Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ㅡ (17) END

no matter how far you will go, he will keep standing there just to wait for you. Please smile, says 'hi' to him who has fallen, but not afraid to get back on his feet, to give you a hand, in order he is about to hold you tightly.

ㅡ (Mäuschen, 2017)

Hari ini adalah hari terakhir bagi anak-anak kelas 12 untuk berkutat dengan 100 butir soal pilihan berganda yang harus dikerjain dengan pensil berstandar khusus yang nantinya akan dibaca menggunakan sistem scan. Nggak, bukan, ini bukan ujian kelulusan. Ini adalah hari terakhir bagi anak-anak kelas 12, setelah berjuang selama 3 hari penuh untuk menjalani try out (ke-3), atau lebih tepatnya ujian-ujian latihan sebelum mereka nantinya akan menghadapi ujian kelulusan 2 minggu lagi.

Cepet banget, ya?

Iya, dan secepat itu pula Jihoon dan Guanlin berubah jadi orang yang seolah nggak saling mengenal satu sama lain.

Guanlin nggak main-main sama ucapan kecilnya yang waktu itu keluar begitu aja dari mulutnya dengan diselingi buliran air mata, saat ia berbalik dan meninggalkan satu-satunya tempat yang pernah melukis kenangan indah dalam hidupnya. Saat itu, Jihoon menyuruhnya pergi dan meminta dia untuk berhenti. Berhenti ikut campur dengan semua urusan Jihoon, berhenti untuk masuk ke dalam kehidupan Jihoon, dan itu artinya, Guanlin juga harus berhenti untuk mencintai Jihoon.

Guanlin udah berusaha banget untuk memenuhi itu semua. Kecuali yang terakhir, berhenti untuk mencintai Jihoon, adalah satu-satunya hal yang nggak bisa Guanlin lakukan. Guanlin, dia emang nggak bisa berhenti mencintai Jihoon begitu aja, tapi setidaknya, dia nggak maksa. Guanlin tetap membiarkan rasa sayangnya untuk Jihoon terus bertumbuh, semakin hari semakin besar, walau harus secara diam-diam.

Guanlin juga udah berhenti untuk menampakkan dirinya di depan Jihoon. Awalnya susah, susah banget, dan Guanlin sempat ngerasa kalau dia bener-bener nggak bisa. Dia butuh Jihoon, dia butuh untuk bisa ngeliat satu garis aja senyum milik Jihoon, dan itu rasanya sakit, banget. Karena Guanlin nggak bisa dapatin itu semua.

Dan lagi, Guanlin butuh untuk minta maaf sama Jihoon. Atas semua kesalahan yang udah dia perbuat, atas luka yang udah dia ukir, dan atas tetes demi tetes air mata Jihoon yang pernah mengalir cuma karena dia. Hm, sayang, meminta maaf adalah salah satu hal yang belum bisa Guanlin lakukan dalam jangka waktu satu setengah bulan ini.

Ya, satu setengah bulan sudah berlalu sejak terakhir kali Guanlin melihat langsung air mata mengalir dari sepasang mata cantik milik Jihoon. Satu setengah bulan sudah berlalu, sejak terakhir kali Guanlin mengecup puncak kepala Jihoon, dan satu setengah bulan sudah berlalu sejak mereka memilih untuk mengakhiri semuanya.

Keadaan seolah kembali pada masa-masa dimana Jihoon memilih untuk menjauhi Guanlinㅡ setelah peristiwa penolakan itu. Sebisa mungkin, Jihoon menjaga jarak dari Guanlin sejauh yang ia bisa. Lebih dari satu kali, atau dua kali, atau bahkan tiga kali, mereka nggak sengaja pas-pasan. Entah itu di koridor, di tangga, atau pun di kafetaria, dan mereka tetap sama. Sama-sama menghindari kontak mata, dan memilih untuk untuk bersikap lo ya lo, gue ya gue.

"Waktu pengerjaan sudah selesai. Letakkan kertas soal dan lembar jawaban kalian di atas meja, seluruh alat tulis bisa dimasukkan ke dalam tas, dan silahkan meninggalkan ruang ujian." itu suara pak Jisung, yang sekarang lagi merapikan kemejanya biru mudanya, lalu mulai beranjak meninggalkan bangku yang udah lebih dari 2 jam ia duduki.

Semua peserta ujian, termasuk Guanlin, mulai merapikan alat tulis mereka, dan mulai berhambur meninggalkan ruang kelas yang mereka pakai sebagai ruang ujian. Guanlin baru aja mau tos-tosan sebagai tanda kebebasan sama Daehwi dan juga Hyungseob yang udah nungguin dia di depan pintu kelas, tapi deringan ponselnya harus membuat Guanlin melambaikan tangannya pada kedua sahabatnya itu, "bentar ya," ujar Guanlin, yang dibalas dengan anggukan maklum dari Daehwi dan Hyungseob.

Guanlin melangkah menuju salah satu tembok penyangga yang ada di depan kelas dan menyandarkan tubuh jangkungnya disana, lalu jarinya bergerak untuk menggeser tanda hijau yang tertera di layar ponselnya.

"Halo, ayah?"

Guanlin menggigit kecil bibir bawahnya, sambil melirik jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Guanlin mengangguk, "iya, sekitar dua puluh menit lagi Guanlin sampai kantor. Guanlin harus pulang dulu, ganti baju. Masa iya, Guanlin meeting pakai seragam sekolah." balas Guanlin yang dibalas dengan kekehan renyah sang ayah.

Guanlin kembali mengangguk kecil setelah mendengar ucapan Dongho di seberang sana, lalu ia memutuskan sambungan telepon tersebut.
Guanlin berbalik dan melangkah menghampiri Daehwi dan Hyungseob, lalu tersenyum sambil menepuk akrab bahu kedua sahabatnya secara bergantian.

"Lo jadi ikut kita kan, Lin?" tanya Daehwi, yang perasaannya mulai nggak enak setelah ngeliat raut wajah Guanlin yang mendadak berubah begitu selesai telponan sama orang yang Daehwi nggak tau itu siapa.

Guanlin menghela nafasnya pelan, "barusan bokap gue nelfon,"

Mendengar kata 'bokap', Daehwi dan Hyungseob langsung mendengus. Udah hapal banget deh mereka tuh, kalau Guanlin udah nyebut-nyebut 'bokap' artinya Guanlin ada urusan sama kerjaan. Dan itu artinya, mereka gagal lagi buat main ke timezone kali ini.

Hyungseob melipat kedua tangannya di depan dada, "sibuk banget sih orang kantor. Kita udah jarang banget main bareng loh sekarang." ucap Hyungseob, yang jujur aja, dia mulai bete karena mereka bertiga bener-bener udah nggak punya banyak waktu buat main bareng lagi. Sebagai anak kelas 12, waktu mereka udah keambil banyak buat belajar, kelas tambahan, dan juga ujian-ujian latihan. Apalagi Guanlin. Sejak sebulan yang lalu, Guanlin dapat amanat dari sang ayah untuk kerja di perusahaannya. Kenapa? Dongho nggak bisa ngeliat anaknya mendadak berubah jadi Guanlin yang bukan kayak Guanlin. Contohnya, Guanlin jarang pulang ke rumah, dan lebih sering nginep di apartemen Chungha. Bahkan beberapa kali Dongho dapat laporan dari Chungha, kalau Guanlin suka susah diajak makan, Guanlin susah disuruh keluar dari kamar, dan bahkan wajah Guanlin sering babak belur.

Dongho udah nanya ke Guanlin, kenapa Guanlin mendadak jadi aneh begini? Kenapa Guanlin mendadak jadi sering banyak luka-luka kayak begini? Dan jawaban Guanlin cuma, 'nggak papa, yah. Namanya juga anak cowok.' dan Dongho nggak bisa langsung percaya begitu aja. Dongho juga udah minta tolong ke Chungha, biar Chungha bisa ngobrol langsung sama adiknya itu. Tapi sayang, Guanlin bener-bener mendadak berubah jadi orang yang tertutup. Sebelumnya, Guanlin masih mau cerita sama Chungha, bahkan Guanlin juga nggak segan untuk nangis di depan Chungha untuk melampiaskan seluruh perasaan yang tertahan di hatinya. Tapi, tepat saat hari itu, hari dimana Jihoon meminta Guanlin untuk berhenti, Guanlin langsung berubah.

Akhirnya, Dongho minta beberapa anak buahnya untuk mencari tahu, sebenernya kemana tujuan Guanlin setiap pulang sekolah, sampai-sampai anaknya itu bisa dapat luka baru entah itu di wajah, leher, bahu, ataupun tangan. Dan hasil yang dikasih sama anak buahnya, cukup bikin Dongho kaget.

Hampir setiap hari, setiap pulang sekolah, Guanlin pergi ke salah satu blok yang nggak jauh dari sekolah untuk balapan liar. Dan nggak jarang juga, Guanlin terlibat aksi saling pukul disana, entah itu sama teman seperkumpulannya, atau sama lawan mainnya.

Itu cukup parah. Tapi itu masih kalah parah dibanding sama laporan yang dikasih anak buah Dongho 5 hari setelah Dongho tau kalau Guanlin terlibat balapan liar:

Laporan medis dari rumah sakit, yang menyatakan kalau Guanlin mengalami sedikit patah tulang pada tangan sebelah kirinya, karena jatuh dari motor saat menghindari kejaran polisi yang menggeledah blokㅡ tempat Guanlin biasa mengikuti balapan liar. Nggak cuma patah tulang, banyak luka goresan di sepanjang rahang wajah dan juga pipi Guanlin.

Dongho marah besar saat itu, dia nggak habis pikir, kenapa anaknya mendadak jadi anarkis kayak gitu. Sampai akhirnya, Dongho datang ke apartemen Chungha dan mendapati anak perempuannya itu sedang mengompres ujung bibir Guanlin yang sedikit robek dan mengeluarkan darah.

Iya, Guanlin baru aja mendapat koleksi luka baru di ujung bibirnya. Dongho baru aja mau nambahin koleksi luka-lukanya Guanlin, biar sekalian banyak, biar nggak usah tanggung-tanggung, tapi Chungha menghentikan langkah ayahnya dengan cepat.

Sebagai ayah, Dongho jelas kecewa sama kelakuan anak laki-laki satu-satunya itu. Sampai akhirnya, Dongho kembali bertanya dengan sangat baik-baik, apa alasan dibalik semua kelakuan anarkis Guanlin, dan jawaban Guanlin berhasil membuat Dongho terdiam.

"Guanlin nggak tau harus ke siapa dan harus kayak gimana buat ngelampiasin semuanya, yah. Guanlin sakit, dan Guanlin nggak tau cara untuk nyembuhinnya. Guanlin udah pernah minta kak Chungha untuk bawa Guanlin ke rumah sakit, Guanlin mau nanya sama dokter disana, kenapa hati Guanlin rasanya kayak nangis setiap hari, tapi Guanlin malah ditampar sama kakak. Kak Chungha bilang, semua ini nggak bakal kejadian kalau aja Guanlin nggak jadi pengecut. Guanlin tau ini berlebihan banget, yah. Tapi Guanlin nggak bisa bohong, Guanlin sakit. Guanlin nggak bisa terus-terusan nahan sakit yang bahkan Guanlin nggak bisa sentuh luka itu. Guanlin mau nyari pelampiasan yang lain. Yang bisa bikin Guanlin puas karena Guanlin bisa liat luka itu dengan mata kepala Guanlin sendiri."

Itu jawaban Guanlin, yang dua detik setelahnya Guanlin langsung nunduk dan... menangis.

Akhirnya, Guanlin bersedia untuk nyeritain semuanya ke Dongho dan juga Chungha. Mulai dari Daniel yang dia temuin di club, soal Daniel yang punya perjanjian sama bunda, dan soal Daniel yang kembali mengancam akan menyebarkan aib keluarganya ke seluruh penjuru sekolah, sampai pada perpisahannya dengan Jihoon yang terjadi di taman belakang sekolah.

Dongho menghela nafas maklum, dia bisa ngerti, kenapa Guanlin kayak begitu. Lahir dari keluarga yang nggak utuh, tumbuh besar tanpa kasih sayang yang benar dari sang ibu, jelas menyisakan ruang kosong di dalam diri Guanlin. Walaupun Guanlin punya Dongho sebagai ayah angkatnya, dan Chungha sebagai kakak angkatnya, tapi tetap aja rasanya akan berbeda. Buat Guanlin, bunda adalah tanggung jawabnya. Sepenuhnya. Itu yang membuat Guanlin nggak mau, kalau sampai aib keluarganya menyebar luas. Bukan karena Guanlin malu. Guanlin bahkan nggak malu sama sekali kalau seluruh anak-anak dan guru-guru di sekolah tau kalau dia anak haram. Yang Guanlin khawatirkan adalah keamanan dan kenyamanan bundanya. Guanlin sama sekali nggak takut buat dijadiin korban olokan, tapi Guanlin nggak bisa terima kalau nantinya bunda yang akan diolok-olok. Buat Guanlin, bunda itu segalanya. Guanlin cuma nggak mau bundanya kenapa-napa.

Dan sisi lain, Guanlin harus ngelepas setengah dari hatinya. Demi bunda, dan itu jelas nggak mudah buat Guanlin. Apalagi, Daniel sempat bikin rumor soal Guanlin yang 'straight', yang mana Guanlin tau banget kalau itu pasti sangat bikin Jihoon kecewa.

Straight artinya lurus. Itu artinya Guanlin tertarik dengan lawan jenis, dan bukan dengan yang sejenis. Padahal, Jihoon udah ngerasa kalau Guanlin udah berhasil kembali ke dalam pelukannya. Nggak jarang Guanlin mencuri kesempatan untuk bisa mencium pipi Jihoon, menggoda Jihoon, dan nggak jarang Guanlin bilang sayang ke Jihoon. Bahkan mereka juga sudah berciuman lebih dari satu kali. Itu cukup bikin Jihoon yakin, kalau Guanlin beneran udah berubah dan mau untuk memperbaiki semuanya. Tapi, apa yang justru Jihoon terima disaat hatinya udah percaya 100% sama Guanlin?

Guanlin straight, dan itu artinya Guanlin sama sekali nggak tertarik sama Jihoon yang jelas-jelas sejenis sama dia.

Dan kenyataan itu, bahkan lebih nyakitin daripada saat Guanlin nolak dia.

Kenyataan yang salah, yang cuma bisa bikin Guanlin terdiam dan seolah terkunci tanpa bisa melakukan apa-apa. Semuanya udah terlanjur terjadi, dan nggak ada lagi yang bisa Guanlin perbaiki.

Semua itu cukup bikin Guanlin tertekan, dan cukup bikin Guanlin berubah jadi pribadi yang jauh lebih anarkis.

Sekuat-kuatnya Guanlin, pasti ada saatnya untuk dia nyerah dan butuh pelampiasan. Nggak peduli sesering apa Guanlin bilang kalau dia baik-baik aja, pasti ada bagian yang hancur berantakan di hatinya.

Dan, ada saatnya dimana Guanlin nggak bisa lagi menanggung semua bebannya seorang diri.

Karena itu, akhirnya Dongho menawarkan Guanlin untuk ikut kerja di perusahaan. Setiap pulang sekolah, atau setiap selesai kelas tambahan. Itu semua Dongho lakukan supaya Guanlin bisa ngelupain rasa sakitnya, termasuk biar Guanlin bisa ngelupain Jihoon. Yang pada akhirnya Guanlin setuju untuk ikut Dongho kerja di kantor.

Dan hari ini, tepat satu bulan sudah Guanlin resmi jadi orang kantoran. Dan kebetulan, hari ini Dongho meminta Guanlin untuk datang ke pertemuan penting yang akan dimulai sekitar jam 2 siang nanti.

Guanlin menghela nafasnya, "sori deh sori. Kalau besok gimana? Pulang sekolah?"

Kali ini, Daehwi yang mendengus. Daehwi mulai ikut-ikutan bersila dada kayak Hyungseob, "pas selesai tryout pertama alasannya capek, butuh istirahat. Pas selesai tryout kedua alasannya banyak berkas numpuk di kantor, sekarang nih, tryout ketiga mau bikin alasan apalagi?" tanya Daehwi.

"Bukan bikin alasan, Hwi. Tapi, ini kan emang udah jadi kerjaan gue. Gimana pun juga, gue udah kerja di kantor bokap gue. Dan nanti siang, gue ada meeting. Gue nggak mungkin ngacir dari meeting, kan?" balas Guanlin, yang sebenernya ngerasa nggak enak banget karena udah 3 kali ngebatalin rencana main sama kedua sahabatnya ini.

Hyungseob mulai memanyunkan bibirnya, "lagian, ngapain sih lo udah kerja? Lulus sekolah aja belom."

Guanlin cuma tersenyum kecil. Walaupun Daehwi dan Hyungseob udah nggak mempermasalahkan soal kejadian straight tersebut, Guanlin tetap aja belum menceritakan apa-apa pada dua sahabatnya itu. Jadi ya, semuanya emang masih dipendam sendiri sama Guanlin. Termasuk, alasan dibalik Guanlin yang tiba-tiba udah kerja di kantor milik ayahnya.

"Daripada gue nggak ada kerjaan, kan?"

Bohong lagi. Di dalam hatinya, Guanlin berucap lirih,

Daripada gue nangis terus, capek.

Ya, ya, ya. Daehwi dan Hyungseob cuma manggut-manggut aja. Udah kesel banget mereka tuh.

Daehwi melirik Hyungseob yang masih manyun di sampingnya, "main berdua lagi, nih?" tanya Daehwi, yang tanpa sadar juga mulai ikutan manyun.

Hyungseob mengangguk pelan, dan satu detik kemudian, ide cemerlang timbul di dalam pikirannya.

"Ajak yang lain, yuk?" ucap Hyungseob, yang mulai senyum-senyum karena semangatnya udah balik lagi.

Daehwi masih manyun, bingung kenapa Hyungseob tiba-tiba jadi semangat gini.

"Mau ajak siapa? Kita kan cuma bertiga," balas Daehwi, sambil melirik kesal ke arah Guanlin.

Hyungseob menggeleng dengan cepat, "kan ada Jinyoung, Woojin, sama Jihoon! Gimana?"

Jihoon.

Jihoon.

Jihoon.

Daehwi melebarkan matanya, lalu tersenyum, "boleh boleh!"

Daehwi dan Hyungseob kompakan menatap Guanlin yang ternyata masih tersenyum tipis, "yaudah deh, Lin. Selamat meeting, deh. Gue mau seneng-seneng sama yang lain, dadah!" ucap Hyungseob, sambil menarik tangan Daehwi, dan tangan satunya lagi melambai-lambai pada Guanlin.

Guanlin cuma mengangguk, lalu mengacak gemas rambut Daehwi dan juga Hyungseob.

"Hati-hati." kata Guanlin, masih dengan senyum tipisnya.

Daehwi dan Hyungseob mengangguk, lalu berbalik dan mulai berlari menuju kelas Jihoon, Jinyoung, dan juga Woojin. Meninggalkan Guanlin yang mulai menunduk sambil menghela dalam nafasnya.

Jihoon.

Satu nama, satu orang, dan satu mimpi yang sampai kapanpun nggak bisa Guanlin raih.

Kangen? Yah, bukan kangen lagi.

Tapi, Guanlin bisa apa? Mungkin juga, Jihoon udah bener-bener ngelupain dia, kan? Udah hampir dua bulan juga mereka nggak ketemu. Mereka bahkan bener-bener lost contact. Udah kayak orang yang saling nggak kenal satu sama lain.

Yaudah lah, mungkin ini memang yang terbaik. Guanlin yakin, selama mereka nggak ketemu, selama itu juga Jihoon udah berhenti nangisin dia. Guanlin nggak mau Jihoon nangis lagi, apalagi kalau dia yang jadi penyebab Jihoon nangis. Jadi, perpisahan ini emang jalan terbaik.

Nyesel? Nggak. Selama itu bisa bikin Jihoon ngerasa tenang dan nyaman, Guanlin nggak akan menyesalinya.

Mungkin Jihoon udah berhenti menginginkan Guanlin. Mungkin Jihoon juga udah berhenti mencintai Guanlin.

Nggak apa-apa, meskipun disini Guanlin masih menginginkan Jihoon. Meskipun disini Guanlin masih mencintai Jihoon.

Karena apa yang dibilang pepatah itu benar, kalau cinta nggak selamanya harus saling memiliki.

Ujian kelulusan tinggal menghitung hari. Dan itu berhasil bikin Jihoon uring-uringan karena harus ngerjain 8 lembar klipingan soal biologi yang setiap lembar klipingnya terdiri dari 40 butir soal pilihan berganda. Jihoon capek, ngantuk, laper, tapi masih banyak banget soal yang belum dia kerjain.

Jinyoung nggak henti-hentinya menggeleng sambil tertawa. Tangannya spontan terangkat untuk mengusap rambut Jihoon yang sedikit acak-acakan. Jihoon melempar pensilnya ke sembarang arah, lalu menyandarkan kepalanya yang terasa berat di bahu kanan Jinyoung.

"Nggak usah ketawa terus, dasar jahat!"

Raut kusut wajah Jihoon, ditambah bibirnya yang manyun, malah membuat Jinyoung makin terkekeh. Jinyoung mengangkat satu tangannya lagi untuk memeluk Jihoon dari samping, lalu ia menyandarkan kepalanya tepat di atas kepala Jihoon.

"Makanya, ayo makan dulu." ucap Jinyoung, sambil mengusap lembut bahu Jihoon.

Jihoon menggeleng, lalu menjauhkan tubuhnya dari Jinyoung, dan mulai kelabakan mencari pensilnya yang tadi dia lempar.

Setelah menemukan pensilnya, Jihoon kembali memusatkan mata, dan pikirannya pada soal nomor 37, soal tentang bagian-bagian ginjal, "kalau aku makan sekarang, nanti si nefron ngambek karena aku cuekin." ucap Jihoon, yang mulai membaca satu persatu jawaban yang tersedia.

"Ah, si nefron bisa nunggu, kok. Iya, kan, fron?" ucap Jinyoung, sambil merebut pensil yang sedang digenggam erat oleh Jihoon, lalu menyilang salah satu abjad diantara A, B, C, D, dan E yang menjadi jawaban dari soal nomor 37.

Jihoon menoleh menatap Jinyoung masih senyum-senyum, lalu merebut kembali pensilnya.

"Kalau aku makan sekarang, nanti nggak ketemu hasil persilangan Hhkk dan hhKk nya." ucap Jihoon, sambil berusaha mengerjakan soal nomor 38, soal tentang persilangan gen kacang hitam dengan gen kacang kuning.

Jinyoung kembali merebut pensil Jihoon, dan mulai menulis sesuatu di tempat yang kosong, di samping pilihan jawaban A, B, C, D, dan E.

"Berarti, gametnya Hk, hk disilangkan sama hK, hk. Nah, jadinya ini harus disilangkan semua, ada HhKk itu hitam, Hhkk itu juga hitam, hhKk itu kuning, dan hhkk itu putih. Semua diliat dari yang paling dominan. H besar itu hitam, K besar itu kuning, kalau h dan k kecil itu putih. Berarti ini, hitam berbanding kuning berbanding putih jadinya dua berbanding satu berbanding satu," ucap Jinyoung, sambil menyilang abjad C yang berisi jawaban 'hitam : kuning : putih = 2 : 1 : 1'

Jihoon kembali merebut pensilnya dari tangan Jinyoung, lalu mulai memusatkan konsentrasinya pada soal nomor 39, yaitu soal tentang struktur DNA.

Sebelum Jihoon membaca soalnya, ia menoleh sekali lagi pada Jinyoung.

"Nggak usah dibantuin!!! Aku bisa ngerjain sendiri!!!"

Jinyoung pun hanya diam sambil mengangguk. Ia membiarkan Jihoon mengerjakan soal nomor 39 sendiri, sedangkan matanya melirik nomor terakhir, yaitu nomor 40.

Hormon yang bekerja apabila manusia merasa jantungnya berdegub dengan cepat adalah...

A. Adrenalin
B. Thyroid-stimulating hormone (TSH)
C. Insulin
D. Growth hormone-releasing hormone (GHRH)

Jawabannya sih udah jelas, A. Bukan,  bukan itu yang bikin Jinyoung tertarik, tapi kalimat 'jantung berdegub dengan cepat' lah yang sebenarnya menarik perhatian Jinyoung.

Jinyoung meletakkan kedua tangannya di atas meja perpustakaan, lalu menopangkan dagu panjangnya disana, sambil matanya menatap Jihoon yang masih mengerjakan soal nomor 39.

Degub jantung yang cepat

Deg... Deg... Deg...

Gitu?

Atau

Degdegdegdegdegdegdegdeg?

Jinyoung menghela nafasnya, saat ia sadar, kalau jantungnya memang udah nggak pernah berdegub dengan cepat setiap dia ngeliat atau berada didekat Jihoon. Dulu, iya. Dulu, Jinyoung selalu merasa kalau jantungnya berdegub terlalu berlebihan setiap ia melihat Jihoon tersenyum, atau setiap Jihoon bersikap manja padanya. Tapi Jinyoung sadar, kebiasaan itu sudah berhenti lumayan lama. Dan Jinyoung jelas tau apa alasannya.

Jadi, hubungan Jihoon dan Jinyoung sekarang adalah nggak lebih dari sekedar sahabat. Sejak kejadian Guanlin dan Jinyoung saling pukul di taman saat itu, Jihoon langsung minta maaf karena dia ngerasa nggak bisa meneruskan hubungan mereka. Jinyoung pun maklum, karena dia tau, nggak akan mudah bagi Jihoon untuk bisa ngelupain Guanlin begitu aja. Jinyoung, udah hampir separuh dari masa hidupnya dia lewati sama Jihoon. Jadi, Jinyoung sedikit tau gimana sifat Jihoon, dan gimana biasanya Jihoon akan bersikap pada satu hal. Jinyoung tau banget, Jihoon marah sama Guanlin. Marah banget. Dan waktu Jihoon cerita semuanya sama Jinyoung, soal Guanlin yang ternyata straight, Jihoon bahkan nangis karena merasa bener-bener dipermainkan. Tapi, disisi lain Jinyoung juga tau. Mau semarah, sekecewa, dan sebenci apapun Jihoon sama Guanlin, rasa sayangnya untuk Guanlin akan tetap ada. Jinyoung, beberapa kali sempat nggak sengaja mendengar isak tangis dari kamar Jihoon. Nggak perlu ditanya juga, Jinyoung udah tau apa jawabannya.

Mau bukti?

Jinyoung menghela panjang nafasnya,

"Guanlin!"

Jihoon seolah membeku ditempatnya. Pensil yang semula ia genggam erat-erat langsung jatuh begitu aja. Matanya membulat, bergerak tak tentu arah melirik kesana dan kesini. Jinyoung tersenyum kecil, ia bisa mendengar deru nafas Jihoon yang seolah sedang terburu-buru.

Jinyoung berdehem, lalu mengambil pensil Jihoon yang tergeletak dan menyilang abjad A untuk soal nomor 40.

"Cie, hormon adrenalin-nya lagi ngegas, ya?" goda Jinyoung, sambil mengedipkan salah satu matanya.

Jihoon yang sadar kalau dia lagi dikerjain sama Jinyoung, spontan langsung menarik sebal rambut sahabat yang sebenernya udah dia anggap seperti kakaknya sendiri ini.

"Dasar jahat!!! Jahat!!! Jahat!!!"

Jinyoung sih meringis nahan sakit, tapi dia tetap nggak bisa nyembunyiin rasa senangnya karena melihat reaksi Jihoon.

Perlahan, Jinyoung melepaskan tangan Jihoon yang masih melekat di rambutnya. Jinyoung menggenggam tangan Jihoon, lalu tersenyum.

"Masih deg-degan ya kalau inget Guanlin?" tanya Jinyoung.

Jihoon melepaskan genggaman Jinyoung, dan beralih untuk merapikan tumpukan soal-soal biologinya, dan juga merapikan beberapa alat tulisnya yang berserakan di atas meja. Jihoon memasukkan semua barangnya ke dalam tas, lalu merapikan tataan seragamnya.

"Ayo, makan! Aku udah selesai!" ucap Jihoon, sambil berbalik dan bersiap untuk beranjak meninggalkan bangku panjang perpustakaan yang udah lebih dari 3 jam ini ia duduki bersama Jinyoung.

Di sekolah, lagi nggak ada kegiatan belajar-mengajar untuk kelas 12. Anak-anak kelas 12 dikasih waktu minggu tenang, sebelum sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian kelulusan. Mereka dikasih kebebasan untuk belajar di rumah, atau di sekolah. Kalau di sekolah, bisa belajar ekslusif sama guru yang bersangkutan, atau bisa belajar mandiri di perpustakaan. Dan yang pasti, dilarang bikin keributan karena anak-anak kelas 10 dan kelas 11 tetap menjalani kegiatan belajar-mengajar seperti biasa.

Jinyoung tau, Jihoon masih deg-degan kalau mengingat Guanlin, tapi, dia juga masih nggak mau untuk ngebahas Guanlin lagi. Gimanapun juga, ya jujur aja, hati Jihoon belum sembuh sama sekali.

Jinyoung mengangguk, lalu merangkul bahu Jihoon dan bersama-sama melangkah meninggalkan perpustakaan. Kebetulan, dia juga lagi lapar. Yaudah, traktir Jihoon sekalian deh.

Jinyoung tidak henti-hentinya melirik ke arah kelas Guanlin yang masih kosong. Jinyoung ngerasa, ini adalah kesempatan emas yang nggak boleh dia sia-siain. Dan, mumpung Jihoon lagi di perpustakaan dan nggak bisa diganggu, jadilah Jinyoung memantapkan langkahnya ke tempat ini. Ia menyandarkan tubuhnya di salah satu pintu kelas yang tertutup, untuk yang ke sekian kalinya, Jinyoung melirik jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

7:30am KST

Dan belum ada tanda-tanda, kalau Guanlin bakalan datang sebentar lagi. Daehwi juga belum datang, Hyungseob apalagi. Tapi, tadi Jinyoung udah sempat ngeline Daehwi sih, nanya, kira-kira Guanlin masuk atau nggak hari ini, dan Daehwi cuma jawab 'nggak tau, soalnya udah dua hari nih, Guanlin nggak masuk.' gitu. Tapi, ya apa salahnya berharap, ya nggak? Siapa tau aja Guanlin masuk hari ini.

Jinyoung merapatkan jaket yang ia pakai, karena hari ini cuaca lagi dingin banget, lalu mengangkat kepalanya,

"Jinyoung?"

Nah. Panjang umurnya!

Jinyoung tersenyum agak canggung, "hey, Lin."

Guanlin memicingkan salah satu alisnya, "ngapain disini?"

Jinyoung menghela nafasnya, lalu melirik sekali lagi ke dalam kelas Guanlin.

"Ada yang mau gue omongin sama lo. Di... dalem aja gimana?" ucap Jinyoung.

Guanlin mengangguk pelan, dan melangkah masuk ke dalam kelas lebih dulu. Disusul dengan Jinyoung yang mengikuti di belakangnya. Guanlin duduk di bangkunya, sedangkan Jinyoung mulai menarik salah satu bangku dengan asal, dan menyeretnya ke samping bangku tempat Guanlin duduk sekarang.

"Ada apa?"

Jinyoung menghela nafasnya, lalu menghela nafasnya lagi.

"Gue mau to the point aja sih. Lo gimana sama cewek lo?" tanya Jinyoung, yang disambut sama tatapan datar Guanlin.

Guanlin berdecak, kayaknya dia harus jujur kali ini.

"Lo semua salah paham."

Sekarang, giliran Jinyoung yang memicingkan salah satu alisnya. Salah paham? Salah paham gimana maksudnya?

Seakan mengerti dengan tatapan bingung Jinyoung, Guanlin pun mengukir senyum tipis di ujung bibirnya.

"Gue nggak straight,"

Udah, jujur soal itu aja kok.

Jinyoung berdehem, "tapi, Jihoon bilang... lo, straight?"

Guanlin mengangguk pelan, "nggak apa-apa, bagus malah. Jadi dia bisa gampang benci sama gue nya."

Jinyoung menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Gimana dia mau benci sama lo, kalau setelah kita berantem waktu itu, dia nggak ada berhentinya nangisin lo."

Guanlin berdecak, "nangisin lo, kali? Kan lo pacarnya."

Jinyoung tersenyum kecil, reaksi Guanlin bener-bener sesuai sama ekspetasinya.

"Kalau gue bilang, Jihoon masih sayang sama lo, gimana?" ucap Jinyoung, yang berhasil menarik perhatian Guanlin.

Guanlin menunjukkan tatapan datarnya pada Jinyoung, "ya, nggak gimana-gimana."

Guanlin,

Sebenernya,

Dia cuma nggak tau, harus senang atau justru harus sedih.

"Karena lo bilang kalau lo nggak lurus, ya, gue harap lo bisa perjuangin Jihoon lagi." sambung Jinyoung.

Guanlin menghela nafasnya, lalu menggeleng dengan pelan.

"Gue nggak bisa."

Jinyoung terdiam, bingung. Apa Guanlin bener-bener udah relain semuanya? Termasuk rasa sayangnya untuk Jihoon?

Guanlin hanya bisa menggeleng, "gue bener-bener nggak bisa."

Gue nggak bisa memperjuangkan dia lagi, atau semuanya bakalan jadi lebih parah nantinya. Gue nggak mau Jihoon nangis lagi, gue bener-bener nggak pantas untuk dia tangisi. Gue cuma nggak mau Jihoon kecewa lagi. Gue ini nggak lebih dari seorang pengecut. Dan seorang pengecut, nggak ada pantas-pantasnya untuk bisa dapatin seseorang yang kelewat tulus, kayak Jihoon.

"Gue duluan, Jin."

Niat awal mau numpang tidur di kelas, ngantuk karena semaleman lembur kerja pun harus dibatalkan. Sepasang matanya mendadak membulat, dan jantungnya mulai berdegup nggak karuan lagi setelah hampir 2 bulan ini dia nggak ngerasain deg-degan sama sekali. Yang ada dipikirannya kali ini cuma Jihoon, Jihoon, dan Jihoon.

Guanlin menggeleng berulang kali, lalu mengarahkan langkah kakinya ke arah tangga. Guanlin merasa butuh asupan kafein sekarang juga untuk mengurangi skala gempa dadakan yang ada dibalik dadanya.

Guanlin memesan satu cup kopi panas, lalu mengambil posisi duduk pada salah satu meja kosong yang ada di dekat dinding. Guanlin menyesap lembut kopinya, lalu tersentak saat matanya nggak sengaja melihat Jihoon yang sedang tertawa renyah dengan Woojin yang duduk di depannya.

Suara tawa Jihoon langsung masuk dengan sempurna ke dalam memori Guanlin. Rasanya... seolah rindu yang tertahan selama ini berhasil terbalaskan. Guanlin rindu mendengar Jihoon tertawa lepas seperti itu. Apalagi, Guanlin rindu saat-saat dimana Jihoon tertawa karena lelucon garing yang ia ciptakan.

Tanpa sadar, seuntai senyum tipis terlukis di bibirnya.

Guanlin kembali menyesap kopinya, lalu matanya nggak sengaja bertemu dengan tatapan Woojin yang juga nggak sengaja terpusat ke arahnya.

Woojin terdiam, Guanlin langsung mengambil ponselnya dan bersikap seolah-olah ia sedang sibuk dengan ponselnya.

Tanpa sepengetahuan Guanlin, Woojin berbisik, "Hoon, Guanlin ada di belakang lo."

Jihoon terdiam. Dengan cepat, ia meneguk habis susu vanilla hangatnya, lalu memakai kembali tas ranselnya. Jihoon menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat.

"Gue balik ke perpus, ya!"

Belum sempat Woojin menjawab, Jihoon udah ngacir duluan dengan langkah kaki yang terburu-buru. Woojin hanya bisa mengangkat ringan kedua bahunya, lalu kembali meneguk es tehnya yang belum ia minum sama sekali.

Matanya kembali melirik ke arah Guanlin. Di mejanya, Guanlin tampak sedang bersiap-siap. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemeja seragam yang ia pakai di balik balutan jaket hitam berukuran over size yang membalut tubuh jangkungnya. Guanlin meneguk habis minumannya, lalu beranjak pergi meninggalkan kafetaria.

Woojin sih nggak mau ambil pusing. Lagian, dia juga udah lama nggak ngobrol sama Guanlin. Sejak Hyungseob menahan tangannya untuk menghajar Guanlin saat itu, Woojin udah memutuskan untuk nggak ambil pusing lagi soal Guanlin. Alias terserah Guanlin mau ngapain, selama itu nggak nyakitin Jihoon, ya Woojin juga nggak akan ngegas.

Woojin mengalihkan pandangannya, dan mendapati hoodie pink milik Jihoon tertinggal di atas meja.

Woojin mengambil hoodie tersebut, dan memasukkannya ke dalam ransel miliknya. Wajah panik Jihoon saat Woojin menyebut-nyebut nama Guanlin tadi langsung terngiang di bayangannya. Woojin menggeleng, sambil berdecak, "dasar gendut."

Di sisi lain, Guanlin terus melangkah dengan sangat pelan dan hati-hati. Matanya tetap lurus ke depan, menatap Jihoon yang masih berjalan dengan tergesa-gesa. Ujung bibirnya terangkat sedikit, ia teringat akan satu hal. Guanlin pernah melakukan hal ini; mengikuti Jihoon dari belakang, beberapa bulan lalu saat ia bertekad untuk mendekati Jihoon lagi.

Karena kebanyakan senyum, Guanlin nggak sadar kalau ternyata langkah kakinya menjadi cepat dan membuat tubuhnya semakin dekat dengan tubuh Jihoon yang mendadak berhenti beberapa langkah di depannya.

Guanlin ikut berhenti, lalu mengangkat salah satu alisnya saat melihat Jihoon yang tiba-tiba menunduk. Guanlin menurunkan pandangannya, ia kembali tersenyum kecil saat melihat kedua kaki Jihoon yang bergerak ragu antara mau berbalik atau tidak. Guanlin meneruskan langkahnya, lalu umpatan kecil Jihoon kembali membuatnya berhenti melangkah.

Jihoon menepuk keras dahinya sendiri, "aish, hoodie gue segala-gala ketinggalan di kafetaria. Sial. Sial. Sial."

"Ah, tapi males balik lagi kesana. Disana ada Guanlin,"

Jihoon mendengus, "telfon si dekil aja, deh."

Jihoon kembali menghela nafasnya, "lupa... belum beli pulsa!"

"...aish, yaudah deh!"

Jihoon pun berbalik, dan dua detik kemudian ia memejam. Jantungnya serasa mau meledak.

Tubuh mungilnya baru aja membentur tubuh lain yang kini menelungkup ke arahnya. Dan satu detik kemudian, Jihoon bisa merasakan rasa hangat yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya. Jihoon masih memejam, menahan perih pada bagian matanya.

Jihoon tau bau tubuh ini. Jihoon tau siapa pemilik rasa hangat yang sekarang sedang menyelimuti tubuhnya ini. Jihoon menggigit kecil bibir bawahnya, saat seseorang yang ada di depannya ini semakin merapatkan jarak keduanya. Refleks, kaki Jihoon maju satu langkah saat seseorang itu semakin mengeratkan jaket yang sekarang menyatukan tubuh keduanya.

Jihoon menghela nafasnya, "lepasin gue, Guanlin."

Guanlin menggeleng, lalu meletakkan dagu panjangnya pada puncak kepala Jihoon yang sedikit tertunduk. Guanlin semakin mendekap erat tubuh Jihoon dibalik jaketnya yang sekarang sedang menutupi tubuh keduanya.

"Lepas, Guanlin."

Guanlin menggeleng lagi, lalu menunduk dan mendaratkan sebuah kecupan singkat pada rambut Jihoon.

"Gue kangen sama lo."

Nggak, Jihoon. Nggak. Lo nggak boleh terjerumus lagi. Nggak.

Jihoon membuka pejaman matanya, dan langsung berhadapan dengan kerah kemeja seragam Guanlin. Jihoon berusaha untuk melepas jaket Guanlin yang sedang memeluk tubuhnya, namun Guanlin justru semakin menarik tubuh Jihoon untuk mendekat.

"Lepas, nggak,"

"Dibilang nggak mau."

"Lepasin, Guanlin!"

Guanlin kembali menggeleng, kini ia menurunkan dagunya yang semula bertopang dipuncak kepala Jihoon, menjadi bertopang di atas bahu kiri Jihoon.

"Nyari masalah dia ternyata,"

Di sisi lain, ada seseorang yang berdiri di balik dinding yang membatasi koridor dengan lorong tempat Jihoon dan Guanlin berdiri saat ini. Matanya mendelik tajam ke arah Guanlin dan Jihoon yang sedang berpelukan. Tanpa sadar, rahang wajahnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal.

Orang itu adalah Daniel, yang terpaksa membatalkan niatnya untuk mengajak Jihoon untuk makan di kafetaria karena merasa sangat terganggu dengan pemandangan yang ada di depan matanya saat ini.

Daniel menelan salivanya dengan kasar, dan bersiap untuk menarik Jihoon dari dekapan Guanlin.

"Ehm,"

Langkanya terhenti. Daniel menoleh dan mendengus saat mendapati seseorang yang namanya ada di daftar paling atas orang-orang yang paling malas ia temui.

Seongwoo hanya bisa mengangkat kedua bahunya, lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding yang sebelumnya dijadikan sandaran oleh Daniel. Seongwoo menyilangkan kedua tangannya di depan dada,

"Jadi, kamu yang bikin Jihoon putus sama Guanlin?"

Daniel mendesis lalu berbalik. Matanya menatap tak suka pada Seongwoo yang justru sedang menatap santai ke arahnya.

Daniel menghela dalam nafasnya, "nggak usah berisik."

Seongwoo menarik salah satu ujung bibirnya, lalu mengangguk ringan.

"Saya emang nggak tau tentang apa yang udah kamu lakuin ke mereka berdua, tapiㅡ"

Seongwoo mengarahkan pandangannya pada Jihoon dan Guanlin yang masih berpelukan disana, "kalau menurut penglihatan mata saya sekarang sih, ya seharusnya Jihoon itu sama Guanlin. Bukan sama kamu."

Seongwoo mengembalikan pandangannya pada Daniel, "saya udah tau semuanya. Ya, kamu nggak perlu tau sih, saya tau darimana. Yang jelas, kamu bukan pacarnya Jihoon."

"Iya, nggak apa-apa kok kamu bohongin saya waktu itu dengan bilang kalau kamu itu pacaran sama Jihoon. Saya maklum."

Daniel kembali berdecak, "lo nggak tau apa-apa, jadi, diem aja."

Seongwoo kembali mengangguk, sambil menekan-nekan bibirnya dengan jari telunjuk.

"Kalau saya liat-liat sekarang sih, kayaknya kamu nggak suka sama Guanlin. Kenapa?" tanya Seongwoo, yang masih dengan nada santai kayak di pantai.

"Bukan urusan lo elah."

Daniel berbalik, memilih untuk mengabaikan Seongwoo dengan mulut lebarnya dan berniat untuk langsung melangkah menghampiri Jihoon.

"Kamu sayang, 'kan, sama Jihoon?" tanya Seongwoo, yang kembali berhasil membuat Daniel menghentikan langkahnya.

Daniel berbalik, lagi, dan tatapannya kali ini jauh lebih dalam dibanding yang sebelumnya.

"Kalau kamu sayang sama Jihoon, jangan hancurin kebahagiaan dia. Tuh, kamu nggak liat?" ucap Seongwoo, sambil memberi isyarat pada Daniel agar berbalik dan melihat ke arah Jihoon yang mulai membalas pelukan Guanlin.

Seongwoo menghela nafasnya, "kalau kamu sayang sama Jihoon, harusnya kamu kasih kebahagiaan yang dia mau, bukan malah kamu rusakin."

Seongwoo melangkah, dan kini ia memposisikan tubuhnya untuk berdiri di samping Daniel. Seongwoo menepuk pelan bahu kiri Daniel, "saya udah tiga kali ngobatin Guanlin. Tiga kali-tiga kalinya dia mimisan, padahal saya udah bujuk dia biar mau ke rumah sakit aja, tapi dia nggak mau. Dan di tiga kesempatan itu juga, Guanlin keliatan kayak orang bingung. Saya udah tanya dia kenapa, dan dia cuma jawab kalau dia nggak kenapa-napa. Yaudah, saya nggak nanya-nanya lagi sama dia, saya juga nggak mau dibilang kepo. Tapi,"

"Saya nggak suka liat orang lain sedih. Tuh, coba, kamu bisa liat kan? Kamu boleh sayang sama Jihoon, tapi kamu juga nggak boleh nutup mata kalau ada orang lain yang juga sayang sama Jihoon, dan juga ada orang lain yang Jihoon sayang. Kamu nggak bisa maksa perasaan orang, Danik."

Daniel menghela nafasnya dengan kasar, "apaan sih lo?"

Seongwoo mengangkat kedua bahunya pelan, "kamu tau, nggak? Kalau kamu menyakiti hati salah satu orang yang saling mencintai, secara nggak langsung kamu juga menyakiti orang yang satunya. Kalau kamu menyakiti salah satu diantara mereka,"

Seongwoo menjeda ucapannya, dan disaat yang bersamaan Daniel tertegun saat mendengar isak tangis yang cukup keras dari arah Jihoon dan juga Guanlin.

Daniel sama sekali tidak berkedip, saat Guanlin mengecup dahi Jihoon berulang kali, sambil tangannya berusaha untuk mengusap wajah Jihoon.

"Apa kamu bisa bayangin, betapa terlukanya orang yang satunya?"

Dan, bam.

Pertanyaan Seongwoo barusan berhasil merobohkan dinding keras yang udah terbangun di dalam hati Daniel selama bertahun-tahun.

Daniel menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata tenang milik Seongwoo.

Daniel tersenyum kecil, dan tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata, Daniel beranjak meninggalkan Seongwoo, setelah sempat menepuk pelan bahu seseorang yang baru aja membuka mata hatinya.

Seongwoo tersenyum di tempatnya, lalu berbalik meninggalkan koridor untuk kembali ke perpustakaan. Ini adalah hari terakhirnya menjadi pegawai magang di sekolah. Seongwoo harus segera merapikan barang-barangnya, dan harus bersiap untuk meninggalkan tempat yang sudah memberinya banyak cerita selama 3 bulan ini.

Well, Seongwoo akan menunggu kabar baik dari Jihoon dan juga Guanlin. Seongwoo yakin, Daniel nggak akan berulah lagi. Karena Seongwoo tau, Daniel tidak sekejam itu.

Guanlin tersenyum sambil terus mengusap lembut wajah Jihoon. Hatinya mencelos, saat Jihoon kembali menitikkan air mata di depannya.

"Udah dong, ndut."

Jihoon menundukkan kepalanya, saat mendengar Guanlin memanggilnya dengan panggilan itu lagi. Jujur aja, Jihoon kangen banget banget banget sama Guanlin, dan Jihoon juga kangen banget banget banget banget sama panggilan 'ndut' dari Guanlin. Tapi, entah, Jihoon juga nggak ngerti, ada bagian di hatinya yang masih terasa perih. Bahkan, jauh di dalam lubuk hati Jihoon, masih ada penolakan.

Jihoon terdiam, apa hatinya benar-benar udah tertutup untuk Guanlin?

Jihoon menghirup dalam-dalam udara yang ada disekitarnya, lalu melepas kedua tangan Guanlin yang masih menangkup wajahnya.

Jihoon tersenyum, matanya terpusat pada sepasang mata Guanlin yang amat sangat ia rindukan. Ingin rasanya Jihoon menatap mata itu dalam jangka waktu yang lama, tapi sayang, luka di dalam hati Jihoon kini berteriak. Memberontakkan kata 'tidak', 'jangan', dan 'sudah selesai'.

Jihoon sadar, selama ini ia terlalu sering mengabaikan kata hatinya dan lebih memilih untuk mengikuti egonya. Saat Guanlin kembali masuk ke dalam kehidupannya saat itu, hati Jihoon padahal udah berteriak 'jangan', tapi yang justru Jihoon lakukan adalah kembali menerima Guanlin dengan segenap hatinya.

Dan, apa yang terjadi setelahnya?

Guanlin kembali menciptakan luka baru di dalam hatinya.

Jadi, apa sekarang Jihoon harus mengikuti kata hatinya?

Untuk benar-benar berhenti, dan melepaskan Guanlin dengan sepenuh hatinya?

Jihoon memundurkan langkahnya satu kali,

"Thanks buat jaketnya."

Jihoon mengangkat tangan kanannya, lalu melambai pelan.

Jihoon kembali mundur satu langkah, sambil mengepalkan tangannya, lalu ia menatap lurus sepasang mata Guanlin, benar-benar untuk yang terakhir kalinya.

Gue sayang sama lo, Guanlin.

"Bye,"

Jihoon berbalik, dan langsung berlari meninggalkan Guanlin. Lagi, air matanya tumpah. Jantungnya berdegub dengan amat sangat cepat. Pandangan matanya mulai kabur karena buliran air yang menggenang di balik pelupuk matanya. Jihoon terus berlari, sampai sebuah dekapan berhasil menghentikan langkah dan tangisnya.

"Jihoon,"

Jihoon mendongak, dan tanpa pikir panjang, ia langsung menghamburkan tubuhnya ke dalam dekapan itu. Dekapan asing yang baru, tapi cukup membuatnya merasa dilindungi.

"Bang Danik,"

Tiga hari sudah berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Guanlin, dan juga sejak terakhir kali ia bertemu dengan Daniel.

Kata demi kata yang diucapkan Daniel saat itu masih terngiang jelas di dalam memori otaknya,

"Mungkin lo bakal kaget setelah dengar ini, tapi gue harus bicarain ini sama lo. Pertama, gue mau minta maaf. Karena selama ini gue udah bohongin lo, Jihoon. Soal Guanlin straight, itu semuanya bohong. Guanlin sayang sama lo, dan gue nggak suka itu. Makanya, waktu itu gue bilang sama lo, kalau Guanlin itu straight, dan gue percaya itu akan bikin lo kecewa banget sama dia. Itu yang gue mau. Lo kecewa sama Guanlin. Lo benci sama Guanlin. Dan, lo mau tau kenapa Guanlin mau angkat panggilan gue waktu itu? Sedangkan dia sama sekali nggak ngerespon semua chat dan panggilan lo? Iya, itu ulah gue. Gue yang nyuruh Guanlin buat jauhin lo. Gue nggak suka lo deket-deket sama dia, makanya gue lakuin ini semua. Gue terlibat satu perjanjian sama Guanlin, dan ini bukan hak gue buat ngejelasin semuanya ke lo. Lo tanya sama Guanlin, karena gue rasa, lebih baik lo tau langsung dari Guanlin daripada lo harus tau dari orang lain. Gue minta maaf, karena gue udah berusaha untuk memisahkan kalian berdua. Kedua, gue minta maaf karena gue suka sama lo. Gue minta maaf karena udah sayang sama lo dengan cara yang salah. Gue sadar, kalau selama ini gue terlalu terobsesi sama lo, sampai-sampai gue sama sekali nggak mikirin gimana perasaan lo dan gimana perasaan Guanlin. Gue minta maaf karena udah nyakitin kalian berdua. Semua salah gue, gue bener-bener minta maaf,"

"Satu yang harus lo tau, Jihoon. Guanlin sayang sama lo."

Jihoon udah maafin Daniel. Hari itu juga, Jihoon langsung maafin Daniel. Tapi, tidak dengan Guanlin. Rasa kecewa Jihoon pada Guanlin justru semakin bertambah saat tau, kalau Guanlin merahasiakan banyak hal darinya. Jihoon nggak habis pikir, sebegitu nggak percayanya Guanlin sama dia? Serendah itu kepercayaan Guanlin buat Jihoon? Ck, Guanlin bahkan sama sekali nggak ngehubungin Jihoon sejak hari itu. Nggak ada telepon, nggak ada sms, nggak ada line, nggak ada kkt, bener-bener nggak kabar sama sekali.

Mendengar kesaksian Daniel, Jihoon sempat membangun harapan lagi kalau Guanlin pasti akan kembali ke sisinya. Tapi, dengan Guanlin yang mendadak hilang nggak ada kabar gini, gimana Jihoon mau percaya lagi?

Guanlin bermain dengan perasaan Jihoon. Guanlin juga bermain dengan kepercayaan Jihoon. Lalu, bagaimana Jihoon bisa percaya lagi sama Guanlin?

Jihoon menghela panjang nafasnya, lalu menepuk keras dada sebelah kirinya.

"Lo bisa tanpa Guanlin, Jihoon!" ucap Jihoon, menyemangati dirinya sendiri.

Guanlin aja bisa tanpa Jihoon, masa Jihoon nggak bisa tanpa Guanlin?

Lagi, Jihoon menghela nafasnya, dan mulai melangkahkan kakinya memasuki koridor utama sekolah.

"Jihoon!"

Jihoon berhenti melangkah, lalu menoleh saat mendapati Woojin sedang berlari ke arahnya.

Jihoon memicingkan salah satu alisnya, "kok lari-lari gini sih, kil?"

Woojin memutar bola matanya malas, lalu menarik nafasnya dengan penuh penghayatan, dan menghembuskannya dengan penuh kenikmatan.

"Sekarang tanggal berapa, mbul?"

"Tanggal empat, kil."

Woojin menjentikkan jarinya, lalu meraih sesuatu dari dalam tas ranselnya.

Woojin mengulurkan setangkai mawar merah pada Jihoon. Jihoon bingung, dan cuma bisa menatap bingung bunga mawar itu.

Woojin melangkah mendekat, lalu meraih tangan Jihoon untuk mengambil bunga tersebut.

Woojin tersenyum simpul saat bunga mawar merah itu sudah ada di dalam genggaman Jihoon.

"Gue duluan ya, gendut!"

Jihoon masih menatap bingung bunga mawar tersebut, sampai-sampai ia nggak sadar kalau Woojin udah ngacir nggak tau kemana. Jihoon mengerjapkan matanya, lalu mengangkat kedua bahunya.

"Kebanyakan nonton drama turki nih si dekil." ucapnya, yang kemudian kembali melangkah melewati koridor.

"Park Jihoon!"

Jihoon kembali menghentikan langkahnya, saat seseorang kembali memanggil namanya. Jihoon menoleh, dan mendapati pak Jaehwan tengah berdiri di depannya dengan sebuah gitar yang ada di dekapannya.

"Nyanyi dulu kita, Hoon."

Hah?

Nyanyi?

"Aduh, pak. Maaf, bukannya saya nggak mau nyanyi, tapi saya buru-buru banget ini mau balikin buku ke perpus."

Pak Jaehwan berdecih, lalu mulai menggenjreng senar demi senar gitarnya.

"Geudaereul barabol ttaemyeon modeun ge meomchujyoㅡ"

Jihoon menjentikkan jarinya di depan wajah polos pak Jaehwan, "ini mah lagu saya, pak!!" ucap Jihoon, yang lama-lama ikutan nyanyi sama pak Jaehwan.

Pak Jaehwan terkekeh, lalu menghentikan petikan gitarnya.

"Itu lagu siapa ya, Hoon? Saya lupa."

Jihoon tersenyum kecil, "lagunya Yoon Mi Rae, pak. Judulnya 'Always', oeste kesukaan saya hehe."

Pak Jaehwan cuma manggut-manggut aja, lalu meraih sesuatu dari dalam lubang yang ada di tengah gitarnya.

Lagi, bunga mawar merah.

Jihoon menatap bunga itu sesaat, lalu kembali memusatkan pandangannya pada pak Jaehwan.

"Kok saya dikasih bunga sih, pak? Barusan juga Woojin ngasih saya bunga. Emang ada apa, sih?" tanya Jihoon, yang bener-bener nggak ngerti apa maksud dibalik bunga-bunga mawar merah ini.

Pak Jaehwan cuma bisa mengangkat kedua bahunya, lalu melakukan hal yang sama kayak Woojin, yaitu meraih tangan Jihoon untuk menggenggam satu tangkai mawar merah tersebut.

Jihoon pun pasrah aja, dan langsung menggabungkan bunga yang baru dikasih pak Jaehwan dengan bunga yang tadi dikasih sama Woojin.

"Yaudah, saya duluan ya, Jihoon." ucap pak Jaehwan, yang dibalas anggukan oleh Jihoon.

Jihoon memandang kedua bunga tersebut. Bingung. Nggak ngerti. Tapi, yaudah lah.

Jihoon kembali melangkah melewati koridor utama. Baru aja Jihoon mau masuk ke dalam lorong yang menghubungkan koridor utama dengan perpustakaan, sebuah panggilan nyaring kembali membuat langkahnya terhenti.

Jihoon menoleh untuk yang kesekian kalinya, dan mendapati Daehwi dan Hyungseob yang tengah berjalan ke arahnya.

"Kenapa, Hwi? Seob?"

Daehwi dan Hyungseob cuma cengengesan aja, dan itu berhasil bikin Jihoon bergidik ngeri, karena merasa ada yang salah dengan semua orang pagi ini.

"Kemarin nonton tv nggak, Hoon? Itu artis idola lo Song Song siapa itu namanya yang jadi kapten di drama kesukaan lo tuh, mau nikah ya?" tanya Daehwi, dengan wajah yang mesem-mesem bingung gitu.

Jihoon memicingkan salah satu matanya, setau dia, Daehwi nggak suka nonton drama. Kok tau-tauan berita Song Joongki sama Song Hyekyo yang mau nikah bulan depan?

Yaudah, biar cepet dijawab aja deh.

"Song Joongki sama Song Hyekyo?" tanya Jihoon yang langsung dibalas anggukan semangat dari Daehwi dan juga Hyungseob.

Jihoon nggak ngerti, tapi ketawa aja karena ngeliat tingkah lucu Daehwi dan Hyungseob.

Daehwi dan Hyungseob sama-sama meraih sesuatu dari dalam saku almamater mereka. Jihoon mendengus, bunga mawar merah lagi.

"Buat gue?" tanya Jihoon.

Daehwi dan Hyungseob kompak mengangguk, lalu menyodorkan dua tangkai mawar merah itu pada Jihoon.

Jihoon menghela nafasnya, lalu mengangkat tangan kanannya dimana bunga dari Woojin dan pak Jaehwan terpajang manis disana.

"Gue udah dapat dua loh pagi ini. Ada apaan sih?" sumpah, Jihoon beneran nggak ngerti. Kenapa semua orang mendadak jadi tukang bunga gini, sih?

"Udah, ambil aja. Nanti juga lo tau." ucap Hyungseob, sambil meraih tangan Jihoon untuk mengambil bunga darinya dan juga dari Daehwi.

Yaudah, iya.

Jihoon pun mengambil dua tangkai mawar merah lagi dari Daehwi dan Hyungseob, lalu tersenyum, "makasih, ya." ucap Jihoon, yang dibalas anggukan cepat oleh Daehwi dan Hyungseob.

"Oh iya, ditunggu sama Jinyoung di kelas." ucap Hyungseob.

Jihoon mengangguk, "oke deh, gue samperin Jinyoung dulu, ya? Bye!"

Jihoon pun berbalik dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju lorong yang menghubungkan koridor utama dengan ruang kelasnya.

Baru aja Jihoon mau belok kanan, dimana ruang kelasnya ada di tengah-tengah lorong, suara nyaring kembali membuatnya terpaksa berhenti melangkah.

"Kak Jihoon!"

Jihoon berbalik dan matanya menyipit sempurna saat mendapati seseorang yang nggak dia kenal berdiri di depannya, sambil nunduk, dan jangan lupakan satu tangkai mawar merah yang ia genggam di tangan kanannya.

Jihoon masih diam, menunggu adik lucu nan gemas di depannya ini untuk bicara lebih dulu.

"A a a a aku Justin, kak. A a a a aku masih kelas sepuluh tapi aku n n n ngak tau harus nanya apa sama kak Jihoon. Y y y yaudah, ini bunga buat kak Jihoon. T t t tapi jangan bilang siapa-siapa ya, kalau Justin nggak ngasih pertanyaan apa-apa sama kak Jihoon. Maaf ya kak? A a a a abisnya, Justin bingung, kak." ucap Justinㅡ kata dia sih, nama dia Justin, tapi nggak tau juga deh. Suaranya gugup gitu, Jihoon jadi gemes sendiri.

Pertanyaan? Ah, iya! Jihoon baru sadar, kalau semua orang yang ngasih dia bunga pagi ini pasti nanya dulu sama dia. Ini tanggal berapa lah, lagunya Yoon Mi Rae lah, sampai ke berita nikahan Song Joongki dan Song Hyekyo. Kecuali Justin. Anak itu malah minta maaf karena nggak bisa ngasih pertanyaan.

Jihoon tersenyum kecil, lalu menepuk lembut puncak kepala Justin, dan menerima bunga mawar merah pemberian dari Justin. Lucu, gemes banget. Siapa sih yang ngerencanain ini semua? Kan, kasian Justin harus ikut-ikutan kayak gini.

"Makasih ya, Justin." ucap Jihoon lembut, yang langsung dibalas anggukan oleh Justin.

Justin membalas senyum manis Jihoon, lalu pamit untuk kembali ke kelasnya.

Jihoon hanya bisa menggeleng sambil menatap 5 tangkai mawar merah di tangannya, yang nggak tau sebenernya ini tuh untuk apa. Jihoon pun kembali meneruskan langkahnya menuju kelas 12 IPA, dan bener aja, Jinyoung udah nunggu di depan pintu kelas.

Jinyoung nggak bisa menahan tawanya saat melihat Jihoon berjalan mendekat, dengan bibir yang manyun, dan dengan beberapa tangkai mawar merah di tangannya.

"Kamu mau jualan bunga?" tanya Jinyoung, yang dibalas dengan cubitan keras di pinggangnya.

Jihoon mendengus, "ini hari apa, sih, Jin? Kok pada bagi-bagi bunga begini?"

Jinyoung masih terkekeh, "nggak ada hari spesial, kok."

Jihoon menghela nafasnya, lalu teringat akan pesan Daehwi dan Hyungseob, "kamu nyari aku, Jin?" tanya Jihoon.

Jinyoung tersenyum, lalu menatap Jihoon dengan lembut.

"Nama motornya Guanlin siapa, Hoon?"

"Michael?"

"Inget nggak, belinya tanggal berapa?"

"Pas ulangtahun aku tahun ini,"

EH?

BENTAR?

SEPERTI ADA YANG ANEH.

Jihoon membalas tatapan Jinyoung dengan tatapan penuh intimidasi.

"Bae Jinyoung?"

Jinyoung tersenyum, "aku selalu suka sama orang yang ingat sama hal-hal kecil."

"Gue selalu suka sama orang yang ingat sama hal-hal kecil."

Itu kalimat Guanlin. Saat hujan. Dan masih melekat sempurna dalam ingatan Jihoon. Bentar, ini ada apa sih?

Jihoon masih menatap Jinyoung dengan horor, sampai-sampai ia nggak sadar kalau sekarang ada satu tangkai mawar putih di depannya.

"Kamu yang namain motornya Guanlin dengan nama Michael. Awalnya, kamu mau kasih nama Edward. Tapi kata kamu, Edward itu kebagusan. Yaudah, jadinya kamu kasih nama Michael, karena sehari sebelum kamu nemenin Guanlin beli motor, kamu nonton film yang nama pemainnya Michael, dan Michael di film itu lucu, kamu suka, makanya kamu namain motor itu pakai nama Micahel. Bener?" tanya Jinyoung, yang berhasil bikin Jihoon bungkam.

Soal nama Michael, cuma Jihoon dan Guanlin yang tau. Tapi, kok Jinyoung bisa tau?

"Buat kamu," Jihoon tersadar, dan menatap mawar putih yang ada di depannya.

Dalam diam, Jihoon mengambil bunga itu, dan mendapati sebuah catatan kecil terselip di sela-sela kelopak bunga.

Jihoon mengambil kertas kecil tersebut, lalu mulai membacanya secara perlahan.

So, Korean names have a such beautiful meanings like byeol means star, areum means beauty, and park jihoon means the love of my life, my first, and my last.

lapangan basket indoor, setelah selesai baca catatan ini.

♡ your ceking

Jihoon terdiam. Ia mencoba untuk menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan susah payah. Ini, apaan sih?

Jihoon mendongak dan menuntut penjelasan dari Jinyoung. Jinyoung cuma bisa tersenyum, lalu menyentuh bahu Jihoon, dan membalikkannya sampai posisi Jihoon kini menghadap ke arah lorong.

Jinyoung mengusap lembut puncak kepala Jihoon, "dia udah nunggu kamu. Gih, cepetan kamu kesana." ucap Jinyoung lembut, yang justru semakin membuat Jihoon bingung.

"T t t tapi,"

Jinyoung mendorong pelan tubuh Jihoon, "sukses, adik kecilku!"

Jihoon pun mulai melangkah cepat menuju lapangan basket indoor, dengan perasaan yang campur aduk,  dengan pikiran yang sedikit kacau, dan dengan jantung yang berdegub dengan cepat.

Jihoon membuka pintu lapangan basket indoor, dan...

Guanlin berdiri di tengah sana, dengan sebuket mawar merah dan putih, juga dengan sebuah boneka beruang dengan ukuran yang nggak beda jauh sama Jia.

Guanlin tersenyum, dan seolah terhipnotis, Jihoon pun mulai melangkah ke tengah lapangan.

Guanlin menggerakkan salah satu tangan boneka beruang tersebut, "halo, kak Jihoon! Boleh nda, acu jadi temennya Jia?"

Jihoon masih diam. Bingung.

Nggak lama, Guanlin melangkah mendekati Jihoon, "ada banyak hal yang harus lo tau," ucap Guanlin, sambil menatap lurus pada sepasang mata sayu milik Jihoon.

"Gue minta maaf, Lin. Gue udah jelasin semuanya ke Jihoon, dan gue juga udah minta maaf sama Jihoon. Gue sadar, rasa suka gue buat Jihoon adalah rasa suka yang salah. Gue terlalu terobsesi untuk nggak kalah dari lo, makanya gue lakuin ini semua. Awalnya, gue emang suka sama Jihoon, tapi lama kelamaan rasa suka gue berubah jadi obsesi dan gue baru sadar, kalau itu sama sekali nggak baik. Gue nggak akan jadi penghalang lagi buat kalian, jadi gue mau, lo kejar Jihoon lagi. Dan ya, satu lagi. Jujur sama dia soal nyokap lo. Gimana pun juga, dia lebih baik tau langsung dari mulut lo. Jangan kecewain Jihoon lagi, Lin. Gue percayain dia sama lo."

Itu kata-kata Daniel dua hari yang lalu. Daniel datang ke rumahnya, minta maaf sama bunda dan juga sama Gualin. Masalah antara Guanlin, bunda, dan juga Daniel udah selesai. Separah apapun kesalahan orang itu, kita tetap harus maafin dia, kan?

Dan kata-kata Daniel itulah, yang membuat Guanlin berani untuk melakukan ini semua.

Guanlin menghela nafasnya, lalu kembali tersenyum kecil.

"Yang pertama, alasan gue nolak lo waktu itu adalah karena ancaman bang Danik. Bang Danik suka sama lo, dan gue juga suka sama lo. Sayang aja, gue harus kalah, karena bang Danik tau soal aib keluarga gue. Oke, bunda gue tadinya bekerja sebagai seorang wanita penghibur. Gue tumbuh besar tanpa kasih sayang bunda, dan tanpa ayah. Gue anak haram, gue nggak tau siapa ayah gue. Tapi sebelum gue lahir, bunda ketemu sama ayah Dongho, ayah angkat gue. Ayah kandung dari kak Chungha. Itu aib gue, itu aib keluarga gue, yang bakalan disebar ke seluruh penjuru sekolah, kalau gue masih berani buat deketin lo. Dan, gue nggak tau kalau di hari yang sama, ternyata lo nembak gue. Gue... lo nggak tau seberapa senangnya gue saat itu. Tapi, disisi lain, gue harus lindungin bunda. Makanya, gue nolak lo. Gue pikir, itu jalan yang paling baik. Dan ternyata, gue salah. Gue salah besar. Dan, sesakit itu harus ngelepas lo, ndut. Gue harus nunggu sampai bang Danik lulus, baru deh gue berani untuk deketin lo lagi. Tapi, sayang, nggak lama bang Danik balik, dan ancaman yang sama berlaku lagi. Dan disaat yang sama, gue juga ngerasa takut. Gue takut lo jijik sama gue, karena gue adalah anak yang nggak jelas asal-usulnya. Kedua, soal gue punya cewek, gue aja nggak straight, gimana gue mau punya cewek? Ketiga, bunga-bunga yang ada di tangan lo sekarang, itu semuanya dari gue. Anak-anak banyak ngebantuin gue untuk mempersiapkan ini semua. Dan sekarang, Park Jihoonㅡ"

"Gue mau, lo bener-bener jadi milik gue seutuhnya."

"Kalau lo terima gue, lo ambil buket bunga dan boneka ini. Tapi, kalau lo nolak gue, lo boleh jatuhin semua bunga yang sekarang lagi lo pegang."

Suara Guanlin lembut banget, Jihoon mau nangis.

Jihoon menatap lurus sepasang mata Guanlin, dan tak ada kebohongan sama sekali di mata itu. Jihoon... Dia mau banget nerima Guanlin, tapi... Hatinya masih menolak. Hatinya masih nggak bisa.

Jadi,

Jihoon menghela nafasnya, lalu mengukir senyum manis di bibirnya.

Jihoon mengambil buket bunga mawar dari tangan Guanlin, lalu memberikan Guanlin 3 tangkai mawar merah yang sebelumnya ia pegang. Guanlin menatap pergerakan Jihoon dengan bingung, sampai akhirnya Jihoon kembali di posisinya semula.

"Guan, thanks."

Jihoon kembali menghela nafasnya, "tapi, gue butuh waktu. Untuk mikirin ini semua. Nggak apa-apa, ya?"

Guanlin membalas senyum Jihoon, lalu mengangguk.

"Gue sayang sama lo, ndut."

Jihoon mengangguk, "hmm, gue tau. Makasih, ceking."

Ujian kelulusan tinggal 3 hari lagi!!! ZzZzZzZzZzZz AHJSJSNSJS MAU MELEDAK NGGAK, SIH?

Jihoon tuh anaknya gampang panik. Udah beberapa hari ini, Jihoon nggak bisa tidur karena mikirin bakal kayak apa soal-soal ujiannya nanti? Kalo susah banget banget banget gimana? Kalau hapalan dan materi yang udah Jihoon tempelin di otaknya ilang begitu aja gimana?

Mana sih ini buku soal matematika?!?!?!?!

Kan, panik kan, buku soal matematikanya ilang nggak tau kemana.

Jihoon udah ngobrak-ngabrik tas ranselnya, laci-laci meja belajarnya, dan isi lemarinya, tapi tetap aja nggak ketemu!!

Ilang banget?!?!?!?! :(

Mana Jinyoung lagi nggak ada di kondo, dan pintu kamarnya dikunci, ini gimana caranya mau minjem buku soal matematika?

Udah lebih dari 2 jam Jihoon nggak keluar kamar karena sibuk ngacak-ngacakin kamarnya demi mencari buku soal matematika yang tetap aja nggak tau ada dimana, membuat perut Jihoon keroncongan karena emang dia belum sempat sarapan. Jihoon pun melangkah keluar kamar dengan malas, dan bola matanya nyaris aja melompat saat mendapati ada seseorang yang sedang berbaring di sofa ruang tengah.

Jihoon melangkah mendekati seseorang tersebut, "Guanlin?"

Mendengar namanya dipanggil, Guanlin pun membuka pejaman matanya. Senyum lebar terpampang di wajahnya, sambil Guanlin merubah posisinya menjadi duduk tegak, lalu meraih sebuah tote bag yang ada di meja.

"Udah sarapan?" tanya Guanlin.

Jihoon memanyunkan bibirnya, sambil mengusap perutnya, lalu menggeleng.

Guanlin terkekeh, lalu meminta Jihoon untuk duduk di sampingnya. Jihoon pun nurut-nurut aja, dan mulai memperhatikan Guanlin yang sedang membuka satu persatu tempat makan yang berisi nasi dan lauk pauk masakan bunda.

"Bunda yang masak tadi pagi. Nih," Guanlin memberikan satu tempat makan yang berisi nasi dan 2 potong spicy wings, dan juga sayur tumis pada Jihoon.

Jihoon menerimanya dengan semangat dan langsung melahap masakan bunda. Guanlin menyandarkan punggungnya pada dinding sofa, lalu tersenyum kecil.

"Pelan-pelan sayang, nanti keselek."

Jihoon cuma ngangguk-ngangguk aja, dan tetap melahap menu sarapannya dengan semangat yang membara. Kan udah dibilang, Jihoon lagi lapar banget.

Menyadari kalau Guanlin nggak ikutan makan, Jihoon menoleh, "lo nggak makan?" tanyanya, dengan pose mulut monyong-monyong karena makanan yang ada di dalam mulutnya belum selesai dikunyah.

"Cemongan begini, kayak anak bayi deh." ujar Guanlin, sambil memungut nasi yang menempel di dagu dan pipi Jihoon.

Jihoon?

Cengengesan aja dia mah, masih sibuk ngabisin masakan bunda, soalnya enak banget.

Guanlin menggeleng, "gue udah sarapan tadi."

Oh... yaudah. Jihoon pun kembali mengambil 2 potong ayam pedas buatan bunda, dan kembali melahapnya.

Setelah semua lauk yang dibawa Guanlin habis tak bersisa, Jihoon pun mulai terdiam. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding sofa, sambil memperhatikan Guanlin yang sedang merapikan beberapa tempat makan yang dibawanya. Setelah selesai, Guanlin menoleh pada Jihoon yang sedang mengusap-usap perutnya.

"Kenyang?"

Jihoon mengangguk, "banget!! Makasih ya, Guan! Oh iya, makasih juga buat bunda!"

Guanlin tersenyum, lalu mencubit gemas pipi berisi Jihoon, "gendut, gendut, gendut!"

Jihoon nggak ngelawan, ya walaupun sekarang bibirnya udah maju 7 senti.

Guanlin melepas cubitannya, lalu mengusap lembut pipi Jihoon yang tadi ia cubit.

"Pipinya merah, gemes!"

Jihoon tersenyum, lalu melepas tangan Guanlin dari pipinya, "ngapain kesini? Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Jihoon.

"Biar surprise, hehe. Mau belajar." jawab Guanlin, sambil mengambil beberapa buku soal latihan dari tas ranselnya.

Guanlin menyodorkan beberapa buku yang ia bawa pada Jihoon, dan Jihoon langsung semangat begitu melihat ada buku soal matematika diantara buku-buku soal latihan yang Guanlin bawa.

"Buku gue ilang. Kita belajar matematika dulu, ya?" ucap Jihoon.

Guanlin mah ngangguk-ngangguk aja, lalu mereka berdua duduk di karpet bawah dan mulai berkutat dengan beberapa soal pilihan berganda.

Yang ngerjain sih, Jihoon doang. Guanlin malah sibuk ngeliatin Jihoon yang sesekali memanyunkan bibirnya begitu menemukan soal-soal yang susah.

"...ngerti, kan, Guan?"

Lucu banget. Gemes!

"Guan?"

Merasa nggak ada jawaban dari Guanlin, Jihoon pun menoleh.

Senyumin aja dulu :-)

Jihoon mulai salah tingkah sendiri karena pas dia nengok, ternyata Guanlin lagi menatap ke arahnya.

"Ndut,"

"Hmm?"

"Mau kan jadi pacar gue?"

Jihoon memutar bola matanya dengan malas, lalu kembali fokus pada buku soal yang ada di depannya.

"Ndut,"

"Apa sih?"

"Pacaran, yuk."

Jihoon nggak jawab lagi, dan mulai asik untuk menghitung soal tentang matriks, soal nomor 19.

"Ndut,"

Nggak ada jawaban.

"Gini, deh. Kalau misalnya gue dapat peringkat sepuluh besar untuk ujian kelulusan nanti, kita pacaran ya?"

Guanlin bisa diam nggak, sih? Deg-degan banget Jihoon tuh!

Merasa diabaikan, Guanlin pun mulai menjalankan aksi jitunya; ndusel-ndusel di bahu Jihoon.

Jihoon mengukir senyum kecil, kalau dipikir-pikir, tawaran Guanlin lumayan juga. Bisa bikin Guanlin jadi semangat belajar buat ujian nanti.

Yaudah deh, iya.

"Ndut,"

Jihoon terkekeh, lalu menepuk pelan pipi Guanlin yang ada di bahunya.

"Iya, iya, deal!"

Semua anak-anak kelas 12 udah berdiri di lapangan upacara. Pagi ini, mereka akan melakukan apel pagi, sebelum jam 9 nanti akan dibagikan hasil dari ujian kelulusan mereka oleh pak Aron, selaku kepala sekolah.

Ya, dan nggak berasa kalau sekarang udah jam 9 dan itu artinya anak-anak kelas 12 akan segera menerima hasil ujian mereka.

Wali kelas pun mulai membagikan amplop berisi kertas keterangan nilai pada anak-anak kelas mereka. Sambil amplop nilai itu dibagikan, pak Aron kembali berdehem melalui mic diatas podiumnya.

"Untuk peringkat, kalian bisa lihat di mading begitu kalian mendapat amplop nilai kalian."

Guanlin langsung ngacir menuju mading yang letaknya ada di koridor utama, padahal dia belum dapat amplop nilainya.

Pak Seokhoon kebingungan nyari Guanlin yang mendadak hilang dari barisan. Jihoon yang udah ngeliat dari jauh pun terkekeh, lalu melangkah menghampiri pak Seokhoon.

"Pak,"

"Eh, Jihoon. Ada apa, nak?"

Jihoon melirik amplop nilai milik Guanlin, lalu mengusap tengkuknya dengan canggung.

"Punya Guanlin, biar saya yang pegang, pak. Guanlin nya udah lari mau ngeliat mading hehe."

Pak Seokhoon pun tanpa pikir panjang langsung memberikan amplop nilai milik Guanlin pada Jihoon. Jihoon menerimanya, lalu membungkuk sambil mengucapkan terima kasih.

Setelah itu, Jihoon langsung bergegas menuju koridor utama, dan mendapati Guanlin sedang bersandar pada tiang penyangga, sambil bersila dada.

"Guan,"

Guanlin mendongak, dan mengisyaratkan Jihoon agar melihat sendiri daftar peringkat yang ada di mading.

Jihoon menurut aja, dan mulai melangkahkan kakinya menuju mading.

As expected, Jihoon. Ranking 2.

Bentar,

WAIT!!!111!!

Sebentar,

Lai Guanlin? Ranking 7?!?!?!?!?!

Dengan cepat, Jihoon langsung berbalik dan berlari menghampiri Guanlin yang sedang tersenyum.

Jihoon mengulurkan tangan kanannya, "selamat!!"

Guanlin meraih uluran tangan Jihoon, lalu menariknya hingga membuat tubuh Jihoon kini menempel dengan tubuh Guanlin.

"Kita pacaran, kan?"

Jihoon tersenyum, lalu mundur satu langkah.

Jihoon menggeleng, "...no,"

"Ndut?"

Jihoon menepuk lembut pipi kiri Guanlin, "minta izin langsung ke mama sama bang Jimin ya?"

Oh, tantangan, nih? Siapa takut!!

Dan, disinilah Jihoon dan Guanlin sekarang. Berdiri didepan sebuah pintu berbahan dasar kayu jati yang tampak mengkilap. Jihoon kembali menekan bel rumah untuk yang kesekian kalinya. Nggak lama, pintu besar itu terbuka dan menampilkan seorang wanita cantik, berumur namun masih terlihat muda, dan berpakaian serba pink.

Mau nangis aja Guanlin tuh.

Jihoon berhambur memeluk wanita tersebut, "mama."

Mamanya Jihoon pun membalas pelukan anak bungsunya itu, dan nggak lama mereka pun sama-sama melepas pelukan penuh rasa rindu itu.

"Ini Guanlin, ma." ucap Jihoon, sambil menarik lengan Guanlin agar mendekat pada mamanya.

"Lebih ganteng dari yang mama bayangin, dek." ucap mamanya Jihoon, sambil berhambur memeluk Guanlin.

Guanlin tersenyum hangat, "Guanlin, tante."

"Eh, nak Guanlin, panggil mama aja, ya?" ucap mamanya Jihoon sambil melepas pelukan Guanlin.

Guanlin tersenyum sambil mengangguk, "iya, ma."

Mama membalas senyum manis Guanlin, lalu mempersilahkan Jihoon dan Guanlin untuk masuk ke dalam.

Saat mereka bertiga memasuki ruang tamu, sebuah pintu dari ruangan yang berada di dekat tangga terbuka. Sontak, mama, Jihoon, dan Guanlin pun menoleh ke arah sumber suara.

Seorang pria yang memiliki ukuran tubuh nggak beda jauh sama Jihoon mulai melangkah menghampiri ketiganya. Oh, jangan lupakan sebuah alat panah yang terpasang di punggungnya.

"Jihoon!!"

"Bang Jimin!!"

Jihoon pun berlari untuk memeluk sang kakak yang sangat sangat sangat ia rindukan ini.

Jimin terkekeh, lalu mengacak gemas rambut sang adik.

Jimin melirik seorang pemuda lain yang berdiri di dekat mama. Jimin memicingkan salah satu alisnya, "temen lo?" tanya Jimin, datar.

Jihoon mengangguk, "dia maunya lebih dari temen, tapi Jihoon bilang, minta izin dulu sama mama sama bang Jimin."

Jimin menatap Guanlin dengan tatapan menantang, "bisa apa lo sampai berani ngegebet adek gue?"

"...ngh, bisa,"

"Main panah, bisa?"

Jihoon menyiku lengan Jimin, "jagonya main panah-panahan dia mah, bang!"

"Serius? Nama lo siapa?"

"Guanlin, bang."

Jimin mengangguk pelan, "ayo main panah. Lo lawan gue. Kalau kalah, nggak usah mimpi dapetin adek gue."

Bang Danik 2.0 confirmed.

"I i i iya, bang."

"Guanlin, kamu main panahnya pakai baju pink, ya? Biar mama ambilin buat kamu."

"T t t tapi, mah,"

Jihoon tertawa di tempatnya, "katanya mau menangin hati mama sama bang Jimin? Harus bisa, dong."

Guanlin membusungkan dadanya, lalu mengangkat tangannya untuk memberi hormat.

"Siap, ibu negara!!!"

Malamnya, Jihoon mengajak Guanlin ke pantai. Mereka berjalan bergandengan di atas pasir, sambil sesekali air laut menyapa kaki telanjang mereka.

Setelah merasa kalau mereka sudah berjalan terlalu jauh, Guanlin pun menghentikan langkahnya. Jihoon ikut berhenti disampingnya, dengan kedua alis yang saling bertaut.

Tanpa kata, Guanlin menghadapkan tubuh Jihoon agar bisa berhadapan dengannya. Jihoon menatap lurus pada sepasang mata Guanlin, dan membiarkan Guanlin kini menggenggam kedua tangannya.

Guanlin tersenyum, "tadi gue menang lawan bang Jimin. Dan, bang Jimin senang main sama gue. Bang Jimin baik." ucap Guanlin, sambil merapikan rambut Jihoon yang berantakan karena tertiup angin malam di pinggir pantai.

"Dan mama bilang, gue lucu kalau pakai baju warna pink. Mama juga baik banget." ucap Guanlin, yang hanya dibalas anggukan lembut dari Jihoon.

Guanlin menghela nafasnya, "maafin gue karena pernah bikin lo kecewa, ya?"

Jihoon tersenyum, "gue kecewa karena lo nggak bisa percaya sama gue. Itu aja, kok."

Guanlin mengangguk, lalu menyatukan dahinya dengan dahi Jihoon.

"Waktu itu, gue cuma takut kalau lo bakal ngerasa jijik sama gue. Gue cuma takut lo risih sama gue, dan nggak menutup kemungkinan untuk lo ninggalin gue. Waktu itu, gue masih egois banget dan bener-bener nggak mau kehilangan lo. Jadi, lebih baik tetap gue rahasiain semuanya, biar lo nggak risih, biar lo nggak pergi. Dan, gue juga harus menjaga keamanan bunda, waktu itu, nasib bunda ada ditangan bang Danik. Dan gue nggak bisa ngelawan bang Danik, demi bunda."

Guanlin menurunkan lagi wajahnya, membuat hidung mereka saling bersentuhan, "dan kesalahan terbesar gue adalah, merusak kepercayaan lo untuk gue,"

"Gue mau memperbaiki semuanya. Kalaupun harus ngulang dari nol, gue nggak apa-apa, kok. Yang penting lo ada disisi gue. Gue janji, gue nggak akan ngecewain lo lagi."

Jihoon tersenyum, lalu berjinjit. Ia mengecup pelan bibir Guanlin.

"Nggak usah janji, cukup buktiin aja ke gue." balas Jihoon, lembut.

Jihoon kembali tersenyum kecil, "gue disini, Guanlin. Gue siap untuk jadi telinga yang selalu siaga untuk mendengar semua cerita lo, keluh kesah lo, dan semua gombalan nggak penting lo."

Guanlin tersenyum sambil melepas genggamannya pada tangan Jihoon, lalu beralih untuk merengkuh pinggang Jihoon. Guanlin menunduk, lalu mengecup lembut bibir Jihoon. Bukan hanya kecupan, Guanlin justru melumat pelan bibir Jihoon.

Guanlin melepas ciumannya, lalu menangkup wajah Jihoon yang tetap terlihat sempurna walau dibawah langit gelap.

Guanlin mengusap lembut wajah Jihoon, "jadi, kita resmi pacaran?" tanya Guanlin.

Jihoon nggak bisa lagi menahan tawanya, ia mengangguk, lalu berhambur untuk memeluk Guanlin. Guanlin juga nggak bisa lagi menyembunyikan senyum bahagianya. Ia membalas pelukan Jihoon, lalu meletakkan dagunya diatas puncak kepala Jihoon.

"Ndut,"

"Hmm,"

"Makasih karena kamu selalu maafin kesalahan aku, dan makasih karena kamu masih mau nerima uluran tangan aku."

Jihoon mengangguk, "makasih karena kamu juga selalu nunggu aku. Makasih juga, karena kamu nggak ada capek-capeknya buat sayang sama aku."

Guanlin mencium puncak kepala Jihoon berulang kali, "I love you,"

Jihoon mengeratkan pelukannya, ia menyandarkan kepalanya di dada sebelah kiri Guanlin,

"I love you too."

END~

♔♔♔♔


Mäuschen sendiri merupakan bahasa Jerman yang berasal dari kata 'Maus' (tikus). Kalau di Jerman, ini merupakan panggilan sayang dari seseorang untuk kekasihnya. Mäuschen ini juga lebih mengarah ke artian 'lucu', 'gemas', atau 'imut'. Kan Guanlin suka gemesan kalau sama Jihoon, makanya terbitlah judul Mäuschen ini:-)

♔♔♔♔♔

SELESAI SUDAH CERITA ABAL-ABAL INI. AKU MENGUCAPKAN TERIMA KASIH SEDALAM-DALAMNYA BUAT KALIAN SEMUA. KOMENTAR-KOMENTAR YANG SANGAT MENGHIBUR, MULAI DARI 'ambyar',  'anjay', SAMPAI KE YANG ISINYA SUMPAH SERAPAH, NANGIS-NANGIS, DAN CAPSLOCK SEMUA. intinya, aku sayang kalian!!!

Oh iya, chapter ini 10.500+ words loh HEHEHE

1 LAGI!!!!

Kalo jadi, bakalan ada Extra chapters sebagai pemanis. Kalo jadi ya hEhE.

Sekian, dadah!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro