8. Berondong Berkualitas
= Banjarmasin, 2020 =
Faisal mencium bungkusan buku berpita yang kini berada di tangannya. Hadiah cantik itu sekarang beraroma wangi karena baru saja disemprot dengan parfum milik ibunya. Mulut Faisal menyungging senyum penuh harapan. Semoga bingkisan cantik dan harum ini sanggup membuahkan senyum di bibir Yun. Oh, ia tidak sabar menunggu sore tiba.
Sore itu sepulang sekolah, ia mengganti baju seragam dengan celana denim dan kaus seperti biasa. Dengan sepeda motor yang dipacu laju, Faisal menuju rumah Yun di daerah KM 6.
Di pintu rumah Yun, ia disambut oleh Suryani. Sudah pasti kedatangannya menimbulkan tanda tanya di benak wanita itu. Mungkin karena terpesona oleh sosok Faisal yang jangkung dan wajah yang tampan, ibu angkat Yun mempersilahkan Faisal untuk masuk. Dengan gelisah, remaja itu duduk menunggu di ruang tamu yang sederhana. Maklumlah, ibu angkat Yun seorang janda dan bekerja sebagai guru SMA. Penghasilannya sudah pasti tidak sebanyak orang tua Faisal.
Faisal duduk di kursi dari kayu berukir yang sederhana. Ruang tamu itu mungil. Begitu pula rumahnya. Mungkin rumah bertipe 45. Ada rasa kagum. Yun yang hidup pas-pasan ternyata punya cita-cita tinggi untuk menjadi sarjana.
Bagaimana dirinya? Uang ada. Mau sekolah ke mana pun bisa. Tapi, ia malah lebih suka nongkrong di pinggir jalan. Seserpih rasa malu menyelip di dada Faisal, menorehkan sesal yang mengganjal.
Tak perlu menunggu terlalu lama, orang yang dicari muncul. Faisal segera mengulurkan tangan untuk menyalami. Demi sopan santun, Yun menyambutnya. Apa yang terlihat oleh Yun adalah seorang remaja yang nekat dan tak tahu malu. Umur mereka selisih lima tahun. Mana mungkin ia pacaran dengan anak ingusan seperti ini?
"Kok diam aja, Kak?"
"Emang Kakak harus ngomong apa?"
Faisal tidak tahu ingin bicara apa. Pokoknya asal bisa membuat Yun bersuara, hatinya girang. Bertamu itu tidak dosa, bukan? Selama tidak diusir, ia nyaman saja. Yang penting, nanti jangan sampai pulang dengan tangan hampa.
"Ngomong apa aja deh. Semua yang Kakak omongin pasti aku dengerin."
"Aku nggak selera ngobrol," balas Yun dengan muka masam.
"Loh, kenapa, Kak? Ngobrol kan bagus buat ngilangin stres." Faisal belum kehabisan jurus.
"Aku banyak kerjaan, baru bikin skripsi," ujar Yun. Maksudnya supaya Faisal tahu diri dan cepat-cepat pulang. Tapi yang namanya Faisal tidak mudah dipukul mundur.
"Sibuk dong, ya?"
"Iya, jelas! Aku harus banyak mikir. Makanya jangan mengganggu."
Faisal tersenyum tenang. Jangan panggil dia Faisal kalau tidak bisa menaklukkan cewek satu ini. "Otak tu kayak mesin, loh. Kalau lama dipakai bisa panas. Kakak butuh refreshing bentar. Biar otaknya dingin dan bisa mikir lagi."
Yun melengos. Rupanya anak ini tidak paham bahasa halus.
"Mau dibantuin, Kak?" tanya Faisal lagi.
"Emang kamu bisa bantuin apa?"
Faisal mengangkat kedua bahu. "Apa aja bisa. Ngetikin daftar pustaka misalnya. Atau nyusun hasil penelitian. Aku sering bantuin mama bikin tabulasi data."
"Tabulasi data?"
Faisal mengangguk mantap. "Iya. Itu, loh, masukin hasil kuesioner ke tabel-tabel."
Bagi Faisal pekerjaan yang diberikan oleh ibunya itu dulu terasa sangat menyiksa. Ia hanya mau bekerja bila diberi uang yang cukup besar. Lumayan, kan, uang itu bisa buat mentraktir teman-teman, nonton, atau membeli pengaman dan pergi ke tempat Noni.
Sekarang ia bersyukur pernah disiksa ibunya. Dengan pengalaman itu, ia bisa pendekatan pada gebetan satu ini. Melihat Yun mulai ragu, Faisal segera tancap gas.
"Beneran, loh. Mana kuesioner Kakak? Sini aku inputkan ke tabel. Pakai Excel, 'kan? Kecil itu! Satumat ja tuh." (Sebentar aja itu.)
Yun kontan mencibir. Bibir manyun yang sebenarnya untuk mengejek Faisal itu malah menjadi pemandangan yang menggemaskan.
"Kakak kok nggak percaya, sih? Gini-gini, aku berondong berkualitas, loh. Dijamin Kakak nggak bakalan nyesel punya aku."
Tawa Yun tersembur tak tertolong. Benar-benar ABG ajaib yang ada di depannya ini. Tapi boleh juga kalau apa yang dikatakannya benar. Siapa tahu anak ini akan berguna nanti.
Jangan Yun. Kamu nggak tahu siapa dia. Ya kalau niatnya baik. Kalau cuma mainin kamu? Entar kamu udah berharap, eh, dia malah minta jantung.
"Nggak usah. Makasih banyak. Aku belum sampai kuesioner. Masih bikin tinjauan pustaka."
"Mamaku galakkah?"
Yun menggeleng. Bu Wid memang tidak galak, tapi kelewat teliti dan idealis. Otaknya yang pas-pasan kewalahan mengikuti standar tinggi yang diminta.
Faisal meraih tas ransel dan mengambil bingkisan. Hadiah berbungkus merah muda dan berpita merah menyala itu diangsurkan kepada Yun. Bukannya menjadi senang, kening gadis itu malah berkerut.
"Apa ini?" Mata bulat Yun jelas-jelas menyorotkan rasa curiga.
"Buka aja. Pasti suka, deh." Senyum manis Faisal terkembang sempurna. Darah pemberontaknya bergelora. Semakin dilawan, semakin menantang. Sekarang, Yun benar-benar menjadi pusat gairahnya. Ia tidak tahu apa nama perasaan aneh ini.
Yun menerima bingkisan dengan hati berdebar. Jujur, di dasar hati terdalam, ia senang ada yang datang dan memberi perhatian. Tapi, di sisi lain kabut hitam membayang, membawa rasa tidak tenteram.
Dia cowok, Yun. Kamu harus hati-hati. Semua cowok itu predator. Mereka hanya baik kalau ada maunya. Kalau sudah bosan nanti, pasti akan lain lagi kelakuannya.
Aroma parfum tercium. Yun semakin risih.
"Ya udah. Hadiahnya udah diterima. Kamu pulang aja, deh."
"Baru bentar masa pulang? Jauh loh rumahku."
"Emang di mana rumahmu?"
Faisal tergelak. Gadis di depannya ini sangat menggemaskan. Sedikit lola tapi lucu.
"Gimana, sih? Kakak kan pernah ke rumahku. Lupa atau ngolok? Nggak percaya kalau aku anak Bu Wid?"
Wajah Yun kontan memerah karena malu. Bisa-bisanya pertanyaan aneh itu terlontar.
Ah, anak ini bikin aku gila!
"Masa Pal 8 jauh dari sini?" Yun membantah.
"Jauuuuh, Kak."
"Masa, sih. Cuma dua kilo aja."
"Jauhnya bukan karena dua kilo itu."
"Loh, lantas karena apa?"
"Karena kamu menutup hatimu, Kak. Aku jadi berasa jauuuuuhhhh banget."
Kontan hati Yun bertalu.
Bocah iniiiii!
Rasa canggungnya semakin bertambah-tambah saja. Kalau diusir pun tidak mempan, bagaimana cara biar terlepas dari anak ingusan ini?
"Kak, aku habis pulang sekolah, loh." Faisal berkedip-kedip dengan meringis lebar.
"Emang kenapa?"
"Sekolahku jauh."
"Terus?"
"Tenggorokanku kering dan perutku keroncongan."
Demi apaaaa, aku ketemu bocah iniiii? Yun merutuk dalam hati.
Namun, segelas sirup dingin dan semangkuk mi instan, dan sebutir telur rebus disajikan juga untuk si bocah. Sambil mencuri-curi pandang, Yun mengamati Faisal. Semua yang ada pada diri remaja ini bagus. Seolah semesta begitu menyayangi sehingga memberi yang terbaik saat memahat makhluk ini.
Faisal akhirnya mau disuruh pulang setelah menghabiskan semangkuk mi, sebutir telur, beberapa potong pepaya, segelas sirup, dan segerbong kata-kata pengusiran.
Ada yang berubah pada diri Yun. Saat telah sendiri di kamar, bungkusan Faisal dibuka. Buku Kahlil Gibran muncul di balik kertas kado bermotif hati. Bibir Yun membentuk senyum tanpa sengaja. Padahal ia kesal pada bocah itu. Bikin susah, minta makan segala. Ternyata bibirnya mempunyai kemauan sendiri. Maunya tersenyum teruuuus setiap membaca sajak-sajak romantis sang maestro. Seolah Faisal-lah yang mengucapkan sajak itu.
/////////////////
Faisal sweet atau norak, sih?
Makasih buat pendukung Faisal-Yun. Cerita ini dapat juara I Bestory Writing Contest 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro