꒰11꒱ :: Sebuah pertolongan.
[Name] menggeser pintu agak kasar. Mata maroon miliknya membola ketika melihat seorang anak gadis meringkuk di tengah ruangan. Tubuhnya tampak bergetar sembari menjambak rambut.
Sang gadis bergeming sebentar. Menatap anak itu selama beberapa saat. Baju pasien yang agak lusuh dan begitu berantakan, rambut cokelatnya pun juga acak-acakan. [Name] lantas melangkah mendekat.
Mentalnya pasti hancur.
Ia berjongkok di dekat sang remaja. Memberikan sebuah elusan pelan di punggung untuk mendapat perhatian anak ini.
“Halo?” [Name] tersenyum ramah kala sang remaja mengangkat wajah dari antara lutut.
Mata anak itu membelalak, spontan menangkis tangan [Name] dan mundur ketakutan.
“Jangan ... mendekat,” katanya lirih dan serak.
[Name] mengerjap. Melihat reaksi takut berlebih anak ini ... memang wajar. Seseorang yang melihat sisi gelap dunia tanpa persiapan apa-apa dengan mental lemah sering kali berakhir seperti itu.
“Tak apa.” [Name] mengembangkan senyum. Menatap anak itu lembut. “Kutukan yang mengikuti kamu lagi diurus oleh orang lain.”
“Eh?”
[Name] kembali mendekat. “Mau kutunjukkan sebuah sihir?”
“Sihir?”
Sang gadis mengangguk. Lalu menunjukkan telapak tangan miliknya di depan anak itu. “Tatap ini. Kamu bakal lihat sesuatu yang menakjubkan!”
Anak itu menatap selama beberapa saat, lalu berkata, “Nggak ada apa-apa, tuh?”
“Eh?” [Name] menatap telapak tangan miliknya. “Kok nggak bisa?!”
Anak itu mengalunkan kekehan kecil. “Kakak aneh banget. Nggak bakal ada yang keluar dari telapak tangan kita selain keringat.”
[Name] tersenyum lebar. Akhirnya dia mulai rileks, batinnya.
“Lihat lagi, dong.” Tangan [Name] terulur di depan anak gadis itu. “Kakak serius kali ini, lho.”
Anak itu mengerjap, lalu menatap telapak tangan [Name] lagi. Tak lama, ia melihat sebuah percikan kecil berwarna biru di sana. Mata miliknya langsung berbinar karena itu.
“Aku lihat sesuatu!” katanya semangat.
Percikan itu perlahan berubah besar. Keluar dari tangan [Name] seperti seekor naga bertubuh panjang, mengelilingi tubuh mereka berdua seraya mengeluarkan cahaya emas.
“Cantik banget ...,” gumam si anak takjub.
“Kan?” [Name] juga melihat naga air itu. “Ini namanya sihir, lho.”
“Sihir? Bukannya itu cuma cerita yang ada di novel, ya?”
“Tidak. Buktinya aku bisa mengeluarkan air dari telapak tanganku, bukan?” Ia agak memiringkan kepala juga melebarkan senyum.
“Kau ... nyata?”
“Kutukan yang kamu lihat pun nyata. Aku bisa dibilang ... pembasmi mereka?”
Mata anak itu berbinar. “Apa ada cara untuk menghilangkan kutukan?”
“Ada. Itu alasanku datang ke sini.” [Name] merapikan surai anak itu. “Namun, kamu harus siap melepaskan.”
“Melepaskan?”
“Dia ... orang tua kamu, bukan?” tanya [Name] lembut. Masih memperbaiki tatanan rambut anak itu.
“Bagaimana—”
“Aku pembasmi mereka. Tentu aku tahu hal seperti itu.” [Name] mengelus puncak kepala sang remaja. “Menginginkan sesuatu tentu perlu pengorbanan. Kamu menginginkan kebebasan, maka harus melepaskan sesuatu. Yaitu orang tuamu.”
“Eh ....” Mata anak itu berkaca-kaca.
“Kita harus merelakan orang yang sudah meninggal. Namun, kamu boleh mengenang mereka ... selama kenangan itu tak merusak dirimu juga.”
Anak itu diam dengan pikiran kosong. Melepas orang tuanya? Dia sendirian. Tak punya teman. Dia hanya punya ibu dan ayah. Namun, mereka berdua meninggal dalam kecelakaan pesawat, sementara ia dititip pada ... neneknya.
“Kalau kayak begitu ... aku tak punya siapa-siapa.”
[Name] mengerjap. “Tidak sama sekali?”
Anak itu bungkam. Kedua tangan meremas pakaian yang dikenakan. “Ada ....”
“Siapa?”
“Nenekku.”
“Dan kamu memilih terpuruk seperti ini karena orang yang telah meninggal dibanding mempedulikan keluarga yang masih hidup?”
Anak itu terkesiap dengan mata berkaca-kaca.
“Nenekmu pasti sangat khawatir.”
Sang remaja makin meremas baju pasien miliknya.
“... Dan dia pun juga ... pasti sendiri.” [Name] menyungging senyum sendu. “Kamu tak ingin kesepian, tapi ... malah meninggalkan nenekmu sendirian. Bukankah itu tak adil?”
Anak itu menangis. Langsung memeluk perut [Name] dengan erat. Ia merasa sakit. Dada pun terasa sesak, rasanya sulit bernapas. Pikiran memutar momen dia bersama sang nenek. Membuat kue bersama juga merawat taman belakang rumah.
Gojo bungkam sambil bersandar pada dinding ruangan di mana sang gadis berada. Ia telah mengurus roh kutukan dua menit lalu dan sekarang ... sedang menguping pembicaraan [Name] dan si anak terkutuk.
Dia melangkah, hendak memasuki ruangan. Namun, kakinya berhenti di bingkai pintu saat melihat pemandangan si anak terkutuk sedang memeluk sang gadis.
Hee. Gojo bersandar sambil bersedekap. Memilih untuk melihat tanpa ikut campur.
[Name] mengelus punggung anak itu dengan pelan. Memberikan sedikit kenyamanan pada anak ini.
“Aku ... melepas mereka,” kata anak itu masih menangis. “Aku ingin pulang ke nenekku!”
Gojo menoleh ke lorong di mana ia habis mengurus roh kutukan—yang mengikuti anak remaja itu. Sebuah cahaya muncul dari sana ... begitu terang.
Tanda jika roh kutukan itu sudah lenyap. Anak itu ... benar-benar melepas mereka.
Gojo melihat [Name]. Ekspresi gadis itu tampak menunjukkan sebuah kelembutan yang nyata. Tulus dari hati. Membuat diri jadi tertegun.
Kita harus merelakan orang yang sudah meninggal. Namun, kamu boleh mengenang mereka ... selama kenangan itu tak merusak dirimu juga.
Kalimat itu terlintas dalam kepala. Membuat diri bertanya-tanya ... apa makna dari kata-kata itu?
Kenapa dia merasa kalimat itu juga ditujukan untuk dirinya sendiri?
꒰✐꒱
Setelah kejadian itu. Si anak remaja pun dipindahkan ke kamar layak huni. Sang nenek datang mengunjungi sesaat mendengar kabar baik itu. Memberikan pelukan dan tangis haru sebab sang cucu akhirnya bebas dari masa-masa suram.
“Waaah, capeknyaa~” [Name] meregangkan badan. Menyungging senyum lebar sambil menatap interaksi si anak remaja dan sang nenek di luar kamar inap.
“Misi ini sudah selesai, 'kan, Gojo?” [Name] menoleh ke kiri. Melihat sang surai putih.
Tak ada jawaban dari pria itu.
“Kalau begitu, ayo pergi mak—”
“Ada sesuatu yang harus kuurus terlebih dahulu. Kau pulang saja duluan.”
“He?” [Name] mengerjap.
Gojo beranjak. Melangkah menjauh dari sang gadis.
Meninggalkan [Name] dalam kebingungan.
꒰Note꒱
Gimana chapter ini? Tersentuh? Aku mewek pas nulis chapter ini😭
Di sisi lain. Aku nggak ada niatan buat perpanjang konflik anak terkutuk ini, tapi aku sudah usahakan buat eksekusi ceritanya dengan baik. Semoga berhasil😭🙏🏻
Aku mau mengucapkan kembali. Selamat hari raya idul Adha! Selamat hari raya kurban🙏🏻💞
Adios.
Ann White Flo.
Minggu, 10 Juli 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro