Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

by sirhayani

part of zhkansas

10

Selama aku mengamati ketiga cowok itu, Luca lah yang sifatnya masih bisa kutoleransi. Namun, bagaimanapun Luca adalah teman dari Noah dan Mahardika. Dan bagaimana bisa Luca membawa Zoey ke rumahnya? Dari ingatan yang aku lihat dan pandangan Zoey terhadap Luca, mereka tidak dekat sama sekali.

Di situasi ini, aku tidak menolak diajak ke rumah cowok itu. Meski tak mengiyakan, tetapi aku tidak protes sama sekali. Luca juga sepertinya tak punya pilihan lain karena jika tetap di sekolah, maka Mahardika mungkin akan menjadi pengganggu disaat Luca sedang berbaik hati mengobati lukaku.

Ketika motor Luca berhenti di sebuah halaman rumah, aku akhirnya tahu alasan lainnya Luca memilih cara ini, yaitu karena rumah Luca dekat dengan sekolah.

Luca berjalan duluan menuju teras rumahnya, meninggalkanku sendirian yang masih ada di atas jok motornya. Aku bisa turun, tetapi aku ingin dia lebih peka lagi seperti kembali, lalu menurunkanku dengan gentle dari motornya. Itu menggelikan, sih, tapi apa salahnya mencoba?

"Luca!" seruku. Dia yang baru akan membuka pintu rumahnya segera menoleh. "Lutut gue kedutan parah." Dia berjalan mendekatiku. "Kaki kiri gue jadiin pijakan di tanah, salah." Cowok itu tanpa aba-aba menyelipkan lengannya di belakang lututku, menggendongku, lalu menurunkanku dengan hat-hati sementara aku terus mengatakan alasan yang perlu kuselesaikan. " Gue injek pijakan motor kayaknya juga salah. Serba salah," kataku saat sudah berdiri tegak sementara Luca sudah kembali ke teras. Aku bahkan belum menjelaskan apa mauku, tetapi dia langsung mengerti keinginanku.

Dia menurunkanku dari motor tanpa banyak protes. Dia adalah cowok yang peka.

Meskipun aku tetap tak terbiasa dengan sentuhan fisik, dan hingga detik ini masih merasa aneh dan tak nyaman, tetapi akan aku lakukan demi membuat Luca jatuh cinta pada Zoey sehingga jiwaku bisa kembali ke masa depan.

"Lo bisa jalan sendiri, kan?" Luca menoleh setelah membuka pintu. Dia hanya berdiri di dekat pintu, menatapku yang berjalan tertatih. "Mau gue gendong?"

"Nggak usah!" seruku cepat. "Gue bisa jalan, kok. Tadi pas turun motor aja kurang sanggup. Faktor posisi kali, ya."

"Masuk aja." Dia membuka pintu lebar-lebar.

"Ada orang tua lo, kan, di dalam? Atau saudara?"

"Enggak ada."

Aku terdiam di anak tangga depan teras. Maksudnya, hanya ada aku dan dia di dalam sana? Luca tetaplah cowok!

"Ada beberapa ART. Enggak usah mikir aneh-aneh." Dia membelakangiku dan mulai melangkah. "Masuk. Duduk di sofa. Gue ambilin obat."

Beberapa...? Aku lupa bahwa orang kaya punya pekerja rumah tangga. Untuk membersihkan rumah sebesar ini memang perlu banyak pekerja. Aku segera masuk setelah mengagumi rumah besar keluarga Luca dan duduk di sofa ruang tamu seperti seruan cowok itu. Tak lama kemudian, dia datang membawa kotak P3K.

Di rumahku tak ada kotak P3K. Hanya ada kotak bening bekas yang Mama jadikan sebagai tempat obat. Itu pun obat-obatan yang dijual bebas di warung. Tak ada obat luka. Tak ada kapas, kain kasa, apalagi perban.

Luca berlutut di hadapanku sementara aku duduk di sofa. Dia membuka ikatan sapu tangannya dan menjauhkannya dari kami. Aku tak mengatakan apa-apa, memilih diam karena ingin memperhatikan apa yang akan Luca lakuan. Dia membersihkan darah yang mengalir di sepanjang betis dengan kapas luka hingga terlihat bersih. Noda di kaos kaki juga dia bersihkan dengan tissue, meski tak bisa menghilangkan noda merah di kaos kaki putih itu karena sudah meresap.

Ketika Luca menyentuhkan kapas yang sudah dia basahi dengan cairan steril ke lukaku, aku hampir terlonjak karena rasa sakit. Dia berhenti sesaat, mendongak dan menatapku yang sedang meringis, lalu dia kembali membersihkan darah-darah mengering di luka tersebut dengan hati-hati.

Tak sia-sia aku menyakiti tubuh ini. Meski ini adalah tubuh Zoey, tetapi aku yang merasakan sakitnya. Hal yang dirugikan pada Zoey adalah bagian lututnya tak mulus lagi dan akan membekas sepanjang sisa hidupnya. Namun, bukankah Zoey tak akan kembali ke tubuhnya? Jiwanya telah ditahan oleh iblis itu seperti apa yang telah iblis itu katakan.

"Aura lo beda sejak kemarin." Luca menghancurkan keheningan yang ada.

"Beda gimana? Gue tetap Zoey, kok."

Dia berhenti membersihkan lukaku, lalu mendongak untuk menatapku. "Lo memang Zoey. Siapa bilang bukan?"

Aku meringis. Tak ada yang akan tahu bahwa di tubuh Zoey bukanlah Zoey, kecuali, mungkin, jika aku bertemu seorang indigo.

"Cara lo ngelawan Mahardika dengan tegas...," dia menjeda kalimatnya, "itu hal yang bagus. Setidaknya ada peningkatan."

Aku tersenyum sedih. Saatnya beraksi! "Lo ... peduli juga, ya, sama gue?"

Dia mendengkus dan kembali membersihkan sisa-sisa lukaku. "Gue bukannya peduli. Gue cuma enggak suka aja ngelihat hal yang memuakkan di depan mata, tapi enggak bisa ngelakuin apa-apa. Kita bahkan enggak akrab. Lo cuma sebatas tunangan temen gue."

"Itu namanya peduli!" seruku. "Apa yang lo lakuin itu bentuk kepedulian lo ke gue. Enggak usah denial soal itu hanya karena gue ini tunangan temen lo. Gue tahu mungkin lo ngerasa aneh karena peduli ke gue padahal bukan siapa-siapa lo, kan? Enggak usah ngerasa aneh. Lo udah bener kok. Peduli ke gue karena lo manusia, punya empati."

Luca mengambil kasa untuk membalut luka di lututku.

Aku harus segera mengambil kesempatan untuk seolah-olah mencurahkan isi hatiku. Mataku berkaca-kaca ketika mengingat hidupku selama ini. Zoey dengan cobaan hidupnya yang berkaitan dengan percintaan sementara cobaan hidupku adalah bertahan hidup.

"Katanya, mencintai itu memang menyakitkan," gumamku dengan suara serak. "Lo ... pernah jatuh cinta?"

"Belum." Luca langsung menjawab tanpa berpikir panjang. Dia memutar perban di lututku Setelah itu, berdiri dan merapikan kotak P3K. "Pertanyaan lo ada hubungannya dengan Mahardika, kan?" Dia menaikkan alis. "Kenapa lo masih tahan sama dia?"

Aku hanya diam.

Dia menghela napas panjang saat menjatuhkan dirinya di sofa yang berhadapan denganku. "Lo bisa mutusin dia dari dulu. Bahkan lo bisa mutusin dia tadi dan akhiri hubungan kalian selamanya, tapi lo malah milih buat bertahan."

"Sulit buat akhirin semuanya. Gue belum siap." Aku menggigit bibir. "Tapi, mungkin ada cara supaya perasaan gue bisa hilang pelan-pelan. Kalau gue minta tolong ke elo, lo mau?"

"Apa dulu?"

"Bantu gue buat lupain Mahardika."

"Caranya?"

"Mulai saat ini, ayo sering bareng-bareng." Aku tersenyum kecil. Ekspresi Luca tak berubah. Dia tidak terlihat terkejut sama sekali. "Setidaknya, kalau ada cowok lain di sisi gue, gue bisa lupain Mahardika pelan-pelan. Lo enggak mungkin suka gue. Gue juga enggak mungkin suka lo. Kita cuma perlu jadi teman. Mahardika enggak mungkin merasa lo khianati dia, kan? Malah dia seneng kalau gue enggak muncul di hadapannya lagi. Gue pikir lo tahu banget soal itu."

Luca terdiam cukup lama. Dia pasti memikirkan hal ini matang-matang. Permintaanku bukanlah permintaan kecil. Luca tetaplah teman Mahardika.

"Gue enggak bisa."

Ternyata dia menjawab jauh lebih cepat dari dugaanku. "Kenapa...?" Aku menunduk sedih. "Kita cuma perlu jadi teman, kan?"

"Gue bisa sih, tapi bersyarat," katanya lagi, membuatku mendongak sambil menahan senyum. Luca menatapku lurus-lurus. Aku sudah tidak bisa menyembunyikan rasa senangku karena tawaranku diterima olehnya. "Akhiri pertunangan lo dengan Mahardika. Jangan pernah ketemu dia lagi. Itu hal paing dasar supaya cinta lo ke Mahardika hilang pelan-pelan karena sepenglihatan gue, enggak ada yang bisa diperbaiki dalam hubungan kalian." 

Hah?!

Memutuskan Mahardika adalah sebuah rencana terlarang untuk saat ini!

Aku masih butuh hubungan pertuangan itu untuk keperluan pendekatan dengan Mahardika. Jika Zoey dan Mahardika putus, maka rencanaku akan berjalan berali-kali lipat lebih sulit. Aku pernah membaca sebuah artikel bahwa orang yang pernah putus karena permasalahan fatal akan sulit kembali bersatu. Jika putus, Mahardika akan senang dan kami tak akan bisa bertemu lagi.

Ibaratnya, pertunangan itu adalah sebuah tanda budak di mana Zoey memakaikan kalung budak di leher Mahardika. Jika lepas, maka Mahardika akan pergi sejauh-jauhnya dari Zoey karena sudah mendapatkan kebebasannya.

"Gue enggak bisa."

Luca berdiri. Dia mengambil kotak P3K dan menjauh. "Tawaran lo gue tolak."

Haruskah aku berlutut dan menjadi semakin manipulatif?

"Luca!" teriakku sambil berdiri dengan suara serak. "Gue mohon, please. Lo tahu kan kalau gue masih sulit buat lupain dia? Jadi temen gue aja! Cuma itu, kok...."

"Gue anti deket sama cewek orang." Dia menoleh, masih sambil berjalan. "Sekalipun nanti status di antara kita cuma teman. Tetep aja lo cewek orang."

"Tapi!" Aku berteriak sambil mengejar Luca yang sedang menuju ruang tengah. Kutolehkan kepala pada dua perempuan yang sedang lari terbiri-birit.

"Bi. Mbak. Dia teman saya. Nanti jangan ngarang cerita ke Ibu," kata Luca pada mereka berdua. Sepertinya mereka adalah para pekerja rumah tangga yang senang dengan cerita percintaan Luca. Terlihat mereka tersenyum simpul padaku. Apakah ini pertama kalinya Luca membawa cewek ke rumahnya?

Luca baru saja menyimpan kotak P3K dan kembali berjalan entah ingin ke mana. Aku langsung menghalangi jalannya dengan langkahku yang sedikit terseok. Kurentangkan kedua tanganku. Ketika dia ke kiri, aku ke kanan. Seperti itu selama beberapa kali sampai dia berhenti dan menghela napas panjang.

"Kita jadi teman, ya?" pintaku. "Tapi kasih gue waktu buat putus dari dia. Gue janji akan putus dari dia, tapi enggak sekarang."

Benar. Aku akan putus dari Mahardika setelah berhasil membuat perasaan Mahardika terombang-ambing. Aku ingin membuatnya bertekuk lutut dan mengemis cinta Zoey lebih dulu, baru melepaskan ikatan di leher cowok itu. Aku cukup percaya diri karena berada di tubuh seorang Zoey Putri Abigail yang kata orang-orang memiliki kecantikan bagai dewi Yanani. Segala taktik akan muncul perlahan-lahan sesuai situasi dan kondisi. Setelah mengalami beberapa kejadian, ternyata permintaan Zoey tak sesulit yang kuduga. Aku hanya tak sabar untuk kembali sehingga menganggap misi ini sangat sulit di awal.

Luca berhasil melewatiku tanpa mengatakan apa-apa. Dia lolos dari jangkauanku. "Tunggu!" Aku berlari mengejarnya yang sedang melangkah lebar. Dia menaiki tangga menuju lantai dua. Aku mengikutinya sambil sesekali meringis. "Apa perimintaan gue masih sulit bagi lo? Gimana kalau—"

Dia berhenti dan berbalik, membuatku menghentikan langkah tepat di hadapannya. "Lo mau ngikutin gue sampai kapan? Sampai gue ganti baju di kamar gue sendiri?"

Aku melirik pintu kamar di belakangnya. "Oh." Kembali kupandangi Luca. "Sori...."

"Jangan lari-lari." Dia menunjuk lututku dengan dagunya. "Luka lo kegesek kasa."

"Nggak apa-apa, kok. Kan ada lo yang bakakan sembuhin." Aku mencoba untuk bercanda, tetapi hanya menatapku dengan datar. "So, will you be my boy friend?"

"Kalau ada orang lain yang denger bisa salah paham."

"Eh, lo tahu kata-kata gue merujuk ke teman laki-laki bukan pacar?"

"Tujuan lo memang pengin gue jadi teman laki-laki lo, kan?"

"So?"

"What?"

"Be my boy friend, please!"

Dia berjalan melewatiku dan melihat ke bawah. Aku mengikutinya karena ada suara yang aku kenali. Seseorang memanggil-manggil nama Luca berkali-kali. Mahardika muncul di ruang tengah. Dia mendongak ke arah kami. Matanya sempat terkejut, tetapi kemudian yang terlihat di wajahnya adalah kemarahan.

"Gue enggak pengin berantem di rumah lo. Jadi, jangan tahan Zoey buat pergi bareng gue." 

Apa percintaan remaja memang seperti adegan dalam novel begini? Atau kehidupanku saja yang tidak pernah bersinggungan dengan dunia percintaan? Aku memang pernah melihat dua cowok berkelahi karena si cewek selingkuh. Waktu itu, aku yang malu padahal aku sebatas penonton yang tak sengaja melihat drama percintaan mereka.

Apa yang terjadi sekarang ini mengapa justru jadi terlihat lucu? Seolah-olah yang terlihat sekarang adalah Zoey sedang diperebutkan oleh Luca dan Mahardika, tapi itu bagus! Ini kemajuan yang tak terduga.

"Apa yang harus gue lakuin sekarang?" bisikku di belakang Luca. "Gue ... kayaknya enggak berani juga ikut sama dia. Dia kayak marah gitu."

"Masuk ke kamar."

Aku mengerjap.

"Biar gue yang turun ngadepin cowok lo."

Setelah itu, Luca lalu turun ketika Mahardika akan naik ke tangga. Aku menyempatkan diri untuk melihat adegan terakhir sebelum lari ke kamar Luca untuk besembunyi. Tak lupa mengunci pintu agar Mahardika tak bisa menerobos masuk.

Sayang sekali. Aku tak bisa melihat apa yang terjadi di luar sana. Suara Luca dan Mahardika juga hanya terdengar samar-samar. Adegan terakhir yang kulihat adalah Luca menarik paksa Mahardika untuk segera turun saat Mahardika sudah berada di tengah perjalanan tangga.

Aku terduduk di lantai dan bersandar di pintu yang terkunci rapat.

Baru beberapa hari, ya? Entah sampai kapan aku berada di masa ini.

Aku ingin segera pulang.

***

Aku mengganti posisi tidurku dengan nyaman sembari memeluk bantal yang seharusnya untuk kepala. Tidur dengan kepala yang langsung menyentuh tempat tidur adalah posisi paling nyaman.

Suara pintu dibuka. Aku mengerjap. Kurenggangkan kedua lenganku ke samping sembari melihat ke arah seseorang yang sedang bersedekap sambil bersandar di dinding dekat pintu.

Aku langsung terduduk dengan terkejut setelah mengetahui Luca yang ada di sana. Sejak kapan aku tidur? Oh! Aku sempat membuka kunci pintu, lalu berbaring atas tempat tidur Luca karena lelah duduk.

"Mahardika di ruang tamu nungguin lo," katanya. Aku pikir mereka akan sampai baku hantam. Sepertinya tidak? "Lo harus ngobrol sama dia. Selesaiin urusan kalian. Gue cuma bisa nyaranin buat putusin dia saat ini juga. Selebihnya ada di tangan lo."

Aku tidak mungkin memutuskan Mahardika karena aku belum memiliki hati cowok itu sedikit pun.

"Gue tetap enggak akan jadi teman lo selama lo dan Mahardika masih pacaran."

Bagaimana ini? Luca tetap pada pendirian awal. Dia pasti juga penuh pertimbangan sehingga dengan tegas mengatakan demikian.

"Kalau dia bersikap kasar, jangan ragu buat beri tahu gue."

Aku tersenyum simpul. "Lo jauh lebih perhatian dari cowok gue sendiri."

Dia hanya memandangku dengan tatapan datar. Aku segera berdiri dan meraih tasku. Kuhentikan langkah tepat di hadapannya, lalu kuulurkan tanganku padanya.

"Thanks. Gue juga enggak bisa maksain apa yang gue pengin. Entah apa yang udah lo bicarain bareng Mahardika, tapi sepertinya lo udah berusaha keras. Gue hargai itu." Dia meraih tanganku dan membalasnya singkat. "Kalau ada sesuatu, gue akan hubungi lo. Ke mana gue harus hubungi lo? Gue enggak punya kontak lo."

"Mana handphone lo?"

Aku segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan memberikannya. Luca menerimanya dan mengetikkan nomor ponselnya di sana. Aku tak menyangka akan mendapatkan kontak Luca dengan cara ini. Dia mengembalikan ponsel itu, lalu aku mulai melangkah keluar dari kamarnya.

"Bisa, kan?" tanyanya saat aku hampir menginjak anak tangga teratas. Aku menoleh tak mengerti, tetapi kemudian langsung mengerti saat dia menatap lututku yang luka.

"Bisa!" Kulambaikan tangan pada Luca sembari turun perlahan-lahan. Setelahnya, aku hanya fokus tiba di ruang tamu hingga akhirnya bertemu dengan Mahardika. Cowok itu langsung berdiri dari duduknya dan meraih tanganku ketika aku berdiri di hadapannya.

Sikapnya jadi terlihat lebih lembut ketika menatap lukaku. Aku berusaha memasang ekspresi badmood.

"Ayo pulang," katanya sembari menarik tanganku, membawaku keluar dari rumah Luca dengan berjalan hati-hati. "Jangan bersikap kekanakan lagi."

Aku menatap bagian belakang kepalanya dengan kesal. "Siapa yang sikapnya kekanakan?" Aku tertawa sarkas. "Sekarang, siapa yang enggak kuat dikacangin? Berarti lo kalah, kan? Padahal cuma sebentar gue cuekin lo. Gimana dengan sikap lo selama ini ke gue?"

Mahardika berhenti di halaman rumah, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Aku terkejut! Sungguh! Dan lebih terkejut lagi saat cowok sialan ini mencium pipi dan sudut bibirku.

Aku merasa geli. Ini benar-benar menggelikan. Kenapa anak SMA begini, sih?! Oke, aku sadar sekali bahwa sekarang aku berada di tubuh Zoey yang notabene adalah tunangan Mahardika, tapi ... ah, sudahlah.

Dia menjauh, lau mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Kenapa muka lo tegang begitu? Apa lo khawatir keromantisan kita dilihat cowok incaran lo?"

Hah? Dia bicara apa, sih?

Mahardika membuka pintu penumpang depan, lalu menuntunku masuk. Dari sini, aku baru menyadari keberadaan Luca yang ternyata sedang berdiri di samping kusen pintu sambil bersandar di sana.

Apa Mahardika sedang memperlihatkan kepada Luca bahwa Zoey itu miliknya?

Sungguh. Aku tak mengerti apa yang Mahardika inginkan dari Zoey. Sebenarnya dia ingin lepas dari Zoey atau tidak?

***




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro