
꒰01꒱ :: Pertemuan pertama mereka.
꒰Chapter masa kecil꒱
Tokyo, Jepang. Tahun 2000.
“Aku malas belajar. Bolos saja, deh.”
Anak rambut putih berumur sebelas tahun melompat turun dari jendela hingga mendarat di atas tumpukan daun kering. Taman. Tepatnya di halaman belakang sekolah dasar.
Kedua tangan masuk dalam saku sweater putih. Selaras dengan warna rambutnya yang tampak mengkilap kala terkena sinar matahari sore.
Angin musim gugur berembus. Menerbangkan helaian daun maple, hingga tersangkut di wajah lucu si anak kecil.
“Menyusahkan aja!” katanya sambil menyingkirkan daun itu dari wajah.
“AAA! AWAS!”
“Ha?” Dia mendongak. Kedua mata lantas membulat saat menemukan seorang anak perempuan jatuh dari atas pohon.
Mendarat tepat di atasnya.
“Kau juga menyusahkan ...,” gumam anak itu jengkel. Kenapa dia tak menghindar tadi, ya?
Ia bangun. Hingga anak perempuan itu pun jatuh lagi.
“Kau kalau mau jatuh lihat-lihat, bodoh!” kata anak surai putih. Bernama Gojo Satoru.
“Aku tadi sudah bilang awas padamu.” Gadis itu perlahan berdiri. “Itu berarti aku minta kamu buat menyingkir karena aku gak bisa melihat siapa aja yang ada di bawah, tau.”
“Ha?” Gojo jengkel. Lantas berbalik ke belakang lalu melangkah. “Kenapa semua orang menyusahkan seperti ini, sih?”
Si anak perempuan mengerjap. Kemudian mengalihkan pandangan ke bawah, menemukan sebuah pulpen di sana. Ia meraih benda itu, menilik sejenak.
“Hei!” Dia berlari ke arah Gojo yang sudah menjauh.
“Jangan mengikutiku!” balas Gojo kasar.
“Eh? Tapi—”
“Aku nggak dengar!”
“Padahal Kakak tidak tuli, tuh?”
“Berisik!”
“Pulpenmu jatuh. Nanti mau pakai apa buat nulis?”
Gojo berhenti berjalan. Kejengkelan masih tercetak jelas di wajah, tapi tak ayal dia berbalik. Karena ia cuma bawa satu pulpen saja.
Gojo agak tertegun. Mengamati wajah gadis yang berada di hadapan. Surai hitam legam panjang sepundak. Mata maroon yang sama warnanya dengan salah satu teknik turun temurun keluarga Gojo. Aka.
“Ini.” Tangan gadis itu terulur memberikan pulpen.
Gojo menerima tanpa berkata. Masih diam mengamati mata indah yang cukup memikat.
“Kakak bolos, ya?” tanya gadis itu.
Gojo seketika sadar. “Kau juga bolos, tuh?” Nadanya terdengar sinis.
“Tadi saat mau masuk ke kelas, teman-teman yang lain menghentikanku sambil bilang 'vampir nggak boleh masuk!' gitu.” Ia mengangkat bahu. “Makanya aku manjat pohon biar enggak ketahuan guru, tapi malah jatuh!”
“Nggak nanya.” Gojo berbalik sambil memasukkan kedua tangannya dalam kantong. Lalu melangkah.
“Kakak mau ke mana?” tanya gadis itu sambil mengikut.
“Jangan panggil aku Kakak. Kau pikir aku saudaramu?”
“Kakak lebih tua dariku. Jadi, harus manggil, 'kan?”
“Berisik. Pergi sana.”
“Kakak nggak punya teman?” tanyanya. Mengabaikan perintah Gojo.
“Buat apa? Aku nggak mau berteman dengan orang lemah.”
“Wah, pemikiran Kakak dangkal banget.”
“HA?!”
“HEI KALIAN!”
Kedua anak kecil itu menoleh. Menemukan seorang guru perempuan berteriak marah sambil menunjuk ke arah mereka berdua.
“JANGAN BERKELIARAN! MASUK KELAS CEPAT!” teriaknya seram.
“Sial!” Gojo berlari. Langsung melompati pagar tembok yang tinggi.
Meninggalkan sang gadis dalam kebingungan.
Ia menunduk. Memasang wajah sedih. “Dia pergi ....”
Ia melihat ke arah guru yang kini melangkah mendekat.
“Pasrah saja, deh.” Dia mengangkat bahu.
“Hampir saja!” Gojo mendarat di atas jalan setapak. “Gadis itu nggak ikut?” Ia mendongak. Menatap atas tembok selama beberapa saat, kemudian beranjak pergi saat mendengar suara marah dari guru di balik tembok.
“Dia itu nggak niat bolos ternyata.” Gojo memutar bola mata malas.
꒰✐꒱
“Kenapa kita disuruh olahraga saat musim gugur, sih? Kan udaranya lagi dingin!”
Gojo diam mendengar perkataan orang kelas sambil duduk di bangku kursi. Lantas, ia mengalihkan pandangan ke arah jendela, tepat ke lapangan di mana anak kelas tiga sedang pelajaran olahraga.
“Jadwal kita samaan dengan adik kelas tiga, 'kan?” kata salah satu penghuni kelas.
“Iya. Aku dengar dari guru," jawab penghuni yang lain.
Gojo berdiri dari kursi. Memasukkan tangan dalam saku sambil melangkah ke luar. Hendak pergi terlebih dahulu ke lapangan.
Telinga menangkap suara ramai sesaat setelah sampai di lapangan. Mata biru indah itu pun melempar tatapan malas ke arah anak-anak kecil yang tampak bahagia bermain bersama yang lain.
Kakak nggak punya teman?
“Tch.” Dia mendecih. Suasana hati pun berubah seketika setelah mengingat perkataan gadis surai hitam kemarin. Ia hendak beranjak, ingin bolos kelas olahraga.
“HEH VAMPIR! JAGA-JAGA!”
Gojo berhenti. Lantas menoleh kembali ke lapangan, menemukan anak laki-laki berambut cokelat melempar bola sepak ke arah gadis yang berdiri di pinggir lapangan.
“Ha? Dia gadis kemarin,” gumam Gojo. “Ternyata kelas tiga, ya?”
“Aku nggak suka olahraga ...,” kata gadis itu sambil mengernyit, juga menunduk.
Namun, karena tak waspada, bola langsung menghantam kepalanya.
“Pft—” Gojo menutup mulut menggunakan lengan. Menahan tawa agar tidak lepas. Namun, karena tak bisa bertahan lebih lama, ia malah tertawa tanpa suara.
“EH! KOUNOO!” teriak anak-anak itu bersamaan.
“KYA! KEPONAKANKU!” Anak remaja bermata hijau berlari dramatis ke lapangan.
Gojo masih tertawa sambil memegang perutnya. Ingin berhenti, tapi tak bisa tiap ingatannya memutar adegan gadis bermata maroon itu terkena timpuk bola.
“Dasar ceroboh,” katanya kesusahan di sela-sela tawa.
Ia menarik napas dalam. Setelah diembuskan, tawa pun langsung berhenti meski meninggalkan kekehan. Pandangan kembali terarah ke lapangan, di mana gadis itu digendong remaja mata hijau yang kepanikan.
“Bodoh.” Dia menyungging senyum dengan suasana hati senang.
▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃
꒰Note꒱
Sejujurnya aku enggak tau menahu soal sifat Gojo saat kecil, meskipun pernah liat panel manga di mana dia masih bocil muncul. Banyak yang bilang, dia saat itu dingin dan cuek banget. So, penggambaran itu pun kurealisasikan di bab awal cerita ini.
Tapi kuubah dikit biar dia bisa ketawa karena [Name].
Ann White Flo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro