Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 32 - Menjemput Cahaya

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kita semua tercipta dari yang Satu, untuk mencintai yang Satu ( Allah Subhanahu Wa Ta'ala)

***

Bergegas langkahku menyusuri lorong rumah Sakit, sampai abai jika ada tong sampah yang tiba-tiba terjatuh. Angin-angin menelisik dalam khinar juga tak terhiraukan. Aku tidak bisa sedetikpun berpaling dari nama itu. Hati ini tidak karuan, Mama-siuman. Masya Allah, Alhamdulillah hanya dua kata yang terucap. Sudah tidak terhitung berapa banyak nikmat Allah dalam memberikan kuasa-Nya yang tidak terduga.

Bang Marcel akan membuka pintu, aku langsung masuk. Napasku tersenggal, Mama sedang menautkan jari-jarinya di tangan Papa. Mereka saling mencerap begitu dalam. Papa tak henti-hentinya mencium tanngan Mama. Setelah memakai baju steril langsung mendekat. Namun lanngkahku terhenti, perlahan netra kami bersirobok.

"Mama....." sontak mereka semua menoleh. Lekukan bulan sabit di bibirnya tercipta, tangan mama terangkat mencoba meraih wajahku, "Miracle..."

"Mama.... Miracle kangen.... Alhamdulillah Ya Allah." Aku mencium tangan Mama dengan takzim. Tangan Mama sudah terasa menghangat. Mama mengusap pucuk kepalaku lembut.

"Mir Sayang kok nggak ada di sini pas pertama kali mama buka mata? Kamu kemana Sayang."

"Mama masih pengen dengerin lantunanmu dalam lirih Mir..." kata Mama membuatku terperangah. Papa hanya menunduk.

"Miracle tadi keluar sebentar Ma... sekarang Miracle sudah di sini kan?"

"Iya Sayang, bolehkah kamu ulangi lantunan kitab sucimu?"

Hatiku tersentak, bibirku bergetar, ada senyawa haru meliputi. Papa beranjak tanpa berkata apapun, sekilas terlihat gurat wajahnya dingin, kecewa, campur aduk. Papa memilih untuk menunggu di luar. Bang Mario dan Bang Marcel saling tatap. Mama hanya menatap punggung Papa yang makin mengecil. Nyeri, baru kali ini melihat Papa mengabaikan Mama. Padahal Papa sangat menantikan kesadaran Mama, sangat.

Setelah taawudz, lidahku melantunkan satu surat yang selalu membuat netra ini menangis. Surat Ar-Rahman. Sewaktu di penjara, aku pernah bermimpi sedang membaca surat Ar-Rahman dan ada sosok yang mendengarkan namun aku tak dapat mengingatnya dengan jelas. Tak dapat kusangka jika saat ini aku dapat melantunkannya di depan Mama.

Mama menatapku lamat-lamat, Bang Mario dan Bang Marcel bersandar pada kursi. Air matanya berderai, pun air mata ini.

Mama menarikku dalam pelukannya. Kuciumi pipinya perlahan, wajah cantik itu masih sama walaupun tatapannya tak sebugar biasanya.

"Bolehkah Mama selalu mendengarnya Miracle?" Aku mengangguk. Kondisi Mama sudah bersemangat. Entah seharusnya Mama masih lemah karena tidur panjangnya yang lebih dari sepuluh hari. Tapi sungguh kuasa-Mu Ya Rabb.

"Insya Allah dengan senang hati Ma, Miracle akan selalu melantunkan ayat demi ayat sampai Mama lelah mendengarnya."

Mama menggeleng, "Tidak Miracle, mama tidak akan lelah, kamu tahu Sayang,

"Sayup-sayup terdengar suaramu menggema dalam ruang itu Miracle. Saat itu mama terkungung dalam perjalanan panjang yang gelap, lalu ada cahaya dan suara lantunan kitab sucimu muncul. Rasanya sendi-sendi mama berubah kuat, sehingga tak terasa mama sudah berlari mengikuti cahaya itu, tapi semakin mama kejar semakin menjauh. Dan suara itu terhenti digantikan oleh suara kilat yang dahsyat, mama takut, sangat takut. Mama berhenti lagi napas mama seperti terburu oleh sesuatu, mama lelah berlari akhirnya mama berhenti membungkuk dengan kedua tangan menyentuh lutut, menangis sedalam-dalamnya. Tiba-tiba ada tangan lembut yang mengusap pucuk kepala mama. Mama masih tersedu, sesaknya sampai ke ulu hati, dengan susah payah mama mencoba bangkit untuk melihat siapa yang mengusap kepala mama. Tubuh mama makin lemas. Mama tidak mampu melihat wajahnya yang tertutup sinar yang lebih terang dari rembulan," kata Mama sambil terisak bergitu dalam.

Tubuhku mendadak ikut lemas, apakah yang Mama maksud adalah... "Allahumma sholli 'alaa sayyidina Muhammad," batinku dalam hati. Hatiku bergetar, Bang Mario memundurkan kursinya lalu keluar, sedangkan Bang Marcel masih berada di depan Mama. Bang Mario tidak melihat kami lagi, ia membanting napasnya kasar. Ya Allah...

"Apa yang Mama rasakan?"

Tangan Mama mengerat, "Mama merasa tenang. Tidak hanya itu setelah sosok bercahaya itu mengusap pucuk kepala mama, sosok itu menghilang, tubuh mama mendadak semakin menua. Namun bukan tempat gelap lagi yang tampak, ada banyak burung berkicau dan suara kidung yang sangat nyaring. Mama berjalan lagi nampak di depan mama seperti sebuah pasar. Mama melihat sosok pendeta disana, pendeta itu berpapasan dengan segerombolan pria berjubah. Pendeta itu menunduk, terlebih salah satu pria berjubah itu menunduk lebih rendah dari pendeta, sedangkan yang lain tercenung, mungkin sama terperangahnya seperti mama. Selama hidup mama tidak pernah sekalipun sebegitu menunduknya kepada pendeta Mir, namun.... hati mama tersentak. Salah satu pria dalam gerombolan itu bertanya, "Wahai syeikh, orang itu adalah seorang pendeta!"

Pria berjubah itu menjawab, "Kita lebih rendah diri. Dia, pendeta itu, tidak mengerti... tetapi saya membungkuk kepada yang Satu itu (Allah), yang telah membuat pendeta itu ada." (*)

"Seketika mama terjatuh Sayang, mama merasa sangat kurang mencintai Tuhan... Mama terduduk sambil mendekap lutut mama yang melemah. Mama serasa kehilangan arah, lalu suara itu... samar-samar, suaramu lagi Miracle... segera mama tertatih mencari suaramu... akhirnya mama melihat dirimu Sayang, sedang berada di depan pancuran air.

"Kamu mengusap punggung tanganmu, lalu berkumur dan membersihkan lubang hidung. Tak hanya itu kau mencuci wajahmu berulang kali, lalu kedua tanganmu kau usap bergantian. Tak luput telinga dan rambutmu juga basah Sayang, dan terakhir kedua kakimu. Tapi saat itu Mama memanggilmu sampai pita suara mama tersayat, kamu tidak mendengar.

"Mama ingin mengikutimu sampai ke dalam tapi mama tidak dapat masuk. Karena di depan mama seperti ada dua makhluk menghalangi mereka berkata jika mama tidak memiliki kuncinya. Mama ingin meronta, tapi tidak bisa Miracle. Karena saat melihatmu ada cahaya yang terpancar. Kamu mencium bumi Miracle... Mama mendengar rintihanmu... mama semakin sesak... Mama berteriak, Ampuni aku Tuhan pemilik alam semesta... Ya Allah. Seketika mama tersadar melihat langit-langit putih, dihadapan mama ada papa yang sedang tertidur Miracle, mama tidak menemukan sosokmu..."

Aku semakin tergugu... aku tidak dapat menafsirkan mimpi mama, yang aku inginkan hanya mama mendapatkan secercah hidayah. Mama mengenggam tanganku erat.

"Miracle, dapatkah kamu katakan Sayang, jika hidupmu begitu tenang sekarang?"

Aku mengangguk, "Ya Ma, Miracle sangat merasa tenang setelah mengenal islam. Mendapatkan nikmat yang tidak dapat terdefinisikan dengan apapun..."

Mama menangkupkan kedua tangannya di wajahku. Netranya tersirat berjuta makna yang menyejukkan.

"Dapatkah kamu berbagi nikmatmu kepada mama untuk menjadi bagian dari rembulan itu? kaki mama masih lemah, tapi hati mama tidak Miracle, bisakah kamu membantu mama menemukan kunci untuk bertemu Tuhan walaupun saat ini mama hanya dapat merangkak..."

Hatiku berdesir, tangisku pecah. Masya Allah, Allahu Akbar, Lalilahailallah Muhammadaur Rasulullah. Bang Marcel juga terperanjat oleh apa yang dikatakan Mama. Kepalaku mengangguk cepat. Kubantu mama menaikkan tuas tempat tidur agar dapat duduk lebih tinggi.

"Bismillahirahmanirrahim,...

Tangan mama menahanku.

"Tolong lepaskan kalung mama dulu sayang..."

Aku mengangguk lalu mencopot kalung salib emas putih milik Mama. Sambil terisak haru kuserahkan kalung itu kepada Bang Marcel. Ia menatap kami sendu... lalu menggenggam erat.

"Kita ulangi lagi ya Ma, Bismillahirahmanirrahim...Asyhadu Alla Ilaaha Ilallah."

"Bismillah..hirahma..nirrahim, Asyhadu Alla Ilaa..ha Ilallah," suara Mama semakin parau hatiku rasanya bergetar.

"Waasyhadu Anna Muhammadar Rasulullah."

"Waasyhadu Ann...na Muhammadar Rasulullah," kata mama bergetar sambil berlinang air mata. Tak kuasa hatiku sudah sempurna bergetar. Kucium punggung tangan berkali-kali, kudekap tubuh mama, hangat, tubuhnya menghangat.

"Insya Allah Mir, akan menghubungi pihak mualaf center Al-Akbar, agar Mama dapat bersyahadat lagi dan mendapatkan sertifikat, terlebih lagi Mir akan membantu mama mencari kunci menuju jannah-Nya," kataku sambil mencium tangan mama. Namun hati ini masih mengganjal, dan teringat sesuatu.

"Ma... bagaimana dengan Papa?"

Mama hanya teresenyum, ia melihat ke arah pintu.

"Papa pasti sudah mendengarnya Sayang, tidak apa-apa. Mama sangat mencintai Papamu, ia tahu jika mahkotanya bukan lagi terpakai secara sederhana. Tapi mahkota itu lebih bersinar. Sekarang kemarilah... gandeng tangan mama selalu, sampai bertemu Tuhan... Allah." aku mengangguk, dan tak akan pernah melepaskan tangan mama.

"Marcel... jika kamu juga tidak menghendaki keputusan mama, tolong jangan pernah berhenti mencintai mama ya Sayang, karena rasanya akan lebih sakit."

Bang Marcel tidak dapat membendung air matanya, ia tergugu.

"Marcel akan selalu mencintai Mama, tak peduli apapun."

"Ma, Miracle akan menikah...."

****

Setelah kejadian itu Papa tidak kembali, hatiku berkecamuk. Dapat kulihat mama juga berkecamuk saat belahan jiwanya tidak tampak lagi. Kuputuskan untuk beranjak untuk menemui mereka. Mama mengerti, ia bersama Bang Marcel di dalam, sedang mendengarkan leluconnya yang lebih garing dari ikan asin.

"Ahnaf tadi kemari, dengan Izza," kata Bang Mario tanpa menatapku.

Aku terperanjat lalu mengangguk, tubuhku mendekat kepada Bang Mario.

"Bang... nggak masuk ke dalem? Mama kangen itu, kasian daripada nanti Bang Marcel makin ngaco guyonnya, mending Abang masuk," kataku mencoba mencairkan suasana horrorism.

"Jika itu sudah pilihan Mama, abang nggak akan nolak. Tapi abang hanya berpikir tentang perasaan Papa. Kita semua sama-sama sayang sama Mama. Apakah dari kalian tidak ada yang dapat mengerti perasaan Papa? Papa selalu menahan sakitnya sendirian Mir. Abang selalu jadi saksi saat Papa tiba-tiba menangis di ruang kerjanya memikirkanmu, memikirkan Mama yang selalu sedih karena kepergianmu. Kamu tahu Mir, Papa sendiri yang memintaku untuk mencarimu... setelah kamu mengantar surat ke gereja Mir. Papa melihatmu! Papa tidak bungkam, ia mengerti arenanya sendiri dalam hal mencintai. Semakin membuatku sadar, jika aku yang selalu egois. Selalu menyalahkan kamu, tadi saja hampir terbesit pikiran menyalahkanmu lagi, karena apa? Papa terluka Mir!"

"Lebih baik kamu mencari Papa, daripada membujuk abang buat masuk, karena tanpa kamu minta pun pasti abang akan masuk... sekali lagi abang mohon, jika kamu mencintai keduanya, jangan pisahkan mereka..." kata Bang Mario lalu berdiri dan masuk ke ruangan Mama. Aku terpekur. Aku pun tak ingin memisahkan mereka.

Gawaiku bergetar, terlihat satu nama yang mengalihkan porosku, Pak Ahnaf.

"Assalamualaikum, Miracle... maaf mengganggu, apakah kamu baik-baik saja?"

"Waalaikumussalam Pak, Mas, ehmm maaf saya tadi tidak tahu jika Pak Ahnaf datang dengan Izza, alhamdulillah saya baik-baik saja."

"Tidak apa-apa, Izza tadi memang yang ingin sekali menemuimu Miracle. Oh begitu, jika saat ini kami kembali ke sana apakah mengganggu kalian?"

"Tidak sama sekali Pak, baik saya tunggu."

***

"Oma, kok sama kayak Omanya Izza pake selang gitu. Bial cepet sembuh ya? Oma suka ikan gendut?" kata Izza mengerjapkan mata lentiknya.

"Apa itu Sayang ikan gendut?" tanya Mama lembut.

Izza membuka tasnya lalu memberikan kepada Mama sebungkus ikan gendut. Kami semua terkekeh. Izza dan ikan gendut, seperti dora dan peta.

"Ini namanya ikan gendut Oma, Omanya Izza juga seneng sama ikan gendut, katanya nanti mau di taluh akualium. Oma mau Izza suapin?"

Mama tak berhenti tertawa ia mengangguk, lalu membuka mulutnya. Mama berusaha mengunyah ikan gendut dengan ekspresi menyengir, karena sejatinya Mama tidak begitu suka dengan kudapan ber-msg.

"Izza sayang, sini Miss aja ya yang makan, masa Oma aja yang dikasih ikan gendutnya," kataku menatap Izza yang mengulum senyumnya.

"Bunda mau Izza suapin ya? Sini a a a..."

Bunda? Wajahku memanas. Kulihat Pak Ahnaf hanya tersenyum. Mama apalagi, terkekeh mendengar kepolosan Izza.

"Bunda sama Ayah makan ikan gendut baleng-baleng suapin Izza. Ayok Yah!"

Keringat dingin bercucuran, Pak Ahnaf menyuapi Izza, nyaris saja Izza membuat Pak Ahnaf menyuapiku.

"Yah kok dimakan sendili! Bunda nggak jadi disuapin!"

"Nanti Sayang setelah Bunda tinggal di rumah."

Deg, mengapa ucapannya selalu membuatku ingin meletup? Kumohon hati janganlah tercecer.

"Bunda kapan tinggal sama Izza?"

"Setelah Ayah dan Bunda menikah."

Izza hanya manggut-manggut.

"Oh iya Izza pengen dengel ayah baca surat Al-Mulk sekalang!"

"Nanti saja ya Sayang di rumah."

Izza merajuk, jujur saja aku juga sangat penasaran dengan suaranya saat melantunkan lafal Allah.

"Bisa kah kau turutin permintaan Izza Nak?" Kata Mama.

Pak Ahnaf akhirnya melantunkan surat Al-Mulk. Suaranya menyejukkan, menumbuhkan getaran yang tak biasa.

Tiba-tiba Mama terbatuk-batuk. Dadanya mendadak sesak tak terhingga. Pikiranku mulai kacau, Mama!!

Ket :

- Riwayat Maulana Syekh Nazim qs,
Liberating the Soul, 2006.

****

Jazakumullah khoir yang sudah membaca sampai Part ini.

Semoga makin kesini MS dapat di terima di hati kalian.

Ambil baiknya buang buruknya.

Tetaplah mencintai sesama. Kita sama sama tercipta karena Allah, dan saling mencinta juga karena Allah. Lantas apa yang membuat diri ini lebih unggul?

Bukan berarti Kinz menulis ini lebih baik, tetapi just selfreminder

Selamat weekend.

Love kinz kinazadayu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro