Bab 5 - Rahasia Dua Cowok Ganteng
KISAH SEBELUMNYA
"Hei, boleh tahu siapa teman yang memasak bekalmu? Aku ingin tahu. Apa dia ikut Klub Masak juga?"
Cinia menarik napas mendengar pertanyaan itu. "Aran. Ketua Klub Masak tahun kemarin. Kenal?"
Wajah Bana menjadi sekaku karang.
"Oh, Aran." Bahkan Cinia bisa merasakan nada ketus di sana. "Jadi kamu Cinia yang itu?"
"Kenapa memangnya?"
Namun, Bana hanya mengangkat bahunya. "Enggak apa-apa. Oh iya, kalau lo suka, besok gue bisa bawakan satu roti buat lo. Anggap aja sebagai perkenalan kita."
"Enggak usah. Makasih."
Bana mendelik. "Semua cewek di sekolah ini rebutan pesen roti dari gue sampe dijatah cuma dua per orang dan lima puluh roti per hari. Kok lo malah menyia-nyiakan kesempatan emas ini?"
Cinia memikirkan kalimat apa yang sopan untuk menolak cowok itu. Namun, dia tak suka berbasa-basi. "Aku nggak suka utang budi."
"Utang budi?"
"Roti itu."
Tawa Bana tak bisa dihentikan untuk beberapa waktu kemudian. "Lo aneh, masa' orang ngasih roti lo bilang utang budi."
Cinia meneleng sembari mengangkat alisnya. "Terus apa yang kamu harap setelah aku menerima roti itu? Aku menjadi pelangganmu? Jangan harap. Uangku nggak berlebih untuk itu. Atau mungkin kamu berharap aku mempromosikan produkmu? Maaf, aku juga nggak punya waktu."
"WOW! WOW!" Bana bertepuk tangan dengan keras hingga beberapa cewek menoleh pada mereka. "Pikiran lo sungguh super maju ke depan. Revolusioner!"
"Visioner maksudmu?"
"Nah, iya itu!" Bana nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"So, apa tebakanku salah?"
Bana memajukan mulutnya sembari memandang langit-langit kelas seolah berpikir keras. "Yah, sebenernya tadi gue nggak kepikiran sampai ke sana. Tapi, boleh juga kalau kelak gue bagi-bagi kue buat endorsemen. Ide lo bagus!"
"Lho terus? Nothing free in this world." Cinia terdengar skeptik.
Bana menggeser tubuhnya dan berdiri hingga memaksa Cinia mendongak untuk tetap bisa menatapnya.
"Dengar ya Cinia. Enggak semua hal di dunia itu selalu mengharapkan balasan dari manusia. Kadang, kita juga melakukan sesuatu untuk penyebab lain."
"Kalau alasanmu tadi?"
Sejenak Bana terdiam sebelum senyum cerianya kembali terpasang. "Apaaa, yaaa? Karena lo nolak gue kasih, maka gue juga nolak ngasih tahu lo alasannya. Fair, kan? See ya!"
Secepat itu pula, Bana meninggalkan bangku Cinia yang langsung diserbu oleh cewek-cewek lain yang ingin memesan roti untuk besok.
Cinia mendesah. Mungkin barusan dia telah menyinggung Bana. Namun, terserahlah. Bukan urusannya. Karena selama ini, Cinia tahu tidak ada orang yang mendekatinya kecuali meminta salinan PR, diajari pelajaran, atau sekadar contekan saat ujian. Menyebalkan!
Maka semua pembicaraana dengan Bana segera Cinia kesampingkan dan lupakan untuk beberapa waktu ke depan.
"Tumben pulangnya telat. Kenapa?" Cinia mulai mengenakan topi lebarnya saat melihat Aran tergopoh mendekatinya di parkiran sepeda. Kelas mereka terletak berseberangan dan untuk ke parkiran sepeda, tidak akan saling melewati. Cinia selalu meminta Aran untuk langsung bertemu di parkiran saja karena cewek itu khawatir Aran akan terlibat kehebohan kelasnya yang seolah tidak pernah padam.
"Sorry, ada kerjaan tadi. Yuk!"
"Eh, aku ke rumahmu, ya. Mau kasih catetan, sekalian ngajarin pelajaran yang kemarin kamu ketinggalan."
"Cin, kamu pinjem catatan siapa lagi dari kelasku? Kelas kita 'kan beda jadwal." Aran mulai melajukan sepedanya.
"Yah, ada kok. Murid di kelasmu baik-baik."
Aran mengerutkan kening. "Cowok apa cewek?"
"Cewek. Teman sekelasku waktu kelas 11. Kenapa, sih?"
"Enggak apa-apa."
"Dih, cowok zaman now, ngomongnya sejenis semua," goda Cinia mengenang bagaimana Bana juga bicara dengan nada yang serupa.
Dibelokkan setang ke kiri dan masuk ke kompleks perumahan yang sepi. Matahari masih cukup terasa panas meski sudah condong ke Barat.
"Ya udah, mau belajar apa?"
"Lho kok nanya ke aku? Maunya kamu diajarin apa?"
Aran terkekeh sambil terus mengayuh, membebaskan angin meniup rambut kecokelatannya dengan bebas.
"Balap guee!" Tanpa peringatan tiba-tiba Aran mempercepat kayuhannya.
"HOI CURAAANG!!"
Keduanya pun mengayuh sepeda lebih cepat dari sebelumnya.
Cinia tiba dengan terengah di rumah Aran sore itu. "Duh, apa aku mandi dulu, ya? Kebut-kebutan jadi keringetan, nih!"
Aran menurunkan dua kaleng dingin minuman berion di meja. "Jangan langsung mandi. Justru biarin keringetnya ilang dulu, baru mandi."
"Bau nggak?" Cinia tampak khawatir.
Aran mengendus dari kejauhan dengan gaya dilebih-lebihkan. Cinia otomatis mendekap tasnya erat-erat. Aran tertawa sebelum menggeleng cepat dan menenggak minumannya seolah tak terganggu apa pun. Sofa ruang tamu terasa lembut menyangga tubuh. Rileks sekali.
"Mamimu ke mana?"
"Biasa, Mami lagi ada persiapan pameran baju akbar. Lagi sering ketemu EO-nya buat ini-itu. Sekarang jadi suka pulang malem juga. Maklum, desainer kondang tugasnya bejibun!" Aran menaikkan tangan ke atas seolah menjelaskan tumpukan pekerjaan.
Cinia membulatkan mulutnya.
"Obatnya siapa yang ingetin?"
"Guelah. Siapa lagi." Aran menempelkan kaleng dingin itu ke kepala seolah mengusir gerah. Padahal pendingin ruangan juga sudah menyala sejak tadi. Akan tetapi, pulang sekolah sambil kebut-kebutan dengan sepeda tetap saja membawa lelah.
Cinia mengamati keadaan di sekitarnya. Rasanya ada yang berbeda. Sesuatu yang membuat perasaannya terasa lebih lengang. Rumah Aran sangat besar. Ruang tamunya saja mungkin seluas setengah rumahnya. Sofa set berbalut kulit cokelat gelap benar-benar menjadi kesukaan Cinia. Lemari kaca besar dengan gelas dan piring porselen cantik menghias di dalamnya terlihat menawan. Karpet berwarna abu muda juga terasa lembut.
Aran memiliki beberapa pembantu pulang-pergi. Entah kenapa mereka tidak menyewa pembantu yang menginap saja. Mungkin mendesain baju butik milik sendiri membutuhkan konsentrasi tinggi dan keberadaan orang asing bisa mengganggu. Padahal, Cinia yakin uang keluarga Aran berlebih untuk membayar semua itu.
"Ran, di sana kayaknya waktu itu ada guci gede, deh. Yang biru itu, lho! Yang di meja juga ilang. Pada ke mana?"
Aran menoleh mengikuti arah telunjuk kanan cinia yang teracung. "Oh, udah dibuang. Mami udah bosen." Tiba-tiba cowok itu meringis ketika bergerak.
"Kenapa?"
"Enggak apa-apa. Kayaknya encok," balasnya asal.
"Hilih, rajin renang bisa encok cuma habis ngegowes sepeda segitu aja."
Keduanya tertawa sebelum akhirnya Cinia mulai membuka buku dan memulai pelajarannya.
Setelah kurang lebih satu jam mereka belajar, Magrib pun tiba. Cinia bergegas berkemas untuk pulang.
"Cin, besok habis sekolah, gue ada kegiatan klub. Mau ikut?"
Cinia sejenak berpikir apakah ada jadwal besok dalam agendanya. Tampaknya kosong, Lagipula, melihat Aran masak akan sangat menyenangkan, Yah, kecuali di posisi dipaksa makan sesudahnya.
"Aku nggak harus makan, kan?"
Aran ingin menjitak kepala cewek itu. Namun, dia menahan diri. "Enggak. Bantu angkat barang aja paling."
"Aku harus siapin apa?"
"Enggak usah." Aran bangkit, membereskan buku-bukunya dan bergerak ke arah pintu. "Sampai jumpa besok."
Keduanya keluar gerbang dan Aran bahkan mengantar Cinia hingga masuk ke rumah meski hanya berbatas jalanan selebar lima meter. Cinia mengunci rumah setelah mendapat balasan salam.
Aran selalu ingin menunggu Cinia untuk menghilang di balik pintu. Meski cowok itu tahu, masuk ke rumah tidak berarti Cinia akan aman, tapi setidaknya ada sedikit rasa tenang yang tercipta. Benny akan tetap menancapkan kengerian tak terbantahkan, bagi Aran dan juga Cinia.
Cinia tertegun melihat kantong kertas mungil di dalam kolong mejanya saat hendak membereskan buku pelajaran di sekolah. Dia baru menyadari keberadaan benda itu saat memeriksa apakah ada benda tertinggal saat pulang.
Tidak ada nama. Hanya sebuah kartu berwarna biru dongker dengan print timbul berwarna emas.
"Dear Cinia,
Tetap semangat belajarnya!"
Diedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada tanda-tanda ada temannya yang sedang menunggu reaksinya. Semua sibuk berebut membereskan meja dan enyah secepatnya dari kelas menuju rumah masing-masing.
Sejenak cewek itu kebingungan. Siapa yang memberi kantong misterius ini? Apa isinya?
Meski ragu menggelayut, Cinia membuka kantong kertas bersegel stiker berbentuk bunga bertuliskan "Made by Heart". Di dalamnya, ada tiga potong kukis cokelat bertabur mete.
Siapa yang memberi?
Bana? Dia melongok ke sekeliling kelas. Dia sudah tidak menemukan cowok itu.
Aran? Tidak mungkin. Ngapain cowok itu repot-repot melakukan ini. Dia 'kan paling anti memberi Cinia cokelat? Lagipula kapan dia datang ke kelas MIPA 3?
Ya sudahlah, nanti dia tanyakan saat bertemu Aran.
Pada kenyataannya, melihat Aran yang memboyong aneka perkakas dari kelasnya menuju ruang memasak, langsung mengalihkan semua perhatian cewek itu. Cinia selalu suka melihat Aran yang begitu bersemangat saat bersiap memasak.
"Acara apa, sih?" Cinia mengamati punggung tegap Aran yg bergerak ke arah ruang memasak.
"Mulai sekarang ada proker dari ketua baru, kalau setiap Jumat sebelum salat magrib berjamaah, klub Masak melakukan Jumat berbagi. Juga membagikan takjil berbuka untuk yang shaum sunnah."
"Sekarang 'kan Kamis." Cinia memastikan dengan melihat tanggal di ponselnya.
"Er ... kalau Hijriah 'kan ngitung ganti harinya dari Magrib." Aran menoleh sejenak sebelum kembali melangkah. "Jadi, kami mau membagi-bagi makan malam buat orang-orang nggak mampu. Kalau sarapan Jumat pagi 'kan udah banyak. Tapi, kalau buat makan malam 'kan jarang. Jadi, buka puasa hari Kamis 'kan bukanya di hari Jumat," tegasnya lagi.
Cinia tersenyum tipis teringat suatu hal. "Ini usulanmu, ya?"
"Enggak, kok! Proker ketua baru," ulangnya.
Cinia melebarkan tawa dan mempercepat jalan menyejajari Aran. "Iya, proker yang disahkan ketua baru, tapi dibisikin sama mantan ketua mereka. Aku tahu, kok. Kamu kadang suka keluar Kamis malam bawa-bawa banyak bungkusan naik motor." Cinia mengenang. "Dulu kupikir ngapain. Ternyata ini toh!"
Aran tak menjawab dan hanya memalingkan wajah ketika berbelok ke ruang masak. Cowok itu bisa merasa wajahnya memerah. Sesuatu yang terjadi jika dirinya terlalu didesak oleh Cinia. Aran tak ingin ekspresinya terlihat.
Ruang masak berukuran 6x6 meter itu terlihat lapang dan bersih. Peralatan masak berderet rapi di tepi, sementara empat meja panjang di tengah ruang berjajar rapi. Meja-meja itu sudah dipenuhi aneka wadah berisi makanan.
Banyak anggota klub yang kesemuanya wanita masih gaduh memotong-motong, memasukkan makanan ke panci-panci raksasa, atau menggoreng.
"Lho? Cinia?" Sebuah suara rendah mengalihkan pandangan Cinia dari Aran.
Cowok jangkung dengan rambut ditegakkan ke atas tampak menyandarkan diri di meja.
"Bana? Kamu ternyata ikut Klub Masak juga?"
"Lo nggak tahu kalau gue itu bintangnya Klub Masak?" Bana pura-pura terlihat tersakiti.
Cinia menggeleng.
"Kalian berdua saling kenal?" Wajah Aran terlihat tak suka.
"Kami sekelas, Bro! Wajar kenal."
"Iya gue tahu kalian sekelas. Maksud gue, mana pernah Cinia punya temen cowok selain gue."d
"Baru kemarin kenalnya. Bana yang ngajak kenalan." Cinia meralat.
"Hei! Jangan jujur-jujur amat kenapa, sih?!" Bana memamerkan tawa renyahnya.
"Hati-hati sama Bana. Dia suka nyari endorse."
"Aku tahu."
"Ish, kompak banget sih kalian?" Bana berkacak pinggang. "Pacaran, ya?"
Suara riuh di ruang masak tiba-tiba menhilang, menyisakan hening yang entah mengapa terasa mencekam.
"Bukan. Teman sejak kecil," balas Cinia cepat.
Bana menepuk-nepuk dada kirinya sebelum menggerakkan telunjuknya ke arah Aran sambil berekspresi seolah merasa sakit luar biasa.
Aran mendelik melihat kode menyebalkan itu. Sementara Cinia tak paham apa maksud gestur aneh keduanya.
"Nah, omong-omong kenapa Cinia di sini?"
"Mau lihat gue masak. Masalah?"
Bana mengangkat bahu dan bergerak ke arah lemari apron kemudian menarik dua diantaranya.
"Ikut masak sekalian, yuk!"
Cinia terdiam.
180222
Wah, siapa nih yang juga pengin dikasih kukiiiiis?
Shirei sering dapat kado rahasia. Tiba-tiba nyampe aja buku, cat air, stationery dan prikitilan lainnya ke rumah. Heraaan, deh. MasyaAllah.
Pernah ngalamin?
MasyaAllah Shirei punya temen2 luar biasa baik. Makanya, kadang, memberi hadiah diam-diam ke orang juga bagus, lho!
Cuma, zaman now bisa disangka barang berbahaya ya. Apalagi banyak kasus keracunan makanan. 🙈
Jadi, kalau mau kasih kado, jangan ngumpet-ngumpet, deh. Nanti dibuang, kan sayang.
Oke, deh. Sampai jumpa, yaa!
1 Maret 2021
Hi!
Punya tebakan siapa sih yang ngasih kukis itu ke Cinia? Uhuy?
Aran?
Bana?
Atau jangan-jangan Diatry? [heh]
Oh iya, ada info penting loh di postingan sebelumnya "Publisis Ngoceh #1"
Yuk intip dulu, baca sampai akhir.
Eh, udah join whatsapp group Arancini belum? Ada Aran lho di sana. Hehehe
Kalau belum, kepoin postingan kemarin, ya! Nanti kamu BOLEH REQUEST lho isi cerita buku ini! Asik, kan?
Oh iya, Shirei dan Kak Reyhan masih galau nih. Mau nyebut pembaca Magicamore Arancini dengan sebutan apa?
Biar mesra dan akrab gitu. 😍
BANTU PILIH DOOOOONG :
ABC Team
ABC Troops
Arancinian
Sweet Lovers
Magical Chef
ABC Dreamer
Teman Magica
Magicaz
Ide lain?
Oh iya, jangan lupa follow instagram kami untuk mendapatkan info terkini tentang Magicamore Arancini dan keseruan berbagi ha-di-ah. Heheee.
Magicamore Arancini: @magicamorearancini
Penulis: @shireishou
Publisis: @reyhan_rohman
Supported by:@wattpad_storyyyy @catatanwattpad_id @wattpad.diary @wattpadandmovie @wattpadquotes_id
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro