Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08 | SHUKOU - Plan

Aoki memerhatikan rumah seberang sambil merenung. Sejak kepergian tiga anggota keluarga Tjiptobiantoro, rumah itu menjadi suram. Kini Rinjani hanya tinggal berdua dengan Mono.

Kemarin pengacara keluarga datang untuk membicarakan masalah warisan serta utang-piutang yang perlu diselesaikan. Pasangan Yamazaki mendampingi Rinjani sejak awal pertemuan. Dari situ Aoki tahu bahwa Pak Rudolf memiliki utang di bank dengan menggunakan rumah itu sebagai jaminan. Rinjani pernah bercerita tentang usaha toko roti keluarga mereka yang sempat jatuh sejak pandemi. Utangnya belum lunas, dan bunga yang harus dibayar terlalu besar bagi gadis pengangguran seperti Rinjani. Barang berharga yang mereka miliki juga tidak sebanding dengan modal usaha yang dipinjamkan oleh bank. Alhasil, Rinjani -atas persetujuan keluarga besar Pak Rudolf, merelakan rumah itu untuk dilelang.

Salah satu adik Pak Rudolf sempat menawarkan Rinjani untuk tinggal bersama, tapi langsung ditolak dengan sopan oleh Rinjani dengan alasan tidak ingin merepotkan. Aoki paham perasaannya. Rinjani bukan keluarga kandung Tjiptobiantoro. Dia tahu Rinjani beradai di posisi sulit. Demi meminimalisir konflik yang datang nantinya, Rinjani memutuskan untuk mencari tempat tinggal sendiri bersama Mono. Itu artinya, Aoki tak akan bertemu Rinjani sesering yang dia mau. Entah mengapa, hal itu membuat Aoki sangat kesal. Orangtuanya juga tidak bisa melakukan apa-apa karena Rinjani menolak semua bentuk bantuan yang ditawarkan oleh Yamazaki-san dan istri.

"Dasar keras kepala." Aoki menggerutu tanpa sadar. Tangannya mengepal di atas pagar balkon. Kemudian dia pergi ke rumah seberang yang tampak suram itu.

Senja telah menjelang, tapi lampu teras dan balkon belum dinyalakan. Entah karena Rinjani lupa atau memang dia tidak di rumah. Aoki mendengar sayup-sayup suara Mono. Rinjani tak akan meninggalkan Mono sendirian di rumah. Karena kesimpulan itu, Aoki membiarkan dirinya masuk tanpa dipersilakan.

"Rin-chan!" panggil Aoki di kegelapan ruang tamu. Ia segera mencari sakelar dan menyalakan semua lampu di rumah.

Rinjani sedang duduk di lantai sambil bersandar pada tembok di sebelah dapur. Gadis itu merenung dan Mono bermain sendiri di halaman belakang.

"Rin-chan!" panggil Aoki sekali lagi. Ia menurunkan tubuhnya hingga setengah berlutut di depan Rinjani. "Kenapa gelap-gelapan di sini?" Kekesalan yang awalnya Aoki rasakan kini telah menguap begitu melihat wajah sembap Rinjani serta lingkaran hitam di bawah kedua matanya.

"Rumah ini terlalu besar untukku. Terlalu hening." Rinjani berujar.

Aoki memutuskan untuk duduk di sebelah Rinjani, sambil bersandar pada tembok juga. "Benar. Terlalu sunyi dan dingin tanpa mereka."

Air mata Rinjani merebak. "Waktunya singkat sekali."

Aoki mengangguk. Ia mengulurkan tangannya untuk memeluk Rinjani, memberinya ketenangan yang dibutuhkan.

"Jangan pergi, Aoki..."

"Aku enggak akan ke mana-mana."

"Cuma kamu yang kupunya sekarang. Selain Mono."

"Kamu juga satu-satunya yang kupunya. Selain orang tuaku."

"Aku kangen mereka." Rinjani menangis tersedu di dada Aoki. Kepedihan Rinjani juga dapat dirasakan olehnya. Matanya ikut berkaca-kaca. membayangkan bagaimana biasanya dia diundang untuk sarapan atau makan malam di rumah ini. Betapa harum dapur ini setiap harinya. Betapa kakunya Mikael menyapa setiap dia berangkat atau pulang kerja. Dan betapa pekerja kerasnya Valentino jika sudah bermain di tim. Mereka adalah sosok-sosok terdekat Rinjani yang akan selalu dirindukan. Waktu mereka terlalu singkat. Wajar jika Rinjani menjadi serapuh ini. Dahulu dia ditinggal orang tua kandungnya di panti asuhan, dan sekarang ia ditinggal lagi oleh keluarga yang mengadopsinya. Aoki tak dapat menemukan kata-kata yang pas untuk menghibur hati Rinjani saat hatinya sendiri juga amat terluka. Yang bisa dilakukannya hanya memeluk gadis itu erat-erat seolah memberi janji kalau dia tak akan pernah meninggalkannya.

"Bang Mika enggak setuju aku pergi ke Amerika. Katanya hanya akan sia-sia. Sepertinya aku tahu alasannya." Rinjani mengusap air matanya dengan kasar. "Bang Mika dari luar kelihatan galak, padahal sebenarnya dia baik. Selama ini Val memang paling dekat denganku, tapi aku bisa ngerasain kasih sayang Bang Mika lewat sikapnya. Kelihatannya Bang Mika enggak mau aku berubah pikiran."

"Tentang apa?"

"Kalau aku pergi ke Amerika dan bertemu orang tua kandungku, Bang Mika pasti punya kekhawatiran kalau aku akan melupakan keluarga yang selama ini membesarkanku." Rinjani terisak lagi. "Padahal sebenarnya enggak begitu."

"Dia menyayangimu. Val dan Om Rudolf juga." Aoki mengeratkan pelukannya pada Rinjani. "Siapa pun bisa melihatnya, Rin-chan."

***

"Apa kamu sudah memikirkannya?" tanya Aoki seraya mengambilkan sepiring nasi kari untuk makan malam Rinjani. "Tentang tawaran orang tuaku."

Rinjani mendesah lesu. Wajahnya makin sembap usai menangis berjam-jam di sandaran Aoki. "Bukankah itu terlalu merepotkan?"

"Kamu tahu orang tuaku sangat menyayangimu. Membiarkanmu pergi malah membuat mamaku sedih dan kepikiran."

"Kalian enggak punya kamar kosong. Mungkin lebih baik aku tinggal di rumah Jingga untuk sementara."

"Kamu pernah bilang Jingga berasal dari keluarga besar. Saudaranya ada lima." Aoki menghela napas. "Papa sedang merenovasi gudang di sebelah kamarku untukmu. Mono juga bisa tinggal bersama kita. Kamu boleh tinggal selama yang kamu mau atau sampai kamu dapat pekerjaan bagus."

"Aku pernah berencana untuk meneruskan bisnis papaku, tapi aku enggak bisa membuat kue. Sekarang toko Papa udah diambil alih oleh mitranya. Aku bingung harus kuapakan uang hasil penjualan itu. Nilainya enggak sebesar utang Papa."

"Kamu bisa berkonsultasi dengan papaku. Pengacara yang kemarin sudah sering menghubungi Papa untuk membicarakan masa depanmu. Aku yakin ada jalan keluar."

"Aoki," Rinjani mendongak. "Aku juga sangat menyayangi keluarga kalian sampai-sampai aku khawatir akan merepotkan." Sebulir air mata jatuh ke pipi Rinjani. "Berapa lama biasanya rasa sedih ini akan pergi, ya? Aku merasa sangat tidak fungsional sejak kemarin."

"Itu emosi wajar yang dirasakan manusia ketika... ditinggal pergi. Rasa kehilangan. Yang penting sampai kapan kamu akan menjalaninya. Bangkit atau tidak, itu pilihanmu."

Rinjani mengangguk. Kata-kata Aoki ada benarnya. Ia menyeka air matanya dengan hati yang lebih optimis lalu mulai menyendok nasi kari buatan Bu Melati. Sambil tersenyum, ia menggumamkan apresiasinya atas makan malam yang enak ini.

"Orang tuaku menyuruhku menginap di sini."

Rinjani tersedak. "E -eh?"

"Pilihannya itu atau kamu tidur di kamarku di rumah. Kamarmu belum selesai direnovasi, jadi aku bisa tidur di ruang tamu."

"Tu -tunggu dulu..."

Aoki mengedikkan bahu. "Aku sih terserah pilihanmu saja. Yang mana pun oke. Orang tuaku enggak memperbolehkanmu tinggal sendirian. Kemarin-kemarin karena masih ada keluarga besar dan rumah ini dijadikan rumah duka. Mulai hari ini kamu tinggal sendiri. Mereka mengkhawatirkanmu."

"Oh, begitu..." Rinjani mengulum sendoknya lebih lama. Wajahnya seketika memerah. Hatinya masih sedih, tapi kalau harus tinggal berdua saja dengan Aoki... entah kenapa jantungnya malah jadi berdebar.

Sebelum makan malam selesai, Rinjani sudah membuat keputusan. Dia akan tinggal sementara di rumah Aoki sambil sesekali mengurus rumah ini sebelum dilelang. Tinggal sendirian di sini rasanya tak akan pernah sama lagi. Rumah ini terlalu banyak memiliki kenangan masa kecil beserta keluarganya.

Usai makan malam, Aoki membantunya bersih-bersih sebelum keduanya pergi ke rumah Aoki untuk beristirahat. Bu Melati menyambut Rinjani dengan riang. Begitu pula dengan Yamazaki-san. Mereka memuji Aoki secara diam-diam di balik punggung Rinjani karena telah berhasil meyakinkan gadis itu untuk tinggal bersama. Mulai sekarang, mereka resmi serumah.

Di antara duka tak berkesudahan yang melingkupi hati Rinjani, ada sebuah masalah yang membelenggu pikirannya. Ronan. Ketika gempa bumi terjadi dan tsunami menerpa wilayah pesisir, dirinya sedang berada di kelab malam bersama teman-temannya, lalu Ronan datang. Makhluk itu menjelma menjadi manusia yang auranya mengintimidasi seluruh indera Rinjani. Kemudian Ronan mengatakan hal-hal aneh tentang pengikut Jorah. Rinjani juga hampir mati malam itu. Namun, Ronan mencegahnya sekaligus memberinya peringatan. Kalau Rinjani pergi, pengikut Jorah akan datang untuk mengincar keluarganya.

Ronan bilang dia pengendali elemen. Jika itu benar, maka gempa bumi yang kemarin ada hubungannya dengan Magoirie. Itu sama saja dengan bencana yang direncanakan.

Tiba-tiba Rinjani bangkit duduk dari ranjang Aoki. Dia sulit tidur karena memikirkan kemungkinan itu.

"Mereka dibunuh?" gumamnya dengan alis menyatu. "Seorang Magoirie mampu melakukan itu. Siapa yang mengendalikan gempa dan tsunami?"

Satu hal yang pasti, Rinjani merasa harus bertemu Ronan lagi.

***

"Ohayou!"

"Oh, Aoki." Raut Bu Melati tampak cemas. Di hari sepagi ini, beliau telah berdandan amat rapi sambil menarik sebuah koper. "Mama harus pergi hari ini. Mungkin untuk beberapa hari."

Aoki mengernyit. Ia melipat kasur dan selimut sebelum menyimpannya di kabinet bawah tangga. "Pergi ke mana? Papa mana?"

"Papamu sudah berangkat kerja karena meeting pagi." Mama memakai sepatunya di undakan. "Lukas, sepupumu... sudah hilang lima hari ini. Bibimu sangat syok karena mendapat kabar dari tim risetnya. Mama harus ke sana."

"Lukas?" ulang Aoki. Dia menggaruk pelipis. "Bagaimana bisa hilang? Apa mungkin dia tersesat selama melakukan riset."

Mata Bu Melati membelalak. "Risetnya di laut, Aoki!"

"Ah!" Aoki baru menyadarinya. "Apa aku harus ikut menemani Mama?"

"Bukannya kamu ada turnamen sebentar lagi?" Bu Melati mengernyit. "Dan ada Rinjani. Kamu harus menghiburnya. Dia enggak boleh sendirian dalam suasana duka begini."

Akhirnya Aoki mengangguk.

"Sarapan ada di meja. Makan siang tinggal dipanaskan di microwave. Nanti Mama kirimkan uang saku untuk kalian."

Putranya mengibaskan tangan. "Aoki punya banyak uang. Mama fokus saja."

"Arigatou, Aoki. Mama mengandalkanmu, ya!"

"Hati-hati di jalan, Ma!"

Bu Melati menutup pintu di belakangnya bersamaan dengan Rinjani yang baru turun dari kamar. Hari masih sangat pagi, tapi keluarga Aoki sudah berada di tengah aktivitas.

"Ohayou, Aoki. Tadi mamamu?"

Aoki mengangguk. "Kakak Mama punya anak yang usianya beberapa tahun lebih tua dari kita. Dia menghilang. Jadi Mama akan pergi ke sana selama beberapa waktu."

"Menghilang bagaimana maksudnya?"

"Ya, hilang. Tanpa kabar. Mungkin melibatkan tim SAR."

"Kamu dekat dengannya?"

Aoki menggeleng. "Kami jarang bertemu karena dia kuliah di luar negeri. Jadi, ada yang mau kamu lakukan hari ini?"

Rinjani menunjuk Mono yang sudah rapi dengan tali kekang. "Aku harus ajak dia jalan-jalan."

"Souka." Aoki mengangguk. "Tokorode. Hari ini aku ada latihan. Mungkin sampai malam. Kamu enggak apa sendirian sampai papaku pulang? Sekitar jam lima. Gomen, Rin-chan." Rautnya menunjukkan rasa bersalah.

"Enggak pa-pa! Aku juga banyak kegiatan hari ini. Bersih-bersih dua rumah."

Aoki melihat sekeliling. "Ini... benar juga. Harus dibersihkan. Tapi, aku enggak ada waktu." Sekali lagi ia melihat Rinjani dengan raut penyesalan. "Gomen. Sepertinya harus merepotkanmu."

Rinjani mengibaskan tangannya. "Sudah kubilang enggak pa-pa! Sudah sarapan?"

"Mama menyiapkan makanan untuk kita. Aku akan siap-siap dulu, lalu kita bisa makan bareng waktu kamu pulang."

"Kalau kamu buru-buru, sarapan aja duluan. Mungkin aku dan Mono akan jalan-jalan agak lama." Aoki menatapnya curiga. Rinjani pura-pura tak menyadarinya.

"Tentang rencana ke Penn," ujar Aoki. "Kurasa kamu harus pergi sendiri. Maaf, aku enggak bisa menemani karena harus ke Shanghai." Ke Shanghai untuk menggantikan Valentino yang tiada.

Sebelum air matanya merebak lagi, Rinjani buru-buru membuang muka. "Iya, aku ngerti, kok."

"Sebaiknya minta temani seseorang. Bicaralah dengan teman-temanmu-"

"Mereka pasti sibuk," potong Rinjani dengan suara bergetar. Lalu dia berdeham. "Aku bisa pergi sendiri."

Aoki mengangguk samar. "Akan kuatur semuanya buatmu."

"Sebaiknya kamu cepat sarapan. Serahkan urusan rumah padaku!"

Lagi-lagi Aoki mengangguk. Sesuatu dari ekspresinya menunjukkan kalau dia masih ingin mengatakan sesuatu.

"Okay. See you later, Aoki!" Rinjani melewati Aoki sambil beriringan dengan Mono.

"See you soon." Aoki membalas setengah bergumam.

***

Apa cara yang paling mudah untuk menarik perhatian Ronan agar dia mendatangi Rinjani?

Menebar benih di halaman belakang dan membuat mereka tumbuh secara bersamaan, mungkin salah satu caranya. Rinjani tidak tahu apakah cara itu akan berhasil, tapi bukankah layak dicoba?

Rinjani melakukan pemanasan.

"Aku mencarimu semalam."

Rinjani dikejutkan oleh suara maskulin seseorang. Kepalanya celingukkan mencari di sekeliling.

"Di atas sini."

Rinjani mendongak. Ronan di sana. Bertengger di dahan pohon pinus. Rinjani heran bagaimana dahan pinus mampu menumpu bobot tubuh Ronan dan sayap-sayapnya yang kelihatan berat itu.

"Oh." Rinjani melindungi matanya dari cahaya matahari yang mulai menyengat. "Bisa turun sebentar? Ada yang mau kubicarakan denganmu."

Ronan menegakkan punggung dan membentangkan sayapnya sebelum melompat turun dengan anggun ke hadapan Rinjani.

"Ada yang mau kubicarakan denganmu juga." Dia berujar.

"Baiklah." Rinjani menggosok lengannya dengan kikuk. Dia tak pernah terbiasa menatap Ronan dalam wujud Magoirie. Sebenarnya tidak jauh berbeda dari manusia biasa. Hanya saja dia punya wujud dewa sempurna. Otot-otot menonjol yang mungkin didapatnya dari pertempuran sana-sini, atau kulitnya yang berkilauan di bawah cahaya mentari pagi, atau rahangnya yang tegas, dan pilihan busananya yang... well, Ronan hanya menutupi bagian vital di bawah dengan sebuah celana kulit yang warnanya tak mencolok. Selain itu, dia bertelanjang dada.

Ronan menunggu sambil mengangkat sebelah alis. Pertanda kalau dia ingin Rinjani bicara lebih dulu.

"Siapa Magoirie yang berkuasa untuk mengendalikan gempa dan tsunami?"

"Orang tuamu." Jawaban Ronan datang hampir tak berjeda.

Itu informasi yang terlalu tiba-tiba. Rinjani belum pernah memikirkan orang tua kandungnya selama ini meski Ronan pernah memberitahunya kalau kemampuan menumbuhkan tanaman dengan cepat merupakan berkah lewat jalur keturunan.

"Si -siapa orang tua kandungku?" Suara Rinjani hampir tertahan di tenggorokan.

"Aku mengenal mereka dengan nama Ahiga dan Keiko. Ahiga, seorang Magoirie Tanah. Sedangkan Keiko, ibumu, seorang Magoirie Air."

Rinjani menelan ludah sebelum melanjutkan. "Di mana mereka sekarang?"

"Ahiga sudah musnah. Begitu pun dengan Keiko."

Lagi-lagi jawaban yang membuat Rinjani tertohok. Kepalanya mulai terasa pening. Ia langsung mundur dan duduk di atas undakan sambil memegangi kepala. "Kapan... kapan mereka musnah?"

Ronan tampak berpikir. "Entahlah. Seharusnya tak lama setelah kelahiranmu."

"Jika mereka musnah sejak dahulu, lalu... siapa yang membuat bencana kemarin?"

"Pengikut Magoirie Air. Mereka sudah lama merencanakan itu. Ketika Keiko tiada, mereka langsung menjalankan rencananya. Sebagai tambahan informasi, mereka membenci manusia."

"Lalu mereka makhluk apa?"

"Ningyo. Atau biasa dikenal sebagai Siren. Mereka predator laut dalam yang sudah ada sejak zaman prasejarah."

"Jadi... mereka membuat bencana karena membenci manusia?"

"Kurang lebih begitu."

"Kamu enggak bisa menghentikannya? Bukankah tugas Magoirie menjadi penjaga dan pengendali elemen?"

"Pertama, aku penguasa dan pengendali elemen udara. Kedua, aku memang sudah tahu rencana para siren untuk mendatangkan bencana ke daratan dalam skala kecil-" Sebelum Rinjani memotongnya, Ronan mengangkat satu jari untuk menyuruhnya tutup mulut. "-tapi aku tidak tahu kapan bencana itu datang. Aku tidak punya kemampuan untuk melihat masa depan. Lagipula, para siren tidak patuh pada Magoirie mana pun. Keiko melakukan kompromi dengan mereka sehingga dia mampu mengendalikan situasi di laut. Apa semua pertanyaanmu terjawab?"

Rinjani masih memegangi kepalanya. Dia mengangguk samar. Wajahnya yang pucat pasi menunjukkan kalau dia masih terlalu syok untuk mencerna informasi dari Ronan.

"Sekarang giliranku yang bertanya, di mana kamu semalam? Aku merasakan kehadiranmu di sekitar sini, tapi tidak dapat menemukanmu."

"Bukan urusanmu aku ada di mana semalam," balas Rinjani sedikit membentak. "Kenapa mencariku?"

"Aku ingin membawamu ke suatu tempat untuk menemui para Magoirie lain."

"Untuk membunuhku? Kemarin kamu bilang kalau Magoirie lain tidak menyetujui kelahiranku ke dunia." Dia mendengkuskan tawa ironi. "Seperti mereka Tuhan saja. Mampu menentukan siapa yang berhak lahir dan siapa yang tidak."

"Aku membuat kesepakatan dengan Adjo, Magoirie Api. Dia ingin berjumpa denganmu. Bukan dalam konotasi buruk."

"Sebenarnya kalian ini ada berapa? Siapa bos kalian?"

"Tinggal pikirkan berapa banyak elemen utama di dunia. Maka kamu akan tahu jawabannya."

Rinjani menghitung dalam kepala. Tanah, air, udara, api, lalu... apa?

"Empat?"

"Lima. Sekarang enam, termasuk dirimu, Sentient."

"Magoirie Udara, dirimu. Magoirie Air, ibuku. Magoirie Tanah, ayahku. Magoirie Api, Adjo. Ah, benar juga. Aku hampir melupakan Jorah, Magoirie Metal. Dan sekarang ada aku, Magoirie Sentient. Apa itu maksudnya?"

"Kamu bukan golongan Magoirie. Kamu adalah Sentient."

"Err... selain menumbuhkan tanaman, apalagi keahlianku?"

"Kamu tidak menyadarinya?"

Rinjani menggeleng.

"Teman manusiamu itu. Gempa di rumah sakit. Seharusnya dia sudah mati tertimbun reruntuhan."

Bibir Rinjani setengah membuka. "A- apa?"

"Energimu berpendar bagai matahari. Setidaknya di mata para Magoirie. Aku susah payah menyembunyikanmu."

"Menyembunyikanku?" ulang Rinjani. "Bagaimana caranya?"

"Membiarkan gempa dan tsunami menerjang daratan. Aku membiarkan itu agar para Magoirie tidak berfokus padamu."

"Tapi, tadi kamu bilang kalau kamu tidak tahu apa-apa tentang kapan bencana itu akan terjadi."

Ronan mengangguk. "Aku memang tidak tahu, tapi bukan berarti aku tidak punya kuasa untuk mencegahnya."

Sorot mata Rinjani tiba-tiba dipenuhi amarah. "Kamu tidak mencegah bencana itu terjadi demi aku?" Ia bangkit berdiri dan menunjuk Ronan. "Lihat apa akibatnya! Keluargaku meninggal!"

"Mereka akan mati dengan cara lain. Usia mereka telah usai malam itu."

Rinjani menjerit frustasi. Dia membenci cara Ronan yang tenang dalam menghadapinya. Dia membenci kenyataan bahwa Ronan tidak berniat menghentikan bencana yang merenggut nyawa keluarganya. Membiarkan bencana terjadi disebut menyembunyikan Rinjani dengan susah payah, katanya?

"Sekarang kembali ke dirimu. Apa benar kamu tidak menyadari apa yang kamu lakukan malam itu pada teman manusiamu?" tanya Ronan setelah Rinjani puas melampiaskan amarahnya.

"Maksudmu, Aoki?" Rinjani balas bertanya dengan suara lirih.

"Jadi itu namanya."

Rinjani coba mengingat-ingat meski hatinya melarang. "Aku memeluk Aoki. Sempat enggak merasakan denyut nadi dan napasnya."

"Apa yang kamu lakukan kemudian?"

Rinjani menggeleng. "Hanya memeluknya."

Cukup lama Ronan terdiam sebelum dia mengatakan, "Itu berkahmu, Sentient. Pemberi kehidupan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro