So?✔ [EPILOGUE]
EPILOGUEㅡ Mäuschen (2017)
.
.
.
.
.
Jihoon menghela nafasnya dengan kesal berulang kali. Matanya bahkan sudah memutar dengan malas, entah untuk yang ke berapa kalinya, dan jari-jarinya juga semakin bergerak nggak karuan di atas layar datar menyala yang kini sedang ia pegang. Jihoon menggeleng, lalu berdecak, sambil memukul garang bantal putih yang ada di sampingnya.
Jihoon menggertakan barisan gigi putih dan rapinya, "Ck, ngeselin!" begitu umpatnya, lalu tangannya nggak sengaja memukul perut subjek lain yang juga sedang berbaring setengah duduk di sampingnya.
Seseorang itu tidak menoleh, ia hanya menggeleng pelan setiap kali Jihoon mengumpat, memukul bagian ranjang yang kosong, memukul bantal, memukul perut kurusnya dengan kencang, dan juga menjitak layar ponselnya tanpa ada rasa kasihan sedikitpun.
Jihoon masih terlihat serius bermain game di ponsel milik Guanlinㅡ sambil sesekali mengumpat, sedangkan Guanlin masih fokus sama laptop yang udah mejeng di pangkuannya sejak 3 jam lalu. Baik Jihoon maupun Guanlin sama-sama belum beranjak dari ranjang. Dua-duanya masih sama-sama malas, masih ngerasa berat, dengan alasan nyawa belum kekumpul, padahal mereka udah bangun dari jam setengah 7 pagi tadi. Nah, sekarang nih, udah hampir jam 11.
Tadi sih, mereka berdua sempat bangun dari ranjang. Cuci muka sama sikat gigi berdua, abis itu Guanlin keluar apartemen sebentar buat nyari sarapan, sedangkan Jihoon sibuk di dapur buat bikin kopi untuk Guanlin dan susu vanilla hangat untuk dirinya sendiri. Habis itu, mereka juga sempat sarapan bareng di meja makan. Ada kali satu jam, biasa, sambil ngobrol sambil ketawa-tawa juga. Abis itu Guanlin mandi, Jihoon beresin semua piring dan gelas bekas mereka sarapan. Setelah itu, Jihoon mandi juga. Ya, namanya juga hari libur, jadinya mereka pun kembali naik ke atas ranjang. Selimutan lagi. Jihoon main game di ponselnya Guanlin, sedangkan Guanlin mulai sibuk sama kerjaannya, yang sialnya nggak ada habis-habisnya.
"Ih!!" Udah kesel banget Jihoon tuh, masa main game-nya kalah melulu?Padahal biasanya juga menang. Kenapa, sih?!!
Karena penasaran kenapa kalah melulu, Jihoon pun kembali me-replay game tersebut. Jihoon meninggalkan bahu Guanlin yang daritadi dia jadiin sandaran. Posisi duduknya mulai tegak, raut mukanya makin serius. Lidahnya mulai keluar, melet-melet gitu saking seriusnya.
Iya... Iya, dikit lagi... Iya...
Jihoon mulai nggak bisa diam. Kakinya grasak-grusuk kesana-sini, membuat selimut tebal yang sedang menutupi kakinya dan juga kaki Guanlin mulai berantakan bentuknya.
Jihoon menahan nafasnya,
AISHHH IYA.... BENER BEGITU... IYA...
Bodo amat malih.
Makin sebel aja Jihoon tuh. Masa kalah lagi? Karena lagi sebel banget, Jihoon secara langsung, tanpa pikir panjang, ngelempar ponselnya Guanlin ke ujung ranjang. Untung aja nggak sampai jatuh, soalnya ponselnya berhenti tepat di tepi ranjang.
Jihoon memanyunkan bibirnya, biasa, nyampe lah itu 7 senti. Aksi anarkis Jihoon berhasil membuat perhatian Guanlin beralih dari laptopnya, ke Jihoon yang lagi cemberut.
"Kenapa, sih?" tanya Guanlin, lembut.
Jihoon menoleh dan langsung kembali berbaring di samping Guanlin. Kembali menjadikan bahu Guanlin sebagai bantalan. Eh, nggak deh. Kali ini lebih ke bawah sedikit. Jihoon menyandarkan pipi kirinya di bagian atas dada kanan Guanlin, sambil tangannya meraup tubuh jangkung Guanlin untuk dipeluk. Jihoon masih coba nyari posisi yang enak di dada Guanlin, masih ndusel-ndusel, yang malah bikin Guanlin cekikikan.
Jihoon nggak perduli mau diketawain juga. Dia lagi bete. Kesel. Bete deh pokoknya! Udah dicuekin sama Guanlin karena masalah kerjaan, eh main game malah kalah melulu. Kenapa dunia kejam banget, sih?!
Nggak adil. Jahat.
Mata Jihoon tertuju pada layar laptop Guanlin yang masih menyala. Jihoon malah tambah manyun. Jihoon nggak ngerti sama kerjaannya Guanlin. Isinya grafik sama tabel semua. Emangnya Guanlin nggak pusing apa ngerjain ginian setiap hari?
"Ko Alin," panggil Jihoon, yang suaranya agak mengendap karena bibirnya nempel sama kaos yang dipakai Guanlin. Untung, Guanlin masih bisa dengar panggilan Jihoon dengan jelas.
By the way, kalau Jihoon udah manggil Guanlin dengan 'Ko Alin', itu artinya Jihoon bener-bener minta dilihat balik. Minta diperhatiin. Nggak mau dicuekin. Tapi, ya namanya juga Guanlin. Belum puas kalau belum ngerjain Jihoon.
Akhirnya, Guanlin pun cuma mengangguk, gelagat sederhana seolah meng-iyakan panggilan Jihoon, dengan tatapan yang masih fokus pada layar laptopnya.
"Ko,"
"hmm."
"Kamu nggak pusing apa, setiap hari ngerjain beginian terus?" tanya Jihoon, yang sekarang kepalanya udah mengarah tepat ke wajah Guanlin.
Guanlin menunduk, membalas tatapan bingung Jihoon, lalu menggeleng. Jihoon semakin memanyunkan bibirnya, "hari libur kayak gini aja kamu masih kerja,"
Guanlin tersenyum kecil, lalu memindahkan laptopnya ke nakas yang ada di samping ranjang. Setelah itu, tangannya beralih untuk memeluk tubuh Jihoon dengan erat. Dengan posisi wajah Jihoon yang masih mendongak, menatap sendu pada pahatan sempurna bak dewa-dewa Yunani yang kini tersenyum kecil ke arahnya.
"Aku kerja kan buat kamu."
"Ih!!" Jihoon nggak cemberut lagi, tapi mukanya udah merah sekarang. Pacaran sama Guanlin udah bertahun-tahun, tapi masih aja malu kalau digombalin kayak gini.
Jihoon mencubit perut Guanlin sebentar, lalu melepaskan pelukan mereka. Jihoon merubah posisinya menjadi duduk, garuk-garuk kepala sebentar, lalu membuka selimut yang udah lebih dari 2 jam ini menyelimuti tubuhnya dan juga tubuh Guanlin.
Jihoon udah siap banget buat loncat turun dari ranjang, tapi ditahan sama Guanlin. Jihoon menoleh, dengan salah satu alis yang memincing.
"Mau kemana?" tanya Guanlin.
"Mau nonton drama di ruang tengah. Bosen di kasur terus." jawab Jihoon, sambil ambil ancang-ancang buat loncat.
Guanlin mendengus, lalu menarik tangan Jihoon, berusaha untuk membuat Jihoon kembali berbaring di sampingnya. "Disini kan juga ada tv," ucap Guanlin.
"Ganggu kamu kerja nanti. Sekalian aku mau masak buat makan siang,"
Ngomong-ngomong soal makan siang, Jihoon jadi keinget sesuatu. Jihoon melirik jam digital yang ada di atas nakas, di samping laptop Guanlin. Udah jam 11 lebih 20 menit.
"Kamu ke kantor jam berapa?" tanya Jihoon, yang sepasang matanya kembali terpusat pada sang kekasih.
"Jam satu paling, kamu nggak ada jadwal ngajar kan hari ini?" tanya Guanlin.
Jihoon menggeleng, "yaudah, kamu makan siang di rumah dulu, ya?" iya, apartemen ini sebenernya udah dianggap rumah sama mereka berdua.
Guanlin hanya mengangguk, sebagai jawaban atas tawaran Jihoon. Guanlin kembali menarik tangan Jihoon, membuat pemuda manis itu kini memutar bola matanya dengan malas.
"Lepas, ih. Aku mau masak."
"Aku belum dapet morning kiss,"
"Kan kamunya juga sibuk dari tadi!"
Guanlin terkekeh, dan dengan sekali tarik tubuh Jihoon kini kembali terbaring di atas tubuh Guanlin. Guanlin memeluk Jihoon dengan erat, lalu mengecup dahi lebar Jihoon berkali-kali.
Jihoon memejam, sambil tersenyum kecil. Lalu, Guanlin menyudahi kecupannya, membiarkan Jihoon beranjak dari dekapannya. Jihoon membungkukkan tubuhnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi Guanlin. Guanlin memejam, sambil senyum-senyum mesem kayak anak kecil, yang berhasil bikin Jihoon jadi gemes sendiri. Guanlin kalau udah soft begini, emang paling gemesin.
"Kamu nggak mau ikut aku ke kantor aja? Aku nggak sampai malem, kok. Cuma ngasihin berkas, abis itu ada meeting sebentar. Sejam atau dua jam paling." Guanlin membuka pejaman matanya, sambil mengajukan sebuah tawaran pada Jihoon.
"Biar kamu nggak bosen sendirian di rumah." sambung Guanlin, yang dibalas gelengan cepat dari sang kekasih.
Jihoon manyun lagi, "yang ada aku malah makin bosen kalau ikut kamu ke kantor. Kamu sibuk, aku diem aja gitu?" tanya Jihoon, yang sebenernya emang ngerasa bete banget karena bentar lagi mau ditinggal kerja sama Guanlin. Kan Jihoon jadi kesepian. Tapi, daripada harus ikut ke kantor, Jihoon mendingan di rumah aja deh. Marathon drama, enak.
Guanlin terkekeh, lalu mengacak gemas rambut berantakan Jihoon, "ke rumah kak Chungha aja, mau? Main sama Jia." lagi, Guanlin mengajukan sebuah tawaran.
Tawaran Guanlin kali ini bisa bikin Jihoon tersenyum lebar. Jihoon, kalau udah denger nama Jia, alias anaknya Chungha, pasti deh langsung seneng. Jihoon mengangguk dengan cepat, membuat Guanlin nggak bisa lagi menahan rasa gemasnya. Guanlin menarik tangan Jihoon sekali lagi, membuat kekasihnya itu kini berbaring dibawahnya, lalu Guanlin mengigit kedua pipi Jihoon bergantian. Gemes banget. Jihoon kalo senyum lebar gitu, pipinya makin lebar. Kayak kue cucur. Guanlin mana bisa tahan, sih!! Sedangkan Jihoon mulai meringis dibawah Guanlin. Mana tangannya ditahan lagi. Pasti deh Guanlin udah tau, kalau senjata andalan Jihoon dari jaman mereka belum pacaran pun adalah sebuah jambakan. Jihoon kan hobi banget ngejambakin rambut Guanlin.
Jihoon nggak ngeluarin suara apa-apa selain rintihan. Sampai akhirnya Guanlin menyelesaikan ritual pelampiasan rasa gemasnya, lalu membebaskan Jihoon dari dekapannya. Jihoon manyun lagi, cemberut lagi. Kedua pipinya merah banget kayak tomat, mana ada bekas gigitan Guanlin lagi!
Guanlin cuma bisa cekikikan, lalu beralih mengambil laptopnya dan berniat untuk kembali melanjutkan pekerjaannya saat Jihoon mulai beranjak turun dari ranjang, sambil menangkup kedua pipinya.
Jihoon pun udah keluar dari kamar, dan Guanlin pun mulai sibuk lagi sama laptopnya.
Hari libur yang indah, bukan?
.
.
.
"Masak apa aja, hm?" tanya Guanlin, sambil memeluk Jihoon dari belakang. Padahal, sebelum Guanlin datang, Jihoon lagi asik ngehiasin isi dari kotak makan warna pink punya Jia yang emang sengaja disimpan disini. Guanlin menyandarkan dagu panjangnya di bahu kanan Jihoon, lalu matanya terpusat pada nasi yang dibentuk menyerupai kepala mickey mouse, dengan taburan daun seledri dan wortel di atas dan di setiap sisinya.
"Cuma ayam goreng sama sapo tahu aja. Lupa, aku belom belanja bulan ini. Kulkas udah mulai kosong."
Jihoon berbalik, dengan wajah yang ditekuk dan dengan bibir yang dimanyun-manyunin. Guanlin memeluk pinggang Jihoon dengan satu tangan, lalu tangannya yang satu lagi, ia angkat untuk mencubit hidung Jihoon. Jihoon nggak ngehindar, nggak protes juga, cuma meringis aja.
"Kenapa manyun terus sih hari ini? Segitu aja juga cukup, kok. Jia pasti suka." ucap Guanlin, sambil menyisir poni berantakan Jihoon dengan jari-jarinya.
Jihoon menggeleng pelan, "ih, nggak ada snack nya. Jia kan kalau kesini selalu aku bikinin pastel mini. Eh, bahannya lagi abis." ucap Jihoon, masih sambil manyun.
Guanlin menunduk, lalu mendaratkan bibirnya di bibir Jihoon. Guanlin mencium bibir Jihoon, melumatnya pelan untuk beberapa detik, lalu melepasnya. Baru aja Jihoon mau ngomong, Guanlin kembali memajukan wajahnya dan kembali mencium bibir Jihoon. Mengecup ringan bibir atas Jihoon, lalu beralih pada bibir bawahnya. Guanlin menangkup wajah Jihoon di dalam genggaman tangannya, lalu bersiap untuk mencium bibir Jihoon lebih lama lagi, namun sebuah kecupan kilat mendarat lebih dulu di bibirnya. Guanlin tersenyum, ia selalu merasa senang setiap kali Jihoon yang menciumnya lebih dulu. Lalu, Guanlin kembali melumat bibir Jihoon dengan lembut, yang juga dibalas nggak kalah lembut oleh Jihoon. Guanlin menghentikan ciumannya, Jihoon tersenyum, nggak manyun lagi.
"Yaudah, nanti kamu ajak Jia aja belanja bulanan, abis itu kamu ajak Jia masak-masak. Bikin snack kesukaan dia. Berantakin aja dapurnya kak Chungha, nggak papa." ucap Guanlin, yang langsung berhasil bikin Jihoon cengengesan.
Jihoon tersenyum lagi, kali ini jauh lebih manis, lalu memperhatikan penampilan Guanlin yang ternyata udah rapi dibalut dengan kemeja berwarna pastel, dengan dasi biru dongker yang masih acak aur. Jihoon menggeleng, sambil terkekeh, lalu merapikan bentuk dan posisi dasi yang melingkari kerah kemeja Guanlin. Jihoon menepuk dada Guanlin, lalu mengacungkan ibu jarinya.
"Udah ganteng." ucap Jihoon, dengan senyum lebar yang menampilkan deretan gigi rapi dan putihnya. Kedua ujung mata Jihoon tertarik, membuat pipi gembul Jihoon semakin terlihat lebar.
Guanlin membalas senyuman Jihoon, lalu melepas pelukannya. Guanlin mendorong pelan tubuh Jihoon, "udah sana ganti baju. Makanannya Jia biar aku yang beresin."
"Ih, kan kamu makan dulu sebelum jalan,"
"Dijadiin bekal aja. Nanti kamu kesiangan belanjanya sama Jia. Kan nanti mau ngajarin Jia masak. Biar nggak kesorean, biar kamu puas main sama Jia sebelum aku jemput lagi nanti."
Jihoon tersenyum, dan langsung ngacir lari ke kamarnya. Guanlin tuh kalau lagi pinter, emang pinter banget deh. Bikin Jihoon tambah sayang jadinya, hehehe.
Guanlin masih tersenyum sambil menatap tubuh mungil Jihoon yang berlari memasuki kamar mereka. Setelah Jihoon hilang di balik pintu kamar yang ditutup, Guanlin pun berbalik dan mulai untuk meneruskan kegiatan Jihoon yang sempat terhenti.
Guanlin menatap gemas menu makan siang yang Jihoon buat untuk Jia. Lucu banget, Jia pasti suka. Guanlin pun menutup tempat makan pink tersebut, lalu memasukannya ke dalam sebuah tas kecil. Setelah itu, Guanlin beranjak untuk menyiapkan bekal untuknya sendiri. Dengan menu yang sama, cuma bedanya, punya Guanlin nggak dibentuk dan nggak dihias kayak punya Jia. Guanlin kan udah gede, mana mau makanannya dihias-hias gitu, padahal nggak jarang juga sih, Jihoon suka iseng buat ngehiasin bekal yang nantinya akan dibawa ke kantor sama Guanlin.
♔
Guanlin menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang hitam yang membatasi sebuah rumah besar bernuansa putih dengan jalanan sekitar. Guanlin membuka kunci pintu mobil, lalu berbalik dan melepas sabuk pengaman yang meliliti tubuh Jihoon. Jihoon hanya bisa tersenyum kecil melihat perlakuan lembut Guanlin, lalu ia berbalik untuk mengambil dua tas kecil yang ada di bangku belakang.
Jihoon menghela nafasnya, lalu meletakkan kedua tas tersebut di atas pangkuannya. Jihoon menoleh, lalu menarik tubuh Guanlin agar menghadap ke arahnya. Guanlin cuma diam, sambil menatap mata Jihoon yang sebenernya lagi nggak natap ke arahnya. Jihoon mulai sibuk merapikan penampilan Guanlin. Mulai dari kerah kemeja yang Guanlin kenakan, lipatan-lipatan kemeja, tataan dasi, sampai pada rambut Guanlin yang sebenarnya udah rapi banget. Poninya udah dinaikin ke atas, udah rapi, udah dipoles pakai pomade juga biar nggak gampang ketiup angin. Tapi tetap aja, Jihoon belum puas kalau bukan tangan dia sendiri yang ngurusin penampilan Guanlin.
Jihoon menepuk lembut kedua pipi Guanlin, lalu tersenyum. Guanlin memajukan tubuhnya, dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi Jihoon. Jihoon terkekeh, lalu membalas kecupan Guanlin dengan sebuah ciuman lembut di bibir tebalnya. Jihoon menjauhkan tubuhnya, membuat Guanlin tersenyum lebar sampai ujung-ujung matanya ikut tertarik. Guanlin mengusap lembut puncak kepala Jihoon, "salam buat Jia ya, bilang daddy-nya kangen." ucap Guanlin, sambil memanyunkan bibirnya. Jujur aja, dia emang kangen banget sama Jia. Tapi, ya mau gimana lagi. Pekerjaannya di kantor bener-bener nggak ngasih waktu longgar untuk Guanlin biar bisa ketemu sama ponakannya itu.
Iya, Jia itu anaknya Chungha. Perempuan, umurnya masih 4 tahun dan bulan depan bakal diupgrade jadi 5 tahun.
Keponakan, sih. Tapi Guanlin maunya dipanggil daddy. Awalnya diomelin sama Chungha, kata Chungha, 'ini kan anak gue??!!' tapi, ya, ujung-ujungnya juga Chungha yang ngalah. Guanlin kalau udah ngambek tuh lebih ribetin dibanding Jia kalau lagi ngambek. Jadilah, Jia terbiasa manggil Guanlin dengan sebutan 'daddy', tapi nggak jarang juga sih Jia manggil Guanlin dengan sebutan 'Om'. Jadi, ya sesuka mood-nya Jia aja deh. Namanya juga anak kecil.
Jihoon mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya, "siap!!! nanti aku bilang ke Jia, kalau daddy nya udah kangen banget!!!"
"Yaudah, aku turun, ya? Kamu baik-baik kerjanya. Kalau udah mau pulang, kabarin aku. Biar aku siap-siap." sambung Jihoon, sambil bersiap untuk turun dari mobil.
Guanlin mengangguk sambil melakukan prosesi hormat pada Jihoon. Jihoon mah cekikikan aja, kan udah dibilang, Guanlin kalau lagi gemes emang gemesin banget.
"Bekal kamu jangan lupa dimakan." ucap Jihoon, lagi.
Guanlin kembali mengangguk, "iya, sayang. Selamat bersenang-senang!"
Jihoon masih tersenyum, dan kali ini bener-bener memantapkan langkahnya untuk turun dari mobil. Jihoon menutup pintu mobil, berbarengan dengan kaca mobil yang dibuka oleh Guanlin.
Jihoon melambaikan tangannya, dan Guanlin pun membalas lambaian tangan Jihoon.
Jihoon tersenyum sambil menggumamkan kata 'hati-hati' tanpa suara. Guanlin yang bisa membaca gerak bibir Jihoon pun hanya mengangguk, lalu mulai tancap gas meninggalkan kawasan perumahan Chungha.
Guanlin menepuk setir kemudinya dengan penuh semangat, "let's go, Alex!"
Iya, nama mobilnya Guanlin itu Alex. Nama lengkapnya Alexander Peter. Tenang aja, masih satu genk kok sama Michael.
:-)
Guanlin menghentikan laju si Alex. Lagi lampu merah. Drrrtt, si ganteng yang lain baru aja memanggil Guanlin. Oh, Joseph. Dengan cepat, Guanlin meraih Josephㅡ alias ponselnya yang tadi pagi dilempar sama Jihoon, yang sengaja dia simpan di ruang kosong yang ada di bawah dashboard. Guanlin menggeser layar sentuh ponselnya. Matanya memincing. Saat sebuah kontak yang udah lama nggak ada komunikasi dengannya, sekarang muncul di daftar paling atas notifikasi ponselnya.
Bang Danik?
Guanlin meng-klik bar notifikasi tersebut,
Kafe seberang kantor lo. Jam 4 sore.
Itu isi pesan yang dikirim Daniel. Baru aja Guanlin mau mengetikkan balasan, tapi lampu lalu lintas udah keburu berganti jadi hijau. Guanlin meletakkan si Joseph di bangku yang tadi Jihoon duduki, lalu mulai kembali menjalankan Alexㅡ si ganteng kedua, setelah Michael yang sengaja Guanlin tinggal di rumah bunda.
♔
Jihoon melebarkan senyumnya, saat seorang wanita dengan seorang anak perempuan kini berdiri di depannya, dengan posisi saling bergandengan. Jihoon melambaikan tangannya, lalu menatap pada si kecil, sambil mengedipkan salah satu matanya.
Jia tertawa, anak itu selalu saja merasa senang setiap kali Jihoon mengedipkan salah satu matanya seperti itu. Jia melepaskan tautan tangannya dari sang mama, Chungha, dan langsung berhambur memeluk kaki Jihoon.
Chungha membuka pintu rumahnya lebih lebar lagi, meraih dua tas kecil yang dibawa Jihoon, lalu mempersilahkan sosok yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri itu untuk masuk. Jihoon meraih Jia ke dalam gendongannya, lalu menghujani wajah cantik Jia dengan kecupan-kecupan manis.
"Kak Seungcheol mana, kak?" tanya Jihoon, saat menyadari bahwa rumah besar Chungha tampak sepi. Ini kan hari libur, biasanya juga setiap weekend kalau Jihoon dan Guanlin berkunjung ke rumah Chungha, Choi Seungcheolㅡ suami Chungha, selalu ada di rumah. Tumbenan ini lagi nggak ada.
Chungha meletakkan tas bawaan Jihoon di meja dapur, lalu membuka kulkas yang terletak di dekat kompor.
"Ada meeting mendadak, dek." balas Chungha, yang mulai melangkah ke ruang tamu, tempat dimana Jihoon sedang memangku Jia, dengan dua kaleng minuman bersoda di tangannya.
Chungha meletakkan kaleng minuman tersebut di atas meja, lalu mengambil posisi duduk di depan Jihoon.
"Kok kamu datang sendirian?" tanya Chungha.
Jihoon terkekeh, "aduh, geli, sayang." lirihnya, sambil mengusap gemas rambut panjang Jia yang lagi asik mencium seluruh bagian di wajah Jihoon.
Chungha ikut terkekeh, "Jia, sayang, jangan begitu, om Jihoon nya kegelian. Sini yuk, sayang, sama mama."
Jia menggeleng, lalu ikut terkekeh, dan berhambur untuk memeluk leher Jihoon. Jia menyandarkan kepalanya di bahu sebelah kiri Jihoon, dengan wajah yang terpusat pada wajah Jihoon, sambil jari-jari mungilnya bermain di dagu paman manisnya itu.
Jihoon kembali memusatkan pandangannya pada Chungha, "sama kayak kak Seungcheol. Orang sibuk mah beda, kak. Tapi tadi Guanlin anterin Jihoon sampai ke depan gerbang rumah kak Chungha, kok." balas Jihoon, yang sebenernya dia tuh masih bete karena ditinggal kerja sama Guanlin, padahal ini tuh hari libur.
Chungha hanya mengangguk, lalu menyodorkan salah satu kaleng minuman ke arah Jihoon. Jihoon mengucapkan terimakasih, lalu mulai meneguk minuman kaleng bersoda pemberian wanita yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri itu.
Chungha berdehem. Ia teringat sesuatu. Hm, kebetulan banget Jihoon main kesini. Sekalian aja deh bilang sekarang.
"Jihoon,"
Jihoon mendongak, dengan salah satu mata yang memincing, "iya, kak?"
"Jadi gini, nanti malam kakak ada undangan pesta dari rekan kerjanya kak Seungcheol. Jadi, kakak sama kak Seungcheol harus datang ke pesta itu. Nah, kebetulan juga, besok sampai seminggu kedepan, kak Seungcheol ada penelitian lahan kerja di Jeju, jadi ya, kak Chungha harus nemenin kak Seungcheol. Kasihan Jia kalau harus dibawa ke sana-sini, masa' sekolahnya harus bolos? Jia lagi seneng-senengnya main sama temen-temennya di sekolah. Lagi aktif-aktifnya. Eum, jadi, boleh nggak kalau kak Chungha nitipin Jia dulu sama kamu sama Guanlin?" tanya Chungha, yang sebenernya ngerasa nggak enak banget harus nyusahin Jihoon dan adiknya sampai seminggu kedepan. Tapi ya, mau gimana lagi. Jia lagi aktif-aktifnya di sekolah, lagi seneng-senengnya main ini main itu, jadi nggak mungkin kalau Jia ikut dibawa ke Jeju, kan?
Jihoon tersenyum dengan lebar. Ia mendekap Jia lebih erat lagi, lalu mengecup puncak kepala Jia berulang kali.
Jihoon kembali menatap pada Chungha, lalu mengangkat salah satu ibu jarinya.
"Beres, kak! Tenang aja! Jihoon pasti jagain Jia, kok. Guanlin juga pasti seneng kalau ada Jia dirumah. Hehe." balas Jihoon.
"Jia biar tidur di kamar kakak aja, dek. Biar nggak rusuhin kamu sama Guanlin."
Iya, jadi apartemen yang ditempati Jihoon dan Guanlin sekarang adalah apartemen yang dulu Chungha tempati sebelum menikah dengan Seungcheol, salah satu eksekutif muda yang menjadi rekan kerja Dongho 7 tahun silam. Guanlin mengajak Jihoon untuk tinggal bersama, dan akhirnya Jihoon pun meng-iyakan permintaan sang kekasih, dan mulai pindah ke apartemen Chungha sekitar 3 tahun lalu. Berat sih, ninggalin Jinyoung. Apalagi, Jinyoung udah Jihoon anggap kayak kakaknya sendiri dan udah banyak banget bantuin Jihoon selama mereka tinggal berdua di kondo. Tapi, kata Jinyoung nggak apa-apa. Mereka udah dewasa, dan memang udah saatnya untuk menentukan jalan hidup masing-masing. Apalagi, mereka juga udah menyelesaikan pendidikan S1 mereka sebelum Jihoon pada akhirnya memilih untuk tinggal bersama Guanlin.
Jinyoung nggak sendirian, kok. Jihoon ingat banget, beberapa bulan setelah kelulusan sekolah mereka, Jinyoung cerita ke Jihoon, kalau dia udah yakin banget untuk ngeresmiin perasaannya sama Daehwi. Akhirnya, Jihoon dan Guanlin pun membantu Jinyoung untuk menyatakan perasaannya pada Daehwi. Diterima? Diterima, lah! Daehwi kan udah lama juga nungguin Jinyoung. Dan, setelah mereka lulus kuliah 3 tahun lalu, Jinyoung pun pada akhirnya meng-upgrade status hubungannya dengan Daehwi. Udah nggak pacaran lagi, Daehwi udah dilamar sama Jinyoung. Diterima? Diterima, lah! Nah, sekarang kondo yang dulu ditempati sama Jihoon dan Jinyoung udah ganti penghuni. Nggak ganti, deh. Jinyoung kan masih tinggal disana. Maksudnya, jadi nambah penghuni baru dan melepas penghuni lama. Jihoon ninggalin kondo tersebut dan pindah untuk tinggal bersama Guanlin, dan nggak lama Daehwi pindah ke kondo untuk tinggal bersama tunangannya, Jinyoung.
Jihoon tersenyum, "kalau Jia mau tidur sama Jihoon sama Guanlin juga nggak apa-apa kok, kak." balas Jihoon.
Jihoon menangkup wajah Jia, "Jia mau bobo sama daddy, hm?" tanya Jihoon, sambil mengusap lembut kedua pipi Jia.
Jia mengangguk dengan senyum lebarnya, "daddy Alin!!!"
Suaranya gemes banget. Daritadi Jia emang nggak bersuara. Dia sibuk melukin Jihoon, kangen banget sama paman manisnya yang satu ini.
Jihoon mengacak gemas rambut Jia, "iya, nanti Jia bobo sama daddy Alin sama Jia juga, ya." ingat Jia, kan? The first Jia alias boneka beruang putih berukuran sedang yang dikasih Guanlin saat mereka menghabiskan waktu di Lotte World, pas jaman-jaman sekolah, jaman sebelum pacaran.
Well, Choi Jia ini emang Jihoon yang kasih nama. Chungha nggak protes, Seungcheol juga nggak nolak. Jadi tuh, pas Chungha mau ngelahirin, Jihoon panik banget. Dia lagi sibuk belajar buat ujian akhir semester, sedangkan Guanlin lagi ada tugas kantor di Taiwan. Berhubung nggak ada Guanlin, Jihoon pun bergegas ke rumah sakit menggunakan taksi. Nggak lupa juga, dia bawa si Jia, boneka beruang yang dulu dibeliin sama Guanlin. Buat Jihoon, Jia itu udah kayak Guanlin kedua. Jadi, kalau nggak ada Guanlin disisinya, entah itu setiap Guanlin lembur dan berujung tidur di kantor, ataupun karena Guanlin yang ada tugas di luar kota atau di luar negeri, pasti deh Jihoon selalu nempel sama si Jia. Saat semua orang sedang panik menunggu kabar tentang Chungha dan Choi kecil, Jihoon malah sibuk melukin Jia. Sambil berdoa, biar Chungha dan bayinya bisa selamat. Disana ada bunda, ada ayah Dongho juga. Begitu dokter yang menangani Chungha keluarㅡ bersamaan dengan pasukan medis dan juga Seungcheol yang sedang menggendong sang bayi untuk dibersihkan di sebuah ruangan, Jihoon, bunda dan ayah langsung menghampiri mereka. Jihoon mau nangis banget pas ngeliat bayinya Chungha. Masih merah, dan masih menangis dengan mata yang sedikit terbuka. Lucu banget. Jihoon nanya ke Seungcheol, siapa nama bayinya? Kata Seungcheol, belum dikasih nama. Akhirnya, Jihoon pun minta izin, boleh nggak kalau dia saranin nama untuk si baby. Kata Seungcheol boleh, Jihoon senang banget. Akhirnya, Jihoon saranin nama 'Jia' buat si baby, yang akhirnya disetujui sama Seungcheol dan juga Chungha. Finally, Choi Jia.
Jia bertepuk tangan kegirangan, membuat Jihoon ikut tertawa sambil menatap gemas sang keponakan.
"Oh iya, kak, Jia nya Jihoon bawa belanja bulanan boleh, ya?" tanya Jihoon, sambil sesekali menggigit gemas tangan Jia.
"Aiiih om, cakit digigit uh!" keluh Jia, sambil berusaha menarik tangannya menjauh dari mulut Jihoon.
Jihoon menjulurkan lidahnya, "biarin aja, wle! Jia gemes, sini digigit lagi."
"Uhhh!!!"
Chungha terkekeh melihat keakraban anak perempuannya dengan Jihoon. Chungha meneguk minuman bersoda miliknya, lalu kembali memusatkan tatapannya pada Jihoon yang masih menggigit gemas tangan Jia.
Chungha mengangguk, "sekalian bawa nginep dari hari ini aja, dek. Gimana?"
Jihoon membalas anggukan Chungha, "yaudah, kak, boleh. Biar nanti Guanlin jemputnya langsung di supermarket aja."
Chungha kembali mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya pada sang putri.
"Jia,"
Jia menoleh menatap sang ibu, dengan alis yang saling bertaut.
"Jia mau nginep di rumah om Jihoon sama daddy Alin?" tanya Chungha, yang langsung dibalas dengan anggukan girang Jia.
Jia tampak bertepuk tangan, lalu melirik Jihoon yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Om Jihoon yeaaaay, daddy Alin!!" ucap Jia sambil tertawa, lalu menarik wajah Jihoon dan mendaratkan sebuah kecupan gemas pada pipi berisi milik Jihoon.
Jihoon tertawa kecil, lalu tangannya terangkat untuk mengusap halus rambut Jia. Jia tersenyum, dan kembali menghamburkan tubuhnya untuk memeluk leher Jihoon.
Jihoon mengarahkan pandangannya pada Chungha, "Jihoon tadi masakin makanan buat Jia, buat kak Chungha juga. Ada di tas kecil yang tadi Jihoon bawa." ucap Jihoon, sambil mengusap lembut punggung Jia.
Chungha tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya, "Makasih, Jihoon! Nanti pasti kakak makan. Oh iya, makanannya Jia biar dimakan dulu sebelum kalian berangkat ya."
"Ikut kakak, yuk. Kita beresin baju-bajunya Jia, sekalian kakak mau ngasih jadwal sekolah Jia sama kamu." ucap Chungha, yang mulai beranjak dari posisi duduknya.
Jihoon ikut berdiri sambil menggendong Jia. Jihoon mengatur posisi Jia di dalam gendongannya dengan pelan. Sebentar, terasa lebih berat? Oh, oh. Coba lihat siapa yang tertidur di dalam dekapan Jihoon?
"Yah, Jia nya bobo, kak."
Chungha berbalik dan menggeleng pelan sambil tersenyum saat melihat sang putri yang tertidur di dalam gendongan Jihoon. Chungha mengusap rambut Jia, lalu memusatkan tatapannya pada Jihoon.
"Jia nempel banget ya sama kamu sama Guanlin."
Jihoon cuma bisa cengengesan aja. Hehehe. Soalnya, apa kata Chungha itu benar. Jia emang nempel banget kalau sama Jihoon dan juga Guanlin. Keponakan tapi berasa kayak anak sendiri. Jihoon menghentikan tawa kecilnya saat Chungha semakin menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam.
"Kalian kapan mau punya Jia sendiri?"
HAH?!
Jihoon menelan salivanya dengan susah payah. Tatapannya beralih, kemana aja asal nggak terkunci lagi sama tatapan dalam Chungha.
Jihoon berdehem. Aduh, susah banget sih pertanyaannya? Nggak bisa pass aja? Atau ganti pertanyaan, gitu?
Jihoon tersenyum canggung, "hehehe,"
Chungha terkekeh, lalu menepuk lembut puncak kepala Jihoon, "kamu sama Guanlin udah pacaran hampir delapan tahun loh, dek. Nggak mau naik kelas gitu?"
Jihoon berasa ngeblank, "naik kelas apa, kak? Aku sama Guanlin kan udah kerja,"
"Hubungan kalian yang naik kelas..."
Jihoon cuma bisa cengengesan aja, 8 tahun pacaran sama Guanlin baru kali ini Jihoon berhadapan sama pertanyaan yang sumpah... susah banget?!
Jihoon mengecup rambut Jia sekali lagi, lalu mulai melangkahkan kakinya mengikuti Chungha masuk ke dalam kamar Jia.
"Kita berdua masih sibuk sama kerjaan kita masing-masing, kak. Guanlin, jabatan dia nggak gampang, dan dia butuh kerja yang serius di kantor. Apalagi, ayah udah percayain Guanlin buat memimpin kantor cabang, kan? Jihoon juga sama, kak. Jihoon masih sibuk ngajar sana-sini, dan nggak bisa ninggalin kerjaan Jihoon begitu aja. Jadi, kayaknya, itu... masih nanti-nanti aja deh, kak. Hehehe." ucap Jihoon, sambil menidurkan Jia di ranjangnya.
Jihoon beranjak menghampiri Chungha yang sedang memilih beberapa pakaian rumah, piyama, dan juga seragam playgroup sang anak. Chungha menoleh, lalu mengusap lengan Jihoon dengan lembut.
"Tapi, kalau Guanlin mau step up, kamu siap?"
Jihoon membalas pertanyaan Chungha dengan senyuman simpul, lalu menggeleng.
"Jihoon yakin, Guanlin belum kepikiran sampai kesana, kak. Dia terlalu maniak sama pekerjaannya."
Chungha menghela nafasnya. Lalu membalas senyuman Jihoon dengan seuntai senyum manisnya. Ck, Lai Guanlin. Anak itu benar-benar seorang workaholic. Jihoon mulai membantu Chungha untuk melipat beberapa pasang pakaian milik Jia. Chungha, wanita itu masih terdiam, dengan mata yang sepenuhnya terarah pada Jihoon, kekasih adiknya.
Lagi, Chungha menghela nafasnya dengan pelan. Ia tahu, bahkan sangat tahu. Jauh didalam hati Jihoon, dia pasti ingin ada perkembangan dalam hubungannya dengan Guanlin. 8 tahun menjalin kasih, bukan waktu yang sebentar untuk belajar saling mengenal dan memahami, kan?
♔
Guanlin membuka pintu utama D'Amour Café, tempat yang ditentukan Daniel untuk mereka bertemu sore ini. Guanlin baru saja menyelesaikan meeting-nya, dan langsung turun dari lantai 11 gedung perusahaan menuju kafe klasik yang ada di seberang kantornya. Guanlin memicingkan matanya, berusaha mencari keberadaan Daniel dari balik lensa kacamata yang dipakainya. Ah, itu dia!
Guanlin melangkahkan kakinya menuju salah satu meja yang letaknya ada di pojok kafe. Daniel masih tampak sibuk dengan ponselnya, hingga tidak menyadari keberadaan Guanlin yang udah mengambil posisi duduk di depannya.
Guanlin berdecak, lalu mengetuk kencang meja kayu yang membatasi bangku keduanya. Daniel mendongak, senyum gigi kelincinya terukir dengan jelas, sambil tangannya bergerak untuk menyimpan ponselnya di saku celana jeansnya.
Daniel mengulurkan tangannya, mengajak Guanlin untuk ber-toss ala laki-laki jantan. Guanlin tersenyum, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku.
"Tumben, bang?"
"Makan dulu lah, Lin. Biar enak ngobrolnya."
Guanlin menggeleng dengan cepat, "gue nggak bisa lama-lama, bang. Harus jemput Jihoon dirumah kakak gue." balas Guanlin, sambil melirik jam hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
4.10pm KST.
Daniel mengangguk maklum, "lo gimana sama Jihoon?" tanya Daniel, yang dua detik kemudian langsung menjentikkan jarinya untuk memanggil seorang pelayan.
Nggak lama, seorang pelayan wanita datang menghampiri meja mereka dengan sebuah gadget berisi menu kafe yang ada di tangannya.
Daniel mulai memesan minuman untuknya dan juga untuk Guanlin. Setelah itu, pelayan wanita tersebut pun pamit untuk menyiapkan pesanan mereka.
Guanlin tersenyum kecil, "baik-baik aja, bang."
"Bang Danik sama bang Seongwoo sendiri gimana?" sambung Guanlin.
"Nah! Itu! Itu dia, Lin!" balas Daniel yang volume suaranya meningkat 2 kali lipat. Guanlin menatap bingung pada Daniel yang mulai grasak-grusuk mencari sesuatu dari dalam saku celananya.
Mata Guanlin menyipit, saat Daniel memaparkan dua kotak beludru beda warna, merah dan biru, di atas meja. Daniel membuka dua kotak beludru tersebut, dan terpampanglah dua pasang cincin emas putih yang tampak berkilau. Guanlin memusatkan tatapannya pada Daniel, yang justru kelihatan bingung sambil menatap dua pasang cincin itu secara bergantian.
"Wah, step up, nih bang?" tanya Guanlin, yang jujur aja ngerasa bahagia karena secara pelan-pelan, teman-temannya mulai meningkatkan status hubungan mereka. Mulai dari Jinyoung dan Daehwi yang sekarang udah tunangan, Woojin yang lagi menjalani masa-masa pacaran sama Hyungseob, dan sekarang Daniel yang kayaknya mau ngelamar Seongwoo. Gercep juga ya, pria-pria ini.
Daniel membalas tatapan Guanlin, lalu tersenyum kecil.
"Menurut lo, bagusan yang mana, Lin? Gue takut nanti cincinnya dibuang sama Seongwoo. Lo tau sendiri, kan, pas gue nembak dia aja, bunga dari gue dibuang ke tong sampah karena ternyata dia alergi sama bunga." ucap Daniel, yang wajahnya bener-bener keliatan bingung.
Wah, haha. Iya, Guanlin jadi ingat dengan prosesi pernyataan cinta Daniel buat Seongwoo. Daniel sama Seongwoo jadian, setahun setelah kelulusan sekolah. Usahanya Daniel buat dapatin Seongwoo itu, loh! Susah banget! Mulai dari Daniel yang kehilangan jejak Seongwoo, karena Daniel nggak tau kalau Seongwoo ternyata cuma magang beberapa bulan di sekolah. Pas udah ketemu, Seongwoo nya super sibuk, karena baru aja resmi jadi manager sebuah toko buku yang cukup besar dan terkenal. Sampai akhirnya, Daniel minta saran sama Guanlin, gimana caranya biar dia bisa deketin Seongwoo. Ya, namanya juga Guanlin. Kalau ngasih saran emang suka nggak kira-kira. Jadi, Daniel disuruh Guanlin untuk jadi pengunjung di toko buku tempat Seongwoo bekerja. Percobaan pertama, beli buku yang banyak pokoknya sampai nominal harga yang harus dibayar itu ngelebihin angka penjualan normal setiap harinya. Berhasil? Nggak. Rugi di dompetnya si Daniel. Percobaan kedua, nyari buku yang emang nggak dijual sama sekali di toko buku itu. Harapan bisa ketemu langsung sama si manager, eh Daniel malah diusir. Percobaan ketiga, bikin rusuh di toko buku. Ngapain kek, yang penting bikin rusuh. Berhasil? BERHASIL YANG INI MAH.
Akhirnya, Seongwoo pun turun tangan untuk ngurusin masalah Daniel. Eh, jadi sering ketemuan, mulai nyambung, pendekatannya lama, berbulan-bulan, pas ditembak pakai bunga, eh bunganya malah dibuang. Bukan karena ditolak, tapi karena Seongwoo alergi sama bunga.
Terus, terus? Ya, begitu deh dijalanin aja sama mereka berdua.
Dan sekarang, kayaknya hubungan keduanya bakal jadi lebih serius lagi.
Guanlin menatap dua pasang cincin itu. Selera Daniel emang diatas rata-rata, deh. Ya tapi, sayang juga sih kalau selera bagus tapi ujung-ujungnya nggak diterima sama si doi.
"Yang ini bagus, bang. Gue yakin bang Seongwoo pasti suka!" ucap Guanlin, sambil menunjuk sepasang cincin yang ada didalam kotak beludru biru. Daniel meraih kotak tersebut, dan mulai memusatkan pandangannya pada sepasang cincin yang ada disana.
"Yakin? Nggak bakal dibuang?" tanya Daniel, sambil mengangkat pandangannya ke arah Guanlin.
Guanlin mengangguk mantap, dan nggak lama seorang pelayan lain datang membawa pesanan Daniel dan Guanlin. Setelah mengucapkan terimakasih, sang pelayan pun pergi meninggalkan meja mereka.
Daniel menutup dua kotak beludru miliknya, dan memasukkannya kembali ke dalam saku celananya. Sedangkan Guanlin, pria itu mulai asik menyeruput es kopi yang dipesan Daniel.
Guanlin berdehem, "bang Seongwoo nggak bakal setega itu buat ngebuang cincin yang udah lo beli, bang. Apalagi, niat lo buat seriusin hubungan kalian, kan?" ucap Guanlin, seolah menasihati.
Daniel mengangguk, lalu tersenyum pada Guanlin dan mulai meneguk es coklat pesanannya.
"Ngomong-ngomong soal serius, kapan lo mau seriusin Jihoon?"
Skakmat. Hampir semua teman-teman sepermainan Guanlin tuh kayaknya tau ya kalau selama ini Guanlin sama Jihoon masih dalam masa pacaran, alias kayak jalan ditempat.
Guanlin menghela nafasnya, lalu tersenyum kecil.
"Nggak tau, bang. Gue masih sibuk kerja, Jihoon juga masih sibuk ngajar. Belum lah kayaknya, bang. Masih jauh." jawab Guanlin, yang sedetik kemudian terdengar suara si Joseph yang berdering. Guanlin meraih ponselnya dari dalam saku yang ada di balik jas kerjanya. Seuntai senyum lebar terukir di wajahnya, saat melihat kontak Jihoon ada di daftar paling atas notifikasi ponselnya.
Gyembul♡:
Ko, nanti jemput aku di supermarket aja, oke? Aku sama Jia masih belanja, nih.
Lai Guanlin:
Iya, sayang. Bentar lagi aku berangkat, ya.
Gyembul♡:
Hati-hati, daddy!ㅡ Jia
Guanlin terkekeh, lalu menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku jas kerjanya. Matanya kembali mengarah pada Daniel yang ternyata lagi senyum-senyum sambil natap ke arahnya.
Guanlin berdecak, "inget, bang. Lo udah punya bang Seongwoo. Ngeliat gue nya biasa aja, dong." ucap Guanlin, sambil menyesap es kopinya.
Daniel menggeleng pelan, lalu meraih salah satu kotak beludru dari saku celananya. Daniel menggeser kotak tersebut tepat ke samping gelas es kopi Guanlin. Guanlin menatap kotak beludru itu dengan alis yang saling bertaut dan dengan salah satu mata yang memincing. Bingung. Daniel ngapain, sih?
"Jihoon juga butuh status yang jelas, Lin." ucap Daniel, dengan raut wajahnya yang serius.
Guanlin menghela nafasnya lagi, lalu menggeser kembali kotak beludru merah milik Daniel.
Guanlin menggeleng, lalu tersenyum.
"Gue nggak yakin kalau Jihoon udah siap, bang. Kita terlalu sibuk sama kerjaan kita, dan kita bener-bener belum pernah ngobrol soal pernikahan dan sebagainya. Nggak lah, bang. Belum sekarang-sekarang."
Daniel berdecak. Agak kesel juga sebenernya. Kalau alasannya nanti-nanti, ya kelamaan, kali? Guanlin sama Jihoon pacaran duluan, masa' halalnya belakangan? Keduluan mulu sama yang lain.
Daniel kembali menggeser kotak beludru itu ke depan tangan Guanlin yang ada diatas meja. Daniel meraih tangan Guanlin, menuntun telapak tangan Guanlin untuk menggenggam kotak beludru merah berisi sepasang cincin emas putih polos tersebut.
"Pakai aja dulu yang ini. Nanti, kalau lo udah yakin bener mau step up, lo bisa ganti cincinnya." ucap Daniel.
Guanlin terdiam, dengan mata yang terfokus pada kotak beludru merah yang ada di dalam genggamannya. Guanlin tampak berpikir. Apa... ini emang udah saatnya?
Nge-upgrade status hubungannya sama Jihoon?
Guanlin menarik panjang nafasnya, lalu menghembuskannya dengan pelan. Guanlin mendongak, menatap Daniel yang sedang asik menyeruput es coklatnya.
"Thanks, bang!" ujar Guanlin, sambil menyimpan kotak beludru merah tersebut ke dalam saku celananya. Guanlin kembali meminum es kopinya sampai habis. Lalu, ia merapikan penampilannya.
"Gue balik duluan ya, bang? Kabar-kabarin lah kalau udah siap naik pelaminan." ucap Guanlin, sambil berdiri dan mengulurkan tangannya pada Daniel.
Daniel ikut berdiri, lalu mengangguk sambil tersenyum. Daniel membalas uluran tangan Guanlin. Salaman ala pria-pria elit gitu, deh.
"Lo juga, Lin. Gue tunggu kabar baik dari lo sama Jihoon." ucap Daniel, yang dibalas anggukan oleh Guanlin.
Nggak lama, Guanlin pun beranjak meninggalkan kafe dan bergegas menuju parkiran kantornya untuk mengambil si Alex.
Terus, terus? Jemput kesayangan di supermarket, dong.
♔
"Daddy Alin!!!" suara melengking milik seorang gadis kecil berhasil mengambil seluruh perhatian Guanlin. Guanlin, yang awalnya kebingungan buat nyari keberadaan Jihoon dan Jia pun langsung melangkah cepat saat mendapati kekasih dan keponakannya itu sedang berdiri di depan rak makanan-makanan ringan.
Guanlin menghampiri Jihoon dan Jia, lalu meraih Jia yang sedang duduk di dalam troli untuk digendongnya. Jihoon menoleh, lalu tersenyum.
"Hey," sapa Jihoon, sambil mengusap lembut wajah Guanlin.
Guanlin menunduk, lalu mengecup lembut puncak kepala Jihoon, "hey, sayang."
Jihoon hanya bisa tersenyum, lalu kembali berbalik untuk memilih beberapa makanan ringan.
"Jia sayang, Jia mau cemilan apa aja, nak? Buat di rumah sama buat di sekolah." tanya Jihoon, sambil mengambil dua bungkus snack dengan merek dan rasa yang berbeda. Jihoon menunjukkan dua bungkus snack tersebut tepat di depan Jia, bermaksud untuk membiarkan Jia memilih sendiri snack yang ia mau.
Dengan senyum lebarnya, Jia memilih bungkus snack yang ada di tangan kiri Jihoon. Jihoon mengacak gemas rambut Jia yang dikuncir dua, lalu memasukkan snack pilihan Jia ke dalam troli.
Sebentar.
Barusan, Jihoon bilang cemilan buat di rumah sama di sekolah?
Loh, gimana maksudnya?
Melihat kerutan yang tergambar di dahi Guanlin, Jihoon pun tertawa lalu mulai mendorong trolinya. Guanlin pun ikut melangkah di samping Jihoon, dengan Jiaㅡdidalam gendongannya, yang lagi asik menciumi pipi kiri dan dagu Guanlin.
"Kak Chungha sama kak Seungcheol ada urusan kerjaan di Jeju selama seminggu. Jadi, Jia dititipin sama kita selama seminggu ini." ucap Jihoon, sambil mendorong trolinya untuk berbelok ke arah rak-rak coklat dan permen.
Guanlin memusatkan tatapannya pada Jia yang lagi asik melihat deretan bungkus permen yang digantung di dekat rak coklat. Guanlin menghujani wajah Jia dengan kecupan-kecupan ringan, membuat Jia tak bisa menahan tawanya.
"Daddy, geli!! Uuhhh!!"
"Hmm, Jia-nya daddy mau nginep di rumah daddy, hm??" tanya Guanlin, masih sambil menciumi seluruh wajah Jia.
Jia terkekeh menahan geli, sedangkan Jihoon mulai asik memindahkan beberapa bungkus coklat ke dalam troli.
"Daddy!!!"
"Yes, baby!"
"Gelii aiiih, om Jihoon!! Ini daddy, uhh!!"
Jihoon berbalik, lalu menyodorkan satu bungkus coklat pada Jia.
"Coklat! Coklat!" ucap Jihoon, sambil menggoyangkan bungkus coklat tersebut di depan Jia. Jia menahan kepala Guanlin, lalu tangan mungilnya beralih untuk meraih coklat yang ada di tangan Jihoon.
"Cokatttt!!!" ucap Jia senang saat berhasil meraih coklat yang semula dipegang Jihoon.
Guanlin tersenyum, lalu mencium pipi Jia dengan gemas sebelum akhirnya ia mengarahkan pandangannya pada beberapa bungkus coklat yang ada di dalam troli.
Guanlin berdecak, lalu mengambil semua bungkus coklat tersebut dan mengembalikannya pada rak khusus yang menampung berbagai merek dan jenis coklat.
Jihoon yang melihat aksi anarkis Guanlin pun langsung menahan tangan Guanlin, dengan sepasang mata yang melotot, dan juga dengan bibir yang dimanyun-manyunin.
"Guanlin, ih!"
Guanlin menggeleng, "Jia sayang, tolong pegangin dulu ya om Jihoon nya,"
Jia terkekeh, tapi akhirnya nurut juga sama kata-katanya Guanlin. Jia menepuk gemas pipi berisi Jihoon, "om Jihoon,"
"Aish, Jia. Kamu diem dulu ya, sayang?"
"Nggak apa-apa, Jia. Cubit aja sekalian pipinya om Jihoon." itu kata Guanlin, yang masih sibuk ngembaliin beberapa bungkus coklat ke rak-nya.
"Guan, ih!! Jahat!!"
Begitu selesai, Guanlin langsung merangkul bahu Jihoon dengan salah satu tangannya. Sedangkan tangannya yang satu, masih ia pakai untuk menggendong tubuh mungil Jia.
Jihoon pun kembali mendorong troli dengan wajah yang ditekuk. Sebel, ih!! Guanlin ngeselin!!
Guanlin melirik Jihoon yang masih manyun di sampingnya. Lalu, ia menunduk dan mendaratkan sebuah kecupan manis di ujung bibir Jihoon. Ya, namanya juga lagi ngambek. Jadinya, Jihoon nggak ngasih respon apa-apa dan tetap fokus untuk mendorong trolinya.
Guanlin terkekeh, lalu mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Jihoon, "janjinya kan nggak nyemilin coklat lagi, hm?? Udah janji kan pas belanja bulanan bulan kemarin? Iya, Guan. Aku janji deh nggak makan coklat lagi. Nanti aku malah tambah gendut. Tuh, aku masih inget loh sama kata-kata kamu sebulan yang lalu." ucap Guanlin, yang tetap aja nggak direspon sama Jihoon.
Guanlin menggeleng, dan nggak lagi-lagi dia buka suara karena ibu negara bener-bener lagi ngambek sekarang. Akhirnya, mereka pun mendorong troli menuju kasir. Semua keperluan bulanan bulan ini dan juga beberapa keperluan Jia udah terpenuhi ✔.
♔
Jia rewel tengah malam. Dikasih susu nggak mau, dikasih cemilan nggak mau, dikasih coklat juga nggak mau. Air matanya masih merembes di kedua pipi tembemnya. Jihoon mulai kualahan. Udah digendong, udah dicup-cupin juga nggak ngaruh kayaknya. Mau bangunin Guanlin, tapi kasihan. Meskipun masih ngambek, Jihoon tau banget kalau Guanlin pasti lagi capek. Buktinya, suara tangisan Jia sama sekali nggak ngebangunin Guanlin dari tidur nyenyaknya.
Akhirnya, Jihoon pun membawa Jia keluar kamar. Dengan lembut, Jihoon menepuk-nepuk punggung Jia yang masih menangis, sambil sesekali mengecupi rambut Jia yang memeluk erat lehernya.
"Sayang, sssttt, udah ya nangisnya,"
Jihoon masih terus menepuk lembut punggung Jia, yang justru malah bikin Jia nangis semakin kencang.
Jihoon rasanya mau nangis juga. Bingung harus ngapain. Jia kok jadi rewel gini? :(
Jihoon melangkah menuju jendela ruang tengah. Jalan raya di depan apartemen masih terlihat ramai. Jihoon berusaha untuk mengalihkan perhatian Jia ke arah jendela, namun Jia malah semakin erat memeluk leher Jihoon dan menenggelamkan wajahnya yang basah karena air mata di leher bagian bawah Jihoon.
"Jia kenapa, sayang?"
Jihoon menoleh saat mendengar suara serak Guanlin di sampingnya. Jihoon melenguh, "rewel. Aku bingung. Dikasih susu juga nggak mau." ucap Jihoon, sambil menatap Jia dengan sendu.
Guanlin menguap sebentar, lalu mengucak matanya yang masih terasa berat. Setelah itu, Guanlin berdehem sambil merentangkan tangannya.
"Sini, coba sama aku."
Jihoon pun menyerahkan Jia pada Guanlin. Awalnya, Jia nggak mau lepas dari Jihoon, tapi setelah mendengar suara lembut Guanlin, Jia pun berhambur ke dalam dekapan daddy-nya itu. Jihoon memilih untuk duduk di sofa ruang tengah, sambil terus menatap Guanlin yang sedang menimang Jia.
Nggak lama, tangisan Jia pun berhenti. Jia mulai tertidur pulas di dalam dekapan Guanlin. Guanlin menghela nafas lega, lalu mencium puncak kepala Jia.
"Jia nya udah bobo, nih." Guanlin berbalik, dan senyum tipis hinggap di wajahnya saat melihat Jihoon yang tertidur dengan posisi duduk di sofa.
Guanlin melangkah mendekati Jihoon, lalu mengusap wajah Jihoon dengan salah satu tangannya. Jihoon pun mengerjapkan matanya saat merasa tidurnya terusik. Matanya masih mengerjap berulang kali, sedangkan tangan Guanlin masih mengusap lembut pipinya.
"Pindah ke kamar, yuk." ucap Guanlin dengan lembut.
"Jia?"
Guanlin tersenyum, "udah bobo. Ayo. Kamu juga bobo."
Jihoon pun beranjak dari sofa dan melangkah dengan lemas menuju kamarnya dengan Guanlin. Jihoon udah ngantuk banget. Jadinya, dia langsung naik ke atas ranjang dan langsung teler begitu ketemu sama bantal. Guanlin nggak bisa menahan senyumnya. Jihoon, kalau udah ngantuk emang begini. Pelor. Alias nempel, molor. Guanlin mulai beranjak menaiki ranjang, dan meletakkan Jia di samping Jihoon. Guanlin duduk di tepi ranjang, tersenyum kecil sambil matanya menatap lurus pada dua sosok yang amat sangat disayanginya itu.
Ah, Guanlin teringat sesuatu!
Guanlin berbalik, lalu membuka laci nakas yang ada di samping ranjang.
Kotak beludru merah.
Ah, gimana cara bilangnya, ya?
Guanlin membuka kotak beludru merah pemberian Daniel. Guanlin menatap sepasang cincin yang ada di dalam situ, lalu matanya beralih untuk menatap Jihoon yang tampak semakin lelap.
Guanlin menghela nafasnya, lalu menutup kotak beludru tersebut.
Guanlin terdiam beberapa saat, lalu kembali membuka kotak tersebut dan kembali melirik Jihoon yang kelihatan semakin nyenyak dalam tidurnya.
Lagi, Guanlin menarik nafasnya dalam-dalam. Guanlin mengambil salah satu cincin dari dalam kotak beludru merah itu. Lalu, menutup kembali kotak tersebut dan menyimpannya ke dalam laci nakas. Guanlin menatap penuh harap cincin yang sekarang ada di atas telapak tangannya, lalu mulai beranjak untuk melangkah ke samping Jihoon.
Guanlin berjongkok di samping ranjang, berhadapan langsung dengan wajah lelap Jihoon. Guanlin mendekatkan wajahnya pada wajah Jihoon, lalu meniup pelan bagian dahi sang kekasih. Guanlin tersenyum, "hey," ucap Guanlin, sambil merapikan poni Jihoon dengan jari telunjuknya.
Guanlin menghela nafasnya untuk yang ke-sekian kalinya, lalu mengangkat tangan kanannya dan menatap lurus pada cincin yang kini sedang ia genggam.
Guanlin mengecup cincin tersebut, lalu menyentuh tangan kiri Jihoon. Jihoon melenguh kecil, namun tidak terbangun sama sekali. Guanlin mengangkat tangan Jihoon secara perlahan. Mengecup punggung tangan Jihoon dengan lembut, lalu mulai memasangkan cincin tersebut pada jari manis tangan kiri Jihoon.
Wah. Pas!
Lagi-lagi Guanlin tersenyum. Guanlin meletakkan tangan kiri Jihoon di sisi ranjang, lalu ia menunduk dan mengecup dahi Jihoon.
"Good night, mine."
♔
Sinar matahari mulai menelusup masuk melalui celah-celah jendela. Bulan dan bintang sedang tertidur, berganti tugas dengan sang mentari.
Pagi ini cerah, itu artinya matahari pasti lagi bahagia. Kalau lagi bahagia, pasti tersenyum, dong? Sama kayak Jia!!
Pagi ini, Jia bangun lebih dulu daripada Jihoon dan juga Guanlin. Jia duduk dengan tegak di tengah ranjang, lebih tepatnya sih di tengah-tengah Jihoon yang masih makan es krim di dalam mimpinya, dan juga Guanlin yang masih meeting dengan rekan kerja dari luar negri di dalam mimpinya. Jia terkekeh, lalu beranjak naik ke atas perut Guanlin. Guanlin mengerjapkan matanya, saat merasa sesuatu sedang terombang-ambing diatas tubuhnya.
"Daddy Alin!"
Jia tersenyum lebar, sambil berhambur memeluk leher Guanlin. Guanlin terkekeh, lalu mendekap Jia lebih erat lagi. Guanlin mengecup pipi kiri Jia berulang kali, membuat Jia cekikikan menahan geli.
"Good morning, sweetie."
Jia tertawa, "molning, daddy!"
Guanlin melirik ke arah samping, dan mendengus saat mendapati Jihoon masih lelap dalam tidurnya. Guanlin mendekatkan bibirnya pada telinga mungil Jia, "hey, kita gelitikin om Jihoon, yuk!" ajak Guanlin, yang langsung dibalas anggukan semangat oleh Jia. Jia beranjak meninggalkan perut Guanlin, dan mulai merangkak menaiki tubuh Jihoon.
"Ayo, daddy!" ucap Jia penuh semangat, dan Guanlin pun mulai berguling ke arah Jihoon dan mulai meluncurkan aksi anarkisnya pada sang kekasih.
Dengan cepat, Jihoon membuka pejaman matanya saat merasa sesuatu sedang menggerayangi tubuhnya. Wajah Jihoon memerah, saat sadar kalau Guanlin dan Jia lagi gelitikin dia. WAH!!! GELI!!! ADUH, KACAU!!!
"Ampun! Ampun!" Jihoon meringis, bahkan hampir nangis karena nggak kuat nahan rasa geli yang berasal dari gelitikan tangan Guanlin dan Jia.
Parah, Jia kecil-kecil tenaganya jumbo juga!
"Lagi, daddy, lagi!!"
"Gelitikin terus, nak. Biar om Jihoon nya bangun."
Jihoon makin histeris aja, "udah bangun! Aku udah bangun, ih!!"
"Om Jihoon mukanya merah! Hehehe."
"Jia, u u u u udahan ya?"
"No, no, no."
"Ko a a a Alin!!!"
"Lehernya, Jia! Lehernya, gelitikin!"
"Ko, aku marah nih, ya!"
"Udah, Jia. Udah. Yuk sini sama daddy." dengar ancaman marah, Guanlin pun meminta Jia untuk berhenti. Awalnya Jia nggak mau, masih seru gelitikin om Jihoon, katanya. Tapi akhirnya, Jia beranjak turun dari perut Jihoon dan berhambur ke dalam pelukan Guanlin.
Guanlin menggendong Jia untuk turun dari ranjang. Guanlin melangkah ke sisi Jihoon, lalu berjongkok di samping ranjang.
"Jia,"
"Ya, daddy?"
Guanlin melirik Jihoon yang masih manyun dibalik selimut, "morning kiss dulu buat om Jihoon." ucap Guanlin, sambil mendekatkan Jia pada wajah Jihoon.
Jia mengangguk, lalu mengecup pipi kanan Jihoon.
Guanlin tersenyum, lalu mengecup cepat pipi Jia. Setelah itu, Guanlin mencolek pipi kanan Jihoon, membuat sang empunya pipi menoleh, danㅡ
Cup
Sebuah ciuman selamat pagi hinggap di bibirnya. Jihoon tersenyum, lalu mendorong wajah Guanlin agar menjauh dari wajahnya.
Jihoon merubah posisinya menjadi duduk, lalu menunduk dan mengecup lembut pipi Jia, lalu beralih menangkup wajah Guanlin dan mencium lembut bibir kekasihnya itu.
"Ayo bikin sarapan!" ucap Jihoon, yang langsung melompat turun dari ranjang dan berjalan mendahului Guanlin dan juga Jia.
Jihoon melangkah menuju dapur, sedangkan Guanlin menggendong Jia menuju ruang tengah. Hari Minggu, pasti banyak film kartun lucu di tv.
Guanlin mulai sibuk mencari channel televisi yang bagus, sedangkan Jihoon mulai sibuk membuat susu untuk Jia di dapur.
Setelah selesai, Jihoon melangkah menuju ruang tengah dan duduk disamping Guanlin yang sedang memangku Jia.
Jihoon mengusap lembut puncak kepala Jia, membuat sang putri kecil menoleh dan tersenyum pada Jihoon.
"Minum susu dulu ya, sayang." ucap Jihoon, sambil menyodorkan sebuah gelas berisi susu coklat pada Jia.
Jia mengambil gelas tersebut, dan mulai meneguk susu coklatnya dengan cepat. Guanlin melirik Jihoon yang sedang fokus menatap Jia, lalu tatapannya beralih pada tangan kiri Jihoon, dimana ia menyematkan sebuah cincin disana.
Bau-baunya, Jihoon belum nyadar, nih.
"Ehmm,"
"Iya, ko, nanti abis Jia selesai minum susu baru aku bikinin kopi buat kamu, ya."
Lagi, Guanlin berdehem. Yang pada akhirnya, berhasil membuat Jihoon menoleh ke arahnya.
Guanlin tersenyum kecil, sedangkan Jihoon mulai memicingkan salah satu alisnya.
"Bang Danik mau ngelamar bang Seongwoo."
Mata Jihoon membulat, "serius?!"
Guanlin mengangguk, "aku yang bantuin bang Danik milih cincin buat bang Seongwoo."
Jihoon menyipitkan mata kirinya, "emangnya kamu ngerti milih-milih cincin begituan?" tanya Jihoon.
Guanlin berdecak, lalu meraih tangan kiri Jihoon dan mengangkatnya.
"Liat jari manis kamu."
Jihoon pun mengalihkan tatapannya pada jari-jari tangan kirinya.
Hm, nggak ada yang aneh.
Nggak ada yang beda juga.
EH?!
SEBENTAR!
CINCIN?!?!
"Guan,"
"Nikah, yuk?"
"Hah?!"
Demi apapun, Jihoon ngeblank. Ini... Guanlin lagi ngelamar dia apa gimana?
Guanlin masih terdiam. Bingung juga mau ngapain. Kenapa rasanya beda banget ya, antara nembak (nyatain perasaan) sama ngelamar? Jantung Guanlin bahkan berdegub jauh jauh jauh lebih cepat sekarang, dibanding waktu Guanlin nembak Jihoon di lapangan basket indoor sekolah.
"Jihoon?"
Jihoon tersadar dari lamunannya, matanya langsung autofokus sama Guanlin yang lagi menatap ke arahnya dengan tatapan harap-harap cemas.
Jihoon menghela nafasnya, "Guan, aku tau kamu masih maniak sama kerjaan kamu, dan kamu juga tau kalau aku masih sibuk ngajar sana ngajar sini, hm? Bukannya aku nggak mau nikah sama kamu. Aku sayang sama kamu, kamu tau itu. Tapi, untuk sekarang, aku rasa terlalu cepat, akuㅡ"
"Kamu nolak aku."
Jihoon menggeleng dengan cepat, "nggak, Guan, nggak gitu. Dengerin aku dulu."
Guanlin tersenyum, lalu ia menunduk untuk mengecup rambut Jia berulang kali.
"Jia suka film kartunnya?" tanya Guanlin, yang dibalas anggukan oleh Jia.
Jihoon mencoba untuk meraih tangan Guanlin, namun Guanlin menggeser posisi duduknya menjauh dari Jihoon.
"Guan,"
"Hehehe. Lucu ya kartunnya, pantesan Jia anteng.." ucap Guanlin, sambil menyandarkan dagunya diatas kepala Jia.
Jihoon menghela nafasnya gusar, Guanlin bener-bener nyuekin dia. Kebiasaan. Nggak pernah mau dengerin penjelasan orang dulu. Keras kepala!
Jihoon berdehem, "aku buatin kopi, ya?"
"Nggak perlu. Udah kenyang."
Kebiasaan! Selalu aja seneng bikin Jihoon nangis!
♔
Ini hari terakhir Jia nginep di apartemen Jihoon dan Guanlin. Semalam, Chungha ngeline, katanya dia sama Seungcheol udah pulang dari Jeju. Dan juga, hari ini tepat seminggu Jihoon diem-dieman sama Guanlin. Sejak prosesi lamaran dadakan itu, Guanlin bener-bener nyuekin Jihoon. Lebih parahnya lagi, Guanlin nggak mau tidur sekamar sama Jihoon. Pertama-tama, Guanlin memilih untuk tidur di kamar bekas kamar Chungha. Itu cuma berlangsung tiga hari, karena setelah itu, Guanlin sama sekali nggak pulang. Nggak ada kabar. Nggak tau kemana.
Jihoon udah coba nyari keberadaan Guanlin, tapi tetap aja nggak ada hasilnya. Kesel? Banget! Mau nangis? Udah capek! Jihoon mau bodo amat aja mulai sekarang. Guanlin aja nggak mikirin perasaan dia, kenapa dia harus mikirin Guanlin?
"Sudah sampai, tuan."
Jihoon menoleh, dan benar aja sekarang taksi yang ia tumpangi udah berhenti di depan gerbang rumah Chungha. Jihoon tersenyum, lalu menyerahkan selembar uang pada supir taksi yang baik hati ini.
"Kembaliannya untuk bapak aja."
Si supir taksi tersenyum, "terimakasih, tuan."
Jihoon mengangguk, lalu menggendong Jia yang tertidur di dalam dekapannya untuk turun dari taksi. Sang supir taksi membantu Jihoon untuk membawa beberapa tas bawaannya sampai ke depan pintu utama rumah Chungha.
"Makasih, pak."
"Sama-sama, tuan."
Nggak lama, si supir taksi pun pamit dan kembali ke taksinya. Jihoon mulai mengetuk pintu rumah Chungha, beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka.
"Jihoon,"
Jihoon tersenyum, "kak Seungcheol."
Melihat Jia yang tertidur didalam dekapan Jihoon, Seungcheol pun meraih tubuh sang anak selembut mungkin.
"Masuk dulu, Hoon."
Jihoon mengangguk, dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah besar milik Chungha dan Seungcheol.
"Eh, Jihoon, udah datang,"
Jihoon menoleh, dan mendapati Chungha sedang melangkah dari arah dapur. Chungha mempersilahkan Jihoon untuk duduk di sofa ruang tengah. Jihoon mah nurut aja, sedangkan Seungcheol membawa Jia untuk beristirahat di kamarnya.
"Kamu sendirian?" tanya Chungha.
Jihoon mengangguk, lemah.
Kok, hawa-hawanya jadi mau nangis lagi, ya?
Nggak, Jihoon. Nggak boleh nangis.
Menyadari ada yang nggak beres sama raut wajah Jihoon, Chungha pun beranjak untuk duduk di samping Jihoon. Chungha menepuk lembut bahu Jihoon, "kamu kenapa, hm?"
Jihoon menggeleng, "nggak apa-apa, kak. Hehe."
"Nggak usah bohong sama kakak. Ayo, sini cerita. Guanlin bertingkah lagi? Iya?" tanya Chungha.
Lagi, Jihoon menggeleng. Lalu, ia menunduk.
"Guanlin salah paham, kak. Guanlin pergi nggak tau kemana. Dihubungin juga nggak bisa. Udah empat hari, Guanlin nggak pulang." jawab Jihoon dengan suara lirihnya.
"Kalian berantem?"
"Guanlin marah sama Jihoon. g g g Guanlin ngelamar Jihoon, seminggu lalu. Jihoon bilang, kayaknya terlalu cepat. Jihoon beneran nggak nolak Guanlin, kak! T t t tapi, Guanlin malah nyuekin Jihoon dan sama sekali nggak mau ngomong sama Jihoon. Udah seminggu, kak, dia kayak gini. Jihoon bingung." balas Jihoon, yang mulai terisak sedikit demi sedikit.
Jihoon tuh sedih aja. Pacaran 8 tahun sama Guanlin, ternyata Guanlin tetap aja keras kepala dan nggak bisa berubah sama sekali. Berasa gagal aja. Buat apa selama ini mereka selalu sama-sama, kalau akhirnya Guanlin tetap egois kayak gini?
Chungha menghela nafasnya, "kalau Guanlin udah berani ngelamar kamu, artinya dia serius sama kamu."
Jihoon mengangguk, masih sambil menunduk, "iya, Jihoon tau, kak. T t t tapi,"
"Delapan tahun bukan waktu yang singkat buat kalian saling mengenal. Delapan tahun sama-sama, itu artinya kalian udah matang untuk memulai jenjang yang lebih serius. Kalau kayak gini kasusnya, sih, kakak bisa ngerti kalau Guanlin pasti kecewa banget." balas Chungha, yang sebenernya nggak mau memihak di kubu Jihoon maupun Guanlin, tapi kalau kasusnya kayak gini ya, menurut Chungha, wajar aja kalau Guanlin marah dan kecewa.
"Guanlin masih banyak kurangnya ya, dek?" tanya Chungha.
Jihoon menggeleng dengan kuat, "nggak, kak. Bukan karena itu."
"Terus?"
"Jihoon bingung aja. Jihoon ngeblank waktu Guanlin ngelamar Jihoon kayak gitu. Nikah, yuk. Ngelamarnya kayak gitu, kak. Jihoon nggak tau, pas ngomong begitu, Guanlin tuh lagi serius atau malah lagi bercanda. Jihoon cuma bingung."
Chungha tersenyum kecil, lalu mengusap lembut bahu Jihoon.
"Guanlin cuma kesel, mungkin? Kalau dia udah nggak kesel, dia pasti pulang, kok. Udah, ya. Kamu jangan sedih lagi. Oke?"
Jihoon cuma bisa diam, dan berharap kalau Guanlin bakalan pulang secepatnya.
"Oh iya, dek. Besok ikut kakak, yuk?"
Jihoon mengusap wajahnya, lalu membalas tatapan lembut Chungha.
"Kemana, kak?"
"Ulang tahun teman kakak, di atas kapal tapi. Kak Seungcheol nggak bisa nemenin. Nah, kakak punya dua undangan. Kamu temenin kakak, ya?"
Wah. Naik kapal. Lumayan. Daripada sendirian terus di apartemen. Berasa jadi jomblo lagi.
Jihoon mengangguk, lalu tersenyum.
"Oke, kak!"
♔
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, sedangkan Jihoon dan Chungha baru aja tiba di lokasi tujuan, di sebuah pelabuhan khusus dimana banyak kapal pesiar berbagai jenis dan ukuran yang sedang berlabuh. Kali ini, Jihoon dan Chungha bukan mau berlayar naik kapal mahal alias kapal pesiar. Tapi, mereka udah janjian untuk datang ke pesta ulang tahun temennya Chungha, di atas sebuah kapal pesiar yang ada di tepi pelabuhan.
Chungha menggandeng lengan Jihoon untuk masuk ke dalam kapal pesiar tersebut.
Jihoon bingung.
Kenapa sepi banget?
Jihoon terus melangkah berdampingan dengan Chungha, sampai pada akhirnya ia harus menghentikan langkahnya saat seorang pelayan kapal pesiar menghampiri keduanya.
"Tuan Park Jihoon?"
Hah? Kok pelayan ini bisa tau nama Jihoon?
"I i i iya, saya Park Jihoon,"
"A rose for you."
Pelayan itu memberikan Jihoon sebuah mawar merah. Mau nolak, nggak enak. Akhirnya, Jihoon pun menerima mawar merah tersebut.
Nggak lama, pelayan itu pergi. Jihoon menatap bunga mawar merah itu dengan bingung. Sedangkan Chungha cuma bisa diam, dan kembali menggandeng lengan Jihoon untuk masuk ke dalam aula yang ada di dalam kapal.
Chungha mengajak Jihoon untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia didalam aula. Lagi lagi, ini beneran sepi. Aulanya kosong, cuma ada Jihoon, Chungha, dan sekelompok pemain musik yang ada di tengah panggung.
Jihoon menatap bingung pada sekelompok pemain musik yang membawakan lagu Beautiful in White, dengan mata masing-masing personil yang terpusat ke arah Jihoon. Ya, emang, sih. Kebetulan banget, Jihoon lagi pakai kemeja warna putih.
Jihoon masih bingung. Sampai-sampai dia nggak sadar, kalau ternyata si penyanyi mulai melangkah ke arahnya dengan sebuket balon berwarna pink muda yang sedang digenggamnya.
Penyanyi itu berhenti tepat didepan Jihoon, lalu ia mengulurkan seuntai tali yang mengikat 7 buah balon berwarna pink pada Jihoon. Mau nolak lagi? Nggak enak. Akhirnya, Jihoon pun menerima sebuket balon pink tersebut. Nggak lama, si penyanyi berbalik dan melangkah kembali ke panggung. Dalam hitungan detik, pemain musik mulai memainkan lagu romantis berjudul A Thousand Years dengan alunan yang sangat indah.
Jihoon menatap bingung pada 7 balon pink yang kini sedang ia genggam. Jihoon memicingkan matanya, saat mendapati ada sebuah kertas kecil yang terikat di salah satu tali yang menghubungkan tali pusat dengan tali salah satu balon.
Jihoon mulai membaca kalimat yang tertulis pada kertas kecil tersebut,
Ndut,
Aku tau, kamu pasti kesel sama aku.
Sekarang, coba kamu naik ke atas.
Aku tunggu kamu disini.
♡ your ceking
Dengan cepat, Jihoon menoleh dan tidak mendapati Chungha yang sebelumnya duduk di sampingnya. Jihoon berdiri, dan langsung berlari mencari tangga untuk naik ke lantai atas.
Jihoon berhenti tepat di tangga paling atas. Jantungnya berdegub dengan cepat, saat matanya mendapati semua orang terdekatnya sedang berdiri di atas sana.
Mama, Jimin, bunda, ayah Dongho, Chungha, Seungcheol, Jinyoung, Daehwi, Woojin, Hyungseob, Daniel, Seungwoo, semuanya berdiri berdampingan, dengan senyum manis yang menghiasi wajah mereka.
Jihoon kembali melanjutkan langkahnya, dan pegangannya pada setangkai mawar merah dan juga sebuket balon pink pun mengerat.
Jihoon mengedarkan pandangannya, dan tertegun saat matanya menangkap sosok yang sangat dirindukannya sedang berdiri, dengan posisi membelakangiㅡ menghadap ke arah laut lepas. Dengan spontan, Jihoon melangkah mendekati Guanlin, yang juga memakai kemeja panjang, dengan lengan yang digulung sampai ke siku, berwarna putih. Baru aja Jihoon mau memeluk Guanlin dari belakang, Guanlin lebih dulu berbalik.
Jihoon tersenyum, ada Jia didalam dekapan Guanlin.
"Tadinya, aku mau ngasih kamu coklat. Tapi, coklatnya dimakan sama Jia." ucap Guanlin lembut, yang tanpa sengaja baru aja membuat setetes air mata tumpah membasahi wajah Jihoon.
Jihoon menoleh sebentar saat Chungha mengambil alih Jia dari dekapan Guanlin. Guanlin tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap lembut wajah Jihoon.
Jihoon kembali memusatkan tatapannya pada Guanlin. Pria-nya, yang tampak 4 kali lebih tampan daripada biasanya.
Guanlin merengkuh pinggang Jihoon, membuat tubuh Jihoon semakin dekat dengan tubuhnya.
Guanlin menangkup wajah Jihoon, lalu mendaratkan sebuah kecupan manis di dahi Jihoon.
Guanlin melepas kecupannya, dengan posisi tangan yang masih menangkup wajah sang kekasih.
"Aku terlalu kekanakan, aku tau, dan aku minta maaf. Aku masih banyak kekurangan, aku tau, dan aku minta maaf. Aku terlalu sibuk sama pekerjaan aku, aku tau, dan aku minta maaf. Tapi satu yang pasti kamu tau, aku sayang sama kamu, dan seterusnya pun aku akan selalu sayang sama kamu.
Mulai sekarang, aku mau kamu percaya sama aku. Kalau di dalam hidup aku, kamu adalah orang terpenting nomor empat, setelah bunda, ayah, dan kak Chungha. Angka dan urutan itu bukan penghalang. Sekali lagi aku kasih tau kamu, aku sayang sama kamu. Aku yakin, kamu tau itu.
Garing, ya? Nggak apa-apa. Tuh, kamu senyum,
Aku mau, senyum ini bisa selalu aku liat setiap saat."
Sebuah kecupan hinggap di bibir Jihoon. Guanlin melumatnya pelan, lalu melepaskannya.
"Aku mau, delapan tahun perjuangan kita nggak berujung sia-sia. Aku mau, kita berjuang lagi. Berdua. Menciptakan kenangan baru yang indah setiap tahunnya. Tahun akan terus bertambah... Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya. Begitu juga perasaan aku buat kamu. Akan selalu bertambah setiap detiknya."
Sebuah kecupan mendarat di pipi kiri Jihoon.
Guanlin menunduk, mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Jihoon.
"Aku mau punya Jia sendiri sama kamu." bisiknya, sambil mengecup manis kepala bagian samping Jihoon.
Guanlin merogoh saku celananya, mengambil sebuah kotak beludru merah secara diam-diam. Jihoon nggak tau.
Guanlin mengangkat kotak beludru merah yang sudah terbuka itu, tepat di tengah-tengah wajah mereka berdua.
Jihoon baru sadar, dan langsung memusatkan tatapannya pada sepasang cincin berlapis berlian yang bersinar dengan cantiknya.
Jihoon mengalihkan tatapannya pada Guanlin yang ternyata sama sekali nggak berpaling darinya.
"Park Jihoon, would you be my Lai?"
Jihoon tersenyum. Ini semua terasa mimpi baginya, tapi dia nggak mau lagi menyia- nyiakan kesempatan ini.
Would you be my Lai?
Would
You
Be
My
Lai
?
"Yes, i do."
Itu jawaban Jihoon, lalu ia mengangguk dan blushhh Jihoon bahkan nggak bisa menghentikan laju air matanya. Ia bahagia. Sangat bahagia.
Guanlin mengambil salah satu cincin, lalu memasangnya di jari manis Jihoon. Lebih tepatnya, diatas sebuah cincin yang sebelumnya sempat Guanlin sematkan, sempat ditolak, namun sama sekali nggak pernah dilepas sama Jihoon. Jihoon turut mengambil cincin yang satunya, lalu menyematkan cincin tersebut pada jari manis Guanlin.
Jihoon menatap sendu jari manis Guanlin. Lengkap sudah kebahagiannya. Jihoon menggenggam tangan Guanlin, lalu mengecupnya berulang kali.
"Aku sayang sama kamu,
Sejak awal dan sampai akhir nanti."
Guanlin membingkai wajah Jihoon, lalu mendaratkan sebuah kecupan di dahi Jihoon. Jihoon berjinjit, melingkari tangannya pada leher Guanlin, menariknya sedikit, lalu mencium bibir Guanlin tanpa peduli bahwa banyak orang di sekitar mereka, termasuk orang tua mereka masing-masing.
Merekaㅡ Jihoon dan Guanlin masih terus berciuman, sampai suara tangis Jia menghentikan semuanya.
Semua mata menatap pada Jia,
"Cokat Jia abis............."
.
.
.
.
.
Cinta itu usaha. Usaha itu perjuangan. Jangan mau berjuang sendiri, karena cinta itu berasal dari kedua belah pihak.
Cinta itu air mata. Tapi, percayalah, pada akhirnya air mata kesedihan akan berganti dengan air mata bahagia.
Cinta itu pengorbanan. Percayalah, akan ada ganti yang setimpal atas apa yang sudah dikorbankan.
Yang pasti, cinta itu anugerah. Nggak boleh disia-siain. Harus bisa dimenangin.
♔♔♔♔♔
170913, Mäuschen officially ended! Big thanks to you, all!♡
ㅡ your hoonxian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro