Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6 - Se-sak

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Rindu itu sesak.

***

Jantungku seakan berhenti berdetak. Papa dan Mama keluar dari mobil melihatku tak kalah kaget. Netra kami bersirobok sepersekian detik, namun mereka membuang tatapan kearah lain. Hatiku tertampar hingga ke jurang nestapa. Setelah tujuh purnama menahan rindu yang begitu menghasut, saat ini ragaku hanya dapat melihat keduanya menghempaskan rindu ini sejatuh-jatuhnya. Masih tersirat raut kecewa di wajah mereka.

Tubuhku bergetar hebat, terseok-seok sudah lubang rindu yang telah tertambal. Jika saja ada tongkat yang dapat menopang, tidak akan cukup membuatku berjalan tegak. Derau tangis dalam diam terus mempupuk lara di pelupuk mata. Ya, Allah kuatkan hamba dengan tiang tauhidmu. Sampaikan rindu hamba lewat hembusan nafas ini Ya Allah, hamba mohon.

Dengan sengaja mama dan papa tidak mengenaliku. Sungguh detik ini rasanya hatiku ingin memeluk mama dan papa. Namun...aku bukan anaknya lagi.

"Silahkan Pa—Pak Marcus dan Bu Elleanor, mari mejanya di sebelah sana," kataku dengan suara bergetar. Setiap aksara yang terucap rasanya lebih berat terhunjam daripada saat ku melihat ayah Izza dan Ibunya tadi. Rindu yang selalu kusampaikan dalam untaian munajat setiap sujudku, setiap tanganku mengadah ke langit seakan hanya kamuflase nol. Tanpa melihatku mereka hanya mengangguk dan berjalan di belakangku. Kuatur denyut arteri agar cepat sampai ke otak, benar adanya rindu itu—sesak .

Setelah menganyunkan langkah kaki yang tertumpu ribuan ton rindu, sampailah pada meja bulat bersebelahan dengan Ayah Izza dan Ibu Izza. Dengan sisa tenaga seadanya, jari-jemari begetar, serta peluh-peluh yang telah membasahi khimar, Alhamdulillah kursi telah berhasil terseret mundur.

"Silakan Ma—Bu Elleanor, semoga menikmati acaranya."

"Terima Kasih."

Bulir-bulir di sudut mataku tak dapat terbendung lagi, setitik telah terjun bebas, sudah cukup menahannya dalam diam, aku ingin berlari memeluknya. Tiap dentuman aksara yang terucap dari bibir mama membuatku kembali ke masa itu.

"Mama, miracle sayaaang banget sama Mama," kataku memeluk sembari memeluk mama yang sedang duduk di halaman belakang depan kolam renang.

"Mama juga sayang kamu. Mama sangat bersyukur melahirkanmu Miracle. Tuhan memberikan anugerah terindah dengan kelahiranmu saat badai itu. Hadirmu memberikan warna pelangi di kehidupan mama dan papa. Buah cinta dari Maha Agung yang berwujud dirimu. Oleh karena itu tetap menjadi Miracle bagi kami ya sayang. Karena saat mama terpuruk lalu melihatmu ada rasa damai di hati mama. Kamu penguat mama Miracle."

Semakin erat pelukanku kepada mama, aroma flowerynya sangat membekas. Papa mengusap pucuk rambutku dan ikut berpelukan bersama.

"Jika mama ditanya apakah ada kata yang dapat melukiskan betapa bahagianya mama memilikimu sayang, jawabannya tidak akan ada. Karena saat tangismu pecah tidak ada kata yang lebih baik dari kata syukur, seketika itu mama tahu bahwa Tuhan baik. Tuhan menghadirkanmu untuk menolong mama yang telah jatuh tersungkur. Kamu adalah cahaya penerang mama Miracle."

Aku menyeka kedua air mata mama. Mama berjuang saat melahirkanku dulu akibat riwayat penyakit sesak yang tak dapat melahirkan normal. Tapi karena kuasa ilahi, tanpa sayatan aku dapat keluar dengan sehat. Awalnya tangisku sempat pecah, namun denyutku tak bertahan lama. Tubuh mungilku berubah biru dan kaku. Mama tersungkur lagi, menghunjam siapa saja yang di ruangan itu dengan kasar. Mencabik-cabik kemeja papa, menyalahkan Tuhan yang mengambilku saat itu.

Namun saat detik menit telah berlalu semua harapan telah tiada, tangisku memecahkan nestapa. Tangisanku menjadi oase di gurun sahara. Tangisku menghidupkan harapan-harapan yang kosong. Tangisku memberikan warna kuning dalam jingga. Tangisku adalah keajaiban. Miracle.

"Semoga mama hanya kehilanganmu sepuluh menit saja, jangan pergi lagi ya Miracle."

"Cle...Cle...Cle, kamu kenapa? Dicariin Mbak Sinta dari tadi."

Astaghfirullahal'adzim, tepukan dipundakku segera menyadarkanku saat tangan ini hampir menyentuh mama.

"Nggak apa apa Kak, iya sebentar lagi, aku menyusul."

****

Netraku menyapu pandangan tamu tamu yang telah berangsur pulang. Mama dan Papa sudah tak terlihat, ada gemuruh hampa saat tak dapat melihat mereka lagi. Aku ingin melihat senyuman mereka, walaupun hanya sedetik. Nihil.

***

Mataku tak dapat terpejam sedikit saja. Badanku bergeliat ke kiri dan ke kanan. Udara yang biasanya dingin menusuk-nusuk, hari ini terasa sangat panas. Belum lagi sesak yang tiada hentinya. Kuteguk air putih di botol bening mengisi kerongkonganku yang kering akibat tangisan tertahan sedari tadi. Jam masih menunjukkan pukul satu malam. Segera kubasuh tubuhku dengan air wudhu. Saat tak ada mama untukku bersandar, ada bumi yang siap mendengarkanku, menyampaikan kepada penghuni langit. Aku milikmu Ya Allah.

***

Cahaya pagi menerobos melalu celah-celah tirai jinggaku. Membuatku terbangun. Kepalaku masih saja pusing akibat baru dapat tertidur selepas sholat shubuh. Sungguh belum pernah hati ini merasakan patah hati, tapi patah hati tersakit adalah saat senyummu tak terbalas oleh kedua orang tuamu.

Air mata ini lelah keluar, menandakan sisa-sisa rindu itu tersimpan dalam dada. Kulihat jam menunjukkan pukul delapan pagi, saat ini akan ada misa pagi. Apakah aku harus kesana?

***

Deretan mobil telah memenuhi lahan parkir di depan sebuah gereja. Entah dorongan dari mana hingga menginjakkan kaki ketempat ini. Memang radiusnya dekat tetapi tidak sampai menampakkan diri. Dari sudut ini aku dapat melihat mobil keluarga ravegaf terparkir di sebelah utara gereja.
Tanganku meremas sepucuk surat untuk mama. Namun Tak mungkin jika aku memberanikan sendiri.
Apa kuurungkan saja ya. Tapi aku hanya ingin menyampaikan rindu kepada keluargaku terutama mama.
Jalan protokol masih terlihat sepi, namun orang bersepeda lewat di depanku.
Bismillahirahmanirrahim, niatku disini hanya ingin menitipkan surat melalui Pak Tarji sopir keluarga Ravegaf, semoga dapat tersampaikan tanpa harus melukai.
Pelan-pelan kulangkahkan tubuhku yang berbalut gamis beserta khimar biru dongker.
Berjalan biasa, tetapi semua mata terutama supir-supir yang menunggu, melihatku heran.
Sebagian mereka belum tahu jika aku sudah beragama Islam. Terutama Pak Tarji, matanya membulat saat telah berada di depannya. Ia sedang menghisap rokok kretek yang tinggal separuh.

"Loh ini Non Mir? Kok bisa kesini?" katanya tak percaya.

Aku hanya mengangguk.

"Bagaimana kabar Pak Tarji?"

"Alhamdulillah baik Non, non gimana kabarnya? aduh saya bingung ini. Kalau tuan Dan nyonya tahu bagaimana?" katanya sembari menggaruk tengkuk.

"Alhamdulillah baik, saya nggak lama kok Pak, saya kemari hanya untuk nitip ini buat mama dan papa, semuanya," kataku sembari memberimu surat itu kepada Pak Tarji.

"Apa ini Non? Saya takut Non ngasihnya."

"Hmm saya minta tolong Pak, jika Pak Tarji nggak bisa. Tolong taruh di mobil saja," kataku memohon dengan suaranya yang bergetar.

"Tidak perlu repot-repot nyusahin orang Mir!"

Mataku membulat, suara itu..
Kubalikkan tubuhku perlahan, Bang Mario menatapku tajam.
Ia mengambil Surat yang ada di genggaman Pak Tarji.

"Apa kamu pikir hanya dengan surat cengengmu ini dapat membuat kita semua memaafkanmu?! Belum cukup kamu membuat mama menderita! Aku sarankan jangan sekali-kali kamu keliatan disini Mir!" kata Bang Mario sembari meremas suratku.
Tangisku tertahan, netraku bersirobok dengannya.

"Sebenci-bencinya kalian padaku. Kalian tetaplah keluargaku. Aku tetap mencintai kalian semua sama seperti dulu. Mungkin keyakinanku berbeda, tapi Allah tidak pernah mengajarkan until membenci. Aku datang membawa kasih Dan aku pergi menjemput kasih yang sebenarnya. Aku mohon Bang jangan membenciku..." Suaraku tertahan oleh hidung yang tersumbat. Derai air Mata ini jatuh persis seperti 7 bulan yang lalu.

Bang Mario bukanlah tipe orang yang dapat dibantah, jika yang is yakini A Alan selalu A susah di bengkokkan. Semakin erat remasanya pada suratku hingga ia buang ke tempat sampah.

"Pergi Mir! Sebelum aku memecahkan Batu ini. Pergi!"

Tubuhku terhuyung ke belakang. Hatiku rasanya tertusuk sembilu pada tempat yang sama. Dengan Mata memerah kubalikkan badan ini meninggalkan Bang Mario yang sedang terpaku. Aku melihat punggungnya bergetar hebat. Pak Tarji hanya dapat melihatku sendu dan menganggukkan kepala.

Semoga satu langkah in dapat membuka hati mereka untuk tak membenciku. Ya Allah, teguhkanlah hamba selalu dalam islam.

Allah SWT berfirman:

وَا خْفِضْ لَهُمَا جَنَا حَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًا ۗ 
wakhfidh lahumaa janaahaz-zulli minar-rohmati wa qur robbir-ham-humaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 24)

****

Jazakumullah khoir semuanya sudah menunggu part ini. Afwan kemalaman huhu.

Semoga Makin kesini dapat di terima dengan baik.

Ambil baiknya buang buruknya. 😘😘

Kira-kira POVnya perlu di ubah nggak nih?

Barakallah fiikum,

Selamat bobok,

Ayaflu from the other side

Love, kinazadayu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro