ㅡ (7)
[REPOST]
.
.
.
Suasana sekolah masih ramai. Bel pulang sekolah baru aja berdengung sekitar 20 menit yang lalu, jadi ya sekolah belom sepi-sepi banget. Ya, walaupun sebagian banyak anak-anak lagi berkerumun sama Daniel cs di koridor utama, tapi nggak sedikit juga yang masih betah di kelas atau sekedar ngobrol-ngobrol sama anak yang lain di sepanjang koridor.
Lagi, Jihoon dan Guanlin berhasil merebut perhatian anak-anak dari kegiatannya masing-masing. Beberapa pasang mata langsung terpusat pada Jihoon dan Guanlin saat mereka berdua lewat di lorong yang menghubungkan gedung sekolah dengan parkiran. Beberapa orang memincingkan alisnya, dan beberapa orang juga mulai sibuk dengan pemikirannya terhadap Jihoon dan juga Guanlin. Oh, tentu aja kejadian penolakan Jihoon masih sangat melekat dengan baik di dalam ingatan mereka. Soalnya, kejadian waktu Guanlin nolak Jihoon 2 bulan lalu itu bener-bener bikin gempar satu sekolah. Setelah kejadian itu, baik Jihoon maupun Guanlin sama-sama nggak pernah keliatan bareng lagi. Dan ini, pertama kalinya, secara ekslusif, mereka ngeliat Jihoon dan Guanlin jalan bareng lagi setelah kejadian itu.
Beberapa diantara mereka mulai berpikir. Jihoon dan Guanlin... Baikan? Atau balikan?
Iya, nggak cuma temen-temen deket mereka macam Jinyoung, Woojin, Hyungseob, dan Daehwi aja yang tau banget gimana lengketnya dua makhluk itu. Hampir satu sekolah pun tau, kalau Jihoon dan Guanlin itu bagaikan kue rangi sama gula merah. Nggak bisa dipisahin. Kalau salah satunya nggak ada, ya nggak asik.
Makanya, pas tau Guanlin nolak Jihoon terang-terangan, satu sekolah kaget bukan main.
Jihoon kembali misuh-misuh. Nggak suka dia tuh, kalau jadi bahan perhatian begini. Semua mata mengarah pada mereka berdua, dan itu bener-bener bikin Jihoon ngerasa nggak nyaman. Jihoon mengedarkan pandangannya, siapa tau aja ada sasaran yang bisa nolongin dia lepas dari seretan tangan Guanlin. Jihoon lagi nggak mau deket-deket sama Guanlin. Jihoon lagi kesel sama Guanlin pokoknya. Kesel banget.
"Lepasin gue," akhirnya, satu kalimat berhasil keluar dari mulut Jihoon.
Guanlin mengeratkan pegangannya, matanya mulai beralih menatap Jihoon, "lo pulang sama gue."
"Ada gitu gue bilang kalau gue mau pulang sama lo?"
"...gue nggak mau lo pulang sama bang Danik."
Jihoon berdecak, lalu melepas tangan Guanlin. Perhatian Guanlin sekarang sepenuhnya terpusat pada Jihoon yang sedang menatapnya dengan datar.
"Gue nggak mau pulang sama lo. Gue mau pulang sama siapa kek, ya itu urusan gue. Dan urusan gue, bukan urusan lo." balas Jihoon yang nggak kalah datar kalau dibanding sama tatapannya sendiri kali ini.
Guanlin membalas tatapan datar Jihoon dengan tatapannya yang nggak kalah datar. Guanlin menghela dalam nafasnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Dekil!!"
Suara nyaring Jihoon berhasil membuat Guanlin kembali berbalik menoleh ke arahnya, lalu beralih pada sosok Woojin yang ternyata lagi jalan ke arah mereka. Mata Jihoon langsung berbinar seketika saat melihat Woojin yang datang dari arah parkiran. Dengan cepat, Jihoon berlari kecil menuju Woojin, meninggalkan Guanlin yang sedang memincingkan matanya. Lalu, Guanlin mulai melangkah menghampiri Jihoon yang mendadak nempel banget sama Woojin dan Woojin yang mendadak bingung karena disamperin tiba-tiba begini.
Woojin melirik Guanlin yang berdiri di sisi kanannya, "kenapa, sih?"
Guanlin cuma bisa mengangkat kedua bahunya seolah dia nggak tau apa-apa, sedangkan Jihoon hanya diam sambil tangannya ia kaitkan di sela lengan Woojin. Woojin menoleh pada Jihoon yang berdiri di samping kirinya, "kok lo jadi lembek gini, sih?" tanya Woojin.
Jihoon menunjukkan senyum lebarnya sebagai balasan atas pertanyaan Woojin. Woojin cuma bisa geleng-geleng ngeliat kelakuan Jihoon yang kadang suka bikin gemes, kadang suka bikin mau banting meja. Sedangkan Guanlin, ia cuma bisa diam sambil memusatkan tatapan datarnya pada tangan Jihoon yang terkait dengan santainya di lengan Woojin.
"Dekil, gue pulang sama lo, ya?"
"Tumben banget?"
Jihoon cuma bisa cengengesan, "iya nih, nggak ada yang bisa anterin gue pulang. Baejin masih rapat." jawab Jihoon, sambil masang raut ngambek di wajahnya.
Woojin jelas memincingkan salah satu alisnya. Jelas-jelas di sampingnya sekarang ada Guanlin, terus kenapa Jihoon bilang nggak ada yang mau anterin dia pulang?
"Guanlin?" tanya Woojin, pada Jihoon.
Mendengar nama Guanlin disebut-sebut, Jihoon langsung narik tangannya dari kekepan lengan Woojin. Wajah sok manisnya langsung diubah jadi galak. Jihoon melipat kedua tangannya didepan dada, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, bukan ke Woojin, apalagi ke Guanlin.
"Lo nggak mau anterin gue pulang? Yaudah, gue pulang sendiri aja."
Jihoon langsung melangkah dengan cepat meninggalkan Woojin dan Guanlin. Woojin masih bingung sama apa yang terjadi, makanya dia masih diem ditempatnya. Sedangkan Guanlin udah lari ngejar Jihoon.
"Jihoon,"
Tanpa harus ngelirik siapa orang yang baru aja narik tangannya, Jihoon langsung menepis tarikan tersebut. Dengan cepat, Jihoon kembali melangkah. Bukan, kali ini kedua kaki mungil Jihoon bukan lagi melangkah. Tapi berlari, sebisa mungkin Jihoon nggak mau orang yang baru aja narik dia berhasil nahan langkahnya lagi.
Namanya juga Guanlin. Nggak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya.
"Jihoon, dengerin gue dulu." lagi, Guanlin berhasil narik tangan Jihoon. Kali ini Jihoon berhenti. Guanlin ikut berhenti di sampingnya. Jihoon memutar arah tubuhnya, kini berhadapan dengan Guanlin.
Lagi, dengan pelan Jihoon melepas pegangan Guanlin di tangannya. Dengan tatapan mata yang datar, yang sama sekali nggak lepas dari sepasang manik mata milik Guanlin.
"Apa lagi?"
"Dengerin gue dulu, oke?"
Jihoon mengukir senyum miring di wajahnya, "loh, tadi 'kan lo ngusir gue? Yaudah, sekarang gue mau pulang sendiri."
"Apa sih?!" Jihoon rasanya mau teriak didepan muka Guanlin, tapi sayang beberapa pasang mata, termasuk sepasang mata milik Woojin sekarang lagi terpusat ke arah mereka berdua. Alih-alih mau teriak, Jihoon malah pengen nangis aja sekarang. Karena sekarang tangan Guanlin kembali melingkari pergelangan tangannya. Padahal tadi di tengah lapangan, jelas-jelas Guanlin nyuruh Jihoon pergi. Itu namanya ngusir, 'kan? Terus sekarang giliran Jihoon mau pergi, Jihoon nya malah ditahan-tahan kayak gini!
"Pulang sama gue, Jihoon."
"Lo nggak butuh gue, Guanlin!" balas Jihoon, yang lebih terdengar seperti sebuah bentakan.
"Lo ngusir gue tadi!" sambung Jihoon, yang matanya kini kembali terkunci dengan tatapan datar Guanlin. Jihoon kembali menghempas tangan Guanlin. Lalu berbalik, dan melangkah meninggalkan cowok yang bener-bener lagi nggak mau dia liat untuk sekarang ini.
"Park Jihoon,"
Lagi, Guanlin berhasil menahan lengan Jihoon. Jihoon masih diam di tempatnya tanpa mau berbalik menghadap Guanlin. Malu. Air matanya udah netes. Jihoon tuh mendadak jadi cengeng banget setelah kejadian semalam Guanlin pingsan didepan matanya. Malu. Air mata Jihoon jelas sia-sia. Guanlin bahkan nggak ngehargain air mata dan rasa takut Jihoon. Semua cuma kayak candaan buat Guanlin. Malu. Karena Jihoon ngerasa, sampai kapanpun perasaannya buat Guanlin tuh akan selalu sepihak.
Tanpa sadar, tangis yang Jihoon sembunyiin malah berujung jadi isakan, yang jelas terdengar sampai ke telinga Guanlin. Guanlin memajukan langkahnya, mengikis sedikit demi sedikit jarak tubuhnya dengan tubuh Jihoon. Guanlin menghela dalam nafasnya, lalu kedua tangannya terangkat untuk menangkup wajah Jihoon. Hatinya mencelos begitu aja saat matanya melihat buliran bening yang baru aja keluar dari balik pelupuk mata cantik Jihoon.
"Lo jahat tau nggak!" lirih Jihoon, sambil tangannya terangkat untuk memukul bahu Guanlin.
Air mata Jihoon yang masih terus mengalir membuat Guanlin terdiam. Matanya sama sekali nggak berpaling dari mata Jihoon yang semakin berair. Ibu jari Guanlin bergerak pelan untuk mengusap wajah Jihoon yang mulai memerah. Guanlin menundukkan wajahnya, menempelkan dahinya pada dahi Jihoon.
"Jihoon, hey," bisik Guanlin dengan lembut.
"Lo nggak ngerti perasaan gue! Lo nggak mikirin perasaan gue! Lo nggak tau segimana takutnya gue ngeliat lo ambruk didepan mata gue semalem! Lo nggak tau segimana khawatirnya gue karena badan lo panas tinggi semalem! Lo nggak tau segimana sedihnya gue ngeliat lo dateng dengan keadaan basah kuyup, Guanlin! Lo nggak bisa kedinginan kayak gitu, tapi lo menggigil didepan mata gue, lo pikir gue baik-baik aja, hah? Lo nggak ngehargain perasaan gue banget, sih!!"
Tangis Jihoon pecah saat itu juga. Matanya memejam, berusaha untuk menahan air mata yang siap untuk menetes lagi. Sedangkan Guanlin, sepasang matanya sama sekali nggak berkedip dan bener-bener terpusat pada mata Jihoon yang terpejam di depannya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Guanlin melirih. Ia benci membuat Jihoon menangis seperti gini.
Guanlin menghela nafasnya, lalu menghembuskannya dengan pelan tepat diantara lekuk mata dan pangkal hidung Jihoon. Jari-jari tangannya masih terus mengusap lembut wajah Jihoon, dimana usapan lembut Guanlin berhasil membuat tangis Jihoon berhenti, meski hanya menyisakan isakan.
"Gue capek cuma jadi lelucon buat lo," lirih Jihoon, tanpa suara, sehingga terdengar seperti sebuah bisikan.
Guanlin menggeleng dengan cepat, "lo sama sekali nggak pernah jadi lelucon buat gue, Jihoon."
Jihoon tersenyum kecil, lalu menarik wajahnya dari wajah Guanlin. Jihoon membuka pejaman matanya, memperlihatkan kelopak mata yang membengkak dan matanya yang memerah.
Jihoon mengusap wajahnya dengan kasar, lalu memusatkan mata bengkaknya pada Guanlin.
"Mulai sekarang, urusan lo ya urusan lo. Urusan gue ya urusan gue. Gue nggak akan ikut campur urusan lo lagi, gue nggak akan nangis-nangis kayak gini lagi cuma karena rasa khawatir gue yang cuma dianggap candaan sama lo, dan jangan muncul didepan gue untuk sementara. Gue nggak mau ngeliat lo."
Jihoon memundurkan langkahnya. Menciptakan jarak kecil diantara mereka berdua. Jihoon menatap Guanlin sekali lagi, lalu beralih menatap Woojin yang sama sekali belum beranjak dari posisinya. Tapi, lirikan Jihoon barusan membuat Woojin akhirnya melangkah. Menghampiri Jihoon dan juga Guanlin.
Woojin berdehem, berusaha untuk memecah kecanggungan diantara keduanya. Woojin melirik Guanlin sesaat, lalu tersenyum kecil. Ternyata Guanlin masih aja natap Jihoon sebegitu dalamnya, meskipun Jihoon udah nggak mau balikin arah pandangnya ke Guanlin lagi.
"Ayo, gue anter, Hoon." tanpa menjawab, Jihoon langsung aja berjalan mendahului Woojin menuju parkiran.
Woojin menepuk bahu Guanlin, membuat perhatian Guanlin kini sepenuhnya terarah pada Woojin.
"Gue bakal coba ngomong sama Jihoon." ucap Woojin.
Guanlin tersenyum lalu mengangguk, "thanks, Jin."
Woojin membalas ucapan terima kasih Guanlin dengan sebuah senyuman. Lalu, Woojin berbalik dan mulai melangkah menuju parkiran. Meninggalkan Guanlin yang masih berdiri di posisinya. Guanlin menunduk dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya. Guanlin menghembuskan nafasnya dengan tidak sabaran, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
Nggak lama, Guanlin mulai melangkah menuju parkiran. Ia punya satu tujuan yang harus ia datangi hari ini juga. Seenggaknya, Guanlin yakin satu hal. Ia bisa melampiaskan seluruh perasaannya di tempat itu.
OoO
"Lo kenapa sih sama Guanlin?" Woojin menolehkan kepalanya pada Jihoon yang ternyata masih kesusahan buat masang sabuk pengaman.
Woojin menggeleng sambil ketawa kecil, lalu mulai menyalakan mesin mobilnya. Di sampingnya, Jihoon masih ngedumel nggak jelas karena gagal terus buat masang sabuk pengamannya. Kesel banget Jihoon tuh. Jihoon emang paling males nebeng sama Woojin, soalnya mobilnya Woojin aneh. Masa tali sabuk pengamannya pendek banget. Jadi kesusahan kan Jihoon sekarang.
Jihoon memanyunkan bibirnya, sambil melirik Woojin yang lagi natap heran ke arahnya.
"Nggak usah liat-liat kayak gitu deh! Bantuin gue kek!"
Woojin berdecak, lalu merebut tali sabuk pengaman tersebut dari tangan Jihoon.
"Copot dulu tas lo, gendut! Otak lo juga tuh kadang-kadang ya suka korslet! Masa mau pakai sabuk pengaman masih pake tas ransel sih!" iya, lagian Jihoon tuh suka aneh-aneh. Sekalinya aneh emang bakalan jadi aneh banget. Ini mau pakai sabuk pengaman, lho, yakali masih pakai tas ransel. Kalo tas ransel Jihoon sekecil tas ransel Woojin yang isinya cuma muat dompet sama powerbank doang sih nggak apa-apa. Tas ransel Jihoon kan segede koper, padahal isinya cuma buku tulis satu sama pulpen satu. Jihoon tuh penganut mendingan-bawa-pulpen-sebiji-daripada-bawa-banyak-tapi-pas-pulang-ilang-semua.
Jihoon melipat kedua tangannya di depan dada, masih sambil manyun, walaupun nggak sampe 7 senti, sih. Soalnya manyun 7 senti-nya Jihoon cuma buat senjata ngambek ke Guanlin. Buat Woojin mah, cukup 2,5 senti aja. Nggak usah panjang-panjang.
"Kenapa sih emang? Masalah buat lo?" tanya Jihoon, dengan nada suara yang super ngegas.
Woojin berdecak, lalu mendorong tubuh Jihoon ke jok mobil, dan langsung menarik sabuk pengaman yang dipegangnya sampai berhasil terpasang di pusatnya. Jihoon kembali ke posisi duduknya, "kayaknya baru aja beberapa menit yang lalu lo nangis deh, Hoon? Kok sekarang lo udah songong lagi, sih?" tanya Woojin.
"Emang kenapa, sih? Masalah gitu buat lo?"
BENER-BENER.
Tanpa menggubris balasan Jihoon, Woojin pun langsung menancap gas mobil kesayangannya. Capek ngomong sama Jihoon. Bisa emosi terus yang ada.
Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke kondo milik Jihoon dan Jinyoung. Woojin nggak henti-hentinya bersyukur dalam hati, sambil tangannya mengelus lembut dadanya, karena akhirnya sampai juga di kondo Jihoon. Emosi Woojin tuh kalau harus bertahan 10 menit aja sama Jihoon. Apalagi kalo Jihoon lagi ada di masa period kayak gini. Eh, bukan. Maksudnya kalau Jihoon lagi ada di masa nahan kesel atau abis nangis atau pas lagi ada masalah kayak gini. Jihoon nggak bakalan bisa diajak ngomong baik-baik, deh.
Apalagi kayak tadi. Pas lagi di lampu merah, Woojin coba nanya lagi ke Jihoon. Sebenernya Jihoon tuh lagi kenapa sama Guanlin. Terus, kenapa tadi Jihoon sampai nangis begitu. Padahal Woojin nanyanya udah baik-baik banget, tapi tetap aja jawaban Jihoon bikin dia mau ngejambak rambutnya sendiri.
"Nanya mulu sih! Emang kenapa? Masalah apa buat lo? Yeu!! Bikin emosi aja!"
Kesel, nggak?
Woojin menoleh pada Jihoon yang belum juga turun dari mobilnya. Jangankan turun, ngelepas sabuk pengamannya aja belom. Woojin menghela dalam nafasnya, kali ini Woojin berharap Jihoon nggak akan ngeles lagi pas ditanya. Hati Woojin sedikit mencelos saat mendapati sahabatnya ini masih terdiam dengan mata yang menatap ke luar jendela. Setelah jawaban ngegas Jihoon di lampu merah tadi, Woojin emang nggak nanya apa-apa lagi, dan Jihoon pun juga nggak ngomong apa-apa lagi. Jihoon langsung diem, dan memilih untuk menikmati pemandangan yang ada di luar kaca mobil. Disini Woojin yakin, Jihoon lagi nggak baik-baik aja. Makanya tadi Jihoon ngegas terus setiap ditanya, mungkin dia takut nangis lagi.
Ngomong-ngomong soal nangis, well, yang tadi itu kedua kalinya Woojin ngeliat Jihoon nangis. Dan parahnya, Jihoon tetap nangisin orang yang sama. Guanlin. Alasan dibalik air mata yang selama ini Jihoon buang dengan percuma. Tangisan pertama Jihoon yang Woojin liat langsung adalah saat dimana Jihoon ditolak mentah-mentah sama Guanlin. Dan tangisan kedua Jihoon, ya yang sekarang ini. Kadang, Woojin pengen marah dan ngasih pelajaran ke Guanlin. Karena Guanlin selalu aja bikin sahabatnya ini nangis. Jujur aja, setelah penolakan itu, Jihoon berubah drastis. Nggak terlalu bahagia kayak dulu. Walaupun Woojin yakin, sebenernya Jihoon pasti bahagia setiap hari karena Jihoon dikelilingi orang-orang yang sayang sama dia. Tapi tetap aja, porsi bahagianya Jihoon udah nggak sama kayak dulu. Tapi Woojin selalu ngurungin niatnya untuk ngasih pelajaran ke Guanlin. Karena disisi lain Woojin bisa ngeliat, dibalik Guanlin selalu jadi alasan kenapa Jihoon jadi cengeng kayak gini, Guanlin juga merupakan satu alasan dibalik Jihoon bisa senyum. Walaupun rasanya sakit buat Woojin, setiap denger Jihoon bilang bisa bahagia walau ngeliat Guanlin dari jarak jauh.
Andai Woojin bisa cariin orang yang lebih pantas buat Jihoon, Woojin pasti akan cariin walaupun itu susah banget. Tapi sayang, Jihoon nggak mau. Dia sesayang itu sama Guanlin. Nggak ngerti lagi. Apalagi ada Jinyoung, yang Woojin yakin jauh lebih bisa bahagiain Jihoon dibanding Guanlin. Tapi ya tetap aja. Bukankah cinta itu buta? Jihoon, udah disakitin berulang kali juga, ya tetap aja sayang.
Kadang juga Woojin mikir, ini Jihoon nya yang emang bodoh apa gimana. Udah tau Guanlin bikin dia nangis terus, masih aja dipertahanin.
Woojin mencondongkan tubuhnya untuk menekan tombol pada kotak sabuk pengaman yang dipakai Jihoon. Suara pletakan sabuk pengaman berhasil merebut perhatian Jihoon dari lamunan panjangnya. Jihoon berbalik, menoleh pada Woojin yang ternyata lagi tersenyum ke arahnya.
Jihoon memutar bola matanya, "nggak usah senyum-senyum lo, dekil." ucap Jihoon, sambil menarik tali sabuk pengamannya kembali ke tempatnya. Jihoon merapikan penampilannya, lalu bersiap untuk membuka pintu mobil Woojin.
"Kuncinya, Jin." ucap Jihoon.
Woojin menghela nafasnya, lalu menyandarkan tubuhnya pada jok mobil. Nggak mendengar ada suara kunci mobil yang dibuka sama sekali, membuat Jihoon berbalik. Melirik Woojin yang kini sedang bersila dada.
"Ngobrol dulu, Hoon." ucap Woojin.
Jihoon berdecak, "gue ngantuk, Jin. Gue mau cepet-cepet masuk." balas Jihoon, yang dari nada bicaranya terdengar sedang mencoba untuk menghindar.
"Jadi lo kenapa sama Guanlin?" tanya Woojin, kali ini tatapannya kembali terpusat pada Jihoon.
Jihoon menarik panjang nafasnya, lalu menghembuskannya dengan pelan. Jihoon kembali menyenderkan tubuhnya di jok mobil, lalu mengedarkan pandangannya ke arah luar. Di situasi kayak gini, Jihoon emang nggak pernah mau orang lain natap langsung ke arah matanya. Tatapan intens dari orang lain di saat-saat kayak begini emang selalu bisa bikin Jihoon mau nangis. Jihoon juga benci sama dirinya yang kayak begini. Yang gampang banget nangis. Yang cengeng. Yang mode senggol: bacok nya gampang banget on.
"Dia dateng kesini semalem. Hm, hampir tengah malem lebih tepatnya. Dateng tiba-tiba, dengan keadaan basah kuyup dan dengan tubuh yang kedinginan setengah mati. Tubuhnya gemeteran, nggak lama dia ambruk. Pingsan didepan mata gue, didalam pelukan gue."
Jihoon mengerjapkan matanya berulang kali. Nggak, dia nggak mau nangis lagi.
"Beberapa jam sebelumnya, dia emang sempet aneh. Tingkahnya... Aneh pokoknya. Ya, dia mendadak jadi aneh banget. Dan gue nggak ngerti dia kenapa. Tapi gue rasa sesuatu emang lagi terjadi sama dia. Itu yang bikin dia jadi aneh seharian kemaren."
Jihoon menjeda ucapannya, menyelipkan tarikan nafas disela persiapannya untuk kembali melanjutkan ceritanya.
"Dia nggak cerita apapun ke gue. Oke, gue nggak masalah kalau dia nggak mau cerita ke gue. Gue juga nggak masalah kalau dia nggak mau terbuka sama gue. Tapi seenggaknya, dia hargain gue bisa kan, Jin? Dia tuh lagi sakit, gue udah ngerawat dia semaleman, tapi balesan dia malah diluar dugaan gue. Tadi pagi, dia udah pergi nggak tau deh dia keluar kondo jam berapa. Nggak ada ngabarin gue sama sekali. Gue kelabakan nyari dia, Jin. Gue cari ke kelasnya, gue cari ke tempat yang biasa dia datangin, tapi dia nggak ada sama sekali. Dia pergi dari kondo, dia nggak ngasih gue kabar, dan dia nggak ada di sekolah pagi tadi. Lo pikir, gue bisa tenang begitu aja?"
Yah, mulai berair lagi matanya.
"Dia ngerokok."
Woojin terlonjak, "dia apa, Hoon?"
"Dia ngerokok, Jin. Lo tau 'kan, kalau gue nggak suka sama orang yang ngerokok. Well, dia tau kok gue benci sama orang yang ngerokok. Tapi apa yang dia lakuin? Dia malah ngerokok, dia baru aja melakukan satu hal yang paling gue benci dalam hidup gue. Menurut lo itu artinya apa? Iya, bener. Dia nggak serius ngedeketin gue lagi."
Padahal Woojin nggak jawab apa-apa, tapi entah Jihoon yakin pasti Woojin sepemikiran sama dia saat ini.
Jihoon berbalik menatap Woojin yang ternyata juga lagi menatap ke arahnya. Jihoon mengukir senyum kecil di ujung bibirnya, "kalau dia emang nggak serius sayang sama gue, seenggaknya dia bisa 'kan, sayangin diri dia sendiri. Sayang sama badannya sendiri. Biar dia nggak sakit lagi, itu aja kok, Jin." ucap Jihoon dengan intonasi yang lembut.
Plong. Jihoon sedikit bersyukur, karena akhirnya perasaannya bisa sedikit lega setelah cerita sama Woojin. Jihoon tersenyum lagi, "thanks, Jin."
Woojin mengangguk, "udah lega sekarang?" tanya Woojin.
Jihoon membalas anggukan Woojin, "sedikit."
Woojin menghela nafasnya, "gini ya, Hoon."
"Ini bukan salah lo kalau lo terlalu sayang sama Guanlin, tapi kadang lo juga butuh untuk ngerasain perasaannya Guanlin. Lo sayang sama dia, makanya lo takut, makanya lo khawatir. Dan dari sisi Guanlin, dengan kelakuannya yang ngerokok di belakang lo atau apalah itu, dengan ngerahasiain masalahnya dari lo, bukan berarti dia nggak sayang sama lo. Lo nggak bisa ngambil kesimpulan sebegitu gampangnya, apalagi lo sendiri bilang kalau sesuatu pasti lagi terjadi sama Guanlin, dan lo bahkan nggak tau itu. Gue bukannya mau ikut campur sama masalah kalian, tapi gue rasa kali ini, lo lah yang harusnya bisa lebih ngerti perasaan Guanlin. Apalagi lo bilang kalau seharian kemaren, dia aneh kan? Bisa aja, Guanlin masih butuh waktu untuk nyelesain masalahnya sendiri. Dengan dia nggak cerita sama lo, mungkin dia nggak mau nyeret lo masuk ke dalam masalahnya."
Ceramahan Woojin berhasil bikin Jihoon sadar. Woojin ada benernya juga, bisa aja masalah yang lagi dihadapin Guanlin sekarang emang sebesar itu sampai Guanlin nggak mau cerita sama Jihoon. Hati Jihoon mencelos seketika. Dia nyesel udah ngebentak-bentakin Guanlin di depan umum tadi.
"Kalau Guanlin jadi tambah terpuruk karena gue, gimana ya, Jin?" tanya Jihoon.
"Ngomong sama dia, Hoon. Habis ini, lo masuk, lo hubungin Guanlin." balas Woojin.
"Harus gitu, Jin?"
Woojin mengangguk, "iya, harus gitu, gendut."
Jihoon memanyunkan bibirnya lagi, lalu memukul pelan bahu Woojin.
"Itu panggilan sayang Guanlin buat gue, ih! Nggak usah ikut-ikutan lo, kucel!" balas Jihoon.
Woojin cuma bisa cengengesan ngeliat Jihoon yang akhirnya bisa senyum lagi. Woojin berbalik dan membuka kunci mobilnya, "udah boleh turun, Hoon."
Jihoon tersenyum, lalu mengusap gemas puncak kepala Woojin.
"Dekil, kucel, kumel, makasih ya, hehehe." ucap Jihoon yang langsung berhambur keluar mobil.
Woojin, lagi-lagi cuma bisa ketawa kecil. Biarin deh dikatain dekil, kucel, kumel, atau apalah itu, yang penting Jihoon bisa senyum lagi.
Jihoon melambaikan tangannya pada Woojin, Woojin mengangguk, lalu membunyikan klakson mobilnya, dan bergegas meninggalkan parkiran kondo Jihoon.
OoO
Udah hampir satu jam berlalu, tapi yang ditunggu nggak juga datang. Guanlin masih duduk di sofa, tempat biasanya dimana para tamu yang datang duduk untuk menunggu sosok yang juga lagi ditunggu Guanlin saat ini.
Guanlin menyandarkan tubuh jangkungnya pada sandaran sofa, lalu memijat pelan pelipis dan pangkal hidungnya. Kepalanya terasa berat banget, ditambah suhu tubuhnya yang emang masih panas dari semalem.
Guanlin memejamkan matanya, mencoba untuk mengistirahatkan mata, otak, dan tenaganya sebentar aja tapi naas, suara pintu yang dibuka harus membuat Guanlin kembali membuka pejaman matanya. Guanlin menegakkan posisi duduknya, lalu tersenyum saat sosok yang sangat dirindukannya kini berdiri di hadapannya.
"Ayah,"
Guanlin berhambur memeluk pria yang sangat ia rindukan. Pria itu membalas pelukan Guanlin, sambil sesekali mengusap rambut berantakan Guanlin.
"Tumben kamu kesini," ucap sang ayah, sambil melepas pelukan mereka secara perlahan.
Guanlin cuma bisa tersenyum, dan matanya nggak sengaja melirik ke arah meja kerja sang ayah.
Kang Dongho
Nama yang tampan, Guanlin selalu menyukai nama ayahnya itu. Guanlin kembali memusatkan tatapannya pada Dongho, yang kini sudah mengambil posisi duduk disampingnya.
"Guanlin tidur di rumah ayah, ya?"
Dongho memincingkan alisnya, "loh, tumben?"
Guanlin menghirup udara di sekitarnya dalam-dalam, lalu membuangnya dengan perlahan. "Guanlin berantem sama bunda." ucap Guanlin.
"Lagi?" tanya Dongho.
Guanlin mengangguk, "iya, yah. Tapi kali ini lebih parah. Guanlin keceplosan. Guanlin kelepasan."
Dongho tersenyum, lalu menepuk pelan bahu sang anak. Dongho bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju meja kerjanya. Guanlin masih duduk di sofa, meski matanya terus terfokus pada gerak-gerik sang ayah.
Dongho kembali menatap Guanlin dari balik meja kerjanya, "hari ini kakak kamu pulang," Dongho melirik jam yang ada di dinding ruang kerjanya, "udah di apartemen kayaknya, kamu mau tetep tidur di rumah ayah atau ke tempat kakak kamu?" tanya Dongho.
"Kak Chungha pulang, yah?!!" tanya Guanlin yang super antusias begitu tau kalau kakaknya pulang dari China hari ini.
Dongho mengangguk sambil tersenyum, "ayah mau bujuk kakak kamu biar mau kerja disini. Nanti kamu bantu bujukin kakak kamu ya? Chungha lebih ngedengerin kamu daripada ngedengerin ayah." ucap Dongho.
Guanlin terkekeh mendengar keluhan sang ayah, yang emang bener kalau kak Chungha tuh lebih mau ngedengerin Guanlin dibanding ngedengerin ayahnya sendiri.
Guanlin berdiri dari duduknya, sambil meraih tas ransel dan jaketnya.
"Yaudah, kalau gitu Guanlin berangkat sekarang ya, yah?"
Dongho mengangguk sambil tertawa kecil. Gemes banget ngeliat Guanlin yang semangat banget mau ketemu Chungha. Maklum, mereka udah kepisah kurang lebih 5 tahun, karena Chungha yang menyelesaikan pendidikan di China.
"Soal bunda kamu, jangan terlalu dipikirin, oke? Nanti kita ngobrolin soal bunda kamu di apartemen Chungha, ya? Ayah masih ada rapat setelah ini." ucap Dongho.
Guanlin mengangguk, lalu beranjak memeluk sang ayah. Dongho hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Guanlin yang emang suka manja banget kalau udah ketemu sama dia atau nggak sama Chungha, kakak non-biologis nya.
"Guanlin berangkat ya, yah."
"Jangan ngebut-ngebut, dek."
Guanlin mengangguk, dan langsung melangkah keluar dari ruang kerja ayahnya setelah memakai kembali jaket kulit dan tas ranselnya.
OoO
Gembul♡:
Guanlin?
Hey, ndut.
Kenapa?
Tumben
Gembul♡:
Gimana, masih demam?
Guanlin nggak bisa lagi menahan senyumnya. Diliriknya jam yang ada di nakas, di samping ranjangnya. Udah hampir tengah malam, ya tepat sehari lah setelah Guanlin bertamu mendadak ke kondo Jihoon dan Jinyoung. Jihoon belum tidur, apa gabisa tidur?
Kok belum tidur, ndut?
Gembul♡:
Ih, masih demam nggak?
Lagi, Guanlin tersenyum. Sekelibet bayangan pas mereka berantem tadi siang yang sejujurnya masih memenuhi pikiran Guanlin langsung hilang begitu aja. Seenggaknya, Jihoon udah bisa diajak komunikasi. Guanlin bisa menghirup nafas dengan lega sekarang.
Udah nggak marah lagi kan, ndut?
Gembul♡:
Gue nanya serius malah diginiin. Marah lagi nih
Lai Guanlin is calling
Hati Guanlin mencelos, rasanya mau lompat-lompat aja karena request video call nya diangkat sama Jihoon. Guanlin tersenyum, saat wajah Jihoon muncul di layar ponselnya.
Nggak sepenuhnya wajah Jihoon, sih. Soalnya Jihoon nutupin sebagian wajahnya pakai bantal. Bikin Guanlin jadi gemes banget. Jadinya Guanlin cuma bisa mesem-mesem aja sendiri sambil terus ngeliatin Jihoon yang masih diem, belum ngucapin apa-apa.
"Matanya bengkak gitu. Jangan nangis lagi, ya?" ucap Guanlin, yang pada akhirnya berhasil memecah keheningan.
Di layar ponselnya, Jihoon cuma bisa tersenyum, membuat ujung matanya terangkat, sehingga mata bengkaknya tampak semakin sipit. Perlahan, Jihoon menurunkan bantal yang menutupi sebagian wajahnya. Menampilkan wajah bantalnya yang membuat Guanlin cengengesan di atas ranjangnya.
Guanlin membenarkan posisi tidurnya, "maafin gue soal yang tadi ya, ndut."
"Nggak, Guan. Gue yang harusnya minta maaf. Gue minta dingertiin sama lo, tapi gue yang justru nggak bisa ngertiin lo. Maafin gue, ya?" balas Jihoon dengan cepat.
Guanlin terdiam. Guanlin nggak salah denger kan, kalau barusan Jihoon manggil namanya pakai 'Guan'?
ACJSJSJSKSSK ITU PANGGILAN GEMES JIHOON YANG PERTAMA BUAT GUANLIN SEBELUM 'CEKING'!!!
Guanlin menghela nafasnya, "Guan,"
Jihoon tersenyum di layar ponselnya, "hm, lo tau 'kan, kalau gue lebih suka manggil lo Guan, daripada Lin." balas Jihoon.
Guanlin mengangguk, lalu tersenyum. Keduanya kembali terdiam, namun tatapan mereka tidak beralih sama sekali. Baik Jihoon maupun Guanlin masih sama-sama menatap satu sama lain, ya meskipun harus dibatasi sama layar ponsel.
"Lo belom jawab pertanyaan gue. Lo masih demam, nggak?" tanya Jihoon.
Guanlin menggeleng kecil, "udah nggak terlalu, ndut. Tadi udah dikasih obat sama kak Chungha." balas Guanlin.
"Kak Chungha?"
Guanlin tersenyum, "kakak gue, dia baru aja pulang dari China. Baru lulus kuliah."
Jihoon cuma mengangguk, sambil berusaha nahan ngantuk dengan cara ngebelo-beloin mata bengkaknya. Guanlin terkekeh melihat apa yang sedang dilakukan Jihoon, "ngantuk, ndut?"
Jihoon mengangguk dengan polosnya. Lalu, Jihoon mulai mengatur posisi tubuhnya menjadi berbaring di kasurnya. Dengan posisi tangan yang masih memegang ponselnya.
"Lo segala ngajak video call sih, padahal tadi gue udah mau tidur. Rencananya kan gue mau ngebales chat lo besok pagi aja," balas Jihoon, sambil nguap, sambil ngucek-ngucek matanya.
"Dasar."
"Yaudah, tidur sana." sambung Guanlin yang nggak tega ngeliat Jihoon udah setengah sadar setengah teler begitu.
Jihoon tersenyum kecil, sambil memejamkan matanya, "jangan tidur malem-malem, Guan."
Guanlin mengangguk, "jangan nangisin gue lagi, ndut."
Jihoon tertawa kecil, walau Guanlin tau kalau Jihoon pasti udah hampir masuk ke fase deltanya.
"Nggak usah geer gitu," ucap Jihoon yang lebih terdengar seperti sebuah bisikan.
"Bye, Guan. Cepet sembuh,"
"Jangan ujan-ujanan lagi."
Setelah itu, Jihoon bener-bener terlelap dan layar ponsel Guanlin langsung berubah jadi hitam. Pasti deh, ponselnya Jihoon jatuh saking udah nggak sadarnya si Jihoon. Guanlin terkekeh, lalu memutuskan sambungan video call mereka. Guanlin meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu kembali berbaring pada posisinya yang semula.
Jangan salahin Guanlin, kalau Guanlin justru semakin sayang sama Jihoon. Lebih dari rasa sayangnya yang sebelumnya.
Guanlin termasuk penganut: ya, selama janur kuning belum melengkung, artinya masih ada cela buat tikung-menikung.
Well, Guanlin emang se-nggak perduli itu sama kenyataan kalau Jihoon udah jadi pacar orang lain sekarang^^
.
.
.
.
Ya, biasanya sih abis yang sedih-sedih pasti ada yang manis-manis. Nah, abis yang manis-manis pasti ada yang pait-pait. Roda itu berputar :-))
(Ini aku repost ya, soalnya yang semalem nggak full ya kayaknya?)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro