Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ㅡ (2)

Jinyoung mulai ngerasa gerah. Udah hampir 2 jam Jihoon nggak bisa diajak ngomong. Padahal mereka lagi duduk sebelahan. Beberapa kali Jinyoung coba ngelirik Jihoon, hasilnya akan tetap sama. Mau dari percobaan 1 kek, percobaan 2 kek, atau sampai ke percobaan melirik yang ke berapa juga kayaknya hasilnya akan tetap sama; Jihoon tetap nggak bisa diajak ngomong.

Jinyoung mengalihkan pandangannya pada jam yang menempel didinding ruang tengah. Jam 8 malam, dan sialnya Jinyoung baru inget kalo dia belum masak sama sekali. Tadi sih niatnya mau ngajak Jihoon nyari bahan-bahan makanan buat dimasak malam ini, tapi ngeliat keadaan Jihoon yang lagi murung begitu, jadilah Jinyoung membatalkan niatnya.

Tadi juga, begitu sampai di kondo, Jihoon langsung masuk ke kamarnya, dikunci, tidur. Jinyoung nggak bisa ngelakuin apa-apa, dan memilih untuk memberi waktu untuk Jihoon supaya sahabatnya itu bisa lebih tenang. Jihoon baru bangun 2 jam yang lalu, dan langsung duduk di soffa yang berhadapan langsung dengan televisi sambil bawa-bawa selimutnya.

Nggak, Jihoon nggak tidur lagi, kok. Jihoon cuma duduk disana sambil nutupin tubuhnya pakai selimut sampai ke bahu. Berkali-kali dipanggil sama Jinyoung, jawabannya cuma "hmm". Nggak ada jawaban lain. Biasanya kalau ditanya mau makan apa, pasti langsung cepet jawabnya. Tapi kali ini nggak ngaruh sama sekali buat Jihoon. Bahkan Jinyoung udah nawarin mau masakin makanan kesukaan Jihoon, tapi lagi-lagi jawaban yang keluar dari mulut Jihoon cuma sebuah deheman lembut. Nggak lebih.

Jinyoung nggak bisa ngeliat Jihoon diem kayak gini. Lebih baik Jihoon berisik, banyak gaya, rusuh, daripada harus diem kayak begini.

Jinyoung mendengus, lalu menarik cepat selimut yang dipakai Jihoon. Yang empunya selimut cuma ngelirik si pelaku dengan alis yang terpaut. Oh iya, ada juga kerutan halus didahinya. Menandakan kalau ia bingung. Mau nanya kenapa, tapi lewat kerutan didahi aja, alias tetap nggak mau ngeluarin suara.

"Kamu kok jadi diem-diem gini sih, Hoon?" tanya Jinyoung, bingung.

Jihoon menghela nafasnya pelan, lalu merebut kembali selimutnya yang tadi ditarik Jinyoung. Memakainya lagi secara perlahan, membuat tubuhnya tertutup rapat sampai ke leher.

"Nggak apa-apa, Jin."

Jinyoung melengos lagi, "kamu lupa ya, kalau kamu nggak bisa bohong?"

Jihoon menundukkan kepalanya dengan cepat, membuat kepalanya bertumpu pada kedua lututnya yang ditekuk. Jihoon memeluk kedua kakinya dari balik selimut.

"Aku bingung, Jin." ucap Jihoon dengan suara yang pelan, namun masih dapat Jinyoung dengar dengan jelas.

Jinyoung tersenyum kecil, lalu mengusap lembut puncak kepala Jihoon.

"Soal Guanlin?" tanya Jinyoung, membuat Jihoon mendongak, dan memusatkan tatapan matanya pada Jinyoung yang sedang menatap ke arahnya.

Jihoon memanyunkan bibirnya, matanya seolah siap meneteskan buliran air mata.

"Jihoon, kok malah nangis?"

Dengan cepat Jinyoung menangkup wajah Jihoon. Jari-jemarinya mulai bergerak untuk menyeka air mata yang yang mengaliri wajah Jihoon.

"Aku nggak mau suka lagi sama Guanlin, aku takut." lagi, setetes air mata Jihoon mengalir dari sudut matanya.

Ssshhht, Jinyoung berusaha untuk menenangkan Jihoon dengan cara mengusap lembut kedua pipi Jihoon, sambil terus mengucapkan 'hey, gwaenchana' dengan pelan.

"Tapi aku kangen sama dia. Aku bingung, Jin. Aku harus gimana?"

Jinyoung menarik Jihoon agar masuk ke dalam dekapannya. Jinyoung memang bukan pemeluk yang handal, dan dekapannya juga tidak terlalu nyaman, namun setidaknya Jinyoung ingin menyalurkan ketenangan pada Jihoon saat ini. Dan, hanya sebuah pelukan dengan hentakan tepukan halus dibahu Jihoon, yang bisa ia berikan.

Jinyoung belum membalas ucapan Jihoon. Tangannya masih menepuk lembut bahu Jihoon, masih berusaha untuk memberikan waktu bagi Jihoon untuk menumpahkan seluruh beban yang membekap didadanya. Sampai akhirnya pelukan mereka terlepas. Jihoon mengusap wajahnya dengan kasar, lalu tertawa.

"Kenapa gue jadi cengeng begini, sih!"

Jinyoung tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusap poni berantakan Jihoon.

"Gapapa, Hoon. Daripada kamu pendem sendirian, kasian kamu nantinya. Sekarang udah lebih tenang?" tanya Jinyoung.

Jihoon mengangguk, "sedikit." sambil menarik lagi selimutnya, kembali menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Makan dulu, ya? Biar sekarang aku masak, terus kita makan, habis itu kamu bisa cerita lagi. Perut kamu harus diisi, ini udah malam." ucap Jinyoung, yang kemudian beranjak berdiri dan bersiap untuk melangkah menuju dapur. Belum sempat memijakkan langkah pertama, sentuhan lembut di pergelangan tangannya membuat Jinyoung berhenti. Jinyoung menoleh pada Jihoon. Mata mereka kembali bertemu.

"Sekalian bikinin aku susu, ya?"

Jinyoung terkekeh, lalu mengacak gemas rambut berantakan Jihoon.

"Iya, gendut."

Gendut. Satu-satunya yang bisa manggil Jihoon 'Gendut' ya cuma Guanlin. Ah, itu dulu. Harus dilupain. Lagian, sebenernya Jihoon sadar kok kalo badan dia emang gendut. Jadi kalo ada orang yang manggil dia 'Gendut' ya wajar aja. Dan orang itu bisa siapa aja, nggak harus Guanlin.

Jinyoung udah sibuk di dapur. Sedangkan Jihoon masih duduk dibalik selimutnya, dengan bibir yang ditekuk, Jihoon kembali menunduk dan menenggelamkan wajahnya ditekukan kedua kakinya.

OoO

Jihoon menggeser piringnya yang sudah kosong. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku, lalu tersenyum pada Jinyoung sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Jinyoung yang melihat Jihoon sudah bisa tersenyum lagi langsung membalas senyuman itu. Jinyoung mengangguk, lalu ikut bersandar pada bangku yang didudukinya.

"Kenyang... Enak!!! Makasih ya, Jin." ucap Jihoon, lagi-lagi sambil mengacungkan ibu jarinya.

Jinyoung kalau udah urusan masak-memasak mah nggak usah ditanya lagi. Emang udah keahliannya untuk masak makanan-makanan enak. Nah, kalau yang kayak begini kasusnya nggak bikin Jihoon bingung kenapa bisa sahabatan sama Jinyoung. Intinya, Jihoon butuh banget sahabat kayak Bae Jinyoung. Apalagi kalau ada sangkutannya sama makanan enak. Hehehe.

Jinyoung berdehem, "jadi gimana?" tanyanya.

Jihoon hanya bisa memanyunkan bibirnya, sambil jari-jarinya diketuk diatas meja, menciptakan sebuah alunan yang nggak jelas ketukannya.

"Menurut kamu aku harus gimana?" Jihoon malah balik nanya.

Jinyoung melipat kedua tangannya didepan dada, "kalau aku saranin kamu untuk jauhin dia lagi, kamu mau?" tanya Jinyoung.

Jihoon mengangkat kedua bahunya dengan cepat, "kayaknya nggak mempan, deh. Kamu 'kan tau sendiri, aku bahkan udah jauhin dia sejak hari itu, dan udah dua bulan ini juga kita jaga jarak, nggak ketemu, nggak ngobrol, tapi kamu tadi liat sendiri kalau dia masih berani nemuin aku."

Jawaban Jihoon ada benernya juga. Padahal udah 2 bulan ini, baik Jihoon maupun Guanlin udah sama-sama saling menjauh. Tapi pada akhirnya, ya Guanlin tetap aja berani untuk ketemu sama Jihoon.

Jinyoung memoleskan dagunya dengan telunjuk, ya gaya-gaya orang pintar lagi mikir. Gitu.

Jinyoung kembali melirik Jihoon, "tapi, Hoon. Aku ada satu pertanyaan dulu buat kamu. Ya, aku rasa jawaban kamu ini bisa bantu kita untuk nyari jalan keluarnya." , "Gimana?"

"Apa, Jin? Tanya aja."

"Kamu masih sayang sama Guanlin?"

OoO

Woojin alay:

Lay, masih marah sama gue?
P
P
P
PING!!!
Alay!
Ih, maafin gue sih.
Jihoon!

Berisik

Woojin alay:

hehe dibales juga
maafin gue, ya?
besok gue beliin es krim deh
mau kan?
mau dong

(Read by Park Jihoon)

Woojin alay:

yaelah kok diread doang lagi sih
Lay
Ji
Hoon
Ji + Hoon jadinya jihoon
hehehe
lucu nggak?

Mau mati lu ya

Woojin alay:

yaudah iya, maaf
btw tadi udah ketemu sama Jinyoung?
gue ketemu sama dia, terus dia nanya lo dimana
yaudah gue bilang aja lo lagi sama Guanlin
terus terus, gimana, Hoon?
cerita kali

Lo beneran mau mati ya?
LO NGELIAT GUANLIN NGIKUTIN GUE KENAPA NGGAK LO TAHAN?
Beneran ini mah
Lo mau mati

Woojin alay:

Kok lo ngegas sih, Hoon?
Males ah

(Read by Park Jihoon)

Woojin alay:

(send a voice message)

Lo nggak ngerti, Jin.

(send a voice message)

Woojin alay:

hah?!!
serius dia bilang kangen sama lo?

....

Woojin alay:

Terus tadi berarti Jinyoung ketemu sama Guanlin dong?

(send a voice message)

Woojin alay:

GILA
Jinyoung nyaranin itu?
terus jawaban lo apa?

Gue setuju buat pacaran pura-pura sama dia.
Kata Jinyoung, ini jalan terbaik.
Karna dengan ngejauhin Guanlin tuh percuma, buktinya tadi dia masih berani untuk nemuin gue.

Woojin alay:

tapi tadi lo bilang kalo lo masih sayang sama Guanlin
gimana sih
sekarang malah nge iya-in saran gilanya Jinyoung

Gue capek, Jin.
Gue harus mastiin sendiri kalo Guanlin emang nggak serius ngedeketin gue lagi.
Gue nggak mau kejadian yang sebelumnya keulang.
Gue harus mastiin dengan mata kepala gue sendiri.
Kalo dia beneran nyerah buat mainin gue.
Dengan begitu gue juga bisa nyerah.

Woojin alay:

kok lo jadi mellow banget sih
nggak kayak Jihoon yang gue kenal
nggak asik lo

:)

Woojin alay:

tapi kalo ternyata Guanlin emang beneran ngedeketin lo karna dia mulai sadar sama perasaannya gimana?
ya, anggap aja Guanlin udah berubah.
semua orang bisa berubah, Hoon.

Dari awal dia nggak suka sama gue, Jin.
Lo inget kan segimana lebar senyumnya dia waktu dia nolak gue didepan temen-temen sekelasnya?

Woojin alay:

:(
lo sih nggak mau pacaran sama gue aja
atau sama Jinyoung
kan lo nggak bakalan sesedih ini

Lo beneran mau mati apa gimana sih

(Read by Woojin alay)

"Kurang ajar emang ini anak satu." Jihoon melempar ponselnya ke sisi ranjang. Ia menggigit kecil bibir bawahnya, sambil terus berpikir apakah dengan menyetujui saran Jinyoung adalah pilihan terbaik atau justru sebaliknya. Lagi pula, ada benarnya juga ucapan Woojin tadi. Bisa aja Guanlin udah berubah.

:(

Jihoon jadi tambah bingung. Yang ada dipikirannya saat ini adalah; Guanlin beneran udah berubah dan beneran mau ngedeketin dia lagi atau gimana. Kalau Guanlin serius udah berubah, Jihoon jadi nyesel udah setuju sama saran gilanya Jinyoung. Tapi kalau ternyata Guanlin emang belum berubah, ya berarti Jihoon emang nggak salah udah setuju sama saran gilanya Jinyoung.

Sekarang masalahnya ada di Guanlin.

"Dia tetep salah, Hoon. Nggak seharusnya dia muncul lagi di hadapan kamu. Kamu udah susah-susah berusaha untuk ngelupain dia, terus sekarang dia seenaknya muncul di depan kamu dan bilang kalau dia kangen sama kamu? Dan bikin hati kamu ngedrop lagi? Terus buat apa semua usaha kamu dua bulan ini? Pergi kemana hasilnya?"


Kata-kata Jinyoung di meja makan tadi kembali berputar di otaknya. Kalimat itu seolah memberikan peringatan keras pada Jihoon. Gimana juga, ucapan Jinyoung benar. Udah 2 bulan ini Jihoon berusaha untuk ngelupain Guanlin, ngehindarin Guanlin, ngehapus semua kontak Guanlin yang membuat mereka benar-benar lost contact. Jihoon udah berusaha untuk ngehapus perasaannya buat Guanlin. Dan itu semua nggak mudah. Bahkan dalam kurun waktu 2 bulan itu, udah nggak kehitung lagi berapa kali Jihoon nangis. Dan sekarang, disaat Jihoon udah ngerasa berhasil atas semua usahanya, Guanlin dengan seenaknya datang lagi? Dan ngehancurin semua usaha Jihoon selama ini?

Nggak. Jihoon udah bertekad untuk nggak akan lagi jatuh ke lubang dan perkara yang sama. Secara nggak langsung, kejadian memalukan yang nggak pernah Jihoon lupain dalam hidupnya itu, udah ngajarin Jihoon gimana caranya untuk bangun dan berubah. Jihoon memang masih sayang sama Guanlin, tapi Jihoon yang sekarang bukanlah Jihoon yang sama dengan Jihoon 2 bulan yang lalu.

Jadi, menyetujui saran Jinyoung adalah keputusan terbaik bagi Jihoon.

Untuk pacaran pura-pura sama Jinyoung.

Dengan begitu, Jihoon bisa ngelepas Guanlin pelan-pelan.

Melepas Guanlin untuk yang kedua kali dalam hidupnya.

Jihoon mengusap wajahnya dengan kasar. Tangannya meraba sisi ranjang untuk mencari ponsel yang beberapa menit lalu ia lempar. Ponsel itu sekarang berdering, menandakan ada chat yang masuk.

Jihoon membuka kunci layar ponselnya, lalu tertegun.

Seingatnya, semua kontak Guanlin sudah ia hapus dari ponselnya. Nyatanya sekarang ada seseorang yang mengirim line ke dia dengan foto profil berwujud Guanlin. Guanlin? GUANLIN?!

Jihoon menelan salivanya dengan susah payah, lalu mengetukkan ujung jarinya pada layar ponsel. Isi line dari Guanlin terbuka. Jihoon terdiam.

(Lai Guanlin):

Besok gue jemput

Jihoon memejamkan matanya. Genggaman pada ponsel yang dipegangnya mengencang. Jihoon mengambil nafas dalam-dalam. Lalu mulai menggerakkan jarinya untuk mengetikkan sebuah balasan.

Siapa ya?

Ya namanya juga sebenernya udah nggak punya kontak Guanlin lagi, jadi harus pura-pura nggak kenal aja (padahal tau kalau itu kontak line nya Guanlin). Biar bisa bikin kesan untuk Guanlin, kalau Jihoon beneran udah masa bodo sama dia.

Ada balasan masuk.

Your ceking, ndut.

Oh, gitu. Yaudah, Jihoon langsung membalas line Guanlin dengan lancar. Alias mencoba untuk lancar.

Nggak usah. Gue berangkat sama Baejin.

Nggak sampai satu menit, langsung ada balasan lagi. Jihoon melirik sebentar jam yang ada di meja samping ranjangnya. Udah jam sebelas malam lebih empat puluh lima menit. Udah hampir tengah malam. Guanlin masih bisa ngeline jam segini? Mana fast respons banget? Kalah online shop.

Jihoon membuka line dari Guanlin yang baru masuk lagi itu,

Yaudah kalo gitu pulangnya gue antar

APAAN SIH!!!

KENAPA!!!

Jihoon pun nggak ngasih balasan apapun lagi. Jihoon langsung mematikan ponselnya, dan meletakkan ponselnya itu diatas meja kecil yang ada disamping ranjangnya. Jihoon menutup seluruh bagian tubuhnya dengan selimut. Ia memejam dibalik selimut tebalnya. Mencoba untuk tidur, dan berharap kalau semua yang terjadi hari ini tuh cuma mimpi.

Tanpa Jihoon sadari, 'read by Park Jihoon' itu dianggap 'iya' sama Guanlin. Alias menurut Guanlin, Jihoon setuju aja dan nggak nolak untuk diantar pulang besok.

OoO

Pagi ini adalah pagi yang sangat berbeda dari biasanya. Itu menurut Jihoon, sih. Padahal mah sama aja kayak pagi-pagi sebelumnya. Berangkat sama Jinyoung, dan sampai sekolah suasana masih sepi. Iya, orang baru jam setengah 7. Kebiasaan anak muda jaman sekarang kan berangkat ke sekolah mepet sama jam masuk, pas sampe sekolah lari-larian biar nggak kalah sama dorongan pagar sekolah.

Tapi ada satu hal yang membedakan pagi ini dengan pagi-pagi biasanya. Jihoon melirik pelan tangannya yang terpaut dengan tangan Jinyoung. Sebelumnya Jihoon nggak pernah menyadari hal ini; bahwa tangannya itu pas berada didalam genggaman Jinyoung.

Tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata, Jihoon dan Jinyoung langsung melangkah melewati koridor sekolah. Untunglah sekolah masih sepi, jadi nggak terlalu banyak anak-anak yang ngeliat Jihoon dan Jinyoung lagi gandengan. Rasanya mau lari aja, Jihoon ngerasa malu banget sekarang.

Meskipun sekolah masih sepi, tapi ada beberapa anak yang udah berkeliaran di koridor sekolah dan langsung berhenti begitu mereka melihat Jihoon dan Jinyoung bergandengan. Salah satu yang berhenti didepan mereka adalah Hyungseob, teman sekelasnya Guanlin.

Hyungseob memincingkan alisnya saat melihat Jihoon tertunduk malu dan Jinyoung justru terlihat bangga. Hyungseob melipat kedua tangannya didepan dada.

"Kalian pacaran?" tanya Hyungseob, yang sebenarnya sih terlalu to the point.

Jinyoung mengeratkan genggamannya, lalu mengangguk. Oh, jangan lupakan senyum manis diwajahnya yang membuat ujung matanya sedikit tertarik.

"Lo pasti mau ucapin selamat, kan? Iya, makasih ya, Seob." balas Jinyoung dengan penuh percaya diri.

"...ya, selamat Jin, Hoon."

Ya, Hyungseob cuma bisa manggut-manggut aja. Nggak ngerti. Kok Jihoon sama Jinyoung bisa pacaran? Padahal kemaren, si Guanlin semangat banget ngomongin strategi biar bisa deketin Jihoon lagi sama anak-anak di kelas. Btw, kok Woojin nggak ada cerita apa-apa soal Jihoon sama Jinyoung?

Jihoon mengangkat kepalanya, langsung mengarahkan tatapannya pada Hyungseob yang masih kelihatan bingung di tempatnya.

Jihoon tersenyum kecil, "makasih ya, Seob."

Lagi, Hyungseob mengangguk. Tapi Hyungseob masih bingung. Kalau Jihoon pacaran sama Jinyoung, terus Guanlin gimana?

Hyungseob menggaruk tengkuknya, "gue pikir, lo bakal balikan sama Guanlin?" tanya Hyungseob. Nggak tau ini emang niat nanya atau justru keceplosan.

Jihoon tersenyum dengan canggung, "pacaran sama Guanlin aja nggak pernah, Seob." jawab Jihoon.

Padahal ya, menurut Hyungseob, dulu tuh Jihoon sama Guanlin deket banget. Banget banget banget. Udah kayak orang pacaran, ya walaupun sering banget berantem, tapi ujungnya tuh tetap aja lucu karena mereka berdua pasti bakal baikan dan bertingkah seolah mereka tuh nggak pernah berantem. Tapi, ya namanya takdir siapa juga yang tau.

Hyungseob kembali mengangguk, lalu menepuk bahu Jihoon dan bahu Jinyoung bergantian. Dengan senyum manis yang terukir dibibirnya, Hyungseob mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Sekali lagi selamat, Jin, Hoon. Awet-awet ya!!"

Jinyoung dan Jihoon hanya tertawa canggung sambil menatap Hyungseob yang semakin jauh dari pandangan mereka. Jinyoung menoleh menatap Jihoon, lalu tersenyum. Dan Jihoon pun hanya bisa membalas senyum manis Jinyoung dengan senyumnya yang tak kalah manis.

Mereka berdua berbalik dan kembali berhenti. Orang lain kini berdiri tepat didepan mereka dengan tatapan datar yang amat sangat tidak bersahabat. Orang itu menurunkan pandangannya pada kedua telapak tangan yang saling menempel, juga jangan lupakan jari-jari mereka yang saling bertaut. Orang itu mengangkat salah satu alisnya, kembali menaikkan pandangan matanya pada Jihoon dan Jinyoung.

Tidak ada yang mengucapkan kata-kata diantara mereka bertiga. Jihoon tampak menunduk, menghindari kontak mata dengan Guanlin, orang yang sedang berdiri didepannya. Jinyoung menatap Guanlin dengan tatapan tak suka. Sedangkan Guanlin sendiri, ia memusatkan matanya pada Jihoon yang sedang menunduk.

Guanlin melipat kedua tangannya didepan dada. Tidak ada suara yang menyelip diantara kebisuan mereka bertiga.

Jinyoung berdehem, membuat Jihoon mengangkat kepalanya dan tak sengaja membuat matanya terangkat dan bertemu dengan tatapan datar Guanlin.

Deheman berat Jinyoung sama sekali nggak ada ngaruhnya buat Guanlin. Guanlin masih tetap aja menatap datar dan lurus pada Jihoon. Akhirnya, Jinyoung mengangkat tangannya dan tangan Jihoon yang saling bertaut, memamerkannya tepat didepan Guanlin. Guanlin melirik tangan-tangan yang seharusnya nggak pernah bersentuhan itu. Tanpa memberikan respon apapun, Guanlin melangkah meninggalkan keduanya.

Jinyoung melepas genggamannya pada tangan Jihoon. Ia menyentuh kedua bahu Jihoon, membuat Jihoon semakin menunduk.

"Liat aku, Hoon."

Dengan pelan, Jihoon mengangkat kepalanya. Buliran air tampak menggenang di pelupuk matanya. Namun, Jihoon tetap berusaha untuk nggak nangis didepan Jinyoung. Tatapan datar Guanlin bener-bener nggak bisa hilang dari ingatannya.

Jinyoung tersenyum, berusaha untuk memberi ketenangan untuk Jihoon. Jinyoung mengusap lembut puncak kepala Jihoon, "kamu hebat. Ini awal yang baik." ucap Jinyoung.

Jihoon hanya bisa tersenyum kecil, lalu membiarkan Jinyoung merangkul bahunya dan mereka berdua melangkah berdampingan menuju kelas.

OoO

Ini udah jam istirahat ke-2. Jihoon duduk di bangku taman yang kemarin ia duduki bersama Guanlin, sebelum Jinyoung datang dan merubah segalanya. Jihoon memasang headset dikedua telinganya. Tangannya bergerak pelan diatas layar ponselnya, mencari lagu yang bagus untuk ia dengar sekarang. Saat sudah menemukan lagu yang pas, Jihoon mengunci layar ponselnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku seragamnya. Jihoon memejam, membiarkan angin terhempas disekujur kulitnya, sambil menikmati alunan dari lagu yang sedang ia dengarkan.

LAGUNYA BELOM SAMPAI 20 DETIK KEPUTAR, UDAH BERHENTI.

Jihoon membuka matanya dan nyaris terlonjak saat mendapati Guanlin berdiri diantara kedua kakinya, dan jangan lupakan tampang seriusnya yang tertuju pada layar ponsel yang keliatan dari bentuk dan casing-nya nggak asing bagi Jihoon. Jihoon mendengus kesal saat sadar bahwa ponsel yang dipegang Guanlin adalah ponselnya, dan berusaha untuk merebutnya kembali tapi ya yang namanya Guanlin mana mau sih ngalah sama Jihoon.

"Kontak gue jangan dihapus lagi ya, ndut." ucap Guanlin, sambil meletakkan kembali ponsel Jihoon ke dalam saku seragamnya.

Jihoon memutar bola matanya dengan malas, kelakuan Guanlin tuh selalu aja bikin dia kesel. Dan deg-degan pada waktu yang bersamaan.

Guanlin membungkukkan tubuhnya, mensejajarkan kepalanya dengan kepala Jihoon. Jihoon hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah dan berusaha untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain tapi tetap aja baliknya ya ke mata Guanlin lagi mata Guanlin lagi.

Guanlin mengambil sesuatu dari tangannya yang satu, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Jihoon tuh nggak sadar, kalau pas Guanlin datang ternyata anak itu lagi makan sesuatu. Dan sekarang salah satu dari makanan yang dibawa Guanlin ada dimulutnya. Nggak semua masuk di dalam mulutnya, sih. Karna Guanlin cuma memasukkan setengah dari sosis bakar yang dibawanya, dan membiarkan ujung sosis bakar yang lain menempel diantara bibir atas dan bibir bawah Jihoon. Mata Jihoon melebar saat sadar kalau posisi wajah mereka tuh deket banget. Parah parah. Parah banget emang.

Jihoon cuma bisa diam, sedangkan Guanlin terus berusaha menggerakkan sosis dimulutnya pada mulut Jihoon agar Jihoon mau membuka mulutnya. Karena detak jantung Jihoon laju detaknya semakin nggak karuan, ya dan karena emang lagi lapar juga sih, jadi akhirnya Jihoon pun membuka mulutnya dan membiarkan setengah dari sosis yang berasal dari mulut Guanlin masuk ke dalam mulutnya. Jihoon memejam. Nggak kuat, parah! Guanlin sengaja ngerjain dia apa gimana sih!!!

Tanpa disadari Jihoon, Guanlin mengukir senyum tipis dibibirnya. Lalu, Guanlin mulai mengunyah sosis yang ia bagi berdua dengan Jihoon itu sampai jarak yang tersisa diantara keduanya semakin menipis. Jihoon yang nggak tau harus ngapain pun cuma bisa ikut-ikutan mengunyah sosis itu. Ya, udah dibilangin kan lagi lapar. Dan itu justru semakin mengikis jarak diantara wajah kedua orang ini.

Kalau ada orang lain yang berdiri di belakang atau di depan atau di samping mereka, kayaknya mah mereka udah keliatan kayak lagi hmm, ya gitu.

Guanlin melepas gigitannya saat ukuran sosis itu semakin kecil, dan membuat Jihoon membuka pejaman matanya. Guanlin terkekeh, lalu mencubit kedua pipi berisi milik Jihoon.

"Laper ya, ndut? Udah abisin aja." ucap Guanlin.

Dengan tatapan polosnya, Jihoon pun langsung melahap sisa sosis dimulutnya dengan cepat. Jihoon rasanya mau lari aja. Pasti deh ini wajahnya udah merah kayak kepiting rebus. Dasar Lai Guanlin gila!

Guanlin tersenyum saat melihat Jihoon menunduk dengan semburat merah yang memenuhi pipi berisinya. Guanlin menepuk lembut puncak kepala Jihoon.

"Nanti pulangnya gue antar ya, ndut. Bye."

Dan setelah itu, Guanlin pergi meninggalkan Jihoon yang jantungnya udah berdegub nggak karuan. Jihoon mengipas-ngipas wajahnya yang tampak memanas. Guanlin tuh ya!!!

OoO

HAI GUYS KETEMU LAGI SAMA AKU HEHEHEHE. btw huhu makasih banyak ya responnya bikin aku jadi semangat buat lanjutin fiksi ini:))) makasih juga udah sayang sama guanhoon/panwink. Semoga panwink semakin berlayar ya ehe. Semoga kalian juga makin betah buat baca cerita ini, pokoknya aku selalu nunggu respon-respon dari kalian semua:-)))) oh iya, maaf ya kalo banyak banget kesalahan dalam penulisan hehe.

_hoonxian_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro