Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

꒰33꒱ :: Mengungkapkan semua rasa.

“Heii, Satoruu.” [Name] menarik pipi Gojo agak pelan, kemudian menusuk-nusuknya. “Bangun, yuk.”

Mata Gojo terbuka. Menunjukkan keindahan netra biru langitnya. Pria itu mengeratkan pelukan, menarik sang gadis makin dekat hingga tubuh mereka menempel.

“Sudah jam berapa sekarang?” tanya Gojo dengan suara berat.

“Sebelas siang.” [Name] tersenyum lebar. “Bangun, yuk. Nggak lama lagi waktu makan siang, lho.”

“... [Name] mau memasak?”

“Satoru mau coba?”

Gojo menarik kedua tangan dari tubuh [Name]. Kemudian tengkurap, memeluk bantal dan menenggelamkan wajah di sana. “Jangan lama-lama, ya.” Suara pria ini teredam, tapi tetap terdengar jelas.

“Satoru mau makan apa?” [Name] bangun, turun dari ranjang.

“[Name] yang mutusin.”

“Oke!”

Gojo mendengar suara derap langkah menjauh. Disusul bunyi kompor yang dinyalakan, air mengalir hingga tak lama menangkap suara panci yang tak sengaja menghantam meja.

Dia ini mau masak apa, sih? batin Gojo sembari bangkit. Turun dari ranjang, melangkah mendekati sang gadis yang sibuk memasak.

“[Name] mau masak apa?” tanyanya sembari mengusap tengkuk.

Gadis itu berbalik. Spontan tersenyum melihat Gojo. “Satoru nggak tidur?”

“Mau gimana lagi? Pendengaranku itu tajam, tau.” Pria itu menarik kursi ke dekat sang gadis dan duduk di sana.

“Ohw, maaf. Aku terbiasa berisik kalau di dapur biar paman Haruto terganggu saat kerja.” [Name] mengangkat bahu cuek.

Gojo menopang dagu. “Kau suka banget, ya, gangguin orang itu.”

“Kalau aku nggak begitu, dia tak akan berhenti menulis.” [Name] mengangkat sayur yang telah dicuci ke papan alas pemotong. Kemudian mengirisnya kecil-kecil.

Gojo diam. Hanya menatap [Name] yang sibuk dengan kegiatannya. Walau agak berisik, tak dapat dipungkiri suasana ini cukup menenangkan. Yah ... mungkin seperti kehidupan orang normal di mana momen ini adalah hal yang wajar. Sangat sederhana ... dan begitu nyaman.

Ia menatap [Name] dengan intens. Menilik pelaku suasana nyaman itu timbul di tempat yang cukup suram ini. Dia tak ada niatan untuk menyalahkan, mungkin saja malah menginginkan lebih.

Namun ... gadis itu harus pergi esok, 'kan?

“[Name] harus banget berangkat besok?” tanya Gojo spontan.

[Name] mengangguk. “Iya. Kalau tidak, kakekku bisa mengamuk.”

“Kenapa, sih?”

Tangan gadis itu berhenti memotong sayur.

“Kau benar-benar harus menghindari saudaramu? Kenapa nggak menghadapinya aja?” tanya Gojo sembari mengernyit.

Ia jengkel karena [Name] harus pergi karena satu orang yang katanya menyusahkan.

[Name] menghela napas, langsung tersenyum lembut. Raut wajah pun makin melunak. Ia berkata, “Aku belum bisa mengendalikan diriku saat berhadapan dengan kak Joon. Yah ... aku terpaku pada 'dia saudaraku, jadi kenapa suka padaku?' aku terus merasa aneh karena pemikiran itu hingga kadang lalai saat di dekatnya.”

“Itu alasan [Name]?”

“Salah satunya.”

“Hee.”

“Satoru sendiri?” [Name] memiringkan kepala. Seketika teringat soal si pengirim bunga. “Apa benar kamu yang mengirimkan bunga padaku sejak dulu?”

“Aku ingin mengajakmu keluar setelah makan.” Gojo mengabaikan ucapan sang gadis.

“Hei, dengerin—”

“Aku nggak mau menjawab kalau bukan di luar.”

“... Baiklah.”

꒰꒰꒱꒱

[Name] duduk di bangku panjang yang menghadap lautan di pinggir tanggul. Menikmati keindahan matahari sore sembari menunggu kedatangan Gojo.

“Untuk sekarang ... aku baik-baik saja. Nggak tahu besok nanti.” Ia menghela napas. Takut membayangkan di mana diri akan meninggalkan sang kekasih hati sendiri.

Kenapa nggak menghadapinya aja?

“... Mungkin aku harus mulai memikirkan soal itu daripada terus lari.” Ia menyungging senyum sendu.

“Oh? Sudah datang, toh?”

[Name] menoleh ke belakang. Menyungging senyum juga melambai pada Gojo yang sedang melangkah ke arahnya.

“Sudah lama menunggu?” tanya pria itu. Duduk di samping gadisnya.

[Name] menggeleng. “Aku juga baru datang, kok.”

“Hee.” Gojo bersandar malas.

“Omong-omong, kenapa tiba-tiba ajak jalan-jalan?”

“[Name] mau pergi besok, sih.” Gojo cemberut. “Agak menyusahkan memang, tapi aku nggak mau menyesal nantinya.”

Gadis itu merespon dengan kekehan. “Aku usahakan kembali seminggu kemudian, kok.”

“Tiga hari kemudian nggak bisa, yaaa?” Kepala pria itu bersandar pada pundak sang gadis.

“Itu terlalu sebentar. Kalaupun kakekku nggak mengizinkan, aku akan tetap kembali padamu.”

Gojo bungkam. Ingin mengatakan atau melakukan sesuatu yang bisa membuat gadisnya ini tetap tinggal. Namun, keegoisannya kalah. Ia tak bisa melakukan itu pada [Name].

“Satoru belum jelasin soal bunga itu, lho? Jadi? Kamu yang benar-benar mengirimnya dari dulu?”

“... Itu betul.” Gojo mengangkat kepala dari pundak [Name].

“Oke ....” Gadis itu menatap ke depan. Aku sudah nggak begitu terkejut setelah menerka-nerka. Ia mengulum bibir. Melirik Gojo, menemukan raut datar terukir di sana.

“Kenapa Satoru melakukan itu? Apa karena kamu sudah mencintaiku dari dulu? Sejak kapan?”

“... Itu salah satunya. Aku juga nggak menyangka akan merasakan ini, sih. Karena nggak yakin ... makanya aku tetap menyuruhmu berjuang saat [Name] merasa tak enak hati padaku.”

“Ah, waktu itu, ya.”

Saat mereka berbincang di hadapan matahari sore.

Gojo diam sebentar. Kemudian berkata, “Alasan lainnya ... karena aku marah padamu.”

“... Eh?!” [Name] refleks berbalik sepenuhnya ke arah Gojo. Memasang ekspresi terkejut yang begitu jelas.

“Kau meninggalkanku begitu saja saat itu. Tanpa bilang-bilang.”

[Name] bungkam. Ingatan memutar kejadian masa lalu ... sekitar tujuh belas tahun lalu. Di mana ia pergi, tanpa pamitan, meninggalkan satu-satunya teman ini.

“Maaf.” [Name] menunduk. “Aku nggak tahu ... kalau Satoru tersakiti karena itu.”

Ia berpikir ... Gojo telah melupakan momen singkat itu. Mengingat kejadian awal pertemuan mereka ... Gojo terlihat tak mengingat apa pun.

Ternyata, pria surai putih itu adalah orang yang paling kepikiran.

“Aku nggak pernah lupa, sih.” Gojo menyandar malas. Kemudian merogoh saku. “Kalau benar aku lupa, bunga itu tak akan kukirimkan padamu ... setelah kau memberikan payung ini padaku.” Ia mengulurkan benda berwarna merah pada [Name]. Payung yang terlipat kecil.

“Ini ....” [Name] menatap pegangan benda itu. Terdapat gambar kucing, dan namanya jika ditilik. “Satoru menyimpan ini?”

“Itu satu-satunya petunjuk yang aku punya sesudah kau kembali. Setelah itu ... aku mencari Haruto dan menemukannya menetap di sini dan memaksa orang itu untuk mengatakan di mana kau tinggal. Sesudah mendapatkan informasi ... aku langsung mengirim bunga-bunga itu.”

“Tapi ... buat apa? Maksudku, Satoru bisa langsung menemuiku, 'kan?”

“Aku masih marah padamu waktu itu, makanya nggak mau ketemu. Lagian ... kalau kukirimkan bunga mungkin itu bisa mengganggumu, tapi kau malah santai-santai aja.” Gojo cemberut.

[Name] mengulum bibir. “Jadi ... Satoru udah ingat dari dulu? Kenapa nggak bilang dari awal?”

“... Buat menjahilimulah. Kau pikir menerormu dengan bunga-bunga itu cukup?”

Pria ini jadi jengkel.

“Maaf.” [Name] rasanya menciut. “Aku ... benar-benar nggak menyangka ... Satoru kepikiran banget.”

Kini ia tahu, si surai putih ... jika sekali menyukai, maka akan sulit melepaskan. Mungkin karena selama ini ... pria itu jarang merasa benar-benar tertarik.

[Name] menatap lautan yang memantulkan cahaya matahari sore. “Waktu itu ... saat pulang dari sekolah aku langsung dibawa ke Bandara.”

Gojo bungkam.

“Ayahku khawatir dengan tindakan kakakku yang melibatkanku. Jadi, dia benar-benar ingin aku ke Korea bersama paman Haruto.” [Name] tersenyum sendu. “Saat tahu itu ... yang kupikirkan hanya ingin bertemu dan pamitan denganmu, tapi ayahku tidak mengizinkan karena waktu yang singkat ... padahal paman Haruto baru datang satu jam kemudian.”

“... Aku sempat bertemu Haruto sehari sebelum kau pindah.” Gojo bersedekap. “Dia mengatakan sesuatu yang berkaitan denganmu, kalau kau ingin pergi tiba-tiba.”

Kenapa pria mata hijau itu tak bicara langsung pada intinya saja?

“Eh? Benarkah?” [Name] mengerjap. “Kupikir dia terlambat karena terlalu santai.”

“Dia sengaja kali.”

[Name] merespon dengan kekehan. “Aku sudah tahu dan paham sekarang. Terima kasih sudah mau 'mengganggu', ya.”

Gojo menoleh, menatap sang gadis. “[Name] harus pergi besok, ya?”

Gadis itu mengangguk. “Aku sudah mengatakannya tadi, bukan? Tinggal sehari saja di sini sudah cukup membuatku merasa tak nyaman ... aku juga nggak tahu kakakku ada di mana sekarang.”

“Aku tinggal melindungimu saja, 'kan?”

“Terima kasih.” [Name] tersenyum lebar. “Aku akan meminta itu setelah kembali lagi ke sini.”

“... Seminggu?”

[Name] mengangguk. “Hanya seminggu aja. Aku akan membujuk kakek agar melepaskanku.”

“Lalu ayahmu?”

“Sudah lama aku nggak berhubungan dengannya ... tapi dia berada di sekitar kakakku untuk mengawasinya, kok.”

“... Baiklah.”

“Aku pasti akan merindukanmu!” kata [Name] ceria.

Bibir Gojo sedikit terbuka. Menilik wajah riang gadisnya. Meskipun [Name] tampak berniat untuk mengenyahkan suasana perpisahan dengan senyuman ... tak dapat disangkal, keganjalan dalam dada si pria masih terasa.

Gojo menarik sang gadis. Mendekapnya. Menyatukan bibir mereka.

[Name] agak terkejut, tapi buru-buru menyesuaikan dengan hati senang. Melingkarkan tangan kanan di leher pria itu, sementara telapak tangan kirinya mengelus wajah Gojo.

Pria itu mengecap. Merasai bibir sang gadis. Menggigit kecil, mengisap benda kenyal itu. Bahkan bermain lidah. Ia mendominasi permainan. Tangan kanannya bergerak mengelus punggung [Name], sementara tangan kiri mendorong dagu sang gadis untuk memperdalam ciuman.

... Dia menginginkan lebih rasanya.

Gojo melepas ciuman. Namun, melanjutkan di bagian leher dan bahu [Name]. Menyingkap sedikit pakaian di area leher gadis itu. Memberikan ciuman seringan kapas di kulit putih itu, kembali mengecap, meninggalkan bekas kemerahan. Beberapa kali mengulang hal yang sama hingga leher dan bahu [Name] terhias bintik merah.

Ia kembali mencium [Name]. Membawa gadis itu ke pangkuan. Memeluknya dengan erat. Merasakan manis bibirnya. Memuaskan diri dengan sentuhan ini.

[Name] mendorong tubuh Gojo saat ia merasa sesak dan agak pusing. Dengan rakus menghirup udara untuk mengisi paru-paru. Kemudian menatap Gojo yang tampak biasa saja.

“Aku cinta padamu,” ucap pria itu. “Aku cinta padamu, aku cinta padamu, aku cinta padamu, aku cinta padamu.”

[Name] tertawa. “Aku juga, kok.”

“Seminggu, doang?”

Gadis itu mengangguk. “Cuma seminggu.”

Mereka kembali berciuman. Kini lebih lembut. Lebih menyalurkan perasaan masing-masing. Larut dalam suasana nyaman ini, sebelum berpisah esok hari.

S2-nya udah lama siap, siih ... ehe.

Ann White Flo.
28 Agustus 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro