33. Persembunyian
= Banjarmasin, 2020 =
Suryani menangis di teras rumah. Pak RT dan beberapa tetangga telah mencari Yun sedari subuh, namun hasilnya nihil.
"Sudah ada kabar dari keluarganya? Siapa tahu Yun pulang ke Basarang, ke makam kakeknya," tanya Pak RT.
Suryani menggeleng. Ia sudah menghubungi nenek Yun, tapi wanita tua itu mengatakan tidak menemukan Yun di rumah maupun di pemakaman.
"Rasanya tidak mungkin dia ke sana, Pak. Dia tidak membawa apa-apa. Tas, dompet, hape, semuanya utuh di kamar," sahut Suryani lemas.
"Udah tanya Faisal? Siapa tahu sama dia."
Suryani mengembuskan napas panjang. "Kita harus menunggu sebentar lagi. Anak itu sedang UAS. Saya sudah mengirim pesan."
Benar saja. Siang itu juga, selesai sekolah dan masih mengenakan seragam putih abu-abu, Faisal langsung menuju rumah Suryani. Rupanya anak itu tidak sempat mengganti baju.
"Bu, Yun kenapa?" Raut Faisal memelas, panik bercampur sedih.
"Faisal, Yun tiba-tiba pergi. Ibu pikir dia di kamar mengerjakan skripsi. Sekalinya kambuh," keluh Suryani. Ia masih bingung apa yang menyebabkan Yun kambuh. Apakah karena tekanan hendak maju sidang, seminggu tidak berjumpa Faisal, atau tidak rutin minum obat?
"Kalian kontak-kontakan selama seminggu kemarin?" tanya Suryani. "Ada perubahan nggak?"
"Iya, kami sering video call. Saya nggak merasa cara bicara dia meloncat-loncat dan nggak fokus seperti dulu, Bu," jawab Faisal sembari mengingat-ingat apakah ada keanehan dalam perilaku Yun. "Hmm, tapi dia memang terus-terusan ngomongin proposalnya, kayak bingung banget gitu. Saya kira itu karena dia memang sedang berat-beratnya mikirin proposal. Saya sampai ikut mengetik revisi."
"Faisal, kamu tahu nggak ke mana kira-kira Yun pergi?" tanya Pak RT. "Kalian sering ke mana kalau jalan berdua?"
Faisal kontan teringat tempat-tempat di mana ia sering berduaan dengan Yun. Wajahnya merona ketika bayangan indah itu menguasai benak. Bersama Pak RT dan Suryani, mereka mendatangi lokasi yang ditunjukkan oleh Faisal.
Tempat pertama adalah Asiah Resto. Setelah mereka telusuri, Yun tidak ditemukan di sana dan pegawai resto tidak melihat ada pengunjung yang memiliki ciri-ciri seperti gadis itu. Tempat berikutnya adalah gedung bioskop yang berada di lantai atas sebuah mal. Sama saja, sampai pegal kaki mereka menyusuri segala sudut, tidak ada tanda-tanda keberadaan Yun di tempat tersebut.
Faisal teringat satu tempat, Taman Bekantan. Mereka pun memeriksa tempat itu. Tetap saja nihil. Akhirnya karena lelah, mereka duduk-duduk di bangku yang tersedia di pinggir taman.
Faisal memutar otak, ke mana kira-kira Yun pergi. Matanya tanpa sengaja mengarah jauh ke seberang taman. Berbatasan dengan sungai dan jalan, terdapat hutan mini yang merupakan area Masjid Raya Banjarmasin. Ia yakin Yun pasti mencari tempat di mana ia merasa nyaman. Karena taman ini ramai, sangat mungkin ia merasa tidak aman. Bukankah bila sedang sakit gadis itu seperti ketakutan? Siapa tahu setelah melihat pepohonan besar di daerah masjid, ia ingin bersembunyi di sana.
"Bu, coba kita cari di masjid depan itu," ajak Faisal.
Rombongan kecil itu memutar dan menyeberangi jembatan untuk masuk ke area masjid. Faisal langsung turun dari mobil. Karena tempat itu luas, mereka berpencar. Suryani mencari di area masjid, Pak RT mendapat bagian halaman di sisi kiri, sedangkan Faisal menyusuri hutan kecil di sisi kanan.
Hutan mini itu rindang, namun ditata dan diurus dengan baik sehingga terlihat bersih. Ada jalan setapak yang melingkar untuk pejalan kaki. Faisal menyusuri daerah itu sambil memanggil-manggil nama Yun. Kebetulan saat itu menjelang sore. Waktu salat Asar telah lewat. Area masjid lengang, begitu pula hutan mini ini. Faisal menyisir hingga ke pagar batas. Ada tanaman perdu yang dipelihara untuk menutup lanskap. Ia harus menyibak ranting-ranting kecil, mencoba menemukan ceruk yang mungkin digunakan untuk bersembunyi.
Cukup lama Faisal melakukan pencarian hingga lengannya merah-merah tergores ranting. Ia hampir menyerah saat melihat sesuatu seperti ujung rok batik di balik sebatang pohon besar.
"Yun?" panggilnya sembari bergegas ke tempat itu. Semakin dekat, terdengar isakan lirih. "Yun!" serunya.
Faisal menengok ke balik gerumbulan perdu. Di kaki pohon, meringkuk dalam kegelapan, ia menemukan gadis yang mengisi hatinya selama ini.
Yun hanya mengenakan daster. Tubuh mungil itu duduk dengan lutut ditekuk ke dada dan kepala dibenamkan di antara kedua kaki. Punggungnya berguncang karena tangis yang tersendat. Rambut panjangnya diikat dengan karet gelang, namun sudah berantakan. Ia tidak mengenakan sandal. Terdapat luka lecet di kakinya.
Faisal menyentuhnya. Ia kaget karena tubuh gadis itu menggigil dan basah kuyup oleh keringat dingin.
Yun terjingkat dan langsung mendongak. "Fa-Faisal?" bisiknya. Terlihat mata yang sembab dan bibir yang pucat.
Faisal segera duduk dan membenamkan gadis itu ke dalam rengkuhan. Tangis Yun langsung mengeras.
"Fa-Fai-sal ...," rintih Yun. Hanya nama itu yang bisa ia ucapkan untuk meminta tolong. Ia membenamkan wajah ke dada Faisal. Kehangatan tubuh cowok itu membuat menggigilnya mereda. "F-Faisal ...."
Faisal mengelus punggung dan kepala Yun, berusaha memberikan ketenangan. "Kamu kenapa di sini?" bisiknya dengan lembut.
"A-aku t-takut, Sa-al," rintihnya. "Mereka jahat! Me-mereka u-usir aku da-dari rumah."
Butiran air mata membasahi seragam sekolah Faisal. "Ssssh! Aku di sini jagain kamu. Rumahmu udah aman. Yuk pulang."
Yun masih merintih, seolah menumpahkan berton-ton beban pada kekasihnya. "Ke-napa jadi begini? Hi-hidupku ka-kacau."
"Kamu naik apa ke sini?" tanya Faisal sembari mengamati kaki Yun.
Gadis itu menggeleng. "A-aku lari. Aku nggak ingat."
"Hah? Kamu lari dari pal enam ke sini?" Faisal keheranan. Pantas saja kaki Yun lecet-lecet.
Orang lain mungkin akan mentertawakan dan mengatakan Yun gila. Faisal tidak. Padahal ia terbiasa keras dan asal bicara. Namun saat ini, hatinya bisa merasakan kehancuran yang dialami Yun. Ketakutan, kebingungan, serta kehilangan pegangan bertumpuk menjadi satu. Layaknya sebuah gedung, pilar-pilar yang menyangga harapan dan kepercayaan diri Yun runtuh sehingga bangunan kepribadian itu hancur. Faisal belum pernah melihat derita batin sedalam itu. Kesakitan yang hanya bisa dimengerti oleh Yun sendiri.
"Udah, nggak pa-pa. Kamu pasti kuat. Ayo kita pulang." Faisal mencium kening gadis itu dengan sayang, lalu mengangkatnya ke dalam gendongan.
Sore itu juga, mereka membawa Yun kontrol ke psikiater. Dokter yang sudah berumur itu dengan sabar meminta keterangan dari Yun.
"Obatnya berapa kali diminum dalam sehari?" tanya sang dokter.
"D-dua kali," jawab Yun sambil meremas jemari di atas pangkuan.
"Gimana cara minumnya? Ditelan nggak?"
Yun tertunduk, lalu menggeleng. "Obatnya bikin kepala saya berat. Saya harus menyelesaikan skripsi. Kalau minum obat, saya kepingin tidur terus."
"Oh, nggak diminum, ya. Kamu bilang kamu minum di depan ibumu. Kok bisa nggak ditelan?" tanya dokter lagi.
"Mmm, mm, saya sembunyikan di jari. Ibu nggak lihat."
"Waah, kamu lebih pintar dari tukang sulap, ya?" Dokter itu tersenyum. Wajahnya seperti tidak heran. Mungkin banyak pasiennya berbuat serupa.
"Ta-tapi dulu nggak minum obat nggak pa-pa aja," kilah Yun.
"Iya, memang nggak langsung kelihatan efeknya. Setelah beberapa hari atau sebulan, baru terasa. Gimana, enak nggak kalau kambuh?"
Yun menangis. "Nggak enak, Dokter."
"Nah, 'kan? Lebih baik mengantuk sedikit, kepala berat sedikit, daripada isi kepalamu kacau begini. Bener, nggak?"
Yun mengangguk dengan lemah.
"Ya, sudah. Saya kepingin ketemu ibumu. Kamu menunggu di depan sebentar."
Setelah Yun keluar dari ruang konsultasi, giliran Suryani dan Faisal mendapat penjelasan. Banyak hal disampaikan oleh dokter itu. Yang terutama tentu saja pengawasan minum obat.
"Mereka memang terganggu pola pikir dan kepribadiannya, tapi tetap cerdas, bisa berbohong juga seperti orang lain."
"Jadi benar Yun kambuh karena putus obat, Dok?" tanya Suryani.
Dokter itu mengangguk, lalu menuliskan resep lagi. "Saya tambah dosisnya, ya. Semoga cepat tenang, biar bisa maju sidang secepatnya."
Suryani dan Faisal saling pandang. Agaknya mereka harus lebih jeli lagi dalam mengawasi Yun.
Beruntung setelah itu Yun tertib minum obat. Suryani berhasil memohon keringanan dari pihak fakultas untuk mengundurkan jadwal sidang Yun dengan membawa surat keterangan sakit dari dokter. Dua bulan kemudian, Yun benar-benar siap untuk sidang. Suryani dan Faisal ikut menunggu selama acara, namun di luar ruangan.
Mereka duduk dengan cemas di depan ruang sidang. Hampir satu jam berlalu ketika pintu terbuka dan para dosen keluar. Salah satunya adalah Widya. Wanita itu langsung menatap tajam putranya, namun tidak mengatakan apa-apa dan pergi begitu saja.
Faisal menyerbu masuk. Ia langsung panik menemukan Yun duduk di kursi sambil menunduk dan menutup wajah dengan kedua tangan.
"Yun, Yun, gimana? Kamu nggak pa-pa?" tanyanya.
Yun mendongak. Matanya sembab, namun senyumnya terkembang. "Akululus, Faisal. Dapat B, tapi lulus!"
///////////////////
Akhirnyaaa lulus juga.
Yuk, vote, komen, dan share. Siapa tahu cerita ini berguna utk seseorang di luar sana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro