ㅡ (15)
Di dunia ini ada 2 waktu, waktu untuk berjuang dan waktu untuk berhenti. Setiap orang, pasti akan memperjuangkan apa yang menurut mereka pantas untuk diperjuangkan. Nggak peduli itu akan jadi perjuangan yang panjang bahkan menyakitkan sekalipun. Tapi, setiap orang juga berhak untuk berhenti. Berhenti memperjuangkan apa yang telah mereka perjuangkan. Terkadang, mereka terlalu bersemangat untuk berjuang. Sampai lupa untuk memikirkan hati dan perasaan sendiri. Lalu mereka akan bertemu pada suatu masa, dimana semuanya seolah sudah berhenti.
Ya, disitulah perjuangan mereka berakhir.
ㅡ(Mäuschen, 2017)
♔
Lagi, Guanlin menghembuskan nafasnya. Matanya sama sekali nggak teralihkan dari layar ponselnya, dimana kontak line Daniel masih terpampang disana. Daniel baru aja ngefree-call dia, nggak ngomong apa-apa dan langsung dimatiin. Hmm, kepencet kali ya?
Guanlin menyentuh spot back dan muncullah beberapa chat yang menumpuk dari semalam. Ada Daehwi yang ngechat, nanya kenapa Guanlin nggak masuk. Ada Hyungseob yang ngechat, nanya Guanlin lagi sakit atau lagi pergi, kok nggak masuk. Ada chat yang numpuk dari grup alumni SMP, dan ada juga chat yang ngebludak dari anak-anak basket yang ngajakin main hari ini.
Guanlin membuka satu persatu chat yang menumpuk itu, membacanya dengan cepat lalu mulai mengetikkan pesan balasan.
Yang pertama, Guanlin membalas chat line dari sohibnya dulu, alias Daehwi.
Lai Guanlin:
Nggak enak badan nih, Hwi.
Tolong izinin ya^^
Yang kedua, Hyungseob. Sohibnya juga, tapi karena Hyungseob lebih bawel daripada Daehwi, jadinya Guanlin suka lebih sayang sama Daehwi daripada sama Hyungseob.
Lai Guanlin:
Sakit:((
Jangan kangen ya
Guanlin ini sebenernya tipe anak easy going, makanya dia nyambung-nyambung aja bergaul sama Daehwi dan juga Hyungseob.
Yang ketiga, Guanlin membuka chat dari grup basket. Anak-anak basket kelas 12 pada ngajakin main pas pulang sekolah nanti. Guanlin sebenernya pengen banget ikut, ya lumayan kan buat bantu nyembuhin hatinya, tapi semalem Guanlin udah kepalang bikin janji sama Chungha buat ketemu hari ini.
Lai Guanlin:
Gue absen dulu ya. Lagi nggak enak badan nih
Next time gue pasti ikut
Guanlin sakit? Iya, hatinya bukan fisiknya. Jadi, Guanlin memutuskan untuk nggak ketemu sama siapa-siapa dulu hari ini. Guanlin belum siap. Bener-bener belum siap. Guanlin bahkan belum keluar kamar sama sekali sejak semalam. Sibuk nangis, sibuk nyalahin dirinya sendiri, sibuk nyiksa dirinya sendiri, abis itu ngantuk, dan tidur. Semalam, Guanlin berdoa sama Tuhan. Guanlin minta, biar besok pagi bisa bangun dengan hati yang sedikit lebih tenang. Tapi sayang, tadi pagi, Guanlin justru terbangun karena memimpikan Jihoon.
Jihoon.
Jihoon.
Dan itu, berhasil bikin Guanlin sadar, kalau dia udah bener-bener berhenti dan lepasin semuanya.
Guanlin mematikan ponselnya, dan langsung menyimpannya di atas nakas yang ada di samping ranjangnya. Itu artinya, Guanlin mengabaikan semua chat masuk dari Jihoon yang sebenernya berada di paling atas daftar chat line-nya.
Guanlin menghela nafasnya sekali lagi, lalu beranjak turun dari ranjang. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu mulai melangkah keluar, meninggalkan kamar yang semalaman suntuk menjadi saksi bisu dari segala pelampiasan kesedihannya.
Guanlin melangkahkan kakinya menuju dapur, dan senyum tipis terbit di bibirnya saat mendapati sang bunda sedang duduk di salah satu bangku yang ada di meja makan. Dengan cepat, Guanlin melangkah mendekati sang bunda.
Guanlin menunduk, lalu mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepala bunda. Bunda menoleh, dan tersenyum saat melihat putranya sedang berdiri di sampingnya.
"Guanlin,"
Guanlin mengambil posisi duduk di samping sang bunda, "pagi, bunda." sapa Guanlin, yang masih memusatkan tatapannya pada sang bunda.
Bunda terdiam, saat melihat wajah Guanlin yang sembab dan juga kelopak matanya yang membengkak. Bunda menghela nafasnya, lalu mengarahkan tatapannya ke arah lain.
"Ini salah bunda."
"Guanlin nggak mau bahas itu lagi, bunda. Mulai sekarang, kita harus buka lembaran hidup yang baru. Guanlin janji, Guanlin nggak akan pernah buat bunda kecewa lagi."
Bunda menoleh, kembali memusatkan tatapannya pada Guanlin yang ternyata masih menatap ke arahnya.
"Kalau kamu nggak mau buat bunda kecewa lagi, jangan lepasin Jihoon."
Guanlin tersenyum kecil, lalu beranjak dari bangkunya.
"Bunda mau sarapan apa? Biar Guanlin yang masak pagi ini." ucap Guanlin, sambil melangkah menuju meja dapur.
Guanlin membuka salah satu laci kecil, dimana biasanya ia menyimpan stok kopi kesukaannya. Guanlin berbalik, "kopi?" tanya Guanlin, sambil menunjukkan salah satu bungkus kopi instan di tangannya.
Bunda menghela nafasnya dengan pelan, "bunda yang salah. Bunda terlanjur bikin perjanjian sama Daniel. B b b bunda... Bunda... kamu ingat waktu bunda bikin kekacauan di pub?"
Guanlin kembali berbalik ke arah meja dapur, lalu beralih mengambil termos berisi air panas dan juga mengambil dua cangkir putih berukuran kecil.
"Oke, kita ngopi pagi ini." ucap Guanlin, yang mulai menuangkan bubuk kopi instan ke dalam 2 cangkir yang sudah ia siapkan.
"Malam itu bunda maksa barista untuk buatin bunda minuman. Padahal bunda tau, peraturan disana itu melarang orang-orang kayak bunda untuk mabuk, kalau nggak ada yang bertanggung jawab. Malam itu, bunda udah janjian sama Daniel. Daniel yang akan jadi penjamin bunda untuk malam itu. Tapi, Guanlin, kamu ingat? Sebelum itu semua kejadian, kita bertengkar di rumah. Ingat? Mulai dari situ, bunda berpikir. Bunda sadar kalau selama ini bunda cuma jadi beban buat kamu. Bunda bingung saat itu. Bunda nggak tau, apa yang harus bunda lakuin. Bunda cuma butuh ketenangan, bunda butuh minum, bunda butuh pelampiasan. Tapi, Daniel nggak datang-datang dan bunda akhirnya minta barista untuk bikinin satu gelas minuman untuk bunda. Tapi, nggak ada yang dengerin bunda. Satu orang pun nggak ada yang dengerin bunda. Semua orang cuma melihat bunda sebagai sampah, Guanlin. Termasuk Daniel, yang dengan seenaknya langsung membatalkan janji kita malam itu."
"Bunda, bunda mau roti isi apa? Selai keju atau cokelat atau stroberi?"
"Dan waktu Daniel datang kesini untuk yang pertama kali, dia minta pertanggung jawaban bunda karena udah bikin dia malu malam itu. Oke, bunda tau, apa yang terjadi pada malam itu memang mutlak kesalahan bunda. Jadi, bunda setuju untuk membuat satu perjanjian sama Daniel.
Dengan jaminan, bayaran bunda malam itu akan dicairkan secepatnya.
Dan perjanjiannya adalah, bunda harus jauhin kamu dari Jihoon." ucap bunda, yang sama sekali nggak mengalihkan pandangannya dari Guanlin yang tampak sibuk mengoles selai pada beberapa lembar roti tawar.
"Guanlin,"
Guanlin berbalik, lalu tersenyum.
"Sebentar lagi Guanlin selesai, bun. Sebentar, ya."
"Guanlin, kamu dengerin bunda nggak, sih?"
Guanlin kembali berbalik dengan dua cangkir kopi di tangannya. Guanlin melangkah menuju meja makan, lalu memberikan salah satu cangkir kopi untuk sang bunda.
"Rotinya masih dipanggang. Satu menit lagi Guanlin angkat." ucap Guanlin, yang kembali melangkah menuju meja dapur.
"Bunda awalnya setuju untuk nurutin semua perintah Daniel. Tapi, setelah kamu bawa Jihoon kesini, bunda berubah pikiran, Guanlin. Kamu senyum, kamu ketawa, kamu bahagia, itu adalah tiga hal yang nggak pernah kamu tunjukin di rumah ini tapi kemarin, saat Jihoon ada disini, kamu tunjukin itu semua, Guanlin. Jihoon, dia adalah kebahagiaan untuk kamu. Dan apa kamu pikir bunda tega untuk misahin kamu dari kebahagiaan kamu? Dan harus bikin kamu sedih lagi?"
Guanlin mengambil dua piring dari salah satu sekat rak yang tertempel di dinding yang ada di atas kepalanya. Lalu, mulai menyajikan roti panggang buatannya di kedua piring tersebut.
"Saat kamu anterin Jihoon pulang, bunda nelfon Daniel. Bunda minta Daniel untuk batalin perjanjian kita, dan nggak lama setelah itu Daniel datang dan ya, marah sama bunda. Tapi bunda nggak papa, bunda nggak peduli yang penting perjanjian itu bisa dibatalin dan kamu nggak perlu jauh-jauh dari Jihoon. Tapi,"
Guanlin kembali melangkah menuju meja makan dengan dua piring yang sudah berisi roti panggang di tangannya. Guanlin memberikan salah satu piring kepada bunda, lalu mengambil posisi duduk di depan sang bunda.
Guanlin menyesap kopinya, sedangkan bunda lagi mati-matian menahan air matanya yang udah siap mengalir kapan aja. Bunda bener-bener ngerasa bersalah. Bunda merasa sangat gagal karena nggak bisa mengembalikan senyuman Guanlin. Bunda kecewa sama dirinya sendiri, karena pagi ini harus ngeliat wajah sembab dan mata bengkak anaknya. Guanlin, anaknya, meskipun udah terlalu sering ia tolak keberadaanya, Guanlin sama sekali nggak pernah nangis. Bunda tau itu. Guanlin, anaknya, adalah anak yang kuat. Anak yang pemberani. Dan bukan anak yang cengeng. Tapi, apa yang dilihatnya sekarang adalah, Guanlin, anaknya, yang pada akhirnya merelakan buliran-buliran bernama air mata mengalir di wajahnya untuk yang pertama kalinya.
Guanlin memusatkan tatapannya pada sang bunda, lalu tersenyum.
"Guanlin nggak apa-apa, bunda." ucapnya, yang justru semakin membuat bunda merasa bersalah.
"Bunda janji, bunda akanㅡ"
"Hari ini Guanlin tidur di tempat kak Chungha ya, bun? Bunda nggak apa-apa kan, di rumah sendiri?"
Bunda menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
Guanlin menghela panjang nafasnya, "bunda, Jihoon bukan takdirnya Guanlin. Jadi, ini udah saatnya untuk Guanlin lepasin Jihoon."
"Guanlin nggak bisa terus menahan apa yang bukan milik Guanlin."
"Guanlin beneran nggak apa-apa, bunda. Guanlin nggak bohong."
Bunda beranjak meninggalkan meja makan, meninggalkan secangkir kopi dan sepiring roti panggang yang sama sekali belum disentuhnya, juga meninggalkan Guanlin yang kini sedang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Guanlin menggeleng kuat-kuat, saat nggak sengaja setetes air mata kembali jatuh membasahi wajahnya. Dengan cepat, Guanlin mengusap wajahnya.
Cukup, Guanlin.
Guanlin mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan.
Cukup, ok?
♔
"Jihoon?"
Jihoon mendongak, lalu tersenyum kecil saat mendapati Jinyoung kini berdiri di depannya. Pandangan Jihoon beralih pada salah satu tangan Jinyoung yang memegang segelas susu vanilla.
"Buat aku?" tanya Jihoon.
Jinyoung mengangguk, lalu menyodorkan gelas tersebut pada Jihoon. Jihoon mengambilnya dengan senang hati, dan langsung meneguk habis susu buatan Jinyoung dalam beberapa detik.
Jinyoung terkekeh, lalu mengusap gemas rambut berantakan khas bangun tidur Jihoon. Iya, Jihoon baru banget bangun tidur. Begitu sampai kondo, Jihoon langsung berbaring di sofa dan tidur disana tanpa melepas sepatu dan mengganti seragamnya.
"Haus apa lapar?" tanya Jinyoung, sambil mengambil gelas susu yang udah kosong itu dari tangan Jihoon. Jihoon cuma bisa tersenyum kecil. Lagi nggak ada mood buat melotot, atau membalas ledekan Jinyoung. Jinyoung meletakkan gelas kosong tersebut di atas meja, lalu mengambil posisi duduk di samping Jihoon.
"Jihoon,"
Jihoon menoleh, lalu memincingkan salah satu alisnya.
"Kamu kenapa sama Guanlin?" tanya Jinyoung dengan lembut.
Mendengar nama Guanlin, rasanya pertahanan Jihoon runtuh lagi. Tiba-tiba, matanya terasa panas dan pandangannya mulai kabur begitu aja.
Guanlin, satu nama, satu orang, tapi banyak meninggalkan luka. Guanlin, satu-satunya orang yang jadi alasan dibalik semua air mata Jihoon. Kalau dibilang capek, Jihoon capek harus nangisin Guanlin terus-terusan kayak gini. Tapi, Jihoon bisa apa? Jihoon nggak bisa melakukan apa-apa, selain menyesali keputusannya yang hampir membuat dia jatuh ke lubang yang sama. Hm, bukan hampir lagi. Tapi, udah jatuh.
Jihoon mengusap wajahnya dengan cepat, sambil berusaha untuk menyeka air mata yang nggak sengaja mengalir dari pelupuk matanya. Jihoon nggak mau nangis lagi, apalagi di depan Jinyoungㅡ orang yang udah dia janjiin untuk nggak akan pernah nangis lagi karena Guanlin. Sayang, Jihoon baru aja mengingkari janjinya.
Jihoon menghela nafasnya, "nggak apa-apa, Jin. Ya, nggak jodoh aja kali." jawab Jihoon, sambil berusaha mengukir senyum manis di wajahnya.
Jinyoung berdecak, "emang kamu mau nggak jodoh sama Guanlin?"
"Kalau emang nggak berjodoh, ya mau diapain lagi? Aku nggak mau keterusan nahan-nahan jodoh orang, jadi, aku relain aja. Aku lepasin."
Jihoon tersenyum, bener-bener berusaha untuk nggak nangis, padahal matanya udah panas banget. Jihoon terus meyakinkan dirinya sendiri, kalau melepas Guanlin adalah keputusan yang paling baik. Lagi pula, buat apa terus-terusan memperjuangkan orang yang udah jelas cuma mainin perasaan kita aja? Buat apa kita mengharapkan orang yang ternyata nggak pernah punya harapan buat kita? Buat apa terus-terusan berusaha untuk meraih orang yang jelas-jelas jauh dari gapaian kita?
Jihoon sadar, dia terlalu sayang sama Guanlin, sampai-sampai dia melupakan fakta kalau bisa aja selama ini Guanlin cuma main-main sama dia. Jihoon terlalu sayang sama Guanlin, sampai-sampai dia melupakan fakta kalau bisa aja Guanlin akan melakukan kesalahan yang sama. Kapanpun itu. Jihoon terlalu sayang sama Guanlin, sampai-sampai detik ini pun dia masih sulit percaya kalau Guanlin emang sejahat itu.
Jihoon menyesal. Kenapa dia bisa jatuh sedalam itu?
Jihoon menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan.
Jihoon menoleh pada Jinyoung yang ternyata sedang menatap ke arahnya, "Jin,"
"Hmm?"
Jihoon tersenyum kecil, "kamu mau janji satu hal sama aku?" tanya Jihoon.
Jinyoung memincingkan salah satu alisnya, "janji apa lagi? Kamu aja nggak bisa nepatin janji kamu sama aku." balas Jinyoung.
Jihoon memanyunkan bibirnya, "aku nyesel!!"
Jinyoung terkekeh, lalu mulai mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Jihoon yang sudah terulur di depan wajahnya.
"Janji apa?"
"Janji untuk marahin aku, tegur aku, cubit aku atau apapun itu, kalau aku nangisin dia lagi." ucap Jihoon, yang sebenernya ngomong ini aja sambil nahan air mata.
Jinyoung mendengus, "nangis itu kan hak kamu. Aku nggak ada hak untuk ngehukum kamu kalau kamu nangis." balas Jinyoung dengan tatapan yang makin bikin Jihoon mau nangis.
Jihoon menggeleng dengan cepat, "tapi, aku nggak mau nangisin orang yang bahkan nggak pernah memperhitungkan air mata aku buat dia. Aku capek. Aku nggak mau kayak gini terus. Aku, akuㅡ"
Jinyoung melepaskan tautan jari mereka, dan langsung menarik Jihoon ke dalam dekapannya saat matanya menangkap langsung air mata yang mengalir dari pelupuk mata Jihoon. Jinyoung memeluk Jihoon dengan erat, sedangkan Jihoon udah nggak bisa lagi nahan tangisnya. Bahunya bergerak naik-turun seiring dengan isakannya.
Sakit. Cuma satu kata itu yang bisa menggambarkan perasaan Jihoon saat ini. Nggak ngerti lagi, tapi ini bener-bener nyakitin. Jihoon udah coba ngeyakinin dirinya sendiri, kalau dia bisa tanpa Guanlin. Kalau dia akan baik-baik aja tanpa Guanlin. Jihoon bahkan udah memperingati dirinya sendiri, kalau nggak boleh lagi nangisin Guanlin, sekalipun nggak boleh, tapi pada akhirnya tetap gagal. Tembok yang baru aja dia bangun di hatinya mendadak runtuh. Sakit. Jihoon bahkan nggak bisa mengukur segimana sakitnya dia sekarang. Sakit. Ini sakit banget, Jihoon cuma nggak nyangka kenapa Guanlin bisa sejahat itu?
"Semakin aku sayang sama dia, semakin aku nyakitin diri aku sendiri. Aku nggak mau begini terus." ucap Jihoon disela tangisannya.
Jinyoung masih terdiam, sambil tangannya terus mengusap lembut punggung Jihoon.
"Aku mau berhenti. Aku mau stop. Aku nggak mau ngebiarin perasaan aku buat dia terus bertumbuh, aku bodoh selama ini, akuㅡ"
"Ssstt..." masih sambil mengusap punggung Jihoon, Jinyoung berbisik tepat di telinga Jihoon.
"Aku disini." lanjut Jinyoung, sambil mengeratkan pelukannya.
"Aku nggak akan biarin dia nyakitin kamu lagi. Aku disini."
Jihoon terdiam, dan semakin memeluk Jinyoung dengan erat. Disini, didalam dekapan Jinyoung, Jihoon merasa aman. Dan disini juga, Jihoon merasa jauh dari Guanlin. Jihoon janji, akan menyukai pelukan ini, pelukan Jinyoung, mulai dari sekarang.
Jihoon memejam, setetes air mata lain jatuh tepat di atas bahu Jinyoung.
"Tolong, tolong buat rasa sayang aku pindah ke kamu. Aku mohon." ucap Jihoon, dengan pelan, seiring isak tangisnya yang mulai mereda.
Jinyoung mengangguk, lalu mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepala Jihoon.
"Aku janji, aku nggak akan ngecewain kamu. Aku sayang sama kamu, kamu tau itu." balas Jinyoung.
Jihoon cuma bisa mengangguk pelan, dan sama sekali nggak mau melepas pelukan Jinyoung. Masih dengan mata yang terpejam, Jihoon bergumam dalam hatinya.
Gue kira, selamanya cuma lo yang bisa menangin hati gue, Guan. Ternyata gue salah. Karena apa yang dibilang pepatah itu benar, yang selama ini dikejar akan kalah, bahkan kalah telak, sama yang selama ini selalu ada.
♔
"Guanlin,"
"Gue bego, kak. Gue bego! Gue mengulang kesalahan yang sama dua kali dan gue, ah shit! Gue emang bodoh, pengecut, pecundang, gue emang cowok brengsek, gue cuma bisa nyakitin Jihoon dengan kesalahan yang sama. Gueㅡ"
"Udah nyalahin diri sendiri-nya?"
Guanlin mendongak, dan mendengus saat mendapati Chungha sedang bersila dada di depannya.
"Dek, dengerin gue,"
Chungha menghela nafasnya, lalu beranjak dari sofa yang didudukinya. Chungha melangkah dan memposisikan dirinya di depan Guanlin. Ia menangkup wajah adiknya, lalu menatap adiknya itu dengan dalam.
"Lo terus-terusan nyalahin diri lo karena lo baru aja nyakitin Jihoon lagi, dan lo sama sekali nggak mikirin kalau lo juga nyakitin diri lo sendiri? Hah?" tanya Chungha.
Guanlin baru aja mau buang muka, tapi Chungha langsung menghadapkan wajah Guanlin agar kembali berhadapan lagi dengannya.
"Lo juga sakit, Guanlin. Bukan cuma Jihoon yang sakit!"
Guanlin berdecak, "perasaan gue nggak penting, kak! Yang gue pikirin cuma Jihoon. Kalau dia benci lagi sama gue gimana? Kak, gue sayang sama dia. Gue sayang banget sama Jihoon. Gueㅡ"
"Tuh. Lo nangis,"
Chungha mengusap wajah Guanlin dengan lembut, berusaha untuk menyeka buliran air mata yang mengaliri wajah pucat sang adik, "masih mau bilang kalau perasaan lo itu nggak penting?" tanya Chungha, yang intonasi suaranya mulai melembut.
Chungha, posisinya sekarang sama kayak bunda. Baik Chungha maupun bunda sama-sama baru pertama kali ini ngeliat Guanlin nangis. Sebesar apapun masalah yang dihadapi Guanlin, sejahat apapun perlakuan bundanya di masa lalu, Guanlin bahkan nggak pernah nangis satu kalipun. Itu yang bikin Chungha yakin, kalau adiknya adalah sosok yang luar biasa kuat. Tapi, Guanlin yang duduk di hadapannya saat ini adalah, Guanlin, adiknya yang sebenarnya, yang pada akhirnya berhenti bersikap sok kuat dan membiarkan air mata membanjiri wajahnya.
"Kalau Jihoon benci sama gue, gue harus apa, kak?" tanya Guanlin, yang bener-bener udah keliatan putus asa.
Chungha mengangkat wajah Guanlin, "lagian lo juga, sih. Kenapa nggak pernah mau ceritain soal bunda ke Jihoon, sih? Lagian, kata ayah kemarin, Jihoon udah ketemu sama bunda? Terus kenapa, Guanlin? Kenapa lo nggak ceritain semuanya ke Jihoon? Gimanapun juga, lebih baik Jihoon tau dari mulut lo langsung daripada dia tau dari orang lain. Dengan lo nggak terbuka sama dia kayak gini, dia bisa jauh lebih kecewa sama lo daripada sebelum-sebelumnya, Guanlin." ucap Chungha, sambil kembali menyeka air mata yang kembali menetes dari pelupuk mata Guanlin.
Guanlin menggeleng, "dia pasti jijik sama gue."
"Aw!"
Good, sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiri Guanlin. Guanlin mengusap pipinya yang baru aja ditampar sama Chungha, lalu menatap Chungha dengan sendu.
"Serendah itu kepercayaan lo sama Jihoon? Lo udah gila, ya?" tanya Chungha, yang lama-lama jadi kesel sendiri karena ya, jujur, adiknya ini emang pengecut.
"Lo nggak ngerti, kak. Gue udah dua kali ada di posisi ini. Dan berada di posisi ini, nggak semudah yang lo pikirin. Gue cuma nggak mau Jihoon ninggalin gue lagi. Cukup sekali aja dia ninggalin gue. Tapi, gue, gue baru aja bikin dia ninggalin gue lagi. Gue emang pengecut, iya kan, kak?"
Chungha berdecak, "kalau lo sayang sama Jihoon, lo nggak bakalan nutupin rahasia lo dari dia. Kalau lo sayang sama Jihoon, nggak akan serendah ini rasa percaya lo buat dia. Kalah lo sayang sama Jihoon, lo nggak mungkin ngebiarin dia untuk ngerasain sakit yang sama dua kali, Guanlin. Stop it, berhenti bilang kalau lo sayang sama dia disaat lo lebih memilih untuk ngelepas dia. Lo nggak sayang sama Jihoon."
Guanlin nunduk, berusaha untuk mencerna semua perkataan Chungha. Guanlin sadar, dia salah. Salah banget. Tapi, apa salah kalau Guanlin lebih memilih keamanan bunda daripada perasaan Jihoon?
Salah, jelas salah. Benar apa kata Chungha, kalau dari awal Guanlin ceritain semuanya ke Jihoon, semua ini nggak akan kejadian. Bundanya akan aman, dan Guanlin juga tetap bisa menjaga perasaan Jihoon.
Telat, Guanlin.
Penyesalan emang selalu datang belakangan.
Nggak usah nyesel.
Chungha kembali menangkup wajah Guanlin, "minta maaf ke Jihoon."
Guanlin menggeleng, "nggak segampang itu untuk gue munculin diri di hadapan dia lagi, kak."
Chungha mendengus, "kalau gitu lepasin Jihoon."
"Dengan arti melepaskan yang sebenernya."
♔
Hari ini Guanlin udah masuk sekolah. Wajahnya datar, sama persis kayak wajah dia saat masuk ke sekolah ini untuk yang pertama kalinya. Disaat Guanlin belum kenal siapa-siapa. Disaat Guanlin masih sendirian.
Guanlin menyeret langkah kakinya dengan malas menuju kelasnya yang emang agak jauh dari parkiran. Tapi, langkahnya harus terhenti saat matanya nggak sengaja menatap satu pemandangan yang sulit untuk masuk ke dalam akal sehatnya.
Disana, di depan sana, dari arah koridor utama, ada Jihoon, yang kelihatan lagi males-malesan diatas punggung Jinyoung. Kepalanya yang terkulai di bahu kanan Jinyoung, dan juga kedua tangan yang melingkari leher panjang Jinyoung.
Guanlin menghela nafasnya dengan berat, saat melihat Jihoon yang cekikikan saat Jinyoung mencium pipinya. Jihoon membuka pejaman matanya, lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipi Jinyoung sebagai balasan. Keduanya tertawa, bahagia, seolah nggak ada beban.
Guanlin masih terdiam.
Apa yang baru aja mau ia perbaiki, harus berantakan di awal.
Selesai.
Udah nggak ada harapan lagi untuk Guanlin buat dapetin Jihoon.
Berakhir.
Ya, Guanlin bertekad untuk mengakhiri perjuangannya sampai disini.
Demi Jihoon, dan kebahagiaan yang sampai kapanpun nggak akan pernah bisa Guanlin berikan untuk Jihoon.
Jihoon, sosok yang sama sekali nggak pernah pergi meninggalkan hatinya.
Itu dulu.
Dan sekarang, semuanya udah berubah.
Jihoon udah pergi.
Dan nggak mungkin lagi bisa dicapai.
.
.
.
.
DADAHHHH!!!!!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro