak ingat. Kita selalu pesan di sana. Gue kali ini milih gaun buat lo, nggak apa-apa, ya?"
"Biasanya gue yang pilih sendiri?"
"Bukan. Lo yang maksa gue milih gaun buat lo. Saat gue pilih dan lo nggak sreg, lo nggak akan terima pilihan gue dan lo milih gaun yang menurut lo paling bagus." Mahardika menggeleng. "Pilihan lo selalu yang terbuka. Ada yang bagian bahunya cuma tali doang. Ada yang dada lo sampai kelihatan.... Ada juga yang punggung lo kebuka banget. Ada juga yang ketat dan bagian paha lo terekspos banyak banget. Gue nggak setuju dan lo akan marah. Gue tahu lo bebas dengan pilihan lo sendiri, lo bebas dengan tubuh lo, tapi sebagai cowok lo, gue juga enggak pengin lo dipandang kurang ajar sama cowok-cowok lain. Gue tahu isi pikiran cowok kayak gimana. Bahkan salah satu teman gue pernah terang-terangan muji body lo dengan pandangan mesum, gue hampir mukul dia."
Kutatap Mahardika yang sepertinya masih sedang mengingat kembali masa-masa itu. Dia tetaplah seorang cowok yang ingin memberikan hal terbaik untuk tunangannya. Sekarang, dia bisa bebas mengutarakan unek-unek yang mungkin hanya bisa dia pendam.
Aku menyelipkan jemariku ke ruas-ruas jarinya. "Gue enggak akan kayak gitu lagi, Dika." Aku tersenyum menatap Mahardika yang menoleh terkejut. "Kenapa?"
Dia tertawa pelan, lalu menaikkan tangannya ke rambutku. Mengacak-acaknya. "Tolong kayak gini aja untuk selamanya."
"Maksud lo hilang ingatan?"
Dia berhenti dan menggenggam kedua tanganku. "Mau lo hilang ingatan selamanya atau suatu saat semua ingatan lo kembali, tolong untuk tetap seperti ini. Jadi Zoey yang bijak, yang pengertian, yang enggak selalu motong pembicaraan gue, yang nggak mau menang sendiri."
Aku mengangguk dan baru sadar bahwa kami berdiri di tengah-tengah koridor ramai seolah dunia terasa milik berdua.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro