Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 - Tumbangnya si Cowok Pemaksa

Kisah Sebelumnya

Melihat Aran hampir menghabiskan makanan, di benak Cinia tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan yang selama ini mengganjal di kepalanya. "Ran, kamu nggak mau punya pacar?"

Seketika itu juga, Aran tersedak sambal cumi yang sedang ditelannya.

Butuh beberapa waktu sebelum Aran berhasil menenangkan diri dari rasa yang membakar kerongkongan juga jantungnya.

"Kenapa mendadak nanya gitu, sih? Bikin kaget." Aran merutuk sembari melap bibirnya dengan punggung tangan.

Cinia mengendik tak acuh. "Enggak usah sekaget itulah. Kan pertanyaan normal buat anak seusia kita." Cewek itu lanjut memakan nasinya seolah tak terjadi apa-apa.

"Daripada nanya gue, mending pikirin dulu, lo tuh sekarang udah naksir cowok, belum? Sok-sokan tanya soal pacar." Aran berdeham.

Tawa lebar terdengar nyaring. Cinia menunjuk sendoknya ke arah Aran. "Kamu ngigo? Buat apa orang kayak aku mikirin cinta. Patah hati ntar. Malesin banget harus mewek-mewek karena cowok."

Wajah Aran tiba-tiba berubah serius. Tak ada tawa salah tingkah yang sedari tadi menghias. "Kenapa yakin bakal patah hati?"

Cinia memasukkan suapan berikutnya ke mulut dan mengunyah dengan tenang. Dia membiarkan Aran terdiam dan tidak melanjutkan makannya. "Siapa sih, yang mau sama aku? Udah jelek, kate, jutek pula. Aku tuh nggak punya kelebihan buat ditaksir sama cowok. Jadi, kalau aku naksir cowok, udah pasti auto patah hati. Ogah banget!"

Belum sempat Aran memprotes, Cinia mengibaskan tangan. "Udah, ah. Aku paling males ngomongin soal cinta-cintaan. Bikin nggak nafsu makan."

Mendengar kata 'nggak nafsu makan' membuat Aran memutuskan mundur. Dia tak ingin membuat Cinia berhenti menghabiskan makanan yang tinggal sedikit.

"Fine. Tapi, jangan tanya-tanya gue punya pacar apa belum. Karena jawabannya belum." Aran menarik napas. "Kalau udah, pasti lo yang pertama kali tahu."

Cinia membeliak lalu merekahkan senyum lebar yang tulus. "Kalau kamu sih pasti bakalan cepet punya pacar. Kalau boleh aku tebak, pasti banyak yang udah naksir kamu." Alis cewek itu bergerak naik-turun penuh rasa ingin tahu. "Aran si mantan Ketua Klub Memasak, Aran yang ikut olimpiade Biologi, Aran yang ganteng, Aran yang jago masak, Aran yang atletis."

Mulut Aran menganga mendengar runtutan pujian yang dikeluarkan Cinia. "L-Lo anggap gue begitu?"

"Hah?"

Hanya kesunyian melingkupi keduanya beberapa saat.

"Oooh, itu kalimat-kalimat yang sering kudengar kalau mereka datang padaku kalau titip salam ke kamu. Aku kan kurir penyampai pesan mereka buatmu. Lupa, ya?" Cinia terkekeh.

Jitakan langsung diterima Cinia. "PHP!" gerutu Aran lirih.

"Apa?"

Hanya gelengan yang menjadi jawaban. Aran kembali menyimpan rapat-rapat perasaannya. Percuma. Cinia tidak melihatnya sebagai cowok sedikit pun. Mau dirinya rajin berenang, mau dirinya belajar keras agar seimbang dalam segi akademis dengan cewek itu, mau dirinya bisa masak, semua sama saja. Aran tetap sahabat terbaik di mata Cinia.

Tidak lebih, tidak kurang.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh!" Cinia menekan bel sembari mengucapkan salam pada pagi keesokan harinya. Di zaman internet sudah menjadi keseharian, Cinia tetap suka menjemput Aran dengan cara kuno dan bukan memanggil lewat chat.

Aneh memang karena sudah ada bel, tapi dia tetap mengucapkan salam dengan lengkap. Bagi cewek itu, mendoakan kebahagiaan Aran adalah salah satu hal kecil yang bisa dilakukan untuk membalas kebaikan sahabatnya.

Tiba-tiba suara interkom yang menempel di dinding bergemerisik. "Cinia, maaf, ya." Suara perempuan yang begitu lembut. "Aran nggak sekolah hari ini. Dia nggak enak badan."

"Oh?" Mau tak mau Cinia sedikit terkejut karena kemarin Aran masih tampak sehat saat makan bersama. Apa justru karena terlalu lelah memasak untuknya, Aran jadi sakit? Cinia merasa bersalah.

"Tolong sampaikan ke guru-gurunya, ya." Kali ini suaranya terdengar memelas.

"Baik, Tante. Nanti Cinia sampaikan. Salinan catatan pelajaran hari ini akan Cinia antarkan siang nanti."

"Eh? Besok saja. Tante mau bawa Aran ke dokter hari ini. Makasih, Cantik. Tante permisi dulu mau siap-siap." Secepat itu juga sambungan interkom diputus.

Cinia menghela napas. Ternyata, seberat ini rasa bersalah karena membuat Aran sakit.

Cepat sembuh, ya. Kalau ada pelajaran yang nggak kamu ngerti, tanya aja. Tapi, kalau udah sembuh aja mikirnya.

Tidak dibaca.

Cinia menarik napas panjang berusaha kembali fokus. Nanti, kalau Aran sudah membalas, dia akan memikirkan hal lain untuk menghibur cowok itu.

"Hei! Aran ke mana?"

Cinia yang tengah menyalin catatan ke kertas binder mendongak. Dia menggerutu dalam hati melihat siapa yang mengganggu momen pentingnya menyalin catatan untuk Aran. Cinia tidak punya uang lebih untuk memfotokopikan catatan, hingga lebih memilih mencatatnya ulang. Kamera ponselnya juga jelek untuk memotret. Asal bisa masuk grup Whatsapp kelas yang dibuat wali kelasnya dan menelepon, sudah lebih dari cukup.

"Aku sibuk, Diatry. Bisa tolong jangan diganggu? Tanya ke kelas Aran aja. Kenapa nanya ke aku?" Cinia kembali menunduk dan melanjutkan tulisannya.

"Hei! Kalau diajak ngomong dengerin!" Bahu kanan Cinia ditarik hingga pulpen biru yang sedang digenggam mencoret catatan Aran cukup panjang.

Cinia menarik napas. Ada beberapa opsi yang bisa dia lakukan.

Mencoret muka si Ganjen ini biar bedaknya ternoda,

Bersabar dan menjelaskan ulang,

Mengabaikannya saja.

Mana ya yang lebih sedap untuk dilakukan?

Mencoret hanya akan menyebabkan pertarungan sengit yang membuatnya kehilangan waktu menulis dan lebih buruk kalau sampai dihukum guru. Mengabaikan cewek centil keras kepala ini tidak akan berguna. Akhirnya Cinia memilih bersabar sejenak.

"Seperti yang kamu udah denger, tanya aja ke kelasnya. Bukan aku yang ngurus presensi kelas MIPA 6. Apa perlu aku jelasin ulang? Apa ot ... ehem ... apa penjelasanku kurang bisa dimengerti?" Cinia nyaris meluncurkan kata otak kosong yang tentu akan memperumit keadaan.

Diatry berdeham berusaha mengalihkan pembicaraan saat menyadari kalimat tanyanya salah. "Maksudku, kamu kan selalu berangkat sama dia. Harusnya kamu tahu dia ke mana sekarang!"

"Oke, Aran sakit. Terus kalau kamu udah tahu Aran sakit, mau apa?" Cinia menatap Diatry lekat-lekat.

"Ya ditengok, lah! Bawain makanan atau buah! Gitu aja nggak ngerti." Diatry mulai terlihat dongkol.

Cinia mengamati rambut pendek sebahu Diatry yang bergerak seiring gerakan kepala. Sedikit mirip gaya orang India. Mungkin karena Diatry memang memiliki darah India dari kakeknya. Wajahnya benar-benar seperti artis Bollywood. Herannya, cewek yang digilai banyak cowok ini justru memilih Aran yang jelas-jelas alergi terhadap keganjenannya.

Cinia langsung memutar bola matanya ogah-ogahan. Dia akhirnya berdiri karena malas kalau terlalu mendongak. Lehernya bisa sakit. Yah, meski berdiri pun hanya akan mengurangi derajat mendongaknya sedikit. Cinia tetap lebih pendek 15 senti.

"Gini, ya, Diatry, orang sakit tuh butuh istirahat. Bukan ditengok. Kalau sakitnya lama, baru deh dijenguk. Kalau baru sakit hari ini langsung dikeroyok, apa nggak malah ganggu waktu dia istirahat? Mending kamu Whatsapp dia aja sambil doain. Mau dibaca kapan, ya, suka-suka Aran."

Kali ini Cinia merasa nyeri di dadanya ketika mendengar ucapannya sendiri. Sampai jam istirahat, Aran masih belum membaca chat-nya.

"Udah, ya? Aku mau lanjutin nyatet buat Aran lagi. Kalau nggak kelar, nanti aku bakalan bilang kalau diganggu sama Diatry pas nyalin." Cinia kembali melanjutkan tulisannya.

"Eh, tapi aku belum tahu nomor ponsel Aran."

Lagi-lagi Cinia harus menurunkan bahunya lelah. "Tanyakan ke Aran kalau dia udah masuk lagi." Itu juga kalau dikasih, batin Cinia melanjutkan.

Melihat dirinya tidak berhasil mengorek keterangan sedikit pun, Diatry memutuskan menjauh. Cinia bukan tipe cewek yang bisa dibujuk dengan mudah. Bisa saja dia memaksa Cinia dengan kekerasan. Namun, jelas cewek itu bisa mengadu ke Aran dengan bebas. Apalagi dia murid kesayangan guru-guru. Menyebalkan! Dasar cewek pengadu!

Cinia mengayuh sepeda dengan gontai. Tak lupa topi lebar berwarna terang pun dikenakan agar memantulkan cahaya ganas matahari dengan sempurna. Jika biasanya Cinia naik sepeda bersandingan dengan Aran sembari mendengarkan cowok itu berceloteh sepanjang jalan, hari ini sepi rasanya.

Siapa bilang kalau cowok itu irit ngomong? Bagi Cinia, Aran adalah salah satu spesimen langka yang keberadaannya adalah sebuah keajaiban! Herannya, semua orang menganggap Aran itu cool dan pelit berucap. Mereka pasti belum pernah tahu rasanya diceramahi tujuh hari tujuh malam cuma gara-gara makan sangat lambat sampai mi di mangkok mengembang maksimal karena menyerap kuah dengan sempurna.

Akhirnya Cinia tiba di rumah dengan selamat. Tidak pusing, tidak pingsan.

Good job! pujinya pada diri sendiri.

Tanpa mengganti seragam, Cinia membuka kulkas. Ada sisa lauk kemarin. Beberapa potong tempe dan sambal cumi asin. Ditariknya tempe goreng dan langsung memakannya tanpa dihangatkan terlebih dahulu. Cinia terlalu malas untuk menyalakan kompor dan menggorengnya ulang. Nasi? Dia enggan memasak. Tempe saja cukup untuk mengganjal perut.

Dia harus menyalin pelajaran terakhir sebelum menyerahkannya pada Aran besok. Dilihatnya pesan Whatsapp yang ternyata masih belum juga dibaca.

Separah itukah kondisi Aran?

Cinia menggeleng mengusir perasaan khawatirnya. Dipikirkan pun percuma. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang fokus saja menyalin pelajaran. Bisa saja dia meminta Aran memotret dengan gawai canggih cowok itu. Namun, Cinia percaya kalau catatan yang rapi akan membuat semangat belajar lebih baik lagi. Karenanya, cewek itu sering menghias dengan pulpen warna-warna indah, juga stiker-stiker lucu. Semua hadiah dari Aran sejak tahu betapa rapinya catatan sekolahnya.

Kali ini pun, Cinia bertekad akan membuat catatan pelajaran yang cantik untuk Aran.

"Assalamualaikum!" Suara cowok terdengar dari luar rumah Cinia pagi-pagi buta. Cewek yang sedang memasukkan buku-buku pelajaran ke tas itu terlonjak dan bergegas berlari ke luar. Di balik pagar, ada cowok jangkung yang melambai riang ketika melihat Cinia.

Setengah berlari Cinia membukakan pagar. "Kamu udah baikan? Yakin mau sekolah hari ini? Masih pusing? Sakit apa? Mau aku siapin susu? Eh, aku nggak punya susu. Air putih aja mau?"

Tawa Aran meledak saat itu juga. Matahari bahkan belum bersinar dengan sempurna. Dia masih malu-malu menyembul di balik dedaunan di dalam kompleks. Embun juga masih bergelayut manja di pucuk-pucuk daun. Namun, Cinia dengan gegap gempita bertanya seperti kereta dua belas gerbong.

"Gue nggak apa-apa. Maaf kemarin nggak sempat balas pesan lo. Ini baru baca dan langsung ke sini." Aran menyunggingkan senyum paling manis yang pernah dia punya. Cowok itu senang dikhawatirkan oleh Cinia.

"Sakit apa? Parah banget, ya?"

Wajah khawatir Cinia membuat Aran semakin berbunga-bunga. "Cuma kurang darah sedikit."

Cinia yang sudah rapi memakai seragam mengangguk lega. "Aku belikan bubur ayam dan sate hati ayam, ya? Biar darahmu nambah."

Kali ini Aran kembali terkekeh. "Ya udah, kita mau makan di sana, atau gue pesenin ke sini?"

"Kamu nggak denger aku ngomong apa?" Bibir Cinia mengerucut. "Aku yang akan belikan buburnya. Kamu diem aja di sini, oke! Aku yang bayar."

Aran baru saja akan membuka mulut, tapi diurungkannya kembali. Cewek yang lebih memilih naik sepeda daripada bayar ongkos angkot delapan ribu sehari mau mentraktir bubur? Kebiasaan! Dia terlalu baik.

Aran tak yakin papanya Cinia memberi uang saku berlebih. Namun, dia tak akan membantah. Binar mata tulus itu tak ingin ia patahkan. Sebagai balasannya, nanti siang dan sore makan Cinia akan menjadi tanggung jawabnya.

"Oke, jadi mau pesen apa? Biar gue naik motor aja biar cepet."

"Satu kumplit, pedes, dan pakai satai hati empat tusuk buat kamu. Lalu buat aku, satu porsi bubur nggak pake ayam dan cakwe, nggak pake kacang, nggak pake seledri, pake sambel, kecap banyakin, dan kerupuk."

"CINIAAAAA!!! ITU SIH BUBUR POLOSAN DOAAAANG!"

180222

Wah, nggak berasa udah setahun karya ini ditulis.

Sekarang udah revisian dooong!

Nah, InsyaAllah, bakalan ada bonus SPECIAL PRIVATE VOICE MESSAGE dari tokoh-tokoh Magicamore Arancini buat pembeli bukunya yang beruntung!

Temen-temen mau tahu cara dapetinnya nggak? 😍😍

Sampai jumpa, yaaa!

220221

💖 Wih, Kira-kira Aran sakit apa, ya?

💖 Terus kenapa sih Cinia susah banget makan? Gemes nggak sih?

💖 Nah, kamu masuk tim bubur yang mana?

💖Pake kacang atau ga pake kacang?

Lalu paling penting...

💖 Diaduk apa nggak diaduk? Wakakakak

💖 Tebak hayoo... Aran sama Cinia masuk tim mana?

Tunggu hari Rabu untuk tahu jawabannya. hehe

Terus..... Shirei lupa dong kenalan. Astagfirullah. Gara-gara kebiasaan ngoceh nggak jelas di akun sendiri, lupa kalau ini di akun Belia. [tutup muka]

Maafkan. Salam kenal semua. Aku Shireishou. Orang-orang biasa memanggil dengan Kak Shi, KaShi, Sis Shi, dll. Namun, jarang ada yang manggil Shirei dengan 'Dek', padahal seneng kalau ada yang manggil 'Adik'. Berasa muda gitu, lho! Hihihi

💖 Akun Wattpad-ku Shireishou . Author kegelapan yang berusaha mencari cahaya akhir-akhir ini.

Biasa menulis di genre Slice of Life dan sekarang lagi aktif di Dark Religi [eh]

Shirei ditemani Kak Reyhan sebagai publisis [yang menyusun template promo dan gambar-gambar di Instagram ] untuk memperjuangkan Magicamore Arancini ke TOP 3. Mohon dukungannya, yaaa.

💖 Paling penting... DOAKAN AGAR MAGICAMORE ARANCINI BERMANDI CAHAYAAAAA!!!! [Caps Jebol].

Shirei nggak mau ada kegelapan di antara kita. Lol

Oh iya, jangan lupa follow instagram kami untuk mendapatkan info terkini tentang Magicamore Arancini dan keseruan berbagi ha-di-ah. Heheee.

Magicamore Arancini: @magicamorearancini

Penulis: @shireishou

Publisis: @reyhan_rohman

Supported by:@wattpad_storyyyy@[email protected]@wattpadandmovie@wattpadquotes_id

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro