04 | NINGYO - Siren
Jauh sebelum Rinjani mengetahui dirinya mampu menumbuhkan pohon dari sepotong ranting bercabang, sekelompok ibu-ibu konglomerat pernah berkumpul di sebuah restoran bintang Michelin termahal yang berlokasi di pusat kota. Mereka membanggakan putra-putri mereka yang tumbuh bersama sejak kecil dan telah berhasil masuk Ivy League. Beberapa dari anak-anak itu kini tengah menempuh semester akhir atau melakukan penelitian lapangan. Salah satunya adalah Lukas.
Lukas ditugaskan di sebuah desa terpencil yang berada di pinggir sungai dan dekat dengan laut lepas. Ia bersama timnya meneliti sekelompok paus yang sebentar lagi akan bermigrasi. Sebuah rumah panggung yang dibangun di pinggir sungai menjadi tempat dia dan tim risetnya untuk bermukim sementara. Di rumah itu, mereka akhirnya berhasil membuat sistem sonar berfrekuensi rendah yang tidak berbahaya bagi paus sehingga tak akan mengganggu proses migrasi saat melewati perairan dekat pulau.
Hari ini Lukas mendapat giliran untuk belanja keperluan rumah tangga sehingga dirinya harus ke kota terdekat. Ketika dalam perjalanan pulang dari tugas kecilnya, ia mampir ke rumah Kepala Desa untuk mengirimkan pesanan. Istri Kepala Desa sering menitipkan belanjaan yang tidak mudah didapatkan di desa. Kali ini yang dititipkan agak istimewa. Sebuah kemeja putih ukuran laki-laki dewasa untuk putra mereka yang akan diwawancara kerja minggu depan di salah satu perusahaan besar. Berhubung yang bersangkutan sedang melaut untuk menemani sang ayah mencari nafkah, Lukas bersedia dimintai tolong membelinya.
"Selamat, Bu. Semoga putra Ibu dan Bapak segera diterima bekerja di sana," ucap Lukas dengan senyum terkembang di bibir. Senang rasanya dapat membantu meringankan beban Kepala Desa yang telah memberinya akomodasi selama melakukan riset di desa ini. Lukas bahkan menolak uang yang diberikan istri Kepala Desa meski kemeja yang dibeli lumayan mahal untuk ukuran merek tidak terkenal. Dia juga membelikan bahan-bahan pokok serta keperluan rumah tangga yang mungkin dibutuhkan oleh keluarga baik hati tersebut. Istri Kepala Desa menahan tangis haru dan berjanji akan memasak makan siang enak untuk tim riset Lukas. Kalau soal makanan, Lukas tak sanggup menolak. Jauh dari rumah membuatnya harus terbiasa makan seadanya. Ketika ada seseorang yang menawarkan hal baik seperti ini, maka sudah sepatutnya dia bersyukur.
Di hari yang sama, sesuatu baru saja muncul ke permukaan. Perbedaan suhu perairan di permukaan dengan di kedalaman cukup kontras. Perlu waktu baginya untuk membiasakan diri dengan matahari. Dia melakukan ini karena suatu alasan. Sebuah sinyal misterius muncul dari daratan. Sinyal itu cukup nyaring hingga menggetarkan kedalaman, tetapi tak berpengaruh bagi kawanan paus. Semua makhluk dari kedalaman sangat cemas dan marah. Akhirnya ia menawarkan naik ke permukaan karena di antara mereka semua, hanya dirinya yang memiliki keistimewaan untuk melindungi diri sendiri jika sampai terancam bahaya. Berbekal insting dan sinyal misterius yang mengganggu, ia berenang sangat cepat membelah arus bawah laut.
Setibanya di bibir pantai, sesuatu yang menakjubkan terjadi. Ekornya perlahan menjelma menjadi sepasang kaki begitu ia menyentuh daratan berpasir. Ombak mendorongnya ke daratan. Pasir di bawah tubuhnya terasa asing dan kasar. Awalnya ia ketakutan, tetapi dengan cepat mampu menguasai diri. Tidak ada manusia yang melihatnya berubah wujud. Ia sudah memastikan sekeliling. Dalam waktu singkat, ia berhasil beradaptasi. Ekor yang biasanya gesit di bawah air, kini harus menopang tubuhnya untuk berdiri dan berjalan terhuyung.
Desahan kecil keluar dari mulutnya ketika ia terjatuh saat belajar berjalan. Lutut dan sikunya terluka. Namun, luka-luka itu cepat mengering dan tertutup kembali seperti tak pernah terjadi. Tekad kuat telah menguasai tubuhnya. Sinyal misterius itu semakin nyaring di sini. Dia hanya perlu fokus untuk menemukannya.
***
"Siang ini kita enggak perlu masak." Lukas datang membawa pengumuman yang melegakan semua orang.
"Beli di mana?" tanya Theodore.
"Istri kepala desa yang membawakannya untuk kita." Lukas meletakkan belanjaan ke meja makan. Teman-temannya berinisiatif untuk membongkar dan menata bahan makanan selama seminggu ke tiap rak yang tersedia. Banyak camilan yang dibeli Lukas, sehingga perut mereka tak akan sempat kosong selama beberapa hari ke depan.
"Apa kita sudah dapat sinyal balasan?" tanya Lukas.
"Belum ada tanda-tanda kawanan paus sejauh sepuluh mil dari lepas pantai. Kita harus menunggu lebih lama."
"Baiklah. Akan kuperiksa lagi."
Lukas segera naik ke lantai dua, di mana sistemnya sedang beroperasi. Ucapan Theodore terbukti. Tidak ada sinyal apa-apa dari paus mana pun. Lukas agak kecewa. Sudah beberapa hari mereka menanti. Namun, pergerakan para paus belum juga terdeteksi. Beberapa waktu kemudian, Lukas disibukkan oleh pengisian laporan rutin penelitian mereka. Dia bahkan melewatkan waktu makan siang meski Theodore sudah memberitahunya kalau istri kepala desa mampir untuk mengantar makanan.
Saat Lukas sedang beristirahat sejenak, ia merasakan keheningan yang ganjil. Biasanya dari bawah akan terdengar suara teman-temannya bercakap-cakap atau desau angin dari luar jendela. Malam ini terasa amat hening. Lukas mengira malam telah larut sehingga memeriksa jam digital di ponsel. Belum terlalu larut. Teman-temannya biasa main kartu bersama di jam-jam segini.
Saat hendak memeriksa ke bawah, Lukas dikejutkan oleh kedatangan seorang perempuan cantik jelita. Perempuan itu hanya mengenakan kemeja putih yang tampak kebesaran bagi tubuhnya yang mungil dan ramping. Rambutnya sehitam malam, tapi kelihatan agak kusut. Sosoknya muncul entah dari mana. Tiba-tiba saja ada di ambang pintu, berdiri diam sambil menatap sekeliling secara perlahan seolah sedang memindai.
"Anda siapa?" tanya Lukas tanpa emosi tertentu. Paras perempuan itu terlalu jelita untuk ukuran manusia biasa. Bibirnya ranum kemerahan. Matanya cemerlang. Untuk sesaat, Lukas merasa dirinya terbius.
Perempuan itu berjalan perlahan. Lukas dapat melihat lututnya yang sedikit gemetar. Entah karena kedinginan atau karena hal lain. Jika diperhatikan lebih seksama, perempuan itu tidak mengenakan apa-apa lagi di balik kemeja. Di saat bersamaan, Lukas mengenali kemeja yang dikenakan. Itu kemeja yang dibelinya tadi siang untuk putra kepala desa.
"Saya tanya sekali lagi, anda siapa?" Kali ini Lukas membuat suaranya terdengar lebih tegas.
Perempuan itu mengulurkan tangannya ke depan. Lukas tak merasakan bahaya sama sekali. Dia justru maju perlahan untuk menyambut uluran tangan perempuan itu. Padahal perempuan itu bukan ingin menyentuh tangannya, melainkan wajahnya, tepatnya di pelipis. Lukas dapat mencium aroma garam khas laut menguar dari tubuh sosok di hadapannya.
Sesaat sebelum tangan perempuan itu menyentuh pelipis Lukas, ia justru menoleh tepat ke arah alat yang memancarkan dan menangkap sonar. Lukas masih dalam kondisi terbius. Ketika sadar, dirinya mendapati perempuan itu telah merusak alatnya. "Hey, apa yang kamu lakukan?" Lukas setengah menghardik. Perempuan itu bukan pencuri, atau pun orang yang tampak sedang tersesat. Dia membawa misi untuk datang kemari. Misi merusak alat yang telah dibuatnya selama berbulan-bulan!
Lukas mencengkeram tangannya. "Kamu bisu?!"
Dengan tangan lain, perempuan itu menyentuh pelipis Lukas. Namun, langsung ditepis. Tak masalah. Perempuan itu sudah melakukan apa yang perlu dilakukannya. Dia menghubungkan dirinya dengan Lukas agar dapat mengerti apa yang sedang manusia itu bicarakan. Sentuhannya menjadi semacam alat penerjemah bahasa universal.
"Mengapa datang ke sini malam-malam?" Lukas bertanya sekali lagi.
Perempuan itu menunjuk alat Lukas yang telah dibanting ke lantai. Perlu waktu lama untuk memperbaikinya. Lukas tak mau terbius lagi. Kali ini dia memaksa dirinya untuk benar-benar berkonsentrasi agar tak terpengaruh. Perempuan itu hendak mengucapkan sesuatu. Terlihat dari bibirnya yang hampir bergerak. Namun, sesuatu menahannya. Dia menatap tangannya yang masih dicengkeram oleh Lukas.
Lukas yang menyadari dirinya mungkin melukai perempuan itu segera melepaskan tangannya. "Kenapa merusak alatku?"
Perempuan itu berjalan menuju balkon tak berpagar yang lantainya terbuat dari kayu. Lukas dan teman-temannya sering duduk di sana untuk bersantai atau sekadar melihat matahari tenggelam.
Perempuan itu menatapnya tanpa berkedip. Lukas yang lengah menjadi kembali terbius oleh parasnya yang jelita. Ia menundukkan kepalanya secara perlahan tanpa ia sadari. Yang tak disangka-sangka, perempuan itu justru menceburkan dirinya ke sungai lalu hilang ditelan kegelapan air saat Lukas sedang lengah. Lukas menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan diri sendiri.
Apa yang baru saja terjadi, pikirnya bingung.
Teringat teman-temannya, Lukas segera bergegas mengecek keadaan di bawah. Benar saja. Keadaan di bawah juga cukup membingungkan. Teman-temannya tampak baru saja tersadar dari pingsan sesaat. Kebanyakan dari mereka tergeletak di lantai atau di sofa.
"Apa yang terjadi?" tanya Lukas.
"Entahlah. Kukira tadi ada yang datang, tahu-tahu aku... tergeletak di sini. Siapa yang datang, ya?"
"Kita pingsan bersamaan?" tanya yang lain.
"Pingsan? Kukira aku tertidur. Aku bermimpi bertemu perempuan yang cantik sekali."
"Aneh. Aku juga."
"Berambut hitam?" Lukas kembali bertanya agak mendesak.
"Iya." Yang lain juga mengangguk.
"Dia cuma mengenakan kemeja putih dan bertelanjang kaki?"
Theodore mengernyit heran. "Kamu juga mengalaminya? Mimpi yang sama?"
"Itu bukan mimpi. Dia benar-benar datang dan merusak alat kita."
Teman-temannya tertegun. Pundak Theodore merosot lesu. Demi membuktikan ucapan Lukas, mereka bergegas naik ke lantai dua untuk memeriksa. Alat itu sudah hancur berantakan akibat bantingan keras. Theodore segera mengecek kerusakan.
"Hanya pelindungnya yang pecah. Kita bisa memperbaiki ini," ujar Theodore.
"Benarkah?" Lukas ikut memeriksa dan mengangguk. "Syukurlah. Tadinya aku sangat khawatir pada kalian sampai-sampai enggak langsung memeriksa alat ini." Ia melihat balkon, ke arah di mana perempuan misterius itu terjun dan menghilang.
Siapa dia sebenarnya, tanya Lukas dalam hati.
***
Hujan lebat turun hari itu. Tak banyak yang bisa dilakukan tim riset Lukas selain terkurung di rumah. Mereka menghabiskan waktu untuk memperbaiki sistem sonar, melanjutkan studi masing-masing, atau sekadar membaca buku dan jurnal. Karena Theodore menyimpan cadangan sparepart, tugas memperbaiki alat itu selesai lebih cepat dari dugaan. Lukas ingin segera mencobanya karena terdorong rasa penasaran.
"Ngomong-ngomong, masih punya kemeja putih yang kamu kenakan waktu bertemu Profesor?" tanyanya tiba-tiba pada Theodore yang hendak turun ke bawah untuk bersantai.
"Masih. Kenapa?"
"Boleh kupinjamkan -ah, maksudku boleh kuminta buat diberikan ke seseorang?"
"Seseorang?"
Lukas mengangguk. "Iya. Anak kepala desa ada panggilan wawancara kerja sebentar lagi. Mau kuberikan padanya. Nanti kuganti."
"Sure." Theodore langsung mengiakan. Jika berhubungan dengan materi, berurusan dengan Lukas termasuk yang termudah karena dia datang dari keluarga kaya raya.
"Alatnya mau langsung kucoba malam ini."
"Terserah saja. Aku lelah. Besok beri tahu aku kalau ada yang enggak beres."
"Sip!" Lukas mengangkat satu jempol untuk mengantar kepergian Theodore menuruni tangga kayu.
Ketika bayangan Theodore pergi, Lukas segera menyalakan alatnya dan menunggu di balkon. Hujan lebat yang disertai angin kencang membuat permukaan sungai tampak bergelombang. Lumpur mulai terlihat di mana-mana. Permukaan air jadi tampak lebih keruh olehnya.
Beberapa jam menunggu, tidak ada tanda-tanda dari perempuan misterius kemarin. Lukas mulai kecewa. Dia betul-betul penasaran oleh sosok aneh tersebut. Perempuan itu bukan hantu. Bukan pula penjahat. Sewaktu terjun ke dalam air, Lukas sempat melihat kaki perempuan itu berubah menjadi ekor secara ajaib. Tapi, dia tidak yakin. Tidak mungkin makhluk mitos seperti putri duyung nyata, 'kan?
Tepat tengah malam, keheningan ganjil itu terasa kembali. Hujan tiba-tiba berhenti. Badai berakhir. Permukaan air sungai kembali tenang secara misterius. Lukas hampir tertidur di balkon kalau bukan karena riak di permukaan sungai. Sesuatu muncul dari tengah riak. Sebuah kepala berambut hitam. Tubuhnya masih berada di dalam air. Namun, Lukas mengenalinya dengan cepat.
"Kamu datang lagi," ujarnya lirih. Setengah lega, setengah takut. "Kali ini jangan membuat teman-temanku tertidur. Datanglah ke atas sini dan akan segera kumatikan alatnya."
Sosok itu menenggelamkan dirinya kembali. Lukas tahu perempuan itu sedang menyelam menuju tangga terdekat yang langsung terhubung dengan balkon. Makhluk misterius itu tidak perlu masuk lewat pintu depan dan membahayakan teman-temannya di bawah.
Lukas mengamati perempuan itu dari atas sampai bawah. Dia masih mengenakan kemeja yang sama. Hanya saja... kemeja itu jadi berlumpur dan... lekuk tubuhnya tercetak sempurna sehingga membuat Lukas sedikit terganggu.
"Kamu perlu mandi." Lukas mengeluarkan handuk bersih dari lemari dan menunjukkan kamar mandi terdekat.
Alih-alih menerima handuk dari tangan Lukas, perempuan itu terus menatap alat pemancar sonar tanpa berkedip. Kemarin dia sudah merusaknya, dan sekarang benda itu masih bisa beroperasi.
"Akan kumatikan." Lukas bergegas menon-aktifkan alat itu sebelum tamunya makin kesal. "Maaf, aku harus menyalakannya agar kamu datang." Perempuan itu bergeming tanpa berkedip. Aura magis di sekelilingnya sulit diabaikan. "Sebenarnya kamu ini apa?"
Tidak ada jawaban. Ketika Lukas mulai berasumsi kalau perempuan itu sungguh bisu, sosok di depannya justru menunjukkan lengannya yang bersisik emas. Di bawah sinar rembulan, sisik itu berkilau. Sesaat kemudian, sisiknya memudar dan kembali menjadi kulit normal manusia.
"Kamu datang dari laut?"
Perempuan itu mengangguk samar.
"Mengapa kamu merusak alatku?"
Sambil menunjuk air sungai di bawah, perempuan itu membuat isyarat samar. Ia menggerakkan air seolah-olah sedang digetarkan oleh gempa bumi dan menjadi ombak kecil yang naik ke permukaan penuh lumpur di bawah. Lukas tak memercayai apa yang dilihatnya. Belum sempat ia mencerna kejadian barusan, perempuan itu kembali menunjuk alatnya.
"Alatku mengganggu laut?"
Lagi-lagi perempuan itu mengangguk.
"Namaku Lukas." Ia menunjuk dadanya sendiri. "Siapa namamu?"
Bibir perempuan itu bergerak perlahan. Ia mengeluarkan suara amat lirih nan merdu, "Ya~Ra~"
"Yara?" ulang Lukas untuk memastikan.
Yara mengangguk.
"Baiklah, Yara. Aku minta maaf kalau alatku mengganggu lautmu. Alat ini diciptakan untuk mendeteksi pergerakan kawanan paus yang akan bermigrasi. Kami memerlukan datanya untuk dipelajari." Ketika Yara tetap bergeming, Lukas melanjutkan. "Kamu ini sebenarnya apa?"
"Ikan," jawab Yara dengan suara serak dan lirih.
"Ikan apa?"
"Manusia... menyebut kami... Siren."
"Siren? Putri duyung? Mermaid?"
Mata cemerlang Yara berkilat. "Mermaid... tidak... ada."
Lukas pernah mendengar dongeng tentang siren dan mermaid. Jika mermaid adalah putri duyung cantik jelita yang baik hati, maka siren adalah kebalikannya. Ketika berwujud ikan, siren tampak seperti predator laut dalam. Mereka memiliki daya pikat magis yang dimanfaatkan untuk berburu sebelum menarik mangsanya ke kedalaman.
"Daratan akan... hanyut sebentar... lagi... tanpa Mago... irie kami."
"Apa?"
"Tsunami."
"Maksudmu, sebentar lagi akan terjadi tsunami?"
Yara mengangguk. "Kami membuat... tsunami... tanpa Magoirie."
"Siapa Magoirie?"
"Pengendali... elemen."
"Kenapa kalian membuat tsunami?"
Ekspresi Yara kelihatan sedikit ragu. Ia melihat sekeliling dengan gelisah. Sepertinya dia baru menyadari telah terlalu banyak mengumbar informasi. Manusia tidak bisa dipercaya. Karena alat itu sudah dimatikan, dia harus kembali ke kawanannya. Kegelisahan itu juga dirasakan oleh Lukas. Sewaktu Yara hendak pergi, Lukas lebih dulu menghalanginya.
"Mengapa kalian ingin menghancurkan daratan dengan tsunami? Kapan tsunaminya muncul?"
"Manusia akan tahu... saat semuanya... sudah terlambat!" Rahang Yara mengeras. Lukas sempat ketakutan melihat perubahan ekspresinya dalam sekejap. Sebelum Lukas bertanya lebih jauh, Yara telah menceburkan dirinya ke air dan menghilang.
"Ah, lagi-lagi!" desah Lukas penuh kecewa.
***
Yara kembali ke kawanannya saat bulan purnama berada di atas kepala. Semua telah menantinya di permukaan. Dengar-dengar, malam ini Magoirie bersedia datang untuk mendengarkan aspirasi mereka. Yang tidak mereka duga, bukan Keiko yang muncul, melainkan Ronan. Sosok bersayap itu terbang berputar bersama elangnya sebelum mendarat di atas batu karang besar, menghadap lusinan siren dari laut dalam.
'Well, well, well...' desah Ronan dalam bahasa Siren seraya tersenyum tipis.
'Di mana Nona Keiko?' tanya Yara.
'Kabar buruk, Sirens. Magoirie kalian sudah musnah.'
Pekikan para siren bersahut-sahutan menandingi debur ombak. Kabar yang dibawa Ronan mengonfirmasi kebingungan mereka. Selama ini mereka tidak merasakan energi dari Magoirie Air di lautan. Awalnya mereka mengira kalau Keiko hanya pergi ke daratan untuk waktu yang lama. Lewat nyanyian siren, mereka memanggil Keiko agar sudi menemui mereka di sini. Ternyata malah Ronan yang mendengarnya.
'Sang Dewi menggantikan Magoirie kami?' Azura -pemimpin para siren- bersuara, rautnya hampir tak percaya.
'Mungkin, ya, mungkin, tidak.'
Para siren saling berpandangan sekaligus berbisik. Ronan telah lama mengantisipasi kejadian hari ini. Para siren akan bergerak semau mereka tanpa Keiko. Keseimbangan laut menjadi goyah. Makhluk-makhluk dari kedalaman muncul ke permukaan secara bersamaan untuk menciptakan kekacauan yang mustahil dihentikan kecuali oleh Magoirie Air.
'Ah, kalian sudah merencanakan sesuatu, ya?'
Azura menatapnya sengit. 'Para siren tidak tunduk pada Magoirie lain.'
Ronan memutar bola mata. 'Ya, ya, ya. Pada Magoirie Air saja kalian tidak patuh, apalagi Magoirie lain?' tanyanya sarkas. 'Kalau kalian merencanakan tsunami atau sebagainya, kalian harus tahu bahwa aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kekacauan hanya boleh dilakukan jika semua elemen goyah.'
'Manusia menimbun sampah di laut kami!'
'Begitu juga dengan daratan. Hutan ditebang, tanah dikeruk, sampah, plastik, zat-zat asing yang bahkan seorang Magoirie sepertiku tak tahu kalau itu ada. Semuanya ciptaan manusia.'
'Lalu untuk apa kami menunggu? Akan kami kembalikan sampah-sampah itu ke daratan. Biar mereka tahu rasanya hidup bersama sampah yang mereka buat sendiri.'
'Tapi tidak dengan tsunami. Kalian hanya akan membuat kekacauan tanpa hasil. Setidaknya jika Magoirie sepakat untuk membuat kiamat, akan ada regerenasi setelahnya. Kalian tidak punya kemampuan itu.'
'Sudahi ceramahmu, Magoirie! Urusan laut biar kami yang urus. Kembalilah ke istanamu dan jangan turun lagi!'
Para siren menyelam satu per satu. Mereka kembali ke kedalaman untuk mematangkan rencana mereka. Tinggal Yara satu-satunya siren yang tinggal.
'Apakah yang Tuan katakan itu benar? Tentang Nona Keiko?' tanya Yara.
Ronan menghela napas. 'Sejujurnya aku tidak tahu pasti. Saat berkah seorang Magoirie diambil paksa, rasa sakitnya akan terasa sampai ke langit. Aku merasakan milik Ahiga, tapi tidak dengan Keiko.'
'Jadi, Tuan Ahiga juga dimusnahkan?'
Ronan mengangguk dengan raut datar.
'Lalu, bagaimana dengan Nona Keiko?' Ada emosi tertentu yang ditangkap Ronan ketika ia menatap mata Yara sewaktu siren itu menyebut nama Keiko.
'Aku tidak merasakan energi Keiko. Dia hanya... lenyap.'
'Bisakah Tuan menanyakannya pada Sang Dewi?'
Ronan mendengkus. 'Ya, nanti kutanyakan saat diizinkan berjumpa dengannya.' Ia membentangkan sayap-sayapnya, siap terbang. 'Asal tahu saja. Sejak aku menjadi Magoirie, tidak pernah sekali pun aku melihat wujud Sang Dewi.'
'Tuan tidak cemas dengan agenda Azura?'
'Tidak. Jika kawananmu membuat tsunami, aku lebih dari mampu untuk mencegahnya.'
Yara menelengkan lehernya sedikit, menatap Ronan lamat-lamat. 'Ternyata benar kata Nona Keiko. Magoirie Udara amat arogan.' Yara berujar sebelum menyusul kawanannya kembali ke kedalaman.
Ronan melihat ke arah pelayan yang setia bertengger di bahunya. 'Apa aku harus tersinggung?'
'Ucapan siren tadi terkadang ada benarnya.'
Ronan meniup udara lewat mulut, tapi efeknya membuat sang pelayan terhempas jauh berkilo-kilo meter bagai baru diterjang angin topan. Itu akibatnya jika membuat Ronan kesal. Tak masalah. Sejauh apa pun angin bertiup, elang itu akan tetap kembali ke sisinya. Ronan mengepakkan sayap-sayapnya dan bersiap mengarungi angkasa, kembali ke istananya.
***
.
.
.
.
.
Mau sharing sedikit.
Awalnya cerita ini cuma berjudul Green Wood. Ceritanya tentang Rinjani - Aoki, teman masa kecil sekaligus tetangga yang saling jatuh cinta. But then, idenya harus kuganti karena aku capek nulis cinta-cintaan T_T Bahkan desain covernya masih pake deskripsi cerita Green Wood yg super receh karena genrenya slice of life seperti yg udah-udah.
Aku penikmat cerita genre romance, tapi kalau untuk nulis... kadang ogah-ogahan, makanya selalu kukasih humor tipis-tipis biar aku enggak jenuh nulisnya (pembaca juga terhibur -semoga).
Habis itu, aku dapet mimpi dong. Fyi, kebanyakan ideku asalnya dari mimpi XD terus kukembangin. Mimpinya tentang Magoirie. Istilahnya juga dapet nemu dari mimpi. Enggak tahu artinya apa -mungkin teman-teman ada yang familier sama kata itu bisa share di komen. Green Wood kuambil dari nama Aoki tersayang yang dalam bahasa Jepang berarti green wood. Ada hubungannya sama Rinjani yg ahli ilmu tumbuh-tumbuhan XD
Singkatnya, jadilah cerita genre fantasi ini. Seharusnya ini ringan ya karena aku banyak pake POV Rinjani si tokoh utama yg isi otaknya simpel. Kalau pake POV Ronan bisa panjang ceritanya.
Anyway, cerita ini rencananya akan menjadi buku pembuka seri Magoirie. Enggak banyak-banyak sih. Paling cuma tiga -karena aku gampang bosen nulis cerita dengan tema sama. Harapanku enggak terlalu muluk sama project ini. Berharapnya sih jadi buku somehow, tapi kalau pun enggak, semoga tetap bisa menghibur teman-teman pembaca.
Jangan lupa vote kalau suka sama ceritanya.
See ya folks!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro