One Shot
Mairat © Yue Aoi
Rate : T
Disclaimer : Genshin Impact belongs to Mihoyo. I didn't gain any material benefit from this fanfiction.
.
.
Seorang lelaki paruh baya berkacamata dengan kumis tebal tengah bercerita dengan dramastis. Tatapan Liu Su, si lelaki pendongeng itu, tertuju pada para pengunjung berpakaian mewah yang memenuhi meja-meja bundar dengan teko serta beberapa gelas teh di atasnya.
"Jaman dulu, dulu sekali ketika kita semua belum lahir, Rex Lapis pernah melawan monster laut raksasa," lelaki paruh baya itu memulai ceritanya dengan nada dramastis yang menarik atensi pengunjung.
"Monster itu sungguhan raksasa. Ukuran kepalanya saja selebar gunung Tianheng. Coba bayangkan, kalau kepalanya sebesar itu, kira-kira badannya sebesar apa?"
Liu Su mengambil jeda sejenak, lalu melanjutkan ceritanya. Ia menggerakkan tangannya, berusaha menggambarkan ukuran monster itu.
"Dengan mulutnya yang besar, monster itu berniat menelan semua penduduk Liyue. Hiyy!"
Kali ini Liu Su bergidik. Tubuhnya gemetar sesaat seolah ia sungguhan ketakutan. Namun ia segera melanjutkan ceritanya, "Tapi kalian harus ingat, Tamu-Tamu Terhormat. Rex Lapis adalah dewa yang gagah perkasa. Ancaman monster itu sama sekali tidak membuatnya gentar."
Tatapan para pengunjung malam ini sepenuhnya tertuju pada Liu Su. Cerita mengenai kebesaran Rex Lapis yang telah diceritakan selama ribuan tahun di tanah Liyue masih mampu menghibur mereka. Kilatan kekaguman terpancar dalam tatapan pengujung yang didominasi kaum lelaki terpelajar itu, kecuali lelaki berambut panjang dengan ujung kecoklatan yang duduk di meja bundar dekat pilar itu.
Pupil berwarna keemasan yang kilaunya mengingatkan akan batu ambar itu tertuju pada Liu Su, namun sebetulnya ia mengamati reaksi para penduduk Liyue yang antusias. Menurutnya, cerita Liu Su sedikit berlebihan.
Lelaki itu bergeming. Ia yakin Liu Su maupun penduduk Liyue masa kini pasti tidak mengetahuinya. Ah tidak, ia yakin para manusia pasti tak pernah mengetahuinya. Namun Rex Lapis yang Agung --menurut mereka-- itu pernah pergi ke rumah setiap penduduk kota pada malam hari demi menangkap serangga berlendir.
Kira-kira, bagaimana perasaan mereka seandainya mengetahui dewa mereka bahkan pernah melakukan pekerjaan panjang yang melelahkan dan menjijikan demi menyelesaikan kontrak?
Rex Lapis, yang kini hidup dengan mengambil rupa sebagai manusia fana bernama Zhongli, mengangkat cangkir bulat kecil berisi cairan teh berwarna kecoklatan. Ia tak langsung meneguknya, melainkan menghirup aromanya terlebih dahulu.
Aroma manis yang mengingatkannya akan aroma buah dan bunga seketika memenuhi rongga hidungnya. Seolah candu, dia menghirup aroma itu lebih lama ketimbang biasanya.
Malam ini, Zhongli meminum teh Jin Jun Mei, teh hitam langka yang dipetik pada awal musim semi. Semula, dia duduk sendiri di salah satu meja bulat, berniat menikmati hiburan seraya menikmati teh berkualitas tinggi.
Akan tetapi, dia seolah bernostalgia. Ketika ia mengangkat kepalanya yang agak menengadah karena meneguk teh perlahan, ia tak lagi melihat panggung tua dan Master Liu Su yang tengah bercerita. Di matanya, dia menyaksikan hamparan glaze lily yang membentang luas.
Sesosok perempuan dengan gaun putih yang berkibar berdiri membelakanginya. Helaian rambut coklat yang dibelai oleh embusan angin lembut itu, juga hiasan rambut berwarna merah muda yang dikenakan perempuan itu sama sekali tak asing. Zhongli bahkan tak perlu melangkah lebih dekat hanya untuk mengetahui siapa yang berdiri di sana.
Begitu perempuan itu menyadari presensinya, tubuhnya bergerak, lalu memperlihatkan seulas senyum padanya. Senyum itu tampak begitu tulus, hingga kedua matanya seolah tampak sedang tersenyum.
Perempuan itu berlari kecil, lalu mengangkat kedua tangannya yang sedang mengenggam bunga glaze lily berwarna biru yang tengah mekar. Dua celah bibirnya yang nampak bagaikan sunsettia ranum seketika menjauh. Dengan suaranya yang terdengar bagaikan air mengalir di danau nan tenang, dia berkata, "Morax, ke mana saja kau? Aku menunggumu."
Seketika, sang mantan dewa kontrak itu terdiam. Di hadapan sang dewi debu yang dirindukannya, dia tergugu. Begitu banyak kata yang ingin ia ungkapan demi mengekspresikan kerinduannya selama beberapa milenia. Namun ia terdiam kala menghirup aroma bunga glaze lily lembut yang berada di tangan Guizhong, aroma yang selalu menyapa indra penciumannya kala raganya berdekatan dengan perempuan itu.
Sudah lama sekali Zhongli tak menghirup aroma glaze lily liar. Konon, bunga itu mampu menyerap kata-kata manusia. Apabila bunga itu sering mendengar nyanyian, maka bunga itu akan mekar dengan indah. Sebaliknya, jika bunga itu mendengar makian, maka bunga itu akan layu dan tak lagi mekar dengan cantik.
Dulu, Zhongli memiliki kebiasaan mengunjungi Guizhong yang bernyanyi di tengah hamparan bunga glaze lily yang mekar dengan indah di penghujung hari. Kala itu, dia hanya diam, dan mendengarkan suara Guizhong yang entah kenapa terasa begitu menenangkan hingga ia merasa ingin terus mendengarkannya. Kemudian, mereka akan duduk bersama seraya menyaksikan bulan dan bintang di bawah naungan celestia ketika tidak sedang berkumpul bersama teman-teman mereka. Perempuan itu akan membahas soal keseharian penduduk, seringkali membahas soal penelitian yang tengah dilakukannya.
Rasanya sungguh sulit dipercaya bahwa Guizhong berada di hadapannya. Perempuan itu menghirup aroma bunga glaze lily sekali lagi dan menempelkan pada cuping hidungnya, sebelum menyerahkannya pada Zhongli.
"Bawalah ini. Aku baru saja memetiknya sebelum kau datang. Sepertinya kau juga suka aroma bunga glaze lily."
"Guizhong, aku--"
Suara Zhongli yang terdengar seperti bisikan seketika terputus. Hamparan bunga glaze lily di hadapannya seketika sirna. Ia mendapati master Liu Su yang baru saja turun dari panggung segera menghampirinya.
"Ada apa, Tuan Zhongli? Sejak tadi saya memerhatikan anda yang seolah menatap kosong sambil terus memegang cangkir teh anda yang sudah kosong, lalu bergumam."
Zhongli merasa tidak enak. Dia pasti sudah menjadi pusat perhatian beberapa orang setidaknya selama beberapa saat ketika seharusnya master Liu Su lah yang menjadi bintang di atas panggung.
Biasanya, Zhongli adalah orang yang sangat memperhatikan tradisi, termasuk tata krama. Namun kini dia pun tak tahu harus bersikap bagaimana. Haruskah dia menawarkan teh dari teko yang sudah mulai mendingin?
"Mohon maaf. Hari ini saya sedang kurang sehat sehingga kurang fokus memperhatikan cerita anda."
Master Liu Su menggelengkan kepala. Zhongli dari Wangsheng Funeral Parlor adalah salah satu pengunjung yang cukup sering datang dan mendengarkan ceritanya. Biasanya, lelaki itu akan meninggalkan tips di atas meja dengan jumlah yang cukup besar, meski agak merepotan karena tagihan biaya makanan dan minumannya harus dikirim ke Northland Bank.
"Saya malah merasa terhormat karena Tuan Zhongli masih menyempatkan diri mengunjungi saya meski sedang tidak sehat. Sebaiknya anda segera kembali dan beristirahat."
"Terima kasih. Kalau begitu saya harus pergi," ujar Zhongli seraya bangkit berdiri. Dia bahkan tak menghabiskan teh Jin Jun Mei yang hanya diminumnya segelas, lalu langsung meninggalkan kedai begitu saja.
Master Liu Su segera mengangkat teko dan tidak mendapati amplop yang biasanya ada di sana. Ia pikir, Tuan Zhongli mungkin lupa memberikan tips. Terlebih, lelaki itu tampak tergesa-gesa dan wajahnya sedikit pucat.
Lantas, ia bangkit berdiri dan tanpa sengaja menyenggol kursi kosong di sampingnya. Terdengar suara bergemerincing yang jatuh dengan keras dan ia segera menunduk untuk mengambilnya. Ketika membukanya, ia mendapati sebuah kantung kain dengan isian yang cukup banyak dan sebuah kertas di dalamnya.
Tuan Zhongli memberikan uang tips yang lebih besar ketimbang biasanya.
.
.
Morax melangkahkan kaki menyusuri Guili Plains yang kini hanya tersisa reruntuhan saja. Rasanya sulit dipercaya bahwa pada jaman dahulu pernah ada peradaban yang maju di tempat ini. Bahkan penduduk pernah hidup di tanah ini, melakukan kegiatan bercocok tanam, hingga keberadaan hamparan bunga glaze lily.
Faktanya, Morax telah menjadi saksi hidup dari keberadaan peradaban ini. Bahkan dia ikut membangun bersama sang dewi yang terkasih. Dan ... dia pula lah yang memindahkan penduduk dari tanah ini ke tepi laut yang kini menjadi kota besar bernama Liyue.
Selama lebih dari satu milenia berikutnya, Morax sama sekali tak pernah menginjakkan kaki ke tanah ini. Entah mengapa, dia seolah menghindari tempat yang menyimpan bukti keberadaan Guizhong.
Malam ini, ketika lampu-lampu yang menerangi kota Liyue telah redup dan temperatur udara lebih dingin ketimbang sebelumnya, dia memutuskan kembali ke Guili Plains. Sesekali dia memejamkan matanya, mengenang Guili Plains sebelum masa perang.
Akhir-akhir ini Morax merasa gundah. Dia tak pernah sekhawatir ini sebelumnya, bahkan ketika ia harus memerangi begitu banyak dewa. Dia tak merasa gentar bahkan ketika waktu terus berlalu dan satu persatu kenalan lamanya telah meninggalkannya.
Morax bahkan mampu memperlihatkan wajah dingin tanpa ekspresi ketika harus menghabisi lawannya, juga ketika harus menyingkirkan eksistensi dewi yang dicintainya dengan kedua tangan yang bersimbah darah. Namun, kali ini ia hampir tak bisa mempertahankan ekspresi datarnya.
Dia merasa gentar.
Dia takut.
Dia merasa khawatir bahwa dia akan menimbulkan bencana bagi tanah Liyue yang telah ada selama ribuan tahun berkat pengorbanan orang-orang di sekelilingnya.
Morax menyadari bahwa seiring waktu berjalan, korosi telah mengikisnya secara perlahan. Halusinasi yang dilihatnya adalah bukti bahwa korosinya semakin memburuk. Seiring waktu berjalan, dirinya bahkan mulai semakin emosional, seolah korosi ikut mengikis rasionalitasnya.
Lantas, Morax berjalan menghampiri salah satu reruntuhan bangunan. Ia kemudian menyandarkan punggung tegaknya pada batu kokoh, lalu menengadah memandang rembulan di kejauhan.
Rembulan masih tak berubah sejak pertama kali Morax turun ke Teyvat. Bulan purnama masih berbentuk bulat, memancarkan sinar lembut yang lebih terang ketimbang biasanya.
Ketika menyaksikan bulan purnama, Morax mengenang hari di mana ia menemukan dewinya untuk pertama kali. Ketika ia berjalan tanpa arah menuju hamparan bunga glaze lily, dia menemukan sang dewi berbaring di sana. Perempuan itu seolah memancarkan cahaya dari sekujur tubuhnya yang tak kalah indah dari sinar rembulan.
Di bawah bulan purnama pula dia bersua dengan Guizhong untuk terakhir kalinya demi memenuhi janji di antara sepasang dewa dan dewi. Berdua, mereka menciptakan debu hitam dan hujan batu yang pada akhirnya menghancurkan tempat di mana mereka pernah membangun peradaban.
"Morax ... pecahkanlah puzzle itu untukku."
Begitu kalimat terakhir Guizhong terdengar begitu jelas ketika kesadaran perempuan itu kembali di detik-detik akhir kehidupannya. Sang dewi kembali berbaring di padang bunga glaze lily yang kali ini ternoda warna merah. Untuk kali terakhirnya, ditemani bunga yang disukainya dan rekan yang selalu bersamanya, sang dewi menghirup aroma wangi bunga yang sedikit anyir.
Kala itu, Morax masih bergeming. Raut wajahnya tetap datar dan tak menunjukkan belas kasihan sama sekali. Ekspresi lelaki itu masih tak berubah meski mereka berdua tahu bahwa perjumpaan selanjutnya tak akan terjadi.
Detik berikutnya, mata sang dewi debu terpejam. Seulas senyum tipis yang terukir di wajahnya hanya bertahan selama beberapa detik, hampir tak cukup bagi Morax untuk melihatnya sebelum tubuh Guizhong perlahan berubah menjadi debu yang sebagian kecil jatuh di atas padang bunga tempat raganya terakhir sempat bersemayam.
Kala itu, bencana memporak-porandakan Guili Plains sesudah Guizhong mangkat. Lantas, apa yang akan terjadi pada Liyue jika Morax mangkat?
Inilah salah satu kekhawatiran yang masih tersisa pada dirinya. Bagaimana ia menjaga penduduk Liyue dari bencana yang bahkan tak diketahui seberapa besarnya?
Tak ada pilihan bagi Morax selain memikirkan solusi terbaik bagi penduduk Liyue sendirian dan melaksanakannya sendiri. Hingga akhir hayatnya, dia ingin menjaga janji terakhirnya pada Guizhong, yakni untuk melindungi rakyat dari bencana yang tak akan mampu mereka atasi.
.
.
Morax tak baik-baik saja.
Begitu menurut Barbatos, yang belum lama ini dikunjungi mantan archon tertua itu.
Selama puluhan abad saling mengenal, dia tahu bahwa Morax adalah sosok yang keras bagaikan batu karang. Namun lelaki itu tampak emosional kali ini.
Morax terlihat kalut dan seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lelaki itu juga lebih banyak diam dan tak begitu menanggapinya.
"Barbatos, sepertinya kau perlu menyiapkan dua botol dandelion wine sebentar lagi."
Barbatos memahami maksud pembicaraan Morax padanya. Namun dia tak ingin membiarkan Morax semakin terpuruk dengan terus membahasnya. Jadi dia berkata, "Tenang saja, hari ini aku punya tiga botol, kok. Angel's Share memberiku sebotol ekstra karena pengunjung jadi ramai sekali."
"Maksudku, kau perlu menyimpannya untuk berjaga-jaga."
Manik Aquamarine itu tertuju pada wajah Morax. Ia terdiam cukup lama dan memandang wajah lelaki itu erat-erat, berusaha mengingatnya dalam benaknya.
Dahulu, ketika dia kehilangan sahabatnya di tengah perang, dia memutuskan mengambil rupa sang sahabat sebagai caranya untuk mengenang. Selama ribuan tahun, ketika dia memandang bayang-bayangnya sendiri atau melihat pantulan di cermin, dia memandang wajah sahabatnya.
Kali ini, dia tak mungkin mengambil wujud Morax. Lagipula, raut wajah, rupa dan penampilan si kepala batu itu tidak cocok untuknya. Lihat saja jas, celana panjang dan sepatu berujung lancip mengilap yang tampak formal itu benar-benar tidak sesuai untuknya. Pakaian itu juga malah akan menghambatnya.
Barbatos tak lagi menampilkan keceriaan yang biasa nampak melalui pupil hijaunya yang berpendar meski suaranya terdengar riang. Lantas dia berucap, "Aku akan selalu bersiap. Dua botol dandelion wine bisa kudapatkan kapan saja, selama aku masih sanggup memainkan liraku."
Sesudahnya, Barbatos kehilangan kata. Tak ada lagi kalimat penghiburan yang dapat ia ucapkan pada Morax. Mereka berdua tahu, insting seorang dewa tak dapat dikelabui. Jika Morax merasakan bahwa akhirnya sudah semakin dekat, maka itu lah yang akan terjadi.
"Ayo minum. Kita harus minum sampai mabuk," ujar Barbatos seraya menuangkan gelas pertama untuk Morax.
"Kau tidak mungkin mabuk hanya dengan tiga botol. Tiga puluh pun sepertinya masih belum."
"Kalau aku mabuk, kau tidak akan keberatan, kan?"
"Tidak."
Barbatos tak pernah bisa melupakan ketika ia mabuk dan malah menuangkan alkohol di atas kepala Morax. Ia selalu mengingat itu sejak Morax mengancamnya dan ia tak berani menghadapi kemurkaan sang dewa kontrak yang mengerikan itu. Ia bahkan tak melupakannya meski sedang mabuk sekalipun.
Kali ini, dia terperanjat dengan reaksi Morax. Lelaki berambut hitam dengan aksen coklat itu biasanya akan menyediakan teh pereda mabuk bahkan sebelum dia mulai minum alkohol. Mungkin, ini adalah kali terakhirnya menikmati teh buatan sang mantan Geo Archon.
"Kalau begitu, aku ingin menuangkan alkohol ke kepalamu. Boleh juga, kan?"
"Barbatos, jangan kelewatan. Jaga sikapmu!"
Barbatos hanya terkekeh. Ketika ia menoleh, ia mendapati wajah datar yang bahkan tak menunjukkan ekspresi di medan perang itu sedikit berkerut. Morax memperlihatkan seulas senyum samar yang tak pernah diperlihatkan selama ribuan tahun.
.
.
"Guizhong, aku masih belum berhasil memecahkan puzzle yang kau berikan. Sepertinya, sampai sekarang pun pengetahuanku belum cukup," ucap Morax seraya menatap wajah mata sang dewi lekat-lekat.
Guizhong menatap sang terkasih di hadapannya tanpa berucap sepatah kata pun. Perempuan itu duduk berdiri diam di hadapannya, masih dengan gaun putihnya yang berkibar perlahan dan aroma glaze lily samar yang selalu dihirup Morax setiap mereka bersisian.
Hanya kepada Guizhong lah Morax mampu membagikan apa yang akhir-akhir ini membebani pikirannya. Menjelang akhir hidupnya, benaknya diliputi kekhawatiran yang tak dapat ia ungkapkan kepada siapapun. Tidak kepada Xiao, tidak pula kepada para adeptus yang masih tersisa.
"Zhongli, aku bukan Guizhong. Aku Lumine."
Morax tersentak. Zhongli ... salah satu dari beberapa nama yang ia miliki selama ribuan tahun. Sedangkan Guizhong yang ia ketahui tidak pernah menggunakan nama Lumine.
Ia segera melangkah mundur dan mengeluarkan tombaknya. Perempuan dengan wujud yang serupa dengan Guizhong itu mengaku bahwa dirinya bukan Guizhong. Lantas, siapakah gerangan yang berada di hadapannya dan berani memperdaya sang mantan Geo Archon?
"Tunjukkan siapa dirimu sesungguhnya!" seru Morax. Ia mengeluarkan puzzle batunya, bersiap untuk menjatuhkan meteor pada musuh di hadapannya.
Rasa sakit yang teramat sangat mendadak menyerangnya. Kepalanya terasa begitu nyeri hingga seolah akan meledak sebelum meteor itu dilemparkan pada mahluk kurang ajar yang berani mengambil wujud Guizhong di hadapannya.
Ia segera berjongkok di atas hamparan rumput dan mengerang seraya memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya tersengal dan ia meringis.
Rasa sakit itu menjalar hingga matanya seolah berdenyut-denyut nyeri, begitupun dengan wajahnya yang terasa kebal. Samar-samar, ia merasakan keberadaan dua sosok tengah mendekat. Salah satunya tak menapak, sedangkan yang lainnya menapaki tanah.
"Zhongli, kau baik-baik saja? Lumine, gimana, nih?" ucap seorang perempuan yang terdengar sangat khawatir.
"Kurasa kita harus memanggil Xiao. Dia pasti lebih paham soal ini."
Morax segera menengadah begitu mendengar nama 'Xiao' disebutkan. Sang adeptus telah menderita selama ribuan tahun dan menjadi satu-satunya yaksha yang tersisa dan masih aktif melindungi Liyue. Lelaki itu tak boleh semakin dibebani.
Samar-samar, pandangannya sirna. Di hadapannya bukan lagi padang rumput, melainkan sebuah tebing di dekat kota Liyue. Lumine tengah berjongkok di hadapannya seraya memegangi tangannya, sedangkan Paimon terbang di dekatnya.
"Tidak usah. Aku baik-baik saja. Maaf membuat kalian khawatir," ujar Morax sambil bangkit berdiri.
Langkah Morax tak lagi sekokoh biasanya. Tubuhnya sempoyongan, seolah akan terjatuh kalau saja Lumine tak buru-buru menopangnya.
Morax tak menepisnya. Ia tak pernah membayangkan kalau suatu saat nanti, ia bahkan begitu lemah hingga hampir terjatuh kalau saja seseorang tak menahannya. Efek erosi pada dirinya benar-benar semakin memburuk dari hari ke hari dan tak ada yang dapat menghentikannya.
"Aku pasti membuat kalian takut tadi. Bagaimana kalau kita makan di Third Round Knockout? Kali ini aku yang bayar," ucap Morax dengan tenang.
"Sedikit, sih. Bagaimana kalau tadi kau sungguhan melempar meteor pada kami? Bisa-bisa kami jadi sate panggang."
Morax tertawa pelan. "Kalian pernah pergi ke Heyu Tea House? Kalau belum, aku bisa traktir kalian minum teh di sana."
Sesaat, mata Paimon tampak berbinar. Gadis itu selalu senang ketika membahas makanan, terlebih makanan gratis. Sesaat kemudian, raut wajah Paimon tampak khawatir.
"Sebenarnya tadi kau itu kenapa? Kami benar-benar khawatir."
"Iya. Kau bahkan memanggilku 'Guizhong' dan hampir menyerangku sesudah kubilang kalau aku bukan Guizhong. Apa kau mungkin perlu minum obat seperti yang kau berikan untuk Xiao?"
Morax tak memiliki kontrak dengan siapapun untuk tidak membahas hal ini, termasuk dengan Celestia. Namun ia tak ingin membahasnya karena hal ini bukanlah hal yang menyenangkan.
"Obat untuk adeptus tidak bekerja untukku. Sepertinya aku benar-benar kurang istirahat, jadi ingatanku agak kacau."
"Eh? Zhongli juga butuh istirahat? Kalau begitu, sebaiknya kau langsung pulang saja. Tidak usah mentraktir kami makan atau minum teh," ucap Paimon sambil menatap Zhongli dengan khawatir.
"Iya. Kami antar pulang saja, ya. Ke Wangsheng Funeral Parlor, kan?"
Morax menggeleng."Tidak masalah. Aku sudah berjanji mau mentraktir kalian. Kalau dibatalkan, artinya aku melanggar janji."
"Makan gratisnya bisa lain kali, kok. Yang penting sekarang Zhongli istirahat dulu."
Bagi Morax, kata 'lain kali' bisa saja tak pernah terjadi. Perjumpaan dengan kedua temannya belum tentu akan terjadi, dan sebisa mungkin, ia tak ingin menjanjikan apapun yang tak dapat ditepati.
Tiba-tiba saja terdengar suara perut seseorang yang keroncongan. Morax segera menoleh, begitupun dengan Lumine. Paimon terkekeh dengan wajah yang sedikit tertunduk. Perut gadis itu rupanya begitu jujur.
Tak ada alasan lagi bagi kedua orang itu untuk menolak ajakan makan bersama Morax. Lantas, malam itu ketiganya makan bersama untuk kali terakhir.
.
.
Morax menyadari bahwa waktu yang tersisa baginya semakin sedikit. Frekuensi halusinasi dan sakit kepalanya semakin meningkat. Terkadang, ia mendapati dirinya berada di suatu tempat dengan tubuh gemetar menahan rasa sakit. Kali lain, ia mendapati dirinya tengah duduk sendirian di tanah lapang setelah sebelumnya berpikir bahwa dirinya tengah makan bersama Cloud Retainer dan Guizhong, atau para adeptus lainnya.
Morax tak lagi muncul di kota seperti yang biasa ia lakukan. Barangkali, penduduk kota mulai bertanya-tanya ke mana dan apa yang dilakukan Tuan Zhongli setelah tak lagi terlihat di Wangsheng Funeral Parlor. Ketika dia berpamitan dengan Hutao yang terlihat sedih, dia berkata kalau dia ingin menyendiri dan menikmati kehidupan yang tenang. Dia bahkan berkata, suatu saat nanti, mungkin saja mereka akan bertemu lagi.
Kala itu, Morax tak sepenuhnya berbohong. Bisa jadi, mereka memang akan bertemu lagi dalam kesempatan lain. Sebelum kehidupannya yang sangat panjang berakhir, bukan tidak mungkin mereka akan bertemu di suatu tempat, bukan? Melalui pengalamannya, Morax menyadari bahwa segala hal tak dapat benar-benar diprediksi sepenuhnya.
Morax menyentuh puzzle batu yang telah dibawanya selama ribuan tahun. Dia mengelus benda yang bersinar di tangannya itu, merasakan teksturnya. Meski ia menyimpannya sebaik yang ia bisa, ujung permukaan batu itu telah mengalami perubahan bentuk. Batu itu pun telah terkikis seiring waktu berjalan.
"Tak satupun yang abadi di dunia fana ini. Begitupun kau dan aku," ucap Morax seraya membelai puzzle batu itu, kemudian menoleh ke belakang dan berbalik badan.
Di hadapannya, lelaki muda berambut hijau kebiruan tengah menundukkan kepala seraya berlutut dengan satu kakinya. Ia datang seraya memberi hormat pada sang Tuan, Rex Lapis. Karena Rex Lapis pula lah dia masih terus bertahan selama ribuan tahun dan menjaga Liyue, demi menepati sumpah setianya.
"Tuan, saya datang menghadap Anda."
Morax memang telah memanggil Xiao untuk datang menghadapnya. Nampaknya lelaki itu baru saja menyelesaikan pertarungannya. Jejak-jejak sisa dari para dewa samar-samar terasa dari tubuhnya.
"Xiao, berikan ini pada Verr Godlet di Wangshu Inn. Setelah itu, kau bisa mengambil obatmu di Bubu Pharmacy ketika kau membutuhkannya."
Xiao nampak ragu. Selama ini, dia berusaha sebisa mungkin untuk menghindari manusia fana. Bukan karena dia membencinya, dia hanya tak ingin mereka semua terkena dampak dari karma karena berada di dekatnya, lalu menjadi gila.
Selama ribuan tahun, tak pernah sekalipun dia menolak permintaan Morax. Tak ada keraguan sedikitpun kala ia mengiyakan permintaan sang dewa. Dia tak mampu melakukannya, mengingat jasa lelaki itu padanya. Bahkan nama 'Xiao' pun merupakan pemberian sang dewa.
"Aku mengerti kalau kau merasa ragu. Bukankah dengan berada d dekat manusia fana sesekali akan baik untukmu? Kau bisa mengamati lebih dekat jiwa-jiwa yang selama ini kau lindungi."
"Tuan," ucap Xiao dengan perasaan ragu. Sesungguhnya, ada hal yang ingin ia pertanyakan. Ia sudah mendengar kabar bahwa akhir-akhir ini sang tuan tak baik-baik saja. Karena itulah ia merasa khawatir.
Morax berkata, "Bukankah kau memiliki pertanyaan padaku? Katakanlah, jangan ragu."
Atas izin sang tuan, Xiao memberanikan diri untuk bersuara. Kepalanya masih tetap tertunduk, tak berani bertemu pandang dengan Morax.
"Tuan, maafkan saya atas pertanyaan yang kurang sopan ini. Apakah saya benar-benar harus datang ke Bubu Pharmacy setiap saya membutuhkan obat? Saya khawatir terlalu lama berada di dekat manusia akan memengaruhi mereka."
Morax menyadari bahwa pertanyaan Xiao diajukan atas kepeduliannya pada umat manusia. Lelaki itu memilih menghindar, agar dirinya tak menyebabkan bahaya pada mahluk fana. Dia pun tahu bahwa setiap tahun Xiao menerbangkan lentera di festival lantern rite diam-diam serta menulis harapan bagi semua orang.
Xiao tak pernah menunjukkannya secara terus terang pada siapapun. Tidak pada manusia, tidak pula pada Morax. Meski setiap tahun lelaki itu harus bekerja lebih keras saat lantern rite, Xiao sama sekali tak membenci perayaan itu. Dia tersenyum, karena manusia bersenang-senang dan menikmati festival dengan rasa aman.
"Ketika kau datang ke kota Liyue menjelang festival lantern rite yang lalu, bagaimana perasaanmu?"
"Saya ... tidak tahu." Ada jeda di sana. Kala itu, dia bukan datang atas keinginannya sendiri. Seorang gadis zombie membawanya ke dalam kota. Dia merasa terkejut ketika mendapati manusia berambut hijau di dekatnya, lalu memutuskan segera pergi karena khawatir.
Ketika kesadarannya hampir menghilang, dia mendapati seorang anak kecil menghampirinya, lalu menawarkan puding arak beras buatan kakeknya. Ketika tubuhnya sedikit lebih kuat, dia pun memutuskan pergi secepat yang ia bisa. Namun di saat yang sama, sebetulnya ia merasa senang menyaksikan kegiatan penduduk kota menjelang festival, juga kesenangan yang tampak jelas di dekatnya.
"Apa kau menyukai suasana di kota?" tanya Morax.
"Saya tidak membencinya, namun tidak juga menyukainya."
"Kalau berkunjung setiap saat terlalu berat bagimu, mintalah Ganyu untuk mengantarkannya padamu. Berjanjilah padaku kalau sesekali kau akan datang mengambil sendiri. Melihat penduduk kota akan menguatkanmu."
Xiao menyetujui permintaan Morax tanpa ragu. Mulai saat ini, sesekali dia akan datang ke dalam kota dan mengambil obat di Bubu Pharmacy. Ucapan Zhongli adalah sabda, tak boleh ada keraguan maupun penolakan. Sekalipun keraguan itu terbersit, tak sepantasnya ia mempertanyakan.
"Saya akan melaksanakan perintah anda, Tuan."
Sebetulnya, masih ada beberapa hal yang ingin ditanyakan Xiao. Akan tetapi, pertanyaan yang ia ajukan akan terkesan sangat lancang. Tak seharusnya ia mempertanyakan apapun, terlebih pertanyaannya tak berkaitan dengan tugasnya. Lagipula, dia adalah hamba yang tengah menghadap tuannya.
"Terima kasih atas kerja kerasmu, Xiao. Kau telah menjalani tugasmu dengan baik."
Xiao terdiam sesaat. Perasaan bangga seketika menyeruak kala mendengar pujian dari Morax yang telah dilayaninya selama ribuan tahun. Morax bukanlah tipe yang kerap melontarkan pujian. Lantas, sebuah pujian darinya terasa amat berharga.
"Apa yang saya lakukan masih belum sepadan dengan jasa-jasa Tuan terhadap saya."
"Tidak. Pengabdianmu selama ini sudah cukup."
Jawaban Morax begitu jelas dan tegas. Tidak ada ruang bagi Xiao untuk meragukan perkataan itu sedikitpun.
"Apapun yang terjadi, saya akan tetap melaksanakan janji saya kepada Tuan. Nama dan kebebasan saya merupakan pemberian Tuan, maka sudah seharusnya saya melayani hingga saya benar-benar tidak mampu melakukannya."
Morax merasa ucapan Xiao adalah ironi, namun dia tak sampai hati untuk mengutarakannya. Faktanya, Xiao masih terikat kontrak selama ribuan tahun untuk menjaga Liyue. Lelaki itu tidak akan pernah bebas hingga kegelapan benar-benar menelannya.
Setidaknya, Morax berharap ucapannya akan membuat Xiao tidak merasa begitu terbebani dengan pemikiran bahwa apa yang ia lakukan masih tak cukup layak. Setelah kepergiannya, ia tak ingin Xiao dirundung penyesalan. Beban Xiao tak boleh bertambah lebih berat lagi.
.
.
Mentari bersinar begitu terik, menjangkau hampir setiap objek dengan cahayanya yang terang dan memancarkan hawa panas. Kala gugusan awan bak gumpalan kapas menghiasi langit biru, itulah hari paling baik untuk mengadakan upacara.
Pada hari baik itu lah Morax akan mengadakan upacara bagi dirinya sendiri. Wajahnya masih tak jua menua meski telah hidup lebih dari enam milenia. Punggungnya yang masih tampak tegap terbalut jubah dari sutra terbaik dengan sulaman delapan ekor naga dari benang emas.
Naga merupakan wujud sesungguhnya dari Morax. Akan tetapi, pada momen terakhirnya, ia meninggalkan dunia ini dalam wujud Zhongli.
Dengan identitas Zhongli pula dia bertemu dengan begitu banyak individu yang menarik. Beberapa bahkan berjalan bersamanya dalam waktu yang cukup lama, dan lebih banyak lagi yang hanya berjumpa dalam waktu singkat. Yang terbanyak, mereka yang bahkan tak sadar bahwa Rex Lapis yang agung tengah berada di dekat mereka dalam rupa berbeda dari yang selama ini mereka ketahui.
Pupil kuning keemasan itu berpendar, memandangi seluruh Liyue dari tempatnya berada. Sebentar lagi, dia akan berpisah dengan daerah yang pernah dipimpinnya selama lebih dari tiga milenia, juga dengan semua mahluk di dalamnya. Tak ada keraguan bahwa daerah itu akan terus berkembang menjadi semakin baik meski tanpa dirinya.
Tangan Morax mengenggam puzzle batu yang hingga kini tak berhasil dipecahkannya entah kenapa. Sudah lebih dari tiga ribu tahun sejak kali pertama dia melemparkan batu pemberian Guizhong karena frustasi pada musuhnya. Benda itu berakhir menjadi senjatanya dan mengantarnya pada kemenangan atas perang archon.
Dulu dia berpikir bahwa kebijaksanaan Guizhong justru terletak pada kekuatan batu itu. Guizhong telah memberikannya sebuah senjata untuk melawan musuh-musuhnya.
Akan tetapi, dia ragu sesudah Guizhong memohon padanya agar memecahkan puzzle itu untuknya di momen terakhir sang dewi. Jawaban dari kebijaksanaan Guizhong pasti bukan terletak pada kekuatan yang dihasilkan dari lemparan batu itu.
Lantas ... apa kebijaksanaan Guizhong? Hingga kini, Morax masih belum dapat memecahkannya.
"Morax, apa kau sudah siap?"
Terdengar suara seorang perempuan. Suara yang biasanya terkesan dingin itu kini terkesan sedikit simpatik.
"Ya. Aku sudah siap."
Morax berjalan menuju tengah ruangan yang seluruhnya terbuat dari kaca. Di dalam ruangan yang hening itu, terlihat hamparan bunga glaze lily yang bermekaran. Aroma bunga glaze lily samar-samar menyeruak, membuat ruangan kaca itu nampak seperti padang glaze lily sungguhan.
"Berbaringlah di tengah ruangan."
Morax membaringkan tubuhnya di tengah kotak kaca. Rambut hitam beraksen coklat itu kini tergerai seluruhnya. Tekstur lantai itu terasa bagaikan padang glaze lily. Ia bahkan dapat merasakan sensasi rumput dan tanah serta harum bunga bercampur tanah yang samar..
Harum bunga glaze lily liar yang begitu semerbak dan ingatannya akan masa lalu semakin menguat. Sensasinya begitu mirip dengan padang bunga glaze lily tempatnya pertama kali bertemu dengan Guizhong.
"Terima kasih telah memenuhi kontrak, Tsaritsa. Selamat tinggal."
Kalimat itu merupakan ucapan perpisahan sekaligus pertanda bahwa ia benar-benar sudah siap memulai upacara terakhir yang dipersiapkan baginya. Dalam waktu lima menit, dia akan pergi meninggalkan Teyvat selamanya.
"Selamat tinggal, Zhongli," ucap Tsaritsa, dengan maksud menekankan identitas terakhir Morax saat ini.
Ukuran kotak kaca yang semula berukuran 5 x 5 meter perlahan-lahan mulai menyusut segera setelah Tsaritsa mengucapkan kalimat perpisahan melalui pengeras suara di dalam ruangan. Sesudahnya, terdengar suara angin yang samar-samar meniup dedaunan dan pakaian Morax, persis d hari pertama dia bertemu Guizhong.
Morax memutuskan pergi di hari baik dengan cara paling baik menurutnya. Penduduk Liyue telah memperingati mangkatnya Rex Lapis, maka tak perlu bagi mereka untuk berduka lagi. Dia pun percaya dengan teknologi Fatui yang membantunya meminimalisir dampak dari wafatnya, maka tak ada lagi alasan untuk merasa risau.
Xiao tak sendirian lagi. Ada orang yang akan berada di sisinya, baik secara langsung maupun tidak. Para adeptus lain yang pernah bertugas bersamanya pun telah menemukan kedamaian yang mereka inginkan.
Paimon dan Lumine, kedua orang itu berada dalam perjalanan mencari saudaranya dan menemukan kebenaran. Meski Morax tak dapat menjawab beberapa pertanyaan yang perlu mereka ketahui, ada individu lain yang dapat menggantikannya membantu mereka.
Telah dia serahkan pula gnosis pada Tsaritsa sebagai bagian dari kontraknya. Dengan begitu, sebagian dari kekuatannya dapat membantu perempuan itu mencapai mimpinya melawan Celestia dan menciptakan dunia baru yang lebih baik.
Ruangan kaca itu terus menyusut perlahan demi perlahan. Masih ada satu hal yang belum terselesaikan hingga akhir, yakni janjnya pada Guizhong. Sudah lebih dari ribuan tahun dan ada berbagai cara yang telah ia tempuh, akan tetapi ia tak jua menemukan jawabannya.
Namun, ia tetap tidak menyesal pernah berusaha begitu keras demi menemukan jawaban dari puzzle Guizhong. Meski tak berhasil memecahkannya, setidaknya ada hal lain yang telah ia temukan dalam prosesnya. Tak segala hal harus berorientasi pada hasil, ada pula beberapa hal yang berorientasi pada proses.
Guizhong telah meninggalkan warisan yang amat berguna bagi penduduk Liyue hingga ribuan tahun kemudian. Mulai dari alat pertahanan yang melindungi tanah Liyue, hingga berbagai pengetahuan yang memakmurkan negeri itu. Morax sudah merasa lega.
Jika perjumpaan berikutnya dengan Guizhong dapat terlaksana, maka dia akan menemui sang dewi. Ia akan menghabiskan waktu yang begitu panjang, lalu menceritakan soal begitu banyak hal baik yang terjadi di Liyue sesudah kepergiannya. Dia juga akan membahas soal perubahan Liyue yang saat ini sudah dipimpin oleh manusia, Liyue yang dia yakini akan semakin berkembang.
Morax tak mengetahui secara pasti berapa lama waktu telah berlalu hingga ruangan kaca terasa semakin mengecil. Kini, ruangan itu bahkan tak cukup tinggi jika Morax hendak berdiri di dalamnya.
Ruangan kaca itu semakin menyusut dan Morax menyadari bahwa waktunya hampir habis. Barangkali, tak sampai 60 detik yang tersisa baginya.
Morax seketika tersadar akan sesuatu kala ruangan itu semakin menyusut hingga lebarnya tak sampai tiga kali lebar tubuhnya. Ia memandang hamparan glaze lily yang terlihat untuk kali terakhirnya, lalu menghirup aroma glaze lily liar.
"Aku telah memecahkannya, Guizhong. Terima kasih."
Morax memejamkan mata untuk terakhir kalinya. Tepat ketika ia memejamkan mata, ruangan kaca itu menyusut serta meremukkan wujud sang dewa kontrak hanya dalam waktu beberapa detik serta menciptakan ledakan dahsyat sesudahnya.
Sang dewa telah menyelesaikan kontrak terakhirnya dengan seulas senyum yang terpatri di wajahnya. Rex Lapis telah meninggalkan Teyvat dalam keheningan abadi.
.
.
Mentari yang bersinar terik seketika kehilangan cahayanya dalam waktu singkat. Awan putih yang sebelumnya berada di langit seketika berubah menjadi kelabu. Rintik air berkecepatan tinggi segera saja berjatuhan membasahi seluruh Teyvat, seolah mengabarkan kepergian Rex Lapis kepada semua mahluk.
Sisa dari Rex Lapis yang telah wafat puluhan kilometer di atas permukaan Teyvat kembali dalam wujud batu berukuran sangat kecil yang bercampur dengan hujan. Kebanyakan orang hanya mengira bahwa hujan deras terjadi secara tiba-tiba. Namun ketika menengadahkan tangan selama beberapa detik, maka akan mendapati tangan mereka dipenuhi air bercampur dengan partikel coklat keemasan berukuran kecil.
Barbatos yang tengah duduk di bawah pohon rimbun tempat peristirahatannya di Windrise segera sadar begitu awan kelabu muncul tiba-tiba. Ia segera meraih dua botol Dandelion Wine yang telah dipersiapkannya.
"Rupanya hujan batu benar-benar telah sampai ke tempatku, eh?" ucap Barbatos seraya menengadahkan tangan dan mengenggam partikel batu yang turun bersama tetesan hujan deras.
Ia segera membuka botol dandelion wine pertama, lalu mengguyur kepalanya sendiri dengan cairan beralkohol itu. Tepat ketika ia selesai menuangkan alkohol, sebuah batu yang sedikit lebih besar turun tepat di atas puncak kepalanya, seolah menjadi pertanda bahwa Morax telah mengetahui hal ini.
Barbatos membuka botol kedua. Morax memintanya untuk meminum wine itu seraya mengenangnya. Maka Barbatos akan memenuhi permintaan itu.
Di bawah hujan deras, hanya dengan beratap daun dan ranting pohon rimbun yang tak sepenuhnya menyembunyikan sosoknya, Barbatos duduk di sana dan meneguk dandelion wine. Seharusnya dandelion wine terasa wangi dan manis, namun dandelion wine yang diminumnya hari ini terasa jauh lebih pahit ketimbang biasanya.
"Aneh, kenapa dandelion wine mendadak sepahit ini? Apakah karena kau sudah pergi hari ini?"
Barbatos menenggak seteguk dandelion wine lagi, kali ini sambil mengenang Morax. Dia ingat kali pertama dengan Morax beribu-ribu tahun lalu. Morax yang dulu bukanlah Morax yang sama dengan yang dijumpainya akhir-akhir ini. Lelaki itu telah berubah menjadi lebih berbelas kasih.
Kepergian Morax seolah mengingatkan dirinya bahwa gilirannya juga akan tiba suatu saat nanti. Kini, tak ada satupun mahluk yang dapat berbagi cerita bersama mengenai hal konyol yang ia lakukan seribu tahun lalu, atau mendengar cerita lucu seseorang yang dilakukannya ribuan tahun lalu. Tak ada lagi teh pereda mabuk yang menurut pembuatnya perlu dipersiapkan selama 6 jam.
Barbatos menenggak alkohol yang masih tersisa setengah botol, tak peduli meski pakaiannya telah dibasahi oleh hujan. Kalau ia menginginkannya, ia bisa saja menggeser awan di sekitarnya sehingga hujan tak akan mengguyurnya. Akan tetapi, ia tak ingin melakukannya kali ini. Biarlah alam berduka atas kepergian Rex Lapis yang telah menyelesaikan tugasnya.
Di bawah guyuran hujan yang menyamarkan air mata yang telah mengalir, Barbatos memejamkan matanya. Embusan angin bertiup di sekitarnya, kemudian ia membuka matanya dan mengerjap. Pupil matanya tak lagi berwarna hijau, melainkan kuning keemasan.
Selama enam jam berikutnya Barbatos duduk dan menghabiskan berbotol-botol dandelion wine. Tubuhnya telah basah kuyup, namun ia hendak merasakan sendiri bagaimana hujan turun membawa bebatuan kecil, seolah membawa dirinya lebih dekat pada Morax.
.
.
Ketika langit Liyue yang semula cerah mendadak berubah menjadi gelap, Xiao menyadari bahwa ada sesuatu yang telah terjadi. Dia segera menyelesaikan pertarungannya secepat mungkin, lalu meningalkan medan pertarungan dan berteleportasi menuju balkon tertinggi di Wangshu Inn.
Biasanya, ketika hari benar-benar melelahkan, ia hanya perlu menemui Verr Godlet dan sepiring almond tofu akan segera disiapkan baginya. Namun ia sedang tak ingin mengonsumsi apapun kali ini.
Hujan turun begitu deras secara tiba-tiba, membuat beberapa tamu penginapan yang semula berada di balkon memutuskan segera kembali agar tidak terkena tetesan hujan. Xiao menyaksikan orang-orang yang segera berteduh secepat yang mereka bisa, lalu menuju balkon begitu tak ada seorangpun.
Lantas, Xiao mengulurkan tangan dan mendapati partikel coklat keemasan berukuran kecil ikut turun bersama dengan rintik hujan. Xiao tetap berada di posisinya, berusaha mengumpulkan yang tersisa dari sang tuan.
Barangkali, hanya para adeptus yang menyadari bahwa kali ini Morax benar-benar telah meninggalkan mereka. Xiao sendiri berencana untuk mengumpulkan sebanyak mungkin partikel, lalu meletakkannya di dalam sebuah kotak dan nantinya menempatkan di kuil.
Kepergian Morax siang ini membuat Xiao merasakan kehilangan yang begitu mendalam. Kata-kata Morax pada perjumpaan terakhir mereka masih diingatnya dengan jelas. Sang tuan mengatakan bahwa segala hal yang dilakukannya sudah cukup. Akan tetapi, ia malah merasakan persaan sakit dan sesak yang berbeda dari biasanya.
Xiao merasa seolah poros kehidupannya diambil dari padanya secara tiba-tiba, meski ia paham apa yang seharusnya ia lakukan. Dia merasa kosong, meski dia tak hilang arah.
Ketika hujan mengguyur semakin deras dan partikel batu berwarna coklat keemasan berguguran lebih banya ketimbang sebelumnya, Xiao berlutut di atas lantai kayu Wangshu Inn. Rambut hijaunya sedikit basah terkena air yang terbawa embusan angin.
"Selamat jalan, Tuan," ucap Xiao dengan suara yang tersamarkan suara hujan deras.
Maka bersimpuhlah Xiao dengan kepala tertunduk seraya mencium lantai kayu selama beberapa jam lamanya. Hingga hujan berhenti, lelaki itu tak beranjak sama sekali dari posisinya. Dengan cara ini lah dia memberikan penghormatan terakhirnya kepada Rex Lapis yang datang padanya dalam wujud partikel batu bersama tetesan hujan.
.
.
Kabar burung menyebar dengan cepat seiring dengan munculnya fenomena aneh di seluruh Teyvat. Hujan deras mendadak muncul tiba-tiba selama beberapa jam, sedangkan partikel batu coklat berwarna keemasan hanya ada di tanah Liyue dan Mondstadt.
Menurut gosip yang terdengar, fenomena ini disebabkan kemurkaan Rex Lapis yang telah mangkat kepada para Qixing yang tidak bekerja dengan baik. Ada pula yang mengatakan bahwa fenomena aneh ini merupakan pertanda dari bencana dahsyat yang akan meliputi seluruh Teyvat.
Bahkan muncul pula teori konspirasi yang mendekati kenyataan, entah siapa yang menyebarkan. Menurut teori itu, Rex Lapis tidak benar-benar mangkat ketika Rite of Descension, melainkan siang ini. Selama ini Rex Lapis masih hidup bersama dengan penduduk Liyue dalam rupa yang berbeda dan diam-diam senantiasa melindungi mereka.
"Apa Direktur Hu tidak merasa curiga pada Tuan Zhongli? Ke mana konsultan itu sekarang?" desak salah seorang lelaki paruh baya yang pernah berdiskusi dengan Zhongli mengenai Rex Lapis.
"Kalau diperhatikan, bukankah ini aneh sekali? Fenomena aneh ini muncul tidak lama sesudah Tuan Zhongli memutuskan pergi dari kota? Bukankah dalam buku Rex Incognito dikisahkan bahwa Rex Lapis selalu menyamar dalam wujud manusia berpupil emas?" timpal salah satu pelajar yang datang ke Wangsheng Funeral Parlor demi menemui Hutao dan menuntut penjelasan.
Hutao juga tak memiliki jawaban memuaskan yang dapat ia berikan. Sejak awal, kedatangan konsultan entah dari mana yang begitu memahami soal tradisi dan sejarah Liyue itu memang aneh. Lelaki itu memiliki pengetahuan luas, namun begitu pandai menghabiskan uang hingga seringkali terjebak dalam situasi merepotkan. Tak terhitung sudah berapa kali Hutao terkejut menemukan tagihan bernominal fantastis. Bahkan dia pernah mendapati tagihan segelas teh dari sebuah tavern di Mondstadt tidak lama sesudah lelaki itu pergi berlibur ke sana.
"Dia sudah tidak bekerja di sini. Katanya mau pensiun dan meninggalkan kota Liyue," sahut Hutao.
"Bukankah Tuan Zhongli masih muda? Kenapa orang semuda itu memilih pensiun?" cecar lelaki paruh baya yang merasa penasaran itu.
Hutao benar-benar jengkel. Kepalanya terasa pusing setelah ia mendadak diinterogasi oleh orang asing yang muncul tiba-tiba. Dia pun penasaran, namun dia tak bisa menahan orang yang ingin pensiun. Karena itu lah dia memberikan uang dalam jumlah besar sebagai ucapan terima kasih, sekaligus peringatan agar berhemat dalam memakai uang.
"Ah, karena kalian begitu antusias dengan mantan konsultan kami hingga datang jauh-jauh ke sini, bagaimana kalau menggunakan jasa kami? Pembayaran bisa dimulai sekarang dengan metode mencicil, lho. Ada diskon tiga puluh persen kalau membayar langsung sekarang juga. Layanannya diberikan kalau kalian meninggal, jadi tolong berikan kontak darurat, ya," ucap Hutao sambil tersenyum dan membagikan brosur pada dua orang itu.
Kedua orang itu segera mengambil langkah seribu dengan raut wajah paling masam yang pernah diperlihatkannya pada seseorang. Namun Hutao tetap tersenyum, berharap agar calon klien potensialnya akan datang dan menggunakan jasanya lain kali.
.
.
Kecurigaan tak hanya muncul di kalangan para penduduk Liyue. Bahkan para Qixing pun menyadari keanehan fenomena tersebut, terutama sang Yuheng. Dia merasa dirinya begitu bodoh karena tak jua tersadar meski menyadari kesamaan pola pikir Zhongli dengan Rex Lapis.
Namun dia tak merasa menyesal. Jika fenomena aneh itu berkaitan dengan kematian Rex Lapis yang sesungguhnya, pasti ini semua berkat keputusan sang dewa yang terbaik menurutnya. Dia pikir, Rex Lapis pasti telah merestui kemajuan penduduk Liyue di tangan manusia. Jika tidak, mengapa selama ini sang dewa hidup dalam persembunyian di tengah umat manusia ketika dia bisa saja muncul di tengah-tengah mereka dan menyatakan diri sebagai Rex Lapis?
Tak seorangpun tahu di mana Rex Lapis wafat sesungguhnya. Kali ini, tak ada exuvia berwujud utuh yang jatuh di atas tanah Liyue. Maka dapat diasumsikan bahwa Rex Lapis ingin dianggap telah tiada dan fenomena kali ini hanyalah anomali yang tak dapat dijelaskan.
Para Qixing akan segera melakukan rapat. Mereka pikir, sudah saatnya mereka membangun patung besar dan kuil untuk menghormati Rex Lapis yang telah membangun Liyue.
Kabarnya, ada kuil yaksha yang dibangun dengan dana individu. Jika disetujui oleh para Qixing lainnya, kuil Rex Lapis juga akan dibangun di dekatnya. Dengan begitu, masyarakat dapat datang dan berdoa di kuil Rex Lapis sekaligus yaksha lainnya yang juga ikut berkontribusi bagi Liyue.
.
.
Era Rex Lapis telah berakhir. Selama ribuan tahun, Rex Lapis yang selalu turun di hadapan masyarakat Liyue telah menurunkan pula berbagai kebijaksanaannya.
Alkisah, sejarah keberadaan masyarakat Liyue saat ini dimulai dari Guili Plains. Kala itu, ada dua orang dewa yang memerintah bersama, Guizhong dan Zhongli--nama lain dari Rex Lapis dan Morax. Dewi Guizhong menggunakan pengetahuan dan kebijaksanaannya serta mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan pada penduduk kala itu, termasuk kemampuan bercocok tanam. Sedangkan Morax menggunakan kekuatannya untuk melindungi masyarakat.
Dikisahkan bahwa Rex Lapis adalah dewa yang begitu kuat dan memenangkan begitu banyak pertempuran melawan dewa-dewa jahat yang hendak berkuasa atas Liyue. Meski demikian, Rex Lapis juga telah melakukan ribuan pembantaian tanpa rasa gentar sedikitpun. Wajahnya bagaikan batu tetap bergeming, tak peduli apapun situasi yang terjadi.
Sesudah dewi Guizhong wafat, Rex Lapis memimpin manusia yang tersisa untuk meninggalkan Guili Plains menuju pelabuhan Liyue yang kini telah menjadi kota yang maju beribu-ribu tahun kemudian.
Rex Lapis juga dikisahkan turun ke tengah-tengah penduduk dalam berbagai wujud sebagaimana yang tertulis dalam buku Rex Incognito. Menurut kisah lain, diceritakan bahwa suatu kali mahluk misterius kecil berlendir menyerang kota Liyue. Ketika seseorang mengulurkan tangannya di udara, maka tak lama kemudian tangannya akan dipenuhi lendir-lendir aneh.
Rex Lapis kemudian menangkap satu per satu mahluk berlendir dan mengurungnya di kandang batu. Pada malam hari, diceritakan bahwa Rex Lapis berkeliaran di kota demi menangkap mahluk yang bahkan tak bisa dihancurkan dengan tombak dan meteor.
Begitu banyak hal yang telah dilakukan Rex Lapis bagi penduduk Liyue selama ribuan tahun. Bahkan ekonomi Liyue pun berasal dari campur tangan sang Geo Archon. Bagi penduduk Liyue, kejayaan Liyue merupakan berkat dari Rex Lapis.
Jika seorang pelancong datang ke Liyue dan bertanya mengenai Rex Lapis pada penduduk di sana, mereka akan mendengar puji-pujian penuh kekaguman dari bibir mereka. Mereka akan mengisahkan soal dewa kebangaan mereka yang begitu kuat dan perkasa serta telah ada bersama dengan mereka selama ribuan tahun.
Tak lupa, mereka juga akan menceritakan mengenai kebijaksanaan yang dimiliki oleh Rex Lapis dengan mata berbinar. Kebijaksanaan itu pula yang telah mengantarkan masyarakat Liyue meraih pengetahuan yang mereka miliki saat ini.
Bagi mereka, Rex Lapis sendiri berkaitan erat dengan kebijaksanaan, meski faktanya dewa mereka merupakan dewa kontrak, bukan dewa kebijaksanaan.
-Tamat-
------------------------------------
Author's Note :
------------------------------------
Akhirnya cerpen yang satu ini tamat juga. Udah lama sejak kali terakhirku menulis fanfiksi lebih dari 5 ribu kata.
Mohon maaf kalau ada kesalahan terkait sejarah Rex Lapis kalau dibandingkan sama lore aslinya. Aku khawatir ada yang luput atau malah tertulis dengan salah. Begitupun dengan fenomena alam yang diceritakan.
Penggunaan deskripsi Morax sebagai Zhongli, Morax dan Rex Lapis di beberapa bagian memang disengaja. Penggunaan nama Zhongli dipakai ketika digambarkan ketika Rex Lapis dianggap sebagai Zhongli. Di bagian lainnya, untuk penggambaran Rex Lapis sebagai Morax dan sebagai Rex Lapis.
Terima kasih sudah mampir ke ceritaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro