Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

43. Terpencil

= Area perkebunan sawit PT. SS Jaya[1], Kotawaringin Barat, tahun 2021 =

Yun duduk menunggu ibunya di dapur. Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu. Satu bangunan terdiri atas sepuluh unit rumah petak. Ada puluhan bangunan serupa di daerah itu. Kompleks perumahan pekerja kebun sawit itu dihuni ratusan pekerja dan keluarganya.

Aroma rebusan rempah-rempah menguar hingga ke ruang tamu. Rumah petak yang satu unitnya hanya terdiri atas dua kamar itu dipenuhi aroma ramuan yang terbuat dari akar-akaran dan kulit kayu. Menghirup uapnya saja pangkal lidah terasa pahit. Bisa dibayangkan bagaimana bila jamu tradisional itu ditelan.

Sudah beberapa hari Yun harus menjalani "pengobatan" dari orang pintar. Saat dijemput dari Pegatan tempo hari, ia langsung diantar ke seseorang di daerah Kapuas. Ia disuruh mandi kembang tujuh rupa saat tengah malam selama tujuh hari berturut-turut. Bersamaan dengan itu, ia hanya boleh mengenakan baju putih-putih dan makan nasi putih serta minum air putih. Nasinya hambar. Sekadar diberi garam pun tidak diizinkan. Alhasil, Yun merasa sangat lemah. Saat ini tubuhnya meriang seperti akan flu.

Setelah syarat tujuh hari itu, ia harus menjalani tirakat dan mandi di sungai tiap hari sampai empat puluh hari.

Ibunya, Artini, mengambil air rebusan yang tengah menggelegak itu, lalu menuangnya di dalam gelas.

"Ini, diminum sampai habis," perintahnya.

Tangan Yun sedikit gemetar saat menerima ramuan itu. Ditiup-tiupnya beberapa kali agar dingin. "Bu, kapan aku diantar ke dokter?" tanyanya lirih.

Yun ingin ke dokter, karena itu berarti keluar dari kompleks perkebunan sawit. Keluar ke kota berarti mendapat sinyal 4G lancar. Selama di kamp ini, ia hanya bisa berkirim sms dan telepon. Itu pun harus pergi ke pinggir kompleks agar mendapat sinyal. Bila tersambung, seringkali kata-kata yang diucapkan Faisal terdengar terputus-putus.

Yun sempat kesal pada Faisal karena masalah minum obat. Tapi setelah beberapa hari tinggal di kamp ini, ia teringat cowok itu terus. Akhirnya ia kirim pesan berisi permintaan maaf. Sejak itu mereka kembali seperti dulu, mesra.

Oh, Yun kangen wajah ganteng cowok itu. Bibirnya yang kemerahan dan matanya yang bulat. Yang pasti, ia merindukan gombalan receh Faisal.

"Kata bapakmu nggak usah. Kemarin kan udah minta suntik sama mantri klinik," kilah Artini, perempuan berusia empat puluh tahun itu. "Kalau kamu lemes, besok kamu pergi ke klinik lagi."

Yun malas pergi ke mantri. Selain takut disuntik, ada penyebab lain. Untuk mencapai klinik milik perusahaan itu, mereka harus berjalan melewati mes untuk karyawan yang belum menikah. Di situ banyak karyawan pabrik CPO[2] yang bekerja dengan sistem sif. Bila pagi begini, ada saja pekerja sif sore yang nongkrong di teras mes. Mereka selalu usil bila Yun lewat. Ada yang memanggil-manggil, ada yang suit-suitan.

Yun ngeri. Si pemuda perpustakaan selalu ada di tengah-tengah mereka, menyeringai dengan sorot mata melecehkan. Pasti pekerja-pekerja sawit itu sudah tahu penyakitnya dari si pemuda. Kalau tidak, mengapa mereka begitu meremehkan dirinya? Bahkan Yun tahu dalam hati mereka membisikkan, "Anak lonte, anak lonte, anak lonte!"

"Tapi dia cuma perawat, bukan dokter," kilah Yun.

"Tunggu hari Rabu, jadwalnya kunjungan dokter dari klinik induk."

"Tapi ... dia dokter umum, bukan dokter jiwa." Yun belum menyerah.

"Halah, paling-paling obat dari dokter jiwa sama. Obat kakakmu yang lebih parah saja sama."

Yun melengos dengan tatapan kosong mengarah ke pintu belakang. Di kejauhan ia melihat pemuda dari perpustakaan tengah berlari-lari dan tertawa dengan beberapa anak kecil. Yun tidak tahu anak-anak dari mana mereka. Memang benar, selama pengobatan dari orang pintar, pemuda itu hanya berada di kejauhan, tidak berani mendekat. Barangkali ibunya benar, ia tidak membutuhkan psikiater lagi.

Biarpun berpikir begitu, Yun tetap ingin keluar dari kamp. Ingin berjumpa Faisal dan Suryani. Sebentar lagi Faisal pulang. Ia harus berada di kota agar cowok itu bisa menjemputnya dengan mudah.

"Buu-uuu! Aku mau ke Banjarmasin," rajuk Yun, setengah merengek.

"Buat apa? Di sini dulu sampai sembuh."

"Aku mau ke Banjar, Bu," jawab Yun sembari berkaca-kaca.

Artini mengembuskan napas. "Buat berobat? Obatmu masih ada. Coba diminum yang itu aja."

"Yang itu nggak cocok, Bu. Aku mau minta obat yang nggak ada efek sampingnya," ucap Yun, tidak mau menyerah.

Artini tidak sabar. "Udah, jangan macam-macam! Kalau berhenti di tengah-tengah, nanti makin parah. Kamu kan dengar sendiri dari Mbah Tono. Syarat-syaratnya harus dipenuhi, nggak boleh putus sampai empat puluh hari empat puluh malam."

"Udah aja syarat-syaratnya. Aku mau makan ikan, Bu," rengek Yun lagi. Ia turun dari bangku pendek, lalu duduk di lantai kayu sambil meluruskan kaki. "Bu?" pintanya lagi.

Artini diam saja. Ia masih sibuk meniup satu gelas jamu. Merasa tidak ditanggapi ibunya, Yun bangkit, lalu membuang jamunya. Sudah pasti Artini kesal.

"Yun! Ke sini kamu!"

Yun kembali duduk di lantai sambil berselonjor dan merengut. Tak lama kemudian ia menangis. Tingkahnya sudah mirip anak kecil. Rambut panjangnya tergerai awut-awutan.

"Diam!" hardik Artini. "Nih, minum! Yang ini udah Ibu tiup. Jangan dibuang lagi!"

Dihardik begitu, Yun menurut seperti robot dikontrol dengan remote. Artini menunggui anak gadisnya menghabiskan jamu sembari menyisir dan mengepang rambutnya. Semenjak sakit, Yun paling malas mengurus diri. Jangankan sisiran. Bahkan mandi pun tidak akan dilakukan bila tidak dipaksa Artini.

☆☆☆

Sore itu, ibu dan ayah tiri Yun belum pulang dari bekerja. Pekerja kasar kebun itu biasanya sampai rumah saat menjelang magrib. Semenjak Yun datang, ia yang ditugasi menjaga adik-adiknya. Yang satu sudah berumur enam tahun. Yang satu masih bayi. Hari-hari Yun menjadi semakin berat saja.

Mau tahu, si pemuda perpustakaan itu senang sekali menggoda adik bayi. Jangan tanya, bayi yang baru bisa merangkak itu sering menjerit-jerit tanpa sebab. Kalau sudah begitu, telinga Yun penuh. Jerit tangis itu mendengung di dalam telinga, lalu mampat di otak. Yun sampai membentur-benturkan kepala di dinding kayu rumah agar otaknya kembali kosong. Kadang batok kepalanya perlu dipukul-pukul dengan tangan agar sampah-sampah otak yang kacau itu rontok dan tidak membuat bingung.

Getaran dan erangan mudah menjalar di dinding kayu. Keganjilan itu segera diketahui penghuni rumah petak yang lain. Kalau sudah begitu, tetangga sebelah biasanya datang. Untung wanita-wanita itu berbaik hati menjaga kedua adik Yun dan menenangkan gadis itu.

"Lha wong setres ngene kok dikongkon momong bayi," gerutu salah satu dari mereka. Banyak pekerja kebun sawit yang berasal dari Jawa. (Lah orang stres kok disuruh menjaga bayi.)

"Jaaan, ancene edaan kok Artini kuwi," timpal yang satu. (Emaaang, emang edan si Artini.)

"Lha mulo yo edan kabeh anakke loro." (Makanya, gila juga dua anaknya.)

"Ckckck. Mesake temen si Yun ini. Ayu-ayu kok gendheng." Si ibu menempelkan jari telunjuk di dahi dengan posisi miring. (Ckckck. Kasihan sekali si Yun ini. Ayu tapi gila.)

"Aku wis ngomong karo Artini, mbok ya leren sik nyambut gawene. Yo ra digubris ki. Jare Yun wis waras, kok." (Aku sudah bilang sama Artini, istirahat dulu dari kerjaan. Tapi tidak digubris tuh. Katanya Yun sudah sehat.)

"Lha wong gendheng mbok kandhani, yo ora mempan, hahaha!" (Orang gila kok dinasehati, tidak mempanlah!)

Entah mengapa, sore ini si adik bayi tidak rewel. Setelah makan siang, ia tidur di samping sang kakak. Dua bocah itu tenang di dalam kamar. Yun tidak menyiakan kesempatan. Ia celingukan ke depan dan belakang rumah. Dengan cekatan, Yun mengambil ponsel, lalu mengendap-endap keluar rumah melalui pintu belakang.

"Mau ke mana kamu?!"

Yun terjingkat kaget. Tahu-tahu si pemuda perpustakaan sudah berdiri menjulang di sampingnya. Yun mendongak. Orang itu ternyata telah bertambah tinggi!

"Pergiiii!" bentak Yun. Kedua tangannya mendorong tubuh pemuda itu dengan sekuat tenaga. Ia berhasil. Si jangkung itu terjengkang dan kesulitan bangkit. Yun tak menyiakan kesempatan. Ia lari sekencang mungkin.

Pemuda itu tidak bangkit, melainkan duduk di teras belakang sembari tertawa meringkik mengerikan.

"Lari, lari yang kencang Yuuuuun! Aku akan kejar kamu!"

______________

[1] Hanya nama fiktif rekaan penulis

[2] Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak nabati yang dihasilkan dari buah kelapa sawit. Didapatkan dengan merebus dan memeras buah sawit hingga menghasilkan minyak mentah.

☆---Bersambung---☆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro