Bab 10 - Harga Diri dan Cokelat Rahasia
Riset lagi riset lagi. Shirei seneng bab 13 menantang baanget!
Makasih support-nya. Jadi semangat lagi nih, Shirei.
PELOKS MAGICAZ!!
Kisah Sebelumnya :
Cinia masih bergeming di tempatnya tak percaya.
"Orangnya benar-benar revolusioner!"
"Visio..." Suara Cinia tercekat di tenggorokan. "BANA CANDIKAAAAAA!" Cinia tanpa sadar meneriakkan nama cowok yang baru saja memasuki kelas dengan kilau percaya dirinya seperti pagi-pagi lainnya.
Cinia langsung berlari ke arah Bana yang kini kebingungan menatap Cinia.
"Jadi kamu yang ngasih kue dan bayarin piknik juga jaketku?"
Bana terdiam.
Untuk beberapa saat, Bana bahkan tidak mampu bereaksi apa-apa. Kedua tangannya yang menggenggam tas besar berisi roti turun di sisi tubuh. Cowok itu mengerjap sekali sebelum kesadarannya pulih.
"Astaga! Lo bikin gue kaget. Untung rotinya nggak jatoh!" oceh Bana setengah menetralkan keterkejutannya. "Kalau sampai rusak, kasihan pelanggan setia gue."
"Iya nih!"
"Lo ngapain, sih?"
"Ganti rugi kalau sampai rusak!"
"Awas kalau ganteng Bana ilang!"
Suara-suara para cewek di kelas langsung memenuhi ruangan. Tiba-tiba Bana mengangkat tangannya dan berseru lantang memecah keriuhan, "Come on, ladies. Cinia nggak sengaja." Kelas yang tadinya gaduh mendadak hening. "Kami cuma mau ngobrol aja sebentar. Ini, kalian ambil sendiri pesanannya. Udah ada namanya." Kelas mendadak kembali riuh dan cewek-cewek itu pun bergerak mendekati dua tas besar itu.
Bana memberi kode pada Cinia untuk mengikutinya keluar kelas. Beberapa meter menjauh dari kegaduhan 12 MIPA 3 Bana menyandarkan tubuhnya ke tembok. "Tadi lo mau ngomong apa?" tanyanya dengan tangan bersedekap.
"Kamu yang ngasih aku bingkisan tiap hari?" Cinia mengangkat kantong kertas yang lagi-lagi ditemukannya pagi itu.
"Itu dari mana?" Bana mengamati kantong itu baik-baik. Salah satu alisnya terangkat.
"Di kolong mejaku. Tanpa nama pengirim. Selalu hanya ada kartu biru laut dan tulisan embos perak dengan pesan."
Bana mengangkat bahu. "Bukan gue."
Cinia makin memperdalam kernyitan dahinya.
"Hei! Muka lo jangan jadi aneh gitu lah! Masa' nggak percaya?"
Cewek itu menggeleng. Namun, dia memutuskan tak melanjutkan desakannya. Masih ada yang lebih krusial dari sekadar kue manis di kolong meja.
"Terus soal piknik dan jaket? Kamu 'kan yang bayarin?"
Kali ini Cinia bisa melihat Bana tersenyum tipis. "Kenapa mikir gue yang bayarin?"
"Ya, cewek-cewek di kelas nggak mungkin ada yang bayarin. Most of them kayak Diatry, sebel sama aku. Bahkan yang baik kayak Erina pun bilang terus terang kalau dia nggak punya ide untuk bayarin aku semua itu."
"Lo nggak ada bukti 'kan atas tuduhan itu?" Bana terkekeh pelan.
"Memang, tapi aku nggak akan mau berangkat piknik, dan bahkan akan menghibahkan jaket kelas itu ke satpam kalau nggak ada yang ngaku siapa pelaku sebenarnya!" Cinia memasang wajah serius. Ekspresi yang bahkan membuat Bana sedikit khawatir.
Suara debas terdengar meluncur dari hidung mancung Bana. "Oke, fine. Itu gue yang bayarin. Jangan ngambek gitu, dong!"
"Apa sih maksudmu?!" Cinia kini menaikkan nada suaranya dan berkacak pinggang. "Aku memang miskin, tapi aku nggak semiskin itu buat ngemis dari orang ...."
"Hei!" Bana memotong cepat. "Gue yang pengin ngasih! Bukan lo yang ngemis. Apa sih susahnya nerima kebaikan orang dan bilang makasih?"
"Aku 'kan nggak minta ditolong!" Cinia membalas sengit.
"Iya emang enggak! Tapi, apa lo juga harus nanya ke semua penerima rice bowl kemarin, apa mereka butuh bantuan sebelum lo kasih?"
Cinia terdiam sejenak. "Aku 'kan udah bilang, aku nggak suka utang budi." Karena utang budi hanya akan membuatku lebih disakiti, batin cewek itu menjerit merasakan setiap nyeri lebam di tubuhnya.
"Sorry kalau niat baik gue malah menyinggung lo. Cuma lo harusnya ngerti nggak semua orang nolong karena pengin lo merasa utang budi sama mereka!" Bana kali ini kembali menegakkan tubuhnya.
"Terus, kalau bukan agar aku utang budi, apa tujuanmu?"
Bana mengusap wajahnya kasar. "Sekarang gue ngerti yang dimaksud Aran apaan. Lo emang biangnya keras kepala!" Didekati wajah Cinia yang masih menatap tak suka. "Denger, kalau lo merasa harus banget bayar utang budi tadi, lo bisa bantu gue."
Wajah Cinia sedikit melunak mendengar jawaban Bana. "Apa yang bisa kubantu?"
Tiba-tiba senyum di wajah Bana menguap. "Kasih tahu gue, selain masakan manis, apa masakan yang lo suka." Bana memperlihatkan ekspresi yang begitu dalam dan serius.
Cinia bahkan begitu kaget hingga mundur satu langkah melihat cowok yang biasanya selalu murah senyum itu, kini terlihat begitu sungguh-sungguh.
"A-aku suka makan apa aja yang ada."
Tiba-tiba tawa Bana meledak. "Lo keliatan banget kalau lagi bohong. Cara lo makan bekal sama sekali nggak enak dilihat. Apa masakan Aran nggak enak banget?"
"Enak, kok!" bantah Cinia cepat.
Bana mencebik. "Ya ... ya .... Kenapa lo masih mau makan masakan dia padahal nggak cocok buat lo?"
"Masalah emangnya?"
Kali ini Bana kembali tertawa lebar sebelum tawa itu lenyap berganti ekspresi serius. Mata menatap tajam, bibir lurus yang terkatup rapat seolah menunjukkan kesungguhan dan ketetapan hati. "Mau coba masakan gue? Gue yakin, bakalan lebih enak dari Aran."
Suara Bana terdengar membius dan sungguh-sungguh. Terasa sedikit kesombongan, tapi Cinia bisa merasakan ketulusan untuk membantu di sana.
"Enggak, makasih." Cinia bersedekap. "Kalau ini yang kamu maksud dengan balas jasa, ini sih namanya nambah bebanku lagi. Aku menolak!"
Bana menyugar rambutnya dengan sedikit frustrasi. Akan tetapi, belum sempat dia melanjutkan ucapannya, suara bel masuk membuyarkan segalanya.
"Kita bicara lagi sepulang sekolah. Mengerti?"
Cinia hanya bisa setuju kala melihat sosok guru yang akan mengajar pada jam pertama sudah keluar dari ruangannya.
Pada jam istirahat, Cinia tak bisa menemukan Bana. Dia menghilang dan tidak kembali hingga bel istirahat berakhir.
Cinia pun terpaksa menanti jam pelajaran berakhir untuk kembali bicara pada cowok itu.
Berutang budi adalah hal yang paling dia benci. Benny selalu mengungkit budi yang diberikan padanya. Terus mendesak agar Cinia segera melunasi semua utang-utangnya. Seolah kewajiban anak hanyalah sebagai pembayar utang tanpa punya hak atas kasih sayang dan cinta.
Cinia tak suka! Bahkan ketika Aran memaksa untuk memasak baginya, Cinia dulu menolak mati-matian. Bana bilang dirinya keras kepala? Dia pasti belum mengenal Aran dengan baik. Cowok itu jauh lebih keras kepala. Bahkan Cinia akhirnya hanya bisa pasrah.
Setelah sekian bulan Aran memasak untuknya, Cinia mulai terbiasa atas kehadiran cowok itu. Keberadaan Aran seperti menjadi cahaya gemerlap di dunianya yang suram.
Akan tetapi, bagi Cinia kehadiran Aran seperti sesuatu yang terjadi begitu natural. Begitu biasa. Begitu melekat dalam keseharian. Hingga dia tetap menganggap Aran sebagai teman kecilnya yang pemaksa. Tanpa Cinia pernah menyadari bahwa isi hati cowok blasteran itu kini perlahan sudah berubah.
Bana mendekati meja Cinia dan langsung berujar dengan wajah cerianya. "Lo jago fisika kan?"
"Lumayan." Cinia menyangklong tas punggungnya dan bangkit.
"Ikut gue, yuk! Nanti lo bisa membalas utang budi lo sepuasnya." Bana kembali mundur menjaga jarak dan menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
"Ke mana?"
"Ada deh!"
Cinia memberengut. Dia tidak suka rahasia. Terlebih ada seorang cowok akan mengajaknya pergi saja berdua. Bahkan sahabat baiknya Aran pun tak pernah mengajaknya ke mana pun berdua. Cinia tak ingin melakukannya dengan Bana yang baru saja dikenalnya.
"Aku nggak suka kalau tempat dan tujuannya nggak jelas." Cinia menolak dengan tegas dan lugas.
Bahkan Bana pun hanya mampu menarik napas dan mengembuskannya kuat-kuat. Ternyata memang Cinia tidak akan bisa dibujuk dengan cara yang biasa. "Kita nggak akan ke tempat yang buruk. Kita hanya pergi ke tempat klub biasa gue latihan panah. Di gelanggang panahan deket sini."
"Apa hubungannya panahan dengan fisika?"
"Nanti kamu juga tahu."
Cinia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Namun, dia masih tak yakin. Bagaimana seorang Bana yang kabarnya jago panahan akan meminta bantuannya? Namun, ini adalah satu-satunya jalan untuk membalas budi. Dia harus menggunakannya.
"Aku harus izin ke Aran dulu."
"Hah? Masa mau jalan aja izin sama dia!" Bana terlihat tak suka.
"Ya, kami biasa janjian di parkiran sepeda. Nanti dia tungguin aku." Cinia bergerak keluar. "Kamu tunggu di sini juga nggak apa-apa."
Bana ikut mengangkat tasnya ke bahu. "Enggak. Gue ikut ke parkiran. Lagian kenapa nggak Whatsapp aja, sih?"
Cinia menghela napas panjang. "Membatalkan perjanjian dengan seseorang di waktu mepet begini, kalau masih bisa bertemu, temui dulu. Itu sopan-santun. Wajar, 'kan?"
Bana lagi-lagi harus menelan ludah mendengar kalimat yang menohok hatinya itu. Selama ini tak pernah terpikir untuk serepot itu saat membatalkan janji. Terutama di zaman serba canggih seperti sekarang. Ternyata Cinia betul-betul cewek disiplin yang keras hati.
Keduanya pun berjalan ke tempat parkir sepeda tanpa bicara sedikit pun.
"Kenapa kok mendadak?" Aran terlihat tak suka sikap Bana yang cengar-cengir di belakang Cinia.
"Ya, acaranya juga dadakan, sih. Aku juga terpaksa. Nanti kalau sudah di rumah, aku jelasin," bujuk Cinia berharap keketusan Aran memudar.
"Iya, Bro! Gue 'kan cuma minta tolong Cinia sekali ini. Enggak usah dimonopoli, lah!"
"Mo-monopoli? Siapa?!" Aran membuang muka menyembunyikan semburat merah di wajahnya.
Bana menahan senyum dan menepuk pundak Aran dengan tangan kanan. "Nanti gue bawain oleh-oleh biar lo ga sewot." Ada tanda kutip bergerak dengan jari telunjuk dan tengah tangan kirinya.
Aran menarik udara dari sela-sela giginya. "Gue ikut!"
"Oh, nggak bisa!" Bana menggeleng cepat sembari mendorong tubuh Aran ke belakang sedikit. "Ini acara nge-date berdua. Masa' ada lalat."
"Enak aja nge-date!" bantah Cinia cepat. "Aku cuma mau ngajarin fisika."
"Di Lapangan Panahan," tambah Bana mengerling pada Aran yang semakin menekuk wajahnya masam.
"Udah, ya Aran. Nanti aku kemalaman. Sepeda 'kan dititip di sini sampai gerbang tutup pukul tujuh." Tanpa menunggu kalimat Aran berikutnya, Cinia menyuruh Bana bergerak menjauh.
Keduanya pun bergerak menuju parkiran mobil diiringi tatapan tajam Aran yang penuh amarah.
180222
Cemburu itu ngeri, yaaa??
Pernah diposesifin kayak Aran terhadap Cina?
Suka apa risi?
Btw, Shirei malah kepengin denger suara Bana pas belain Cinia. Ahahaha
Ada yang juga pengin denger suara Bana?
Oh, yang ngisi dubber profesional yang suaranya udah nongol di layar kaca dan streaming nasional. 😍
Siapa hayoooo???
Dengerin aja di akun Instagram @MagicamoreArancini ! InsyaAllah bakalan sukawaw 😍😍
Penasaran? Ikut PO-nya, ya! Supaya kamu bisa dapet suara Bana khusus untukmu! 😍
Ini part terakhir yang di repub. Sisanya di buku, yaaa!!
Sampai jumpaaaa
11 Maret 2021
Ada yang meleduk.
Siapa siap sama semprotan pemadam kebakaran?
Siap-siap semburin ke Aran, ya, biar nggak hangus. Wakakka
Btw, btw, Shirei kepo, nih.
Menurut Magicaz , Cinia tuh karakter kayak apa sih?
Apa dia nyebelin?
Apa dia patut dikasihani?
Apa justru dia nggak bisa ditebak maunya apa?
Atau Magicaz punya komen tersendiri tentang Cinia?
Komen pleaseeeee......
Shirei pengin tahu, nih.
Karena bagi Shirei, Cinia ini karakter paling 'ajaib' yang pernah Shirei punya. Hehehehe Jadi, agak insecure apakah yang Shirei maksud bisa ketangkep dengan baik.
Mumpung masih bab 10, masih bisa dibenerin ke belakangnya.
Lalu, harapan apa nih dari Magicaz sama karakter Cinia di masa depan?
MAKASIIIIIII
--------------------------------
Magicamore Arancini: @magicamorearancini
Penulis: @shireishou
Publisis: @reyhan_rohman
Supported by:@wattpad_storyyyy @catatanwattpad_id @wattpad.diary @wattpadandmovie @wattpadquotes_id
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro