Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 23 - Evidence

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Pertolongan Allah itu pasti,

Jangan lelah menanti,

Jika hati telah mati,

Baru kita bersedih hati.

***

Sudah hampir sepuluh menit Bang Marcel duduk dihadapanku tanpa berkata apapun. Netraku masih tak kuasa melihatnya. Di depan Maryam seolah hatiku kuat menghadapinya. Nyatanya? Lidah ini berubah kelu, dada bergemuruh campur aduk, hatiku remuk redam, kepala ini berdenyut pening, rasanya ingin segera hengkang dari situasi paling menyakitkan.

"Jika abang kemari hanya untuk diam, izinkan aku untuk kembali masuk. Ada teman-teman setiaku yang menunggu di dalam sana," kataku bergetar.

Bang Marcel nampak memijat tulang pipinya yang berwarna biru keunguan, tak sekali ia merintih dalam lirih. Namun rasa ini tidak dapat berbohong jika aku sangat khawatir apa yang menimpanya.

"Kembalilah ke dalam sana Mir... abang tahu saat ini mungkin kamu sebenarnya muak dengan kehadiran abang..." kata Bang Marcel lirih namun suaranya tidak hanya bergetar tapi terasa sangat memilukan.

Bulir-bulir ini mengalir begitu saja, merobohkan pertahananku. Hati ini sangat sulit untuk mengabaikannya. Bang Marcel melihatku lekat lalu tertunduk, ia mengeluarkan sesuatu dari saku sebelah kiri. Tangan kekarnya bergetar saat menggeser sapu tangan bermotif kodok keropi. Sapu tangan itu...sapu tangan kesayanganku yang sengaja kuberikan kepada Bang Marcel saat ia terjatuh dari sepeda. Ternyata ia masih saja menyimpannya melihat tipikalnya yang teledor.

Air mata ini makin tak terbendung, kuraih cepat sapu tangan itu. Masih tercium aroma kenangan saat ia mengajariku bersepeda, mengajakku memanjat pohon hingga akhirnya mama juga ikut memanjat. Kami sengaja berada di atas saat papa memanggil, nampak kecemasan yang tercipta. Papa mondar-mandir memanggil semua asisten untuk mencari kami. Bang Mario yang baru pulang sekolah juga ikut menemani papa kesana kemari mencari kami yang sedang cekikikan di atas pohon. Ah aku rindu...

Bang Marcel masih tetap menunduk, dapat kulihat air matanya berderai membasahi wajah tampannya. Alis tebalnya nyaris bertaut menandakan jika ia tengah tergugu sangat dalam. Kusodorkan lagi sapu tangan ini.

"Ambillah Bang, Abang lebih membutuhkannya..."

Bang Marcel menatapku sendu. Ia meraih sapu tangan itu lalu mencengkeram tanganku begitu erat, sampai kurasakan aliran darah ini nyaris tersendat.

"Bang..sakit..." rintihku.

Ia langsung memelukku begitu erat, ia hanya membisikkan kata maaf berulang-ulang. Dalam rengkuhannya kurasakan rasa bersalah yang menyeruak dari Bang Marcel. Tak berhenti lidahnya berkata maaf sampai petugas mengingatkan waktu berkunjung telah habis. Namun satu kata maaf yang terucap darinya membuat hati ini lega. Satu kata maaf sudah lebih dari cukup bagiku, walaupun ada alasan yang belum diketahui, setidaknya ia telah kembali menjadi Bang Marcel yang kukenal.

****

Dua hari berlalu pasca Bang Marcel mengunjungi. Ada rindu dan rasa penasaran yang membuncah. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti alasan apa yang membuat Bang Marcel melakukan kesaksian palsu. Namun ia seperti tertelan bumi, tak tampak lagi. Ia memang tidak berjanji untuk mengatakannya, hanya maaf yang terucap. Bodohnya aku tidak membuatnya kembali lagi, selalu—hanya menerima tanpa berpikir ulang, lalu saat ini datang rasa penyesalan. Pikiranku kalut, takut jika ada hal yang mengancam jiwanya. Aku takut, sangat takut.

Sempat aku bercerita tentang hal itu kepada Mas Adrian dan memintanya untuk menghubungi Bang Marcel. Tetapi ia hanya manggut-manggut tak bergeming, bukankah harusnya Mas Adrian senang jika Bang Marcel akan memberikan kesaksiannya lagi?

Tak hanya itu, setelah kunjungan Mas Adrian, Maryam juga datang dengan wajah tak seperti biasanya. Rrauta wajahnya yang biasanya nampak sumringah berubah redup.

Aku tahu ia sangat menyesal tatkala aku menolak Bang Tafa secara langsung. Ia hanya berusaha nampak biasa saja. Walaupun guratan kekecewaan itu nampak jelas sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa pelangi itu makin samar? Benarkah jika mereka menjauh dariku. Apa benar ucapan Bang Tafa jika aku memang ingin terus terkungkung dalam sini?

Aku tersedu dalam diam, melihat kalam Allah saja hatiku tak masuk, pikiranku penuh. Puspa menyadari jika hatiku sedang tidak baik-baik saja, ia memutuskan menyetor hapalannya kepada Rima. Mereka semua tak ada satupun yang berani  bertanya padaku, hanya sapaan sepintas lalu mereka memberiku ruang untuk sendiri.

Ya, aku merasa sendiri, ternyata Allah sangat mudah mempermainkan hati ini. Kemarin aku senang dengan kedatangan Bang Marcel, lalu saat ini gulana yang menyelimuti. Apa engkau benar sampai seperti ini mengujiku Ya Allah?

Duh Ilahi, tahukah jika saat ini aku sudah tak mampu lagi. Tahukah jika saat ini aku sudah tak ingin lagi merasakan sakitnya hampa. Apakah mereka semua hanya bagian dari topeng-topeng kelam yang menusukku? Mati rasa? Ya.

Ya Ilahi, dinginnya kehampaan ini telah menusuk hingga ke jantungku. Bekukanlah hati hamba dari rasa sakit yang tak terhingga ini Ya Rabb. Hamba tak kuat lagi kumohon sudahi pedih ini walau hanya sedetik saja. Kembalikan semua orang yang berada di sisiku, semuanya.

Rima terbangun ia langsung terduduk saat mendapatiku dengan mata terjaga.

"Cle, kamu mau seperti itu terus? Sampai kapan?" katanya lembut.

Aku hanya menggeleng sambil memeluk kedua lututku. Netraku hanya menatap kosong tembok putih.

"Aku bukan orang suci Miracle, tetapi ibuku pernah bilang. Kalau takdir itu nggak akan berubah kalau kita cuma nelongso. Apalagi saat kita semakin menyalahkan diri sendiri, itu cuma bentuk keegoisan yang makin membuat terpuruk malah jatuhnya jadi ingkar sama Allah, dan kamu tahu toh kita semua yang ada disini itu tidak seberuntung kamu yang masih punya tempat untuk pulang. Mosok kamu nggak nyadar? Aku nggak tahu apa yang membuat Miracle yang tadinya seperti pelangi setelah badai datang malah berubah jadi tsunami. Yang jelas kedatanganmu kesini itu seperti air sumber, jadi kalau kamu keruh kita semua bakalan keruh dong? Nggak eman sama temen-temen yang udah susah payah apalin bacaan sholat dan surat-surat pendek? Sudah sekarang kamu istirahat aja, bukannya besok ada sidang?"

Aku tersentak, bukankah itu pernyataan yang sempat kukatakan pada Kak Khadijah dulu? aku tertampar ya Rabb, ternyata benar lebih mudah berkata daripada mengamalkan. Aku mengangguk perlahan. Rima masih tetap pada posisinya.

"Tidurlah... saat pagi datang kita harus percaya ada harapan lagi."

***

Benar yang dikatakan Rima, semakin aku memaksakan untuk selalu nampak baik-baik saja justru akan membohongi diri sendiri malah menyalahkan diri sendiri. Sumber kehidupan datangnya dari Allah, dan akan bermuara ke Allah juga. Akankah air yang kita bawa bersih atau penuh sampah. Namun semua itu mempunyai proses masing-masing, mungkin hal ini cara Allah menyaringku menjadi lebih baik.

Dengan bismillahirahmanirrahim, langkah ini tegap menuju ruang persidangan. Maryam dan Bang Tafa tetap duduk pada kursi depan, Maryam tersenyum pun Bang Tafa, walaupun binar matanya nampak redup. Netraku berpendar, ada mama, papa dan Bang Mario disana. Haru hati ini saat mereka masih menyempatkan diri untuk datang. Namun tak kudapati—Bang Marcel. Kekhawatiranku memuncak, dimanakah Bang Marcel?

Untuk kesekian kalinya duduk dikursi pesakitan tak juga membuatku kebal, masih ada saja rasa takut sedih, berjelaga, durja.
Hakim Reno mempersilakan jaksa untuk membacakan tuntutannya. Jaksa tetap menuntutku selama 9 tahun berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak pasal 82.

Setelah itu Mas Adrian memberikan pledoi dan sebuah flashdisk kepada hakim. Entah apa isi flash disk itu karena beberapa waktu yang lalu hatiku sedang buruk. Para hakim nampak saling berbisik satu sama lain.

"Sebelum adanya putusan dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, saya akan mendatangkan saksi tambahan lagi Yang Mulia."

Aku tersentak? Saksi lagi? Siapa? Mengapa aku tidak mengetahuinya? Apa karena kekalutanku sampai tidak menyadari jika Mas Adrian telah berbicara tentang saksi tambahan?! Hatiku tiba-tiba bergemuruh, mungkinkah Bang Marcel? tapi jika ia bersaksi apakah ia akan terkena sanksi? Tidak jangan semoga itu tidak terjadi.

Hakim Reno akhirnya mempersilakan saksi untuk masuk. Aku mencengkeram tangan Mbak Anisa kuat sambil tertunduk, tak kuasa melihat siapa yang berjalan memasuki ruang sidang ini. Namun suara Hakim Reno meminta untuk memasukkan interpreter persidangan. Sontak aku mendongak, netraku membulat. Sosok yang duduk di kursi itu adalah—Pak Udin.

Aku melirik Mas Adrian, ia hanya mengangguk menandakan semua dapat teratasi. Beribu pertanyaan memenuhi kepalaku. Apa maksudnya?

Sang interpreter telah memasuki ruang persidangan. Setelah di sumpah, Pak Udin mulai menggerak-nggerakkan tangannya perlahan.

"Sebelumnya saya mohon maaf atas kebisuan saya sehingga tidak dapat menyampaikan kesaksian ini secara langsung. Namun saya harus menyampaikannya jika tidak saya tidak hanya menyesal di dunia tapi juga di akhirat."

Pak Udin tidak menatapku sama sekali, ia fokus menatap para hakim.

"Saya bukanlah orang pintar seperti kalian yang ada di dalam persidangan ini, namun Insya Allah, saya akan menyampaikan hal yang saya dengar dan lihat secara langsung. Sebelumnya saya memang sangat syok atas kasus yang menimpa Mbak Cle yang beredar di televisi, karena sepengathuan saya, beliau orang yang sangat baik. Sekitar tanggal 19 november saya mengunjunginya dengan anak saya. Setelah mengunjungi Mbak Cle, saya mengantar anak saya pulang. Lalu saya langsung menarik ojek lagi."

"Jadi Bapak seorang ojek daring?" tanya Hakim Reno, Pak Udin mengangguk. "Baik, lanjutkan."

"Karena saat ini musim voucher makanan dari aplikasi ojek daring, saya banyak mendapatkan pelanggan pemesan makanan. Saat itu kebetulan saya sedang menerima pesanan di sebuah restoran itali cepat saji. Saat sedang menunggu pesanan, tubuh saya terduduk di dekat meja pembeli restoran itu. Dan saya tidak sengaja mendengar seseorang menyebut 'Miracle', sebelumnya saya tidak pernah sepeduli ini dengan pembicaraan orang lain. Saya memang bisu namun saya tidak tuli. Entah mengapa saat itu saya menoleh dengan jelas wajah itu masih terekam dalam otak saya. Ya ternyata sumber suara itu dari wanita galak yang membuat saya bertemu dengan Mbak Cle dan yang lebih membuat saya syok lagi, wanita galak itu bersama dengan—dia," kata Pak Udin menunjuk Mama Nick. Sontak semua yang ada di persidangan terperanjat. Netraku membulat, dari jauh kudapati Margie tiba-tiba berdiri meninggalkan ruangan. Tapi sejak kapan Margie berada dalam ruangan ini?

Namun Margie dihadang oleh petugas persidangan, karena selama persidangan berlangsung tidak diperkenankan untuk keluar masuk. Ia akhirnya duduk tepat di kursi bagian belakang, wajahnya nampak pucat pasi.

Mama Nick merasa keberatan atas tuduhan Pak Udin. Namun Hakim Reno mengetuk palunya agar sidang dapat dilanjutkan.

"Saya ini sebenarnya orang gaptek, hanya tahu tentang aplikasi ojek daring saja, namun saya mengingat bagaimana Mbak Cle dulu membela dan menolong saya. Akhirnya saya diam-diam mencoba merekam video ini, gambarnya memang tidak terlalu terlihat jelas namun suara mereka terdengar cukup keras," kata Pak Udin.

Sontak aku melihat video yang di putar pada proyektor. Disitu tampak Margie dan Mama Nick terbahak. Ada Nick di sebelah mamanya sedang memakan pizza. Hatiku teriris, jadi mereka mempermainkan hukum?!

"Bego banget Sylvia, mau aja jadi dungu kayak keledai. Jika dia tidak merekamnya jalan kita nggak mungkin selancar ini Eon,"kata Margie terbahak.

"Harusnya Nick kita tersayang ini bagusnya jadi aktor, iya kan sayang?" tanya Mama Nick.

"Nick tetap mau jadi dokter Ma," kata Nick mengerjapkan matanya.

Aku mengelap bulir-bulir yang terjatuh saat melihat Nick dengan polosnya berkata, Ia sangat ingin menjadi dokter, namun orang tuanya.... Arggh, astaghfirullahal'adzim!

"Kalau bisa Miracle harus dihukum seberat-beratnya, enak aja berani neyepelein orang kayak aku! walaupun dia udah pergi semua bayang-bayangnya dikampus masih ada. Aku makin benci Eon!"

Aku menggeleng cepat, tak menyangka sebenci itukah ia padaku? Mantan sahabatku... aku menatap dari kejauhan Margie sedang kelimpungan, lalu ia menatapku tajam. Astaghfirullahal'adzim.

"Kamu gila emang Dek," kata Mama Nick menggeleng.

"Memang aku gila! hahah aku harus bisa mendapatkan semuanya Eon, termasuk membuatnya hancur, aku tidak main-main Miracle!" katanya terkekeh.

Lalu video itu terputus, mendadak wajah Mama Nick pucat pasi. Ia beringsut mundur, nampak Pak Murad juga terperanjat.

"Kebenaran adalah kebenaran, lalu memaksakan kebenaran sama saja dengan ketidakbenaran itu sendiri. Sekian dari saksi kami, mohon dapat menjadi pertimbangan bagi Yang Mulia," kata Mas Adrian.

Suasana sidang semakin ricuh, tak sedikit yang mengujat dan membelaku. Hakim Reno, mengetuk palunya, setelah berbisik kepada kedua hakim lainnya, ia memutuskan untuk menunda sidang selama tujuh hari kedepan.

Aku menghela napas panjang. Mbak Anisa memelukku erat. Dari sudut ini aku dapat melihat senyuman tulus dari Pak Udin. Sungguh aku tidak pernah menyangka, kebaikan kecil yang kulakukan dapat menyelamatkanku, tak henti-hentinya bulir-bulir airmata ini berderai. Subhanallah Walhamdulillah Walailahailallah Allahu Akbar!

***

Alhamdulillah titik cerah akhirnya nampak, huhuhu ngedrama banget nggak sih ini.

Hiks, semoga kita semua tidak menyepelekan kebaikan kecil yang kita lakukan, bisa jadi ada ridho Allah yang besar jika itu berbalut ikhlas.

Jazakumullah khoir yang masih setia dengan kisah Miracle, semoga semakin kesini dapat di terima di hati kalian.

Ambil baiknya buang buruknya.

Semoga hari ini bisa update dua kali membayar utang part wwkkwk

Ayaflu,

Love Kinz, kinazadayu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro