ㅡ (5)
Guanlin menghentikan laju motornya. Ia memarkirkan motor tampannya di tepi jalan, sambil matanya menatap lurus pada sebuah pub yang emang hampir setiap malam dia datangi. Helm-nya belum dilepas. Bahkan kaca helm-nya pun belum dibuka. Guanlin mencabut kunci motornya, lalu menyimpannya di dalam saku jaket yang ia pakai. Setelah beberapa detik berlalu hanya untuk menatap pintu masuk pub, akhirnya Guanlin pun menurunkan standar motornya.
"Guanlin,"
Guanlin menoleh, ada seorang pria lengkap dengan seragam kerjanya berdiri disamping motornya. Dengan cepat, Guanlin melepas helm yang dipakainya, dan melayangkan sebuah senyum ramah pada sosok itu.
"Bang Sanggyun,"
Bang Sanggyun adalah seorang bodyguard yang udah lebih dari 5 tahun kerja di pub ini. Guanlin cukup mengenal bang Sanggyun, karena hampir setiap Guanlin dateng ke tempat ini, dia pasti ketemu sama bang Sanggyun. Dan, bang Sanggyun juga sering bantuin Guanlin.
Bang Sanggyun tersenyum, sambil tangannya menepuk akrab bahu lebar Guanlin.
"Tumben datengnya lebih malem dari biasanya?" tanya bang Sanggyun.
"Tadi Guanlin ada urusan dulu, bang."
"Bunda udah selesai belum, bang?" sambung Guanlin, sambil mengalihkan matanya dari bang Sanggyun kembali ke pintu masuk pub.
Bang Sanggyun ikut menoleh ke arah pub, "kayaknya sih udah, ayo masuk, Lin." balas bang Sanggyun, lalu mempersilahkan Guanlin untuk masuk ke dalam pub. Guanlin turun dari motornya dan ikut melangkah mengikuti bang Sanggyun dari belakang.
Sekarang udah jam 11 malam lebih. Udah hampir tengah malam. Dan Guanlin benci harus menginjakkan kakinya di tempat ini. Keadaan sekitar masih rame banget. Masih berisik banget. Dan masih nggak bener kayak malam-malam biasanya. Guanlin terus berjalan mengikuti bang Sanggyun, tanpa memperdulikan kebisingan di sekitarnya. Beberapa orang setengah sadar nggak sengaja nyenggol Guanlin. Tapi Guanlin nggak perduli. Yang Guanlin pikirin sekarang cuma bundanya. Guanlin mau bawa bundanya pulang.
Bang Sanggyun berhenti di depan sebuah ruangan. Begitu juga Guanlin, ia ikut berhenti di belakang bang Sanggyun. Matanya terarah pada sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Sebuah ruangan dimana Guanlin bisa menemukan bundanya. Bang Sanggyun berbalik menatap Guanlin,
"Mau masuk sendiri atau gue temenin?" tanya bang Sanggyun.
Guanlin menoleh pada bang Sanggyun, lalu tersenyum.
"Guanlin masuk sendiri aja, bang. Makasih ya, bang." balas Guanlin.
Bang Sanggyun mengangguk, tangannya kembali menepuk akrab bahu Guanlin yang terasa lebih keras sekarang.
"Kalau lo butuh bantuan, gue ada di tempat biasa." ucap bang Sanggyun.
Guanlin mengangguk, "thanks, bang."
Bang Sanggyun pun mulai melangkah meninggalkan Guanlin yang masih berdiri dengan tatapan kosong di tempatnya. Guanlin menaikkan tatapannya, kembali melirik pintu yang masih tertutup di depannya.
Guanlin mengambil panjang nafasnya, lalu membuangnya dengan pelan. Guanlin mengambil panjang nafasnya lagi, lalu membuangnya dengan sedikit hentakan. Setelah merasa cukup siap, Guanlin mulai menyentuh gagang pintu, dan membukanya. Dengan perlahan.
Well, bundanya ada disana. Masih duduk diatas pangkuan seorang pemuda yang nggak asing buat Guanlin. Guanlin menutup rapat pintu yang baru dibukanya, lalu mulai melangkah masuk dan mengambil posisi duduk di bangku yang ada di pojok ruangan.
Orang itu adalah Noh Taehyun, mantan kakak kelasnya, yang udah lulus hampir setahun lalu. Guanlin menelan salivanya dengan susah payah. Guanlin mengalihkan matanya dari pemandangan yang udah nggak asing lagi buat dia. But, shit. Suara-suara nggak layak yang keluar dari mulut bundanya dan Taehyun masih bisa masuk ke gendang telinga Guanlin.
Meski begitu, Guanlin tetap diam, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Guanlin mengarahkan matanya ke semua arah, kecuali ke tempat dimana dua orang tersebut masih belum selesai dengan kegiatannya. Untuk menghilangkan rasa bosannya, Guanlin pun menghentak-hentakan kakinya dengan pelan. Ya, walaupun nggak ada ngaruhnya juga sih.
"Guanlin,"
Guanlin menoleh, dan mendapati sang bunda sedang menatap ke arahnya sambil merapikan pakaiannya. Sedangkan Taehyun masih duduk dengan santai dan sama sekali belum beranjak dari posisinya. Mata Guanlin terus mengikuti pergerakan sang bunda, menunggu kalimat lain dari bundanya, sampai suara lain datang menyerobot dan membuat Guanlin harus mengalihkan pandangannya dari sang bunda.
"Apa kabar, Lai Guanlin?" tanya Taehyun, dengan suara beratnya.
Guanlin menghela nafasnya dengan cepat, "seperti yang bisa lo liat, bang." balas Guanlin.
"Lo nggak nanya balik gimana kabar gue?" tanya Taehyun, sambil tertawa kecil.
Guanlin berdiri dari duduknya, lalu melangkah menghampiri sang bunda yang sedang merapikan barang-barangnya. Setelah semua barang masuk ke dalam tas berukuran sedang milik sang bunda, Guanlin meraih tas tersebut.
"Bunda, udah selesai?" tanya Guanlin.
Tak ada jawaban yang bisa Guanlin terima. Sang bunda malah berjalan melewatinya, menghampiri Taehyun dan memberikan pelayanan penutup pada seorang pemuda yang usianya hanya terpaut satu tahun dari Guanlin. Guanlin mengalihkan pandangannya. Ia benci berada di tempat seperti ini.
"Bener apa kata Danik. Nyokap lo emang recommended, bro."
Ck, Danik, alias Kang Daniel. Guanlin benci harus mendengar nama itu lagi. Tatapan yang semula datar, kini berganti menjadi sebuah sorotan tajam. Guanlin memusatkan tatapan tajamnya pada Taehyunㅡ teman satu geng Daniel semasa sekolah. Taehyun seolah nggak perduli sama tatapan tajam Guanlin. Taehyun cuma cengengesan aja di tempatnya, sambil sesekali mencuri pandang pada bundanya Guanlin.
"Besok gue balik lagi kesini. Sama Danik. Reunian dong kita?" ucap Taehyun dengan santai, dan dengan kekehan kecil yang terselip disetiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Guanlin tunggu di motor, bun." ucap Guanlin dengan datar, mengabaikan ucapan Taehyun, kemudian berbalik dan melangkah dengan cepat meninggalkan ruangan berdosa itu.
Sesampainya di rumah, sang bunda langsung berjalan masuk tanpa memperdulikan Guanlin. Sedangkan Guanlin yang udah terbiasa dengan perlakuan bundanya itu, cuma bisa menghela nafas dan ikut masuk ke dalam rumah yang ukurannya nggak terlalu besar, yang cuma ditempati oleh dua orangㅡ Guanlin dan bundanya.
Guanlin menutup rapat pintu rumahnya, lalu menguncinya. Guanlin berbalik dan mendapati sang bunda sedang berbaring di sofa. Guanlin melangkah mendekati sang bunda, berdiri di sana sambil menatap datar sang bunda yang sedang memejamkan matanya. Guanlin memalingkan pandangannya. Dia nggak bisa menatap bundanya terlalu lama. Nggak tau kenapa. Yang pasti nggak bisa aja. Bundanya; kelemahan terbesar Guanlin.
Guanlin meletakkan tas sang bunda yang tadi dibawanya di atas meja. Guanlin kembali melirik sang bunda yang ternyata sudah membuka pejaman matanya. Dua pasang mata yang nyaris persis itu kini terkunci satu sama lain. Sepasang ibu dan anak itu terdiam untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Guanlin berkedip dan mengalihkan pandangannya.
"Bunda besok nggak usah kerja."
Sang bunda memincingkan salah satu alisnya, menatap nanar pada Guanlin yang untuk pertama kalinya berani ikut campur tentang pekerjaannya.
"Kamu nggak ada hak buat ngelarang bunda." balas sang bunda, dengan amat sangat datar.
Guanlin menggeleng, "pokoknya Guanlin mau besok bunda di rumah seharian. Bunda nggak usah kemana-mana." ucap Guanlin.
Tanpa merespon ucapan Guanlin, sang bunda pun berdiri dan melangkah menuju kamarnya. Meninggalkan Guanlin yang kini terdiam dalam keheningan. Guanlin menghela nafasnya, kemudian mulai melangkah menuju kamarnya.
Untuk yang ke-sekian kalinya, Guanlin ditolak oleh ibunya sendiri.
OoO
Istirahat kali ini berbeda dengan istirahat-istirahat sebelumnya. Kalau biasanya Jihoon menghabiskan waktu istirahatnya untuk makan sebanyak-banyaknya di kafetaria sama Woojin, kali ini Jihoon lebih memilih untuk berkencan dengan tumpukan buku-buku beberapa mata pelajaran.
Tadinya sih udah diajak Woojin dan Hyungseob untuk makan di kafetaria, tapi Jihoon malah nolak dan memilih untuk melewati jam istirahatnya di perpustakaan. Jihoon emang tukang makan, dan lapar melulu. Tapi kalau udah berurusan sama pelajaran dan nilai, makanan bakal jadi prioritas terakhir buat Jihoon.
Sekarang Jihoon udah jadi siswa kelas 12, yang mana dalam hitungan bulan dia akan segera lulus dari dunia persekolahan. Dan dalam waktu dekat ini, semua siswa kelas 12 akan dihadapakan dengan beberapa ujian pre-test sebelum bertemu dengan ujian kelulusan yang sebenarnya. Tadi, sebelum istirahat, pak Jonghyun ceramah di kelas. Kata pak Jonghyun, lebih baik waktu kosong sekarang dipakai untuk nyicil-nyicil belajar biar pas pre-test nanti nggak kaget. Ya, untungnya aja Jihoon adalah satu-satunya murid di kelasnya yang nggak pernah turun dari peringkat 1. Jadi, ya Jihoon itu termasuk anak pintar. Hehehe. Makanya, dia seneng temenan sama buku. Daripada temenan sama Woojin, bisa banting stir jadi gila kali otaknya.
Jihoon mengeluarkan buku catatannya, mencoba untuk mengerjakan beberapa soal fisika dari buku kumpulan soal-soal yang baru diambilnya dari rak yang ada di pojok perpustakaan. Soal pertama bisa Jihoon kerjakan dengan lancar. Begitu juga dengan soal kedua, dan soal yang ketiga. Namun, saat baru akan mengerjakan soal keempat, Jihoon mendapat masalah.
Bahu sebelah kanannya terasa berat. Kayak ada yang nyender. Jihoon menoleh ke arah kanan, dan melengos saat mendapati Guanlin kini menyandarkan kepalanya di bahu kanan Jihoon.
Jihoon menghela nafasnya, lalu meletakkan pulpennya, dan menutup buku catatannya. Jihoon mencoba untuk menggerakkan bahunya berulang kali, berharap agar kepala Guanlin cepat meninggalkan bahunya. Udah berulang kali dihentak, Guanlin tetep aja nggak bergerak.
Jihoon memutar sepasang bola matanya, "sana ih, Guanlin." ucap Jihoon, yang sebenernya lebih mirip sama mendesis.
Ucapan Jihoon sama sekali nggak digubris sama Guanlin yang sekarang malah memejamkan matanya dan bersiap-siap untuk tidur. Sebelum Guanlin beneran tidur, Jihoon kembali menggerakkan bahunya sambil sesekali tangannya terangkat untuk mendorong tubuh jangkung Guanlin yang setengah bebannya sekarang bertumpu pada tubuh Jihoon.
"Gue lagi belajar, Guanlin."
Masih nggak ada jawaban dari Guanlin. Mulai gerah dong si Jihoon. Dengan segenap kekuatan yang dia punya, Jihoon menggunakan tangan kirinya untuk mendorong kepala Guanlin dari bahunya. Bukannya apa-apa, cuma berat aja.
Dorongan kencang Jihoon berhasil bikin tubuh jangkung Guanlin sedikit menjauh dari tubuh Jihoon. Dahi Jihoon kini berkerut saat melihat Guanlin yang tampak memanyunkan bibirnya.
Guanlin membuka pejaman matanya. Mata Jihoon memincing saat melihat mata Guanlin yang memerah.
"Guanlin?"
Guanlin menghela nafasnya dengan kasar, "gue ngantuk banget, ndut. Gue cuma mau numpang tidur aja, sumpah dah." ucap Guanlin sambil ngucek-ngucek mata merahnya.
Dengan spontan, Jihoon menahan tangan Guanlin. Membuat sang empunya tangan mengernyit bingung.
"Jangan dikucek, nanti tambah merah matanya." ucap Jihoon, sambil perlahan ia melepas genggamannya dari tangan Guanlin.
Guanlin nggak jawab lagi. Err, Jihoon tambah gerah. Matanya melirik ke sekeliling, dan mendapati bahwa nggak ada orang lain di sekitar mereka, selain penjaga perpustakaan yang duduk di meja depan pintu masuk. Jihoon kembali mengarahkan matanya pada Guanlin yang udah mulai merem lagi, sambil tangannya di kipas-kipas didepan wajah Guanlin.
Ck, beneran ngantuk nih anak.
"Emangnya lo nggak tidur apa dirumah?"
Lagi, nggak ada jawaban.
"Guanlin?"
Kepala Guanlin malah bergerak menunduk-naik-menunduk lagi-lalu naik lagi kayak boneka scooby-doo yang dijadiin hiasan di dashboard mobil. Jihoon menggeleng, lalu menepuk pipi Guanlin dengan sedikit keras. Membuat si empunya pipi bergidik, dan perlahan membuka pejaman matanya yang kembali memperlihatkan sepasang matanya yang memerah.
Guanlin memandang Jihoon dengan raut kesel yang ditahan-tahan, "apaan lagi, sih?" tanya Guanlin.
"Tidur di kelas sana!!" jawab Jihoon.
Guanlin berdecak, lalu kembali mendaratkan kepalanya yang mulai terasa berat di bahu kanan Jihoon.
"Di kelas berisik, yang ada gue digangguin mulu." balas Guanlin yang sebenernya terdengar lebih seperti bisikan.
Jihoon cuma diam. Nggak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut Guanlin. Jihoon masih diam, sampai akhirnya dia mendengar suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Guanlin.
Jihoon menoleh sedikit, dan mendapati Guanlin yang tampak pulas di bahunya. Sejenak Jihoon berpikir, si ceking beneran nggak tidur di rumah apa gimana? Bisa sampai ngantuk banget begini...
Dengan pelan, Jihoon kembali mendorong kepala Guanlin. Kali ini bukan untuk diusir, tapi untuk dibaringkan di atas pangkuannya. Jihoon melakukan aksinya selembut mungkin, nggak mau bikin si ceking sampai kebangun lagi.
Berhasil. Nggak butuh waktu lama, sekarang kepala Guanlin udah diatas pangkuan Jihoon. Wajah polos saat tidurnya menghadap ke atas, langsung mengarah pada wajah Jihoon yang sekarang sedang menunduk sambil merhatiin Guanlin. Jihoon menghembuskan nafasnya dengan panjang, saat menyadari bahwa Guanlin emang lagi tertidur pulas, tapi terdapat beberapa kerutan di wajahnya. Guanlin tuh kayak lagi tidur tapi nggak nyenyak-nyenyak banget. Dahinya sedikit berkerut. Meninggalkan tanda tanya besar di dalam kepala Jihoon.
"Lo nggak tidur semaleman apa gimana sih?" tanya Jihoon yang sebenernya lebih seperti gumaman, ya karena emang dia lagi bergumam sendiri. Kan Guanlin-nya lagi tidur.
Jihoon mengembalikan konsentrasinya pada buku-buku catatan dan kumpulan soal yang ada di atas meja. Ia masih harus melanjutkan pengerjaan soal-soalnya yang sempet terhenti karena kedatangan Guanlin.
Jihoon pun kembali mengerjakan soal-soal fisikanya, sambil tangan kirinya bergerak mengusap rambut Guanlin dengan lembut. Berharap kerutan-kerutan di wajah Guanlin berkurang, dan Guanlin bisa tidur dengan nyenyak.
OoO
Jinyoung mematikan laptopnya. Kepalanya terangkat, mencari sosok Daehwi yang masih sibuk di tengah rapat kecil-kecilan yang diadain mendadak siang ini. Jinyoung menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, mengalihkan pandangannya dari Daehwi ke anak-anak organisasi lain yang lagi ngedengerin arahan-arahan yang dikasih Daehwi.
Sekolah mereka bakal ngadain acara besar-besaran yang udah jadi tradisi setiap tahun. Tema acaranya sih belum ditentuin, soalnya selalu ganti setiap tahunnya. Tapi ajang-ajang yang ada didalam acara tuh rata-rata nggak berubah alias sama alias turun temurun setiap tahunnya. Kayak olimpiade beberapa mata pelajaran; fisikia, kimia, geografi, dan sejarah. Ada juga perlombaan di bidang olahraga; basket, sepak bola, dan volley. Ada juga perlombaan di bidang seni; musikalisasi puisi, nyanyi solo ataupun grup, dan dance. Dan acara ini nggak cuma diikuti sama siswa-siswa dari sekolahan mereka. Tapi juga mengundang partisipasi dari sekolah-sekolah lain. Nah, yang bertugas ngundang sekolah-sekolah lain itu Lee Euiwoong, ketua devisi humas yang masih duduk di kelas 11.
Kalau dipikir-pikir, tim sukses acara dari organisasi yang dipimpin Daehwi tahun ini lumayan lebih baik kalau dibandingin sama organisasi tahun lalu yang dipimpin sama Daniel. Sebenarnya sih, era kepemimpinan Daniel nggak begitu acak aur. Tapi, nggak begitu bagus juga. Siapa yang nggak tau Daniel, sih? Biang onar nomor satu di sekolah (sewaktu masih sekolah, sekarang udah lulus) yang hampir setiap upacara bendera pasti namanya disebut sama kepala sekolah. Namanya dipanggil terus bukan karena prestasi. Tapi untuk ngebahas masalah apa lagi yang dibikin sama Daniel cs di hari sebelumnya. Daniel tuh tipikal orang yang jangan dijadiin contoh banget deh. Tapi, bukan berarti Daniel nggak punya sisi positif di dalam dirinya. Ya, sayang aja sih. Sisi positifnya emang nggak banyak, udah terlanjur tenggelam sama segala kekacauan yang dibuatnya semasa ia duduk sebagai siswa di sekolah.
Nggak, Daniel tuh jadi ketua organisasi bukan karena hasil perolehan suara. Bukan juga karena dicalonin. Tapi karena kepala sekolah dan barisan guru-guru kelas 12 udah mulai sebel sama semua kelakuan Daniel, makanya dia ditetapkan jadi ketua organisasi untuk masa kepemimpinan selama satu tahun, tanpa minta izin sama sekali dari yang bersangkutan.
Ngomong-ngomong soal Daniel, Jinyoung jadi inget sesuatu. Tahun lalu, sekolahnya menang kejuaraan basket nasional dibawah kepemimpinan Daniel. Daniel bukan aja sebagai ketua organisasi, tapi juga sebagai kapten tim basket. Walaupun kelakuannya minus abis, tapi aura gantengnya waktu main basket tetap aja terpancar dan bikin para kaum hawa harus menelan ludah saking terpesonanya. Makanya nggak heran, kalau Daniel pernah menjabat sebagai kapten basket terbaik di sekolahnya.
Daniel udah lulus, posisinya sebagai ketua organisasi udah diganti sama Daehwi, dan posisinya sebagai kapten tim basket juga udah diganti sama Guanlin.
Ngomongin soal Guanlin, Jinyoung jadi inget sesuatu yang lain lagi.
Guanlin sama Daniel pernah terjebak dalam satu tim basket yang sama. Iya, kemenangan tim basket sekolah tahun lalu nggak sepenuhnya berkat Daniel, tapi juga berkat Guanlin. Sayangnya, dua orang itu punya hubungan yang nggak terlalu baik. Mereka berduaㅡ Guanlin dan Daniel, pernah berantem, liar, di koridor sekolah, nggak tau karena apa. Semuanya juga kaget, termasuk Jinyoung dan Jihoon. Saat itu, Jihoon emang masih nempel banget kayak amplop surat sama prangko, sama si Guanlin. Makanya, waktu itu Jihoon langsung coba misahin keduanya dan memilih untuk nyelamatin Guanlin. Yang mana keputusan Jihoon itu malah bikin Guanlin makin bonyok pada akhirnya. Iya, Guanlin diabisin lagi sama Daniel pas pulang sekolah.
Ngomong-ngomong soal Jihoon, Jinyoung jadi inget sesuatu lagi. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, dan sadar kalau jam istirahat udah mau selesai. Jinyoung sama sekali belum ketemu Jihoon lagi setelah nge-drop itu anak ke kelas pagi tadi. Jinyoung izin untuk seluruh kegiatan belajar mengajar hari itu karena harus ikut rapat dan mengerjakan laporan-laporan yang lain. Makanya, doi belum ngeliat Jihoon lagi.
Jinyoung meraih ponselnya dari saku almamater-nya, lalu mulai mencari sebuah menu dan mulai mengetik sesuatu disana. Jinyoung kembali memasukkan ponselnya ke saku almamater, sambil menunggu balasan dari sang-kekasih-palsu-yang-pengen-banget-dijadiin-kekasih-beneran.
"Jinyoung?"
Jinyoung menoleh dan mendapati Daehwi udah duduk di sebelahnya. Jinyoung tersenyum, "Daehwi," sapanya. Daehwi membalas senyum Jinyoung, sambil matanya sesekali melirik anak-anak yang mulai berhamburan keluar dari ruang rapat. Begitu juga Jinyoung yang baru sadar kalau anak-anak mulai ninggalin ruang rapat.
"Udah selesai, Hwi?" tanya Jinyoung.
Daehwi menggeleng, "istirahat sebentar, Jin. Kasian pada kelaperan." jawab Daehwi.
Jinyoung hanya bisa mengangguk, dan kemudian kembali terjebak dalam keheningan. Jinyoung kembali meraih ponselnya yang sama sekali belum nunjukin ada notifikasi. Itu artinya, Jihoon belum bales chat yang dikirimnya.
Daehwi berdiri dari duduknya, sambil menggeser bangkunya yang suara deritannya berhasil menarik perhatian Jinyoung. Jinyoung menoleh pada Daehwi, "laper, Hwi?" tanya Jinyoung.
Yang ditanya cuma bisa cengengesan karena emang perutnya udah keroncongan. Tapi dia tuh nggak tega ninggalin Jinyoung yang kebanyakan bengong sendirian di sini. Jadilah, Daehwi ngekode-kode biar Jinyoung nggak bengong lagi.
Jinyoung terkekeh melihat Daehwi yang masih aja cengengesan. Lucu banget, yaudah dicubit aja deh itu pipi sama Jinyoung. Daehwi mengaduh, sambil berusaha melepas cubitan Jinyoung dari pipi tirusnya.
"Gue udah kurus kering kayak gini masih aja dicubit-cubitin!" keluh Daehwi.
Jinyoung terkekeh, lalu menepuk pelan puncak kepala Daehwi.
"Gemes banget sih, Hwi."
4 kata, 1 kalimat yang ngalir gitu aja dari mulut Jinyoung baru aja membentuk kubu khusus di hati Daehwi. Tanpa sadar, ujung bibir Daehwi terangkat. Membentuk sebuah untaian senyum kecil.
Nggak heran kenapa Jihoon lebih milih Jinyoung daripada Guanlin. ㅡ Lee Daehwi, 17, ketua organisasi yang juga memegang gelar sebagai teman dari Jinyoung dan juga Jihoon.
Etetet, kayaknya gelarnya bakal nambah deh sebentar lagi.
Lee Daehwiㅡ pengagum Bae Jinyoung yang cuma bisa diem-diem aja biar nggak ketauan.
Iya, santai aja. Daehwi orangnya nggak baperan kok. Apalagi Daehwi tau kalau Jinyoung itu pacar dari teman baiknya, Park Jihoonㅡ korban ketidak adilan Lai Guanlin.
"Yaudah, ayo ke kafetaria." ucap Jinyoung, membuyarkan segala lamunan Daehwi.
Daehwi mengangguk, dan mulai melangkah mengikuti Jinyoung dari belakang.
OoO
NGESELIN BANGET DAH.
Jihoon harus berulang kali memutar bola matanya karena menahan kesal. Si dekil alias Park Woojin, temannya yang sebenernya dia juga bingung kenapa bisa sih dia temenan sama Park Woojin, sekarang lagi duduk di depannya dengan beribu pertanyaan yang nggak ada faedahnya sama sekali.
"Kok Guanlin ada disini?"
"Eh, itu Guanlin beneran tidur?"
"Wah, skandal."
"Lu tuh sebenernya pacaran sama Jinyoung atau sama Guanlin dah?"
"JINYOUNG, YA? JINYOUNG KAN? UDAH NGGAK USAH NGELES LO."
"Tapi kan lo sama Jinyoung cuma pura-pura pacaran? Kok Hyungseob ngamuk ke gue, bilang kalau lo pacaran beneran sama Jinyoung?"
"Jadi, lu tuh pacaran beneran apa bohongan sih sama si Jinyoung?"
"Lu bisa diem nggak sih, dekil?"
Woojin terdiam. Kan. Mancing anak singa ngamuk sih. Tatapan Jihoon yang sejak awal kedatangan Woojin udah nggak bersahabat sekarang malah makin nggak bersahabat banget. Woojin menggigit kecil bibir bawahnya, "gue kan cuma kepo, lay." balas Woojin, dengan watadosnya.
Jihoon berdecak sebal, "keponya lu tuh ngeselin. Berisik. Udah tau Guanlin lagi tidur!" balas Jihoon lagi, sambil ngomel-ngomel.
Padahal di perpustakaan ada tulisan segede gaban; 'harap tenang. Ini perpustakaan, bukan timezone." tapi tetep aja diabaikan sama sepasang sahabat bermarga sama yang susah banget akur ini.
Lagipula, nggak ditegur juga tuh sama penjaga perpustakaan. Yaudah, tambah ngegas aja deh si Jihoon.
"Jangan berisik, lay. Ini perpustakaan, bukan timezone. Tuh, baca tuh. Ada tulisannya." balas Woojin, yang malah bikin Jihoon makin semangat untuk ngelempar satu buku paket ke muka songongnya.
"Mendingan lu pergi dah."
"Yah, lu ngusir gue?"
"Iya, udah sana."
Woojin merajuk. Ia menopangkan dagunya di atas kedua tangannya yang dilipat di atas meja. Matanya dibuat se-puppy mungkin, dan lurus menatap pada Jihoon. Bibirnya sengaja dibikin maju, biar bisa narik simpati Jihoon.
"Gue jadi tambah pengen nimpuk lu tau nggak sih." savage, Jihoonie.
Woojin tambah melas-melasin wajahnya. Bukannya kasian, Jihoon malah makin melotot yang berhasil membuat Woojin cekikikan.
"Iya iya, sorry." ucap Woojin.
Jihoon cuma bisa mutar bola matanya dengan malas, sambil melirik Guanlin yang masih tidur nyenyak di pangkuannya. Kerutan-kerutan di wajah Guanlin udah mulai berkurang, itu artinya Guanlin tidurnya mulai nyenyak. Tangan kiri Jihoon masih setia mengusap lembut rambut Guanlin dibawah sana, jelas aja nggak bakal ketahuan sama si Woojin. Bisa dicengin abis dia sama si dekil kalau ketauan.
Woojin berdehem, membuat Jihoon kembali menaikkan arah pandangnya pada Woojin.
"Gue serius, nih. Lo udah makan?" tanya Woojin.
Jihoon menggeleng, "gue nggak sempet ke kafetaria."
"Gue beliin makan, ya?" tawar Woojin, yang sebenernya tumben banget dia perhatian sama Jihoon.
Lagi, Jihoon menggeleng, "gue nggak lapar. Udah, lo balik aja ke kelas."
Setelah Jihoon menolak dengan halus tawaran Woojin, bel masuk tanda istirahat sudah selesai pun berbunyi. Woojin melengos, membuat Jihoon nggak bisa nyembunyiin tawa gemesnya. Iya, sedekil-dekilnya dan sengeselin-ngeselinnya Woojin, dia masih punya sisi gemes yang bisa bikin Jihoon ketawa.
"Lo nggak masuk kelas?" tanya Woojin.
Lagi dan lagi, Jihoon menggeleng, "Guanlin masih tidur." balas Jihoon.
Woojin merubah tatapannya menjadi lebih serius, "sesayang itu lo sama Guanlin?"
Jihoon mengentikan usapannya pada rambut Guanlin. Nafasnya berhembus dengan berat, matanya membalas tatapan serius Woojin.
"Nggak usah dibahas, bisa?" tanya Jihoon.
Woojin menggeleng dengan cepat, "lo nggak mau sakit hati lagi, tapi lo ngebiarin Guanlin masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan lo, Hoon."
"Lo sadar itu nggak, sih?" tanya Woojin.
Jihoon terdiam untuk beberapa saat. Dia nggak punya jawaban yang tepat atas pertanyaan Woojin. Jihoon tuh bingung. Bener kata Woojin, dia emang nggak mau sakit hati lagi karena Guanlin. Tapi disisi lain, dia juga nggak mau begitu aja ngelepasin Guanlin. Nyaman itu emang bikin sakit. Apalagi kalau nyamannya didasari sama rasa sayang. Jihoon pengen menghilangkan rasa nyaman dan rasa sayangnya untuk Guanlin, tapi, ya selalu ada tapi.
Cuma disaat-saat kayak begini, Jihoon bisa ngerasain yang namanya Guanlin jadi pacarnya.
Please, sebentar aja. Jihoon nggak minta yang muluk-muluk kok, dia cuma ingin untuk beberapa waktu ke depan bisa nikmatin kenyamanan yang dia rasain setiap dia ada didekat Guanlin. Jihoon janji, kalau udah kejauhan, dia akan berhenti.
"Boleh deh, Jin. Menu biasa, ya? Tapi kali ini beliin dua, satunya buat Guanlin."
Woojin cuma bisa ngelus dada aja. Lagi lagi, Jihoon mengalihkan pembicaraan dengan mudahnya. Yaudah, daripada Jihoon kelaperan, akhirnya Woojin pun mengangguk.
"Thanks, dekil."
OoO
Guanlin memarkirkan motornya di tepi jalan, lebih tepatnya di depan salah satu kedai es krim yang dulu sering dia datengin sama Jihoon setiap pulang sekolah.
Plak!
"Aw!!"
Siapa lagi sih yang berani nabok Guanlin kalau bukan Jihoon? Guanlin membuka kaca helmnya, lalu berbalik. Menatap Jihoon dengan bingung.
"Apaan sih, ndut?"
"Ndat, ndut, ndat, ndut! Gue nggak gendut!!!" ㅡ Jihoon dengan segala kemisuh-misuhannya, sambil membuka paksa helm yang dipakai Guanlin.
Guanlin meringis lagi saat Jihoon membuka helmnya dengan ganas. Jihoon sendiri udah ngelepas helmnya lebih awal. Jihoon mencondongkan tubuhnya ke depan, melewati Guanlin, cuma untuk menyantolkan kedua helm yang dipegangnya pada kedua stank motor Guanlin. Membuat Guanlin cuma bisa nelen ludah, karena bulak-balik Jihoon mencondongkan tubuhnya ke kanan dan kiri, seolah jarak itu nggak ada artinya bagi mereka berdua.
Jihoon kembali pada posisinya, sedangkan Guanlin sama sekali belum beranjak dari posisinya; berbalik setengah badan ke arah Jihoon.
"Kok lo malah bawa gue kesini, sih?" tanya Jihoon.
Guanlin menghela nafasnya, lalu mencabut kunci motornya, dan menurunkan standar motornya.
"Turun, ndut."
"Nggak ih, lo belom jawab pertanyaan gue!" balas Jihoon.
"Turun dulu, jelasinnya abis lo makan es krim vanilla cheese kesukaan lo aja."
Mendengar ada kata-kata vanilla cheese, Jihoon langsung beranjak turun dari si Michaelㅡ nama motornya Guanlin. Melihat kelakuan Jihoon yang langsung kayak anak kecil setiap dikasih sesuatu yang dia suka, bikin Guanlin jadi gemes sendiri.
Masalahnya adalah, cara Guanlin menyalurkan kegemasannya itu yang nggak sehat. Sehat sih buat Guanlin, tapi nggak sehat buat Jihoon. Soalnya Guanlin malah nyiumin pipi kanan dan pipi kiri Jihoon berkali-kali saking gemesnya.
Malu, parah. Mereka diliatin sama banyak orang tapi Guanlin seolah nggak perduli. Cara satu-satunya buat menghentikan Guanlin adalah...
Yaelah, gue dijambak lagi. ㅡ Lai Guanlin, korban aksi jambak menjambak yang dilakukan Park Jihoon.
Dengan senang hati Jihoon menarik rambut berantakan Guanlin. Guanlin sendiri cuma bisa meringis, sambil tangannya berusaha untuk ngelepas cengkraman Jihoon.
Ngeliat Guanlin yang mulai kesakitan, Jihoon pun menghentikan aksi jambak menjambaknya yang super liar itu. Tanpa sadar, Jihoon tersenyum kecil. Guanlin manyun didepannya. Lucu banget. Sambil usap-usap puncak kepalanya.
Dengan lembut pun, Jihoon menarik tangan Guanlin, dan menggantikannya dengan tangannya sendiri untuk mengusap puncak kepala Guanlin.
Kali ini Jihoon nggak nanya, sakit atau nggak. Karena Jihoon tau jawabannya. Hehe. Yaudah, sebagai permintaan maaf Jihoon pun terus mengusap puncak kepala Guanlin dengan penuh perhatian.
Bibir Guanlin nggak manyun lagi, sekarang udah berganti dengan seuntai senyum kecil tapi manis. Setelah merasa udah nggak terlalu sakit, Guanlin meraih tangan Jihoon lalu menggenggamnya, dan membawa Jihoon ke dalam kedai es krim favorit mereka berdua.
"Jadi, apa tujuan lo bawa gue kesini?" tanya Jihoon, sambil menjilat sisa-sisa es krim di sendoknya.
Guanlin nggak makan es krim, dia cuma minum kopi aja, sambil nemenin Jihoon makan es krim. Tujuan utamanya emang cuma satu, buat nraktir Jihoon.
Nggak deng, alasannya nggak cuma itu. Tapi ada hal lain yang mau dia omongin sama Jihoon.
"Gue mau minta izin," ucap Guanlin.
Jihoon memincingkan salah satu alisnya, "izin untuk?"
Guanlin membenarkan posisi duduknya, lalu menarik nafas dengan cepat dan menghembuskannya dengan lambat.
"Kalau sewaktu-waktu gue dateng ke rumah lo buat nginep, boleh ya?"
Jengjeng. Permintaan macam apa, nih?
Mencoba stay cool, Jihoon menyandarkan punggungnya di sandaran bangku sofa yang didudukinya.
Jangan lupakan kedua tangannya yang mulai dilipat didepan dada.
"Kalo nggak boleh, gimana?" tanya Jihoon.
Ada perubahan raut di wajah Guanlin. Tujuan Guanlin minta izin buat nginep emang bener-bener merupakan sesuatu yang serius. Kadang, Guanlin suka ngerasa buta arah. Dia nggak tau kemana harus berlindung disaat dia lagi nggak bisa mentolerir bundanya. Seperti apa yang terjadi semalam. Guanlin nggak bisa tidur sama sekali karena mikirin bundanya. Makanya, dia lebih memilih terus terjaga semalaman dan besoknya bisa tidur didekat Jihoon. Bilang aja Guanlin gila, nggak papa. Yang pasti, Guanlin cuma ingin rasa nyamannya buat Jihoon tetap terjaga. Terkadang Guanlin suka ngerasa, kalau Jihoon bisa lindungin dia.
Terlepas dari kenyataan yang Guanlin ketahui, kalau status Jihoon sekarang udah jadi milik orang lain.
Well, Guanlin nggak perduli.
"Gue tidur emperan aja kalau gitu. Dimana kek. Yang penting gue bisa tidur."
Ada yang nggak beres sama jawaban Guanlin. Harusnya, Guanlin bisa aja kan bilang, 'yaudah gue nginep di rumah Daehwi aja kalo gitu.' , 'yaudah gue nginep di rumah Hyungseob aja.' atau di rumah temen-temen dekatnya yang lain. Tapi, Guanlin lebih memilih tidur emperan daripada numpang di rumah temen-temennya.
Something happened to him, pikir Jihoon.
Jihoon menghela nafasnya, lalu tersenyum, "pintu rumah gue terbuka buat lo."
Jawaban Jihoon berhasil membuat Guanlin tersenyum, "thanks, ndut." balas Guanlin yang kemudian kembali meneguk kopinya.
~
Matahari sudah tenggelam, pertanda siang sudah berganti menjadi malam. Guanlin memarkirkan motornya di parkiran kondo Jihoon, lalu membuka helm-nya, dengan senyum yang tak hilang dari wajah tampannya.
Setelah menghabiskan waktu di kedai es krim favorit keduanya, mereka berdua melanjutkan petualangan ke sebuah tempat di daerah Gangnam, yang sedang mengadakan pawai dan festival. Jihoon dan Guanlin menghabiskan waktu untuk menikmati pawai besar-besaran disana, lalu beranjak untuk mencicipi jajanan-jajanan lezat yang dijual di sepanjang jalan.
Guanlin senang. Secara nggak langsung, Jihoon berhasil menyembuhkan luka yang ada dihatinya.
Guanlin memusatkan matanya pada Jihoon yang sedang meletakkan helm yang baru dilepasnya, di stank kiri motor Guanlin. Jihoon merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, lalu mendongak dan bertemu dengan sepasang mata Guanlin.
Guanlin tersenyum, "makasih udah nemenin gue seharian ini ya, ndut." ucap Guanlin.
Jihoon mengangguk sambil tersenyum, "sama-sama, ceking."
"Oh iya, pastiin kalau lo tidur malem ini. Gue nggak mau lo tidur di sekolahan lagi kayak tadi. Kalau lo bolos terus, kan lo bisa rugi. Inget, kita udah mau lulus-lulusan." sambung Jihoon.
Guanlin tertawa kecil, "gue nggak lulus juga nggak ada yang masalahin."
Jihoon melotot, membuat Guanlin semakin tertawa, "gue botakin lo kalau nggak lulus!" gertak Jihoon.
"Gue masih ganteng nggak kalau botak?" tanya Guanlin.
Jihoon memutar bola matanya dengan malas, "au ah!"
Jihoon emang paling bisa deh bikin Guanlin ketawa. Guanlin menghentikan tawanya saat ponsel yang ada di saku jaket kulitnya berdering. Guanlin meraih ponselnya, Jihoon pun ikut melirik antusias pada ponsel Guanlin.
"Bang Sanggyun," sapa Guanlin pada seseorang yang menelponnya. Raut wajah Guanlin menjadi sangat serius, saat menunggu ucapan selanjutnya dari bang Sanggyun.
Setelah beberapa detik berlalu, Guanlin berdecak dan rahangnya tampak mengeras. Jihoon cuma bisa diam sambil terus mengamati Guanlin.
"Guanlin kesana sekarang, bang."
Guanlin melirik Jihoon sebentar, lalu berbalik, sambil menutup mulutnya agar suaranya nggak terlalu terdengar sama Jihoon.
"Tolong tahan bunda sebentar, bang. Secepatnya Guanlin sampai disana." itu adalah kalimat yang Guanlin sembunyikan dari Jihoon. Guanlin mengucapkan kalimat itu sepelan mungkin, agar Jihoon nggak bisa mendengarnya.
Guanlin mengangguk, dan kembali pada posisinya yang semula.
"Makasih, bang." Guanlin pun mengakhiri percakapannya dengan bang Sanggyun. Guanlin kembali memakai helmnya, dan menghidupkan mesin motornya.
"Gue balik, ya." ucap Guanlin.
Jihoon mengangguk, sambil melambaikan tangannya.
"Hati-hati, Lin."
Guanlin mengangguk, lalu menancap gas motornya dengan cepat. Meninggalkan Jihoon yang masih berdiri di parkiran. Nggak lama dari kepergian Guanlin, sebuah mobil memasuki parkiran.
Jihoon bergeser sedikit. Itu mobil Jinyoung.
Nggak lama, Jinyoung keluar dari mobilnya dan melangkah menghampiri Jihoon. Jihoon tersenyum saat Jinyoung melebarkan tangannya, dan berhambur memeluknya. Jihoon membalas pelukan Jinyoung, sambil meletakkan dagunya di bahu kiri Jinyoung, sahabatnya.
"Gimana rapatnya?" tanya Jihoon.
Jinyoung semakin mengeratkan pelukannya, "capek..." jawab Jinyoung.
Jihoon terkekeh, lalu melepas pelukannya. Ia menarik tangan Jinyoung agar masuk ke dalam kondo bersamanya.
"Aku masakin ramen, ya? Kamu belum makan, 'kan?" tanya Jihoon.
Jinyoung mengangguk dengan penuh semangat, "inget, takaran airnya harus pas, jangan kebanyakan kayak pas terakhir kamu bikin ramen." Jinyoung lagi ngasih nasihat atau lagi nyindir, sih?
Jihoon cuma mengangguk sok ngerti aja. Padahal dia emang sebegitunya nggak bisa masak.
"Dan... Jangan lupa masukin bumbunya, selain kebanyakan air, terakhir kamu bikin ramen kamu lupa masukin bumbunya, 'kan?" tanya Jinyoung.
"Bae Jinyoung!!!"
.
.
.
.
Halooo!!!! Ketemu lagi deh hehe. Ini wordsnya 4900+ jadi, semoga memuaskan ya HAHA. Makasih banget buat kalian yang udah mau mampir kesini^^ aku tunggu responya~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro