Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ㅡ (1)

"Jadi, gimana?"

"Nggak usah dibahas aja, ya? Soalnya gue nggak tau harus jawab apa."

"Tapi ya, kalau gue perhatiin belakangan iniㅡ"

"Udahan bisa nggak, sih?"

Sure. Okay. Woojin hanya bisa diam. Pemuda bermarga Park itu kembali melahap makan siangnya, ya meskipun bola matanya beberapa kali terangkat untuk melirik temannya yang memiliki satu marga yang sama dengannya.

Woojin biasanya bisa makan dengan lahap. Ya, itu sih kalau hatinya lagi tenang. Tapi sekarang pemuda ini lagi nggak bisa makan dengan lahap. Ya, ini sih karena hatinya lagi nggak tenang.

Woojin meneguk es teh manisnya, lalu matanya beralih dari sang sahabat ke arah pemuda lain yang duduk di salah satu meja kosong, ya sekitar 2 meter sih jaraknya kalo dihitung dari meja tempat kedua Park ini duduk. Setelah Woojin melirik pemuda itu, matanya kembali melirik Jihoon yang kelihatannya justru nggak keganggu sama sekali.

Ck. Ini anak emang kebangetan kalo udah makan.

Woojin mengetuk-ngetuk jari-jemarinya di atas meja, berusaha untuk mengambil lagi perhatian Jihoon tapi yang dipancing justru nggak kepancing-pancing. Sebenarnya tuh Woojin suka bingung. Ya, kadang-kadang sih. Kenapa Jihoon nggak kapok gitu makan banyak padahal jelas-jelas badan dia tuh ya tumbuhnya ke samping bukan ke atas.  Alias melebar. Alias melar.

Woojin berdehem, masih belum dapat perhatian dari Jihoon, sih. Tapi, yaudah lah.

"Tapi, lo pernah kepikiran ini nggak sih, Hoon? Porsi makan lo kan banyak banget tuh ya, bisa aja Guanlin nolak lo karena lo itu ya hmㅡsedikitgendutgituyajadiGuanlinagakgimanagitu, ya nggak sih?"

Jihoon menghentikan aktivitas melahap makan siangnya. Matanya melirik dalam tepat ke manik mata sahabatnya yang kadang Jihoon tuh suka bingung, kenapa mereka bisa sahabatan? Ya, secara Park Woojin Park Woojin ini savage banget. Kalau ngomong suka nggak tau diri.

Jihoon menelan salivanya sebelum ia meneguk es teh miliknya yang masih penuh, "ngomongnya pelan-pelan coba biar kedengeran."

Woojin mengambil nafas dalam-dalam, "nggak gitu, Hoon. Jadi maksud gue tuh gini, kan-hmm, ya gitu. Tapi bisa aja emang begitu kejadian yang sebenernya."

Woojin tetap nggak berani ngulang kalimatnya. Aura di sekitarnya udah beda. Ah, salah ngomong kan!

Ya, pada akhirnya Woojin memilih diam dan kembali melanjutkan makan siangnya. Lagi-lagi dengan nggak tenang. Ya gimana mau tenang, mata Jihoon masih betah membidik ke arahnya.

Setelah Woojin menghabiskan suapan ketiganya, terdengar helaan nafas berat dari arah depannya yang kemudian disusul dengan deritan bangku didorong, menandakan bahwa Jihoon otw ninggalin meja ini. Woojin mendongak, dan benar aja Jihoon udah ngegendong lagi tas ranselnya dan melangkah meninggalkan meja tanpa menghabiskan makanan dan minumannya. Woojin baru aja mau manggil Jihoon, tapi nggak jadi. Karena orang yang sebelumnya ia lirik, yang duduk di meja yang berjarak sekitar 2 meter dari meja yang ia duduki bersama Jihoon, udah lebih dulu ngejar Jihoon. Jadilah Woojin kembali meneruskan acara makan siangnya. Syukurlah, kali ini bisa dengan tenang.

Jihoon cuma bisa ngepalin tangannya. Sementara kedua kakinya terus melangkah yang nggak tau sih sebenernya ada tujuan atau nggak. Yang penting Jihoon males ngeliat Woojin. Ngeselin. Dan yang penting, Jihoon tuh masih lapar. Semua gara-gara Park Woojin! Nyebelin emang!!

Jihoon berhenti melangkah dan tiba-tiba ada juga yang ikut berhenti di belakangnya. Ngeselinnya lagi, kayaknya nih yang berhenti di belakangnya emang lagi ngikutin dia. Soalnya yang ikutan berhenti ini nabrak dia. Jangan bilang ini Park Woojin. Kalo iya, Jihoon beneran nggak segan-segan untuk bikin perhitungan. Ya gimana ya, udah nanya-nanya soal si itu, terus pake segala ngehina fisiknya, terus bikin Jihoon kelaperan karena tadi makanan dan minumannya belom dihabisin, dan sekarang malah ngikutin dan nabrak tubuhnya yang lagi kelaperan klimaks ini?!?!?!

Jihoon berbalik dan udah siap banget padahal buat nerbangin satu bogeman, tapi...

Nggak jadi.

Ternyata bukan Park Woojin.

Jihoon menutup rapat matanya, lalu berbalik. Kalau tadi Jihoon bilang lagi nggak mau banget ngeliat Woojin, nah kalo ini kasusnya beda. Jihoon lebih nggak mau sangat sangat nggak mau beneran jinjja jeongmal real heol daebak wanjeon nggak mau bahkan dari pertama Jihoon memutuskan untuk lepasin semuanya, Jihoon bener-bener nggak mau lagi ngeliat orang yang baru aja nabrak dia dari belakang ini.

Jihoon refleks membuka pejaman matanya saat sesuatu menyentuh pergelangan tangannya. Dan dengan refleks juga, Jihoon menebas sentuhan itu.

"Jihoon,"

Selain takut sama suara gledek, asal tau aja Jihoon juga takut sama suara yang baru aja manggil namanya.
Tanpa menjawab, Jihoon langsung melangkah, tapi lagi-lagi Jihoon gagal. Sentuhan lain kini melingkari lehernya. Membuat Jihoon bener-bener harus berhenti. Tetap, tanpa mengeluarkan suara apa-apa.

Jihoon dapat merasakan kalau orang ini semakin merapatkan posisi mereka. Jihoon bisa merasakan dada orang ini yang udah bener-bener nempel sama tubuh bagian belakangnya. Jihoon mengambil nafas dalam-dalam. Tangannya meraih tangan besar yang memeluk lehernya, berusaha untuk menarik dan melepaskannya.

"Lepasin gue, Guanlin."

"Nggak mau."

Guanlin. Guanlin adalah satu-satunya orang yang paling ia hindari sejak kejadian 2 bulan lalu. Guanlin pernah jadi temannya. Guanlin pernah jadi sahabatnya. Tapi ingat, itu dulu. Bagi Jihoon, semua yang terjadi dulu tuh nggak akan bisa terjadi lagi sekarang. Udah kodratnya untuk dilupain. Udah kodratnya untuk nggak diangkat lagi permukaan. Udah kodratnya untuk ditenggelemin.

Langkah berikutnya yang diambil Guanlin adalah: memeluk Jihoon lebih erat dan menempelkan dagu panjangnya dipuncak kepala Jihoon. Guanlin memejamkan matanya, "gue kangen."

Jihoon hanya diam. Nggak ada usaha lagi buat nyingkirin tangan Guanlin dari tubuhnya. Dan lagi, ingat, Jihoon lagi lapar banget. Kalau dia ngeladenin Guanlin buat debat, terus nanti suara perutnya bunyi terus kedengeran kan nggak lucu!!!

(Ngegas)

"Hoon,"

"Lepasin, nggak."

Guanlin menggeleng diatas kepala Jihoon, "nggak mau dibilangin."

"Lagian ada perlu apa lagi sih? Semuanya udah jelas kan!! Udah selesai juga!! Udah beres!! Udah clear!! Udah nggak ada yang perlu dibahas lagi!! Udahㅡ"

krrkkrkrkrk

Iya, anggap aja itu suara perutnya Jihoon.

Jihoon langsung menutup mulutnya se-rapat mungkin. Sedangkan Guanlin langsung ketawa cekikikan. Tanpa Jihoon sadari, senyum gusinya Guanlin muncul lagi. Itu adalah salah satu hal yang Jihoon sukai didunia ini. Sayang aja, Jihoon nggak bisa liat soalnya kepalanya Guanlin bener-bener nyender diatas kepalanya.

"Nggak lucu, ceking!"

Guanlin menekan kedua bibirnya, berusaha untuk menahan senyum yang sebenarnya udah nggak bisa ditahan lagi. Ceking, Guanlin ingat banget, itu panggilan sayang Jihoon buat dia. Dan sekarang, Guanlin bisa denger Jihoon manggil dia sebagai 'Ceking' lagi. Gimana nggak seneng, sih?!

Guanlin melepas pelukannya dan tanpa meminta persetujuan Jihoon, Guanlin langsung menarik tangan Jihoon untuk berjalan bergandengan sama dia. Lagi-lagi, Jihoon cuma bisa diam. Dan ujungnya, nurut aja digandeng sama Guanlin dan nggak tau deh ini mau dibawa kemana. Yang penting nurut. Yang penting ikut sama Guanlin. Nggak bisa bohong, Jihoon juga kangen sama Guanlin. Tapi tetap aja, semua udah berubah.

Ternyata Guanlin ngegandeng Jihoon ke taman belakang sekolah. Guanlin ngekodein Jihoon biar Jihoon duduk duluan di bangku kosong pilihan Guanlin yang ada di tengah taman. Pertama, Guanlin ngelirik jam tangannya. Udah hampir jam setengah 2, yang artinya jam istirahat udah berakhir sejak 10 menit yang lalu dan itu tandanya jam pelajaran berikutnya udah dimulai. Ya, nggak heran kenapa taman kosong. Hehe, nyengir aja dulu yang penting ganteng- Lai Guanlin, 17.

Guanlin mengalihkan pandangannya pada Jihoon yang lagi buang muka di depannya. Jihoon emang duduk di depannya, tapi wajahnya menatap ke samping, alias kearah lain, atau lebih jelasnya yang penting nggak natap Guanlin. Udah itu aja.

Guanlin mengukir smirk diujung bibirnya, lalu melangkah dan mengambil posisi duduk tepat disamping Jihoon. Nggak dempet, kok tenang aja. Soalnya sebelum istirahat tadi jam pelajaran di kelas Guanlin itu jam pelajarannya bapak Jaehwan. Bapak Jaehwan itu guru agama. Guru agama yang selalu ingetin kata-kata mutiara ini ke semua muridnya, "anak-anakku, bahwa sesungguhnya pada saat kalian sedang berduaan dengan orang yang belum muhrim dengan kalian adalah dosa." begitu katanya.

Guanlin kembali melirik Jihoon yang masih aja nggak mau menghadap ke arahnya. Guanlin menghela nafasnya lembut, lalu tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Jihoon. Jackpot untuk Guanlin, Jihoon nggak nunjukkin penolakan apapun.

Guanlin membuka tas ranselnya dan mengambil sesuatu dari sana. Guanlin meletakkan satu kotak makanan lengkap dengan lauknya di pangkuan Jihoon. Jihoon menoleh, pada kotak makanan yang dikasih Guanlin, bukan ke Guanlin nya.

"Gue nggak lapar."

Guanlin nggak jawab apa-apa. Selanjutnya yang dilakuin Guanlin adalah ngebukain kotak makanan itu dan menyendokkan satu suap nasi beserta lauknya dan membawa sendok itu ke depan mulut Jihoon. Jihoon ngelirik Guanlin dengan tajam.

"Gue bilangㅡ"

1:0, 1 untuk Guanlin dan 0 untuk Jihoon. Guanlin berhasil memasukkan satu suapan penuh nasi ke mulut Jihoon.

Jihoon cuma bisa natap Guanlin dengan kesal, sementara mulutnya lagi berusaha untuk mengunyah makanan yang bener-bener penuh di dalam mulutnya.

"Lo lapar, ndut. Udah deh makan aja."

Jihoon malas berdebat sama Guanlin. Nggak akan selesai. Akhirnya, Jihoon pun menyendok suapan-suapan berikutnya sampai makanan itu habis. Guanlin melirik Jihoon sekilas, lalu mengambil kotak makanan yang udah kosong itu dan menutupnya kembali. Lalu Guanlin berdiri, mencari tong sampah terdekat untuk membuang kotak makanan yang udah kosong itu.

Guanlin kembali duduk disamping Jihoon, "kenyang?"

Jihoon nggak menjawab pakai suara. Ia cuma mengangguk, yang menandakan kalau dia udah kenyang. Guanlin menepuk lembut puncak kepala Jihoon, well... Itu emang kebiasaan Guanlin sejak dulu. Guanlin selalu menepuk puncak kepala Jihoon, setiap saat Guanlin ngerasa bangga sama Jihoon. Guanlin kembali membuka tasnya, kali ini Guanlin mengambil sebotol cola. Iya, cuma sebotol.

"Gue nggak ada air mineral, adanya cola, mau?" tanya Guanlin.

Jihoon melirik botol cola yang dipegang Guanlin, lalu matanya beralih menatap Guanlin.

"Cuma ada satu?" tanya Jihoon.

Guanlin mengangguk, "tadi sih emang niatnya beli buat gue sendiri. Tapi... Buat lo aja deh. Nih." ucap Guanlin sambil menyodorkan botol cola itu pada Jihoon.

Jihoon menggeleng, "nggak usah, buat lo aja. Nanti gue bisa cari minum sendiri."

Guanlin mengangkat kedua bahunya, "yaudah gue juga nggak usah minum aja." Baru aja Guanlin mau ngebuka tasnya untuk masukin botol cola itu, tapi tangan Jihoon mengambil botol cola itu dengan cepat.

"Sayang tau! Kalo udah nggak dingin, sodanya nggak akan kerasa lagi!"

Lagi, Guanlin mengukir smirk diujung bibirnya. Meskipun udah hampir 2 bulan ini mereka jauh-jauhan tapi tetap aja ada banyak hal yang nggak berubah dari Jihoon. Jihoon masih menggemaskan. Dan Guanlin rasa, itu nggak bakalan berubah.

Jihoon menjilat bibir bagian luarnya saat beberapa tegukan cola mengaliri kerongkongannya. Guanlin hanya bisa diam sambil terus menatap Jihoon.

Jihoon menyodorkan botol cola yang belum habis itu ke dada Guanlin, "gue tau lo haus, minum nih." ucap Jihoon.

Guanlin tersenyum kecil dan meraih botol cola itu dari Jihoon, lalu meneguknya. Jihoon memberikan tutup botol cola tersebut pada Guanlin, "udah nggak apa-apa, habisin aja. Gue udah kenyang."

Dan, ya. Guanlin pun nurutin aja apa yang disuruh sama Jihoon. Saat Guanlin masih asik meneguk colanya, seseorang berdiri tepat didepan Jihoon. Guanlin menutup botol colanya. Baik Jihoon maupun Guanlin sama-sama mendongak untuk memastikan siapa yang berdiri didepan Jihoon.

"Bae,"

Guanlin menoleh pada Jihoon dengan cepat, "lo masih manggil dia dengan sebutan bae?"

Jihoon menatap nggak suka pada Guanlin, lalu kembali memusatkan matanya pada Bae Jinyoung. Ya, sahabatnya.

"Ayo pulang." ucap Jinyoung tanpa memperdulikan Guanlin yang udah mulai nggak bisa diam di bangku yang didudukinya.

Jihoon berdehem, "Bae, kok kamu tau aku ada disini?"

Guanlin kembali menatap Jihoon dengan tajam, ah bukan, kali ini dengan ganas.

"Lo apaan, sih? Kok ngomong sama dia pake aku kamu?"

Jihoon memutar bola matanya dengan malas, lalu membekap mulut Guanlin biar orang itu nggak asal ngomong lagi. Dasar sama aja kayak Woojin! Punya mulut nggak tau diri banget!

Jinyoung meraih salah satu tangan Jihoon, berusaha membuat pemuda itu berdiri.

"Tadi aku ketemu sama Woojin, karena dia nggak barengan sama kamu, yaudah aku tanya aja kamu dimana. Woojin bilang dia nggak tau kamu dimana. Tapi dia bilang kalo ada ORANG yang ikutin kamu waktu kamu pergi dari cafetaria. Yaudah, sejak hampir semua orang tau kalo taman ini adalah satu tempat yang disukai ORANG itu, aku langsung kepikiran mungkin aja kamu disini."

Jinyoung melirik Guanlin dengan tajam, "dan ternyata aku bener. Kamu ada disini. Sama ORANG yang disebut-sebut sama Woojin tadi."

Jihoon mengusap tangan Jinyoung yang menggenggam tangannya dengan erat. Ah, elah. Hari udah terik, matahari lagi cerah-cerahnya, ditambah aura perseteruan emang nggak baik ya buat kesehatan.

Jihoon bisa merasakan genggaman Jinyoung ditangannya mengeras. Jihoon melirik Guanlin sekilas yang ternyata sedang menatap Jinyoung dengan tatapan yang nggak kalah tajam. Jihoon berdehem, mencoba untuk memecahkan kepanasan namun usahanya sia-sia. Jinyoung berusaha maju selangkah lebih dekat dengan Guanlin, tanpa melepas genggamannya pada tangan Jihoon yang mulai dingin.

Jihoon berusaha menarik tangan Jinyoung perlahan. Berhasil. Jinyoung mundur selangkah dan kembali memposisikan dirinya untuk berdiri diantara kedua kaki Jihoon.

"Maaf, Hoon."

Jihoon mengangguk, lalu berdiri.

"Ayo pulang." ucap Jihoon dengan lembut, pada Jinyoung, yang membuat Guanlin tersenyum miring merasa jijik dengan pemandangan yang ada didepan matanya.

Jinyoung mengangguk, dan menggandeng Jihoon menjauh meninggalkan taman dan juga meninggalkan ORANG yang udah kodratnya seharusnya nggak muncul lagi ke hadapan Jihoon, sahabatnya.

"Thanks, Jin."

Jinyoung mengangguk, sambil membukakan pintu mobil untuk Jihoon. Jinyoung menempati spotnya, lalu menghidupkan mesin mobilnya.

"Aku cuma nggak mau dia ngulangin hal yang sama ke kamu. Kamu harus hati-hati sama dia mulai sekarang." ucap Jinyoung.

Jihoon mengangguk, sambil memasang sabuk pengamannya.

"Sekali lagi, makasih banyak, Jinyoung-ah."

OoO

Halo, guys!!!! Since GuanHoon/PanWink adalah ult otp aku dan trio pocaris adalah top3 ku, aku akhirnya memutuskan untuk bikin fiksi yang satu ini^^ chapter awal segini dulu gak papa ya, kalo yang respon lumayan aku akan lanjutin secepatnya. Oh iya, ini termasuk short fiction. Jadi nggak terlalu banyak chapternya hehe. Kemaren2 aku juga udah nemu dan baca beberapa ff GuanHoon/PanWink di watty dalam bahasa indo yang sebenernya lebih ke fakechat gitu sih, karena aku liat yang #teamGuanHoon cukup banyak jadilah aku berani untuk mempublikasikan ini. Sejauh ini, aku minta responnya ya:-)) thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro