Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Nomor Telepon


= Banjarmasin, 2020 =

Sabtu yang cerah. Faisal sudah rapi dan ingin menjemput Sopian. Mereka akan naik ke Bukit Matang Kaladan. Obyek wisata pemandangan Bendungan Riam Kanan itu tidak jauh dari Banjarmasin, hanya sekitar satu jam perjalanan.

Sayang, Ismet jatuh sakit. Sejak dua hari yang lalu, ayah tiri Faisal itu demam tinggi. Setelah diperiksa Widya, ternyata Ismet terkena radang tenggorokan dan kambuh penyakit kencing manisnya. Widya wanti-wanti agar Faisal tidak pergi-pergi untuk menjaga sang ayah. Widya sendiri harus datang ke kampus karena menjadi narasumber seminar ilmiah.

"Mama nggak akan lama. Begitu sesi Mama selesai, Mama akan segera pulang," ujar Widya.

Faisal kontan manyun. "Aku juga ada janji sama teman, Ma. Papa kayaknya udah baikan. Tadi kan udah bisa jalan dan makan sendiri."

"Iya, tapi masih demam. Nungguin sebentar kenapa, sih? Biar begitu, papa kamu itu udah berjasa menjaga kamu dari kecil. Masa nggak mau berkorban sedikit?"

Faisal tidak menjawab. "Yang punya suami siapa, sih?" gumamnya sambil meletakkan kembali sepatu yang batal dikenakan.

Widya mendengar keluhan itu. "Apa kamu bilang?" tanyanya dengan alis tertaut.

Faisal malas menanggapi. "Nggak ngomong apa-apa, kok. Mama aja sensi."

Widya mengeluh dalam hati. Kapan Faisal bisa menerima kenyataan bahwa Ismet sekarang adalah ayahnya? Mengapa mempunyai anak satu saja begitu susah diatur? Kalau bukan karena terpepet waktu, Widya pasti akan menasehati Faisal panjang lebar.

Faisal kembali ke kamar dan membanting diri ke kasur. Langit-langit kamar itu telah menjadi saksi kisah hidupnya yang carut marut. Ia bosan tinggal bersama mama dan papanya. Satu-satunya harapan agar terbebas dari impitan orang tua adalah dengan kuliah ke luar kota. Namun, pilihan ini pun sesulit mencabut bulu hidung. Widya dan kakeknya ingin Faisal masuk fakultas kedokteran, sedangkan Faisal sendiri lebih suka desain grafis. Sudah bisa diduga, akan ada pertarungan sengit yang menghasilkan nyeri dan air mata, seperti saat bulu hidung dicabut.

"Sop, batal. Kada kawa keluar aku," ujar Faisal melalui telepon. (tidak bisa)

"Yaaaah!" Sopian mengeluh panjang.

"Kalian pergi aja. Papaku nggak bisa ditinggal."

"Ya udah. Baik-baik jagain papamu. Eh, kamu ditanyain Noni terus."

Entah mengapa, Faisal terbayang wajah ayu yang ditemui di teras rumahnya. Mendadak ia merasa malu. "Bilang sama Noni aku udah mau dikawinin."

"Heeeh? Bujur-bujur ikam!" (Yang bener aja kamu!)

Faisal terbahak. "Udah, ah. Aku udah tobat, nggak lagi-lagi ke sana."

"Amiiiiiin!

Sambungan telepon ditutup dan Faisal kembali rebahan di kasur sambil memainkan game di ponsel. Belum sempat menyelesaikan satu permainan, teleponnya berdering. Widya menghubungi.

"Sal, tolong antar hardisk eksternal Mama yang ketinggalan di meja kerja," perintah wanita itu.

"Diantar ke mana, Ma?" tanya Faisal dengan malas-malasan.

"Ke tempat seminar, di kampus Mama. Cepetan!"

"Loh, lalu papa ditinggal?"

"Udah, penting nih. Papa udah baikan, nggak papa ditinggal sebentar."

Faisal kontan manyun panjang. "Kalau ada maunya aja Mama biang gitu."

"Cepet berangkat, tapi jangan ngebut," ujar Widya lagi.

Mau tak mau Faisal mengeluarkan sepeda motor dan melaju menuju ke Banjarbaru, tempat kampus mamanya berada. Lima puluh menit kemudian, ia sudah berada di auditorium di mana seminar itu diselenggarakan. Ia celingukan sebentar di pintu masuk.

Ruang pertemuan besar itu terlihat ramai dengan peserta yang berdatangan. Ada beberapa mahasiswa mengenakan jas almamater. Faisal menduga, mereka bertugas sebagai panitia. Karena tidak menemukan keberadaan ibunya, Faisal membalikkan badan. Saat itulah ia melihat seseorang berjalan dengan perlahan, melintas tepat di depannya.

Wajah ayu, mata bulat yang sorotnya polos, serta rambut lurus yang diikat ekor kuda itu membekukan gerakan Faisal. Sebaliknya, jantungnya malah semakin aktif, berdenyut keras hingga Faisal seperti dapat mendengar detakannya.

"Kak Yun?" ucap Faisal.

Gadis lembut itu berhenti melangkah, lalu menoleh. Untuk beberapa saat, ia juga terpana menemukan Faisal di tempat ini. "Faisal?" sapanya. "Mau apa ke sini?"

Faisal meringis. "Mau cari Kakak," jawab Faisal, sengaja mengumpulkan kesempatan.

Mata bulat Yun melebar, mulutnya menguncup. Belum hilang kekagetan karena bertemu Faisal secara tak terduga, sekarang ditambah kata-kata menyerempet bahaya ini. Yun segera teringat perjumpaan pertama mereka di teras rumah Widya. Jujur, ia kerap teringat anak ini setelah siang itu.

"Oh? Ada perlu apa cari aku?"

Ekspresi wajah Yun itu sangat menggemaskan bagi Faisal. Ia tidak mau pemandangan indah ini hilang begitu saja.

"Mmm, aku kan banyak dosa, Kak, jadi ...." Faisal sengaja menghentikan kata-kata agar bisa menatap lebih lama raut menawan itu. Ia tidak peduli kalimatnya ngawur.

"Hah? Kamu ngomong apa, Dik?" tanya Yun.

"Oh, gini. Kakak kan orangnya kayak nggak punya dosa gitu. Tolong ajari aku jadi anak baik, Kak." Faisal memasang wajah serius yang memelas.

Wajah Yun menjadi mendung karena tahu tengah digoda. Ia segera menggeleng. "Aku sibuk, Dik. Aku kan jadi panitia. Kalau kamu mau main, ajak aja teman sekolah kamu."

"Dih! Aku bercanda, Kakak!" Faisal mengeluarkan hardisk eksternal dari saku jaket. "Ini loh, aku disuruh mama antar hardisk. Kakak tahu nggak, di mana mamaku? Aku cari-cari nggak ketemu."

Mata Yun menjadi lebih lembut. "Bu Wid ada di lounge, nemenin narasumber dari Jakarta."

"Di mana tempatnya?"

Yun memutar badan ke arah lain, lalu menggunakan tangan sebagai penunjuk arah. "Dari sini, kamu jalan terus sampai ujung sana, lalu belok kanan. Nanti ada pintu dari kaca. Masuk aja ke situ. Ruangannya ada di sebelah kanan pintu kaca."

Faisal tidak berkedip menatap wajah Yun dari samping. Semua yang ada pada diri gadis itu terlihat bercahaya, membuat kalbu Faisal menghangat. Yun terasa pas sekali di hati. Entah pas dalam hal apa, yang jelas, Faisal merasakan kedamaian. Baginya tidak ada lagi perempuan yang lebih cantik dari sosok sederhana di depannya ini.

Yun menoleh dan mendapati tatapan Faisal yang dalam. Wajahnya merona seketika. Padahal cowok ini hanya anak SMA kelas dua. Bagaimana bisa?

"Dik, kamu dengar nggak apa yang aku bilang tadi?"

Faisal terkesiap. "Dengar, Kak!"

"Ya, udah. Kamu bisa langsung ke sana."

Ternyata Faisal tak kunjung bergerak sehingga Yun kebingungan.

"Loh, kenapa diam aja?"

"Berapa nomor hape Kakak?" tanya Faisal tanpa melepaskan tatapan.

Wajah Yun memanas. Ia bukan tidak tahu makna tatapan dan perkataan Faisal. Ia takut terjadi sesuatu di antara mereka.

"Jangan! Buat apa minta nomorku?"

"Aku kan mau pergi ke sana, Kak." Faisal menuding arah yang tadi ditunjukkan Yun. "Kalau aku kesasar gimana? Aku harus telepon Kakak. Nanti aku hilang di rimba beton ini!"

Yun melongo. "Rimba beton?"

"Ya gedung-gedung ini loh, Kak. Udah, mana hape Kakak? Aku aja yang isiin nomerku ke situ." Faisal menadahkan tangan ke depan Yun.

"A-aku nggak bawa hape," sahut Yun.

"Masa? Itu yang di saku jas Kakak apa?" Faisal menuding saku yang terlihat menggantung karena berisi sesuatu.

Wajah Yun memerah. Mau tak mau ia mengambil gawai itu dari saku. Faisal langsung kegirangan.

"Nomerku 081350xxxxx," ujarnya. "Nah, sekarang Kakak missed call aku."

Seperti kena hipnotis, Yun menurut saja.

"Makasih, Kak! Aku simpan ya, nomer Kakak. Nanti sore aku telepon. Jangan nggak diangkat, ya."

Yun mengerjap. "B-buat apa telepon?"

"Buat bilang kata-kata yang baik, kata-kata yang indah, Kak."

"Hah?"

Faisal memutar mata ke atas, sok berpikir berat. "Hmmm, tapi aku bingung mau ngomong apa nanti sore. Kakak usul, dong, mau dikasih kata-kata indah apa?"

"Enggak!"

Faisal menepati janji. Ia menelepon Yun sore itu. Apa daya, panggilannya tidak disambut, malah nomornya diblokir oleh gadis itu. Namun, jangan sebut namanya Faisal si Raja Ngeyel kalau menyerah begitu saja.

☆---Bersambung---☆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro