• INFINITY • [bonchap]
"Stars means infinity, kamu tau kenapa disebut infinity? Karena seberapa besar usaha kamu buat menghitung ada berapa banyak bintang di langit, Tuhan nggak akan pernah ngasih tau jawabannya. Dan, apa kamu tau, kalau Sirius dan Canopus bukanlah bintang yang paling bercahaya? Karena bintang paling bercahaya yang sesungguhnyaㅡ
...lagi bobo di kamar mereka."
.
.
[Mäuschen, a bonus chapterㅡ 2018]
.
.
Jihoon menarik salah satu ujung bibirnya saat mendengar gombalan gagal yang hampir setiap hari Guanlin bisikkan di telinganya. Matanya mulai memberat, seiring dengan usapan lembut jari-jari jenjang Guanlin di sepanjang rahang wajah sampai ke pipi berisinya.
Di sisi kirinya, Guanlin turut mengukir seuntai senyum manis. Tangan kanannya ia gunakan untuk semakin merengkuh tubuh Jihoon, sedangkan tangan kirinya masih terus mengusap lembut wajah lelah sang separuh hidup.
"Bobo di kamar, ya?" bisik Guanlin.
Perlahan, Jihoon membuka matanya yang sempat terpejam untuk beberapa menit. Jihoon mengangkat sedikit kepalanya, sampai sepasang mata mengantuknya bertemu pandang dengan tatapan lembut Guanlin yang berada sekitar tujuh sentimeter dari wajahnya.
Jihoon tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Hachi belum ketemu sama mamanya, jadi aku belum mau tidur." Lalu, fokus Jihoon beralih pada televisi berlayar datar dan berukuran besar di hadapannya, yang sedang menampilkan kartun tentang kisah seekor lebah menggemaskan yang sedang mencari keberadaan ibunya.
"Padahal, kemarin Hachi udah ketemu sama mamanya. Kamu juga udah nonton sampai selesai. Kenapa sekarang ditonton lagi, hm?" tanya Guanlin, sembari mengusak-usak hidung mancungnya pada surai cokelat maduㅡ sedikit berantakan, milik Jihoon.
Jihoon mengangkat kedua bahunya, "dedekna mau nonton Hachi telus, ayah."
Guanlin tak bisa menahan senyum lebarnya tatkala Jihoon menjawab pertanyaan yang ia lontarkan sambil meniru suara anak kecil.
Dengan lembut, Guanlin melepas rengkuhannya pada tubuh berisi Jihoon, lalu menunduk dan mendaratkan sebuah kecupan panjang pada perut besar sang belahan jiwa.
"Dedek nggak mau nonton yang lain, hm? Dora? Tsubasa? Atau Naruto gitu?" tanya Guanlin sedikit berbisik, karena mulutnya masih menempel dengan kaos longgar yang dikenakan Jihoon.
Jihoon menggeleng cepat, "nda mau!! Mauna nonton Hachi!"
Guanlin melebarkan senyumnya saat mendengar rengekan Jihoon yang atensinya sama sekali belum berpaling dari layar televisi. Dengan cepat namun tetap lembut, Guanlin merengkuh kepala Jihoon dan menghadiahi sang istri dengan sebuah kecupan manis di pelipis kirinya.
"Awas ih, Lin! Nggak keliatan!" Merasa terganggu dengan posisi Guanlin yang mencondong di depannya, Jihoon berusaha untuk mendorong tubuh Guanlin.
Guanlin melepas kecupannya, seraya mengacak gemas rambut berantakan Jihoon.
"Bilang aja bundanya emang yang mau nonton Hachi, kan? Bukan si dedek? Utu utu, bayi besarnya aku..." ucap Guanlin, sambil mengunyel-unyel pipi Jihoon yang tampak semakin berisi pada usia kehamilannya yang sudah memasuki bulan ke sembilan.
Meski merasa terganggu dengan apa yang sedang Guanlin lakukan, Jihoon tak lagi melayangkan protes. Matanya masih terus terfokus menonton kartun yang sudah ia tonton lebih dari 35 kali setiap harinya. Tanpa sadar, tangan kiri Jihoon justru mulai terangkat dan mendarat sempurna pada pipi tirus Guanlin yang kini menyandar di bahu kirinya. Jihoon mengusap pipi itu dengan lembut, saat kecupan-kecupan ringan Guanlin layangkan tepat di sekitar bahu dan lehernya.
Perlahan namun pasti, Jihoon kembali memejamkan matanya saat kecupan demi kecupan yang Guanlin berikan justru semakin banyak namun tetap lembut. Tangan kirinya juga masih mengusap wajah sang suami, meski sempat terhenti beberapa kali karena tak sengaja ia tertidur.
Guanlin menentukan garis finish hujan kecupannya pada pipi kiri Jihoon, membuat lelaki manis yang nyaris memasuki false deltanya itu langsung membuka pejaman matanya karena terkejut.
"Bobo yang bener, yuk. Kasian kamu sama si dedek kalo bobonya di sofa kayak begini. Aku gendong, ya?"
Merasa sudah benar-benar mengantuk, Jihoon pun mengangguki ucapan Guanlin. Lagian, masih bisa nonton Hachi besok, kan? Nontonnya ya dari awal lagi hehe.
Baru saja Jihoon hendak memeluk tengkuk Guanlin, dan baru saja Guanlin akan menggendongnya ala-ala bridal style, sebuah bunyi deritan pintu yang terbuka menginterupsi gerak keduanya.
Baik Jihoon maupun Guanlin sama-sama kembali pada posisinya semula, namun mata mereka beralih ke belakang, tepatnya pada pintu kamar Qian dan Juan yang baru saja dibuka dari dalam.
Jihoon memicingkan alisnya, saat melihat kedua anak kembarnya itu berjalan keluar kamar dengan jarak yang cukup jelas diantara keduanya.
"Bunda, Juan mulai lagi..." rengek Qian, sambil memeluk boneka karakter Olaf, juga sambil menunjukkan raut malasnya.
Atensi Jihoon beralih pada Juan, yang berdiri cukup jauh di belakang Qian, sambil menunduk. Sudah tau tentang apa yang terjadi, Jihoon mengalihkan pandangannya pada Guanlin yang juga sedang menatap kedua anaknya itu.
"Lin, urusin mereka, ya?"
"Aku ngantuk." sambung Jihoon, yang langsung dibalas anggukan oleh Guanlin.
Sekali lagi, Guanlin mengusak-usak rambut Jihoon, lalu mengecup puncak kepalanya dengan lembut sebelum membiarkan Jihoon berdiri dan melangkah mendekati kedua anak mereka.
Guanlin ikut berdiri, dan senyum manis terpatri di wajahnya saat melihat Jihoon menunduk, menangkup satu per satu wajah si kembar, lalu mengecup pangkal hidung Qian dan Juan secara bergantian.
Guanlin melangkah menuju ambang pintu kamar si kembar saat Jihoon mulai menaiki anak tangga dengan perlahan untuk menuju kamar pribadi mereka. Guanlin berjongkok di depan Qian, membuat wajahnya kini berada sedikit di atas kepala sang putri.
"Qian ke kamar mandi duluan, oke? Biar ayah siapkan piyama gantinya." ucap Guanlin yang langsung dituruti oleh Qian.
Lalu, Guanlin melangkah menghampiri Juan yang masih saja menunduk. Guanlin berjongkok di depan sang jagoan kecil, lalu tangannya terulur untuk mengusap lembut rambut acak-acakan khas bangun tidur milik Juan.
Dengan takut-takut, Juan mengangkat sedikit kepalanya dan langsung berhadapan dengan tatapan lembut sang ayah. Meski Guanlin menatapnya dengan lembut, tetap saja Juan merasa takut apalagi ini adalah kesalahannya. Dan hal itu berhasil membuat si jagoan kecil kesayangan Guanlin ini kembali menunduk, sambil meremas ujung piyama biru dongker yang dipakainya.
"Juan mimpi berenang lagi, hm?" tanya Guanlin.
Juan menggeleng, "Jiejie membuang mobil-mobilan Juan ke dalam sungai, jadi, Juan berusaha untuk mengambilnya."
Guanlin terkekeh mendengar jawaban Juan. Ada-ada saja mimpi anaknya ini, sehingga membuat sang jagoan cilik harus mengompol lagi dan lagi.
Dengan cepat, Guanlin merengkuh Juan ke dalam gendongannya dan membawa putra kecilnya itu masuk ke dalam kamar mandi. Berpapasan dengan Qian yang hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuh mungilnya.
Guanlin lagi-lagi terkekeh saat mendapati ekspresi judes sang putri kecil. Ya, Guanlin bisa memaklumi mengapa Qian begitu kesal pada sang adik. Well, ini adalah kali ketiga Qian menjadi korban 'ngompol' Juan. Piyama dan juga area tidurnya semua juga menjadi korban karena sepasang anak kembar itu, jika sudah tertidur memang tidak mengenal jarak.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Qian langsung melangkah menuju ranjangnya yang masih menguarkan aroma tidak sedap. Sedangkan Guanlin, ia meminta Juan untuk duduk di atas kloset lebih dulu. Setelah Juan mengangguki ucapannya, Guanlin langsung menghampiri Qian sedang berdiri sambil bersedekap dada.
Gemas, 100% mirip seperti Jihoon jika sedang merajuk.
Tanpa memberi kode, Guanlin langsung menggendong Qian dari belakang, sambil menghujani wajah tembam sang putri dengan kecupan-kecupan manis.
"Tuan putri nggak boleh cemberut. Mana coba senyumnya ayah mau liat..." ucap Guanlin sedikit tidak jelas karena bibir sintalnya masih terus mengecupi permukaan wajah Qian.
Dengan kesal, Qian menahan wajah Guanlin dan mendorongnya sedikit agar sang ayah berhenti membasahi wajahnya dengan kecupan-kecupan.
"Juan menyebalkan, ayah!"
Guanlin terkekeh, lalu dengan sengaja ia mencuri sebuah kecupan pada bibir mungil sang putri.
"Mulai besok, Qian harus mengajak Juan buang air kecil dulu sebelum tidur. Bagaimana?"
Qian mengangkat bahunya acuh tak acuh, "dia akan tetap mengompol sekalipun Qian sudah memarahinya." balas Qian.
Guanlin menggeleng pelan, "no, no. Kata siapa Qian boleh memarahi Juan? Ayah bilang, Qian harus mengajak Juan untuk buang air kecil terlebih dulu, sebelum kalian pergi tidur." jawab Guanlin.
Qian menghela nafasnya dengan kesal, "ya, terserah ayah saja. Sekarang, mana piyama untuk Qian?"
Ah, ya! Guanlin langsung membawa Qian menuju lemari besar yang ada di sudut kamar, lalu membuka salah satu pintu lemari yang langsung menampilkan tumpukan piyama tidur milik Qian.
"Pink, biru, merah, atau abu-abu?"
Qian tampak berpikir sambil menatap tumpukan piyama tidur yang ada di depannya. Setelah tiga menit berpikir, Qian mengulurkan tangan mungilnya dan mengambil sepasang piyama berlengan pendek berwarna abu-abu dengan motif polkadot berwarna putih. Dengan wajah polosnya, Qian menyodorkan piyama tersebut pada Guanlin. Bermaksud agar sang ayah mau memakaikan piyama itu untuknya.
Guanlin tersenyum, sambil satu tangannya terangkat untuk memberikan hormat pada Qian. Dengan lembut, Guanlin menurunkan Qian dari gendongannya dan mulai memakaikan piyama tersebut pada tubuh mungil gadis ciliknya.
Setelah selesai, Guanlin kembali menggendong Qian dan membawa gadis kecil itu untuk duduk di sofa yang ada di sisi kamar, dekat dengan pintu transparan menuju balkon. Lalu, Guanlin beranjak menuju ranjang kedua anaknya, mengambil sepasang boneka karakter Winnie the Poohㅡ yang selamat dari tragedi mengompol Juan, dan memberikannya pada Qian. Qian mengambilnya, lalu memeluk dua boneka kesayangannya itu dengan erat.
Pandangan gadis kecil itu terpusat pada sang ayah yang kini kembali berdiri di depan lemari yang sebelumnya mereka singgahi. Guanlin tampak sedang mencari sesuatu, dan tak lama ia kembali melangkah menuju ranjang sambil membawa beberapa kain yang tidak lain dan tidak bukan adalah seprai, sarung guling dan juga sarung bantal yang senada dengan warna piyama yang sedang Qian kenakan.
Qian tersenyum kecil saat melihat sang ayah yang begitu telaten mengganti seluruh seprai dan sarung bantal juga guling miliknya dan Juan. Qian tau ayahnya pasti sangat lelah setelah beberapa jam bekerja di kantor, lalu pulang ke rumah dan sibuk memanjakan sang bunda yang semakin hari semakin menunjukkan sisi sensitif dan manjanya. Apalagi, Qian menarik Juan keluar dari kamar tadi tepat pada pukul dua dinihari, dan seperti biasa, ia akan mendapati kedua orang tuanya itu tengah menghabiskan waktu berdua di ruang keluarga.
Sayup-sayup, Qian setia mengukir senyum manis dan tanpa sadar matanya mulai terpejam karena ia sudah sangat mengantuk. Qian membenarkan posisi bersandarnya pada sofa, dan memeluk dua bonekanya lebih erat lagi.
Qian menarik panjang nafasnya, "Guanlin,"
Guanlin yang sedang memasang sarung bantal tak bisa menahan kekehannya saat mendengar suara serak sang gadis kecil yang baru saja memanggil namanya.
Guanlin menoleh, dan mendapati Qian sedang mengatur posisi tidurnya senyaman mungkin.
"Qian sayang ayah,"
"... Dan bunda,"
"Dan si menyebalkan Lai Yu Juan,"
"Dan juga dedek bayi..." ucap Qian dengan nada yang terputus-putus karena semakin lama ia semakin lelap dalam tidurnya.
Guanlin tersenyum mendengar tutur kata Qian yang terdengar begitu tulus. Meskipun anak perempuannya itu terkadang begitu nakal, sulit sekali bersatu dengan sang adik, dan senang sekali menggoda sang bunda, namun Guanlin percaya bahwa Qian sangat menyayangi Jihoon, Juan, dan juga dirinya. Ah... Jangan lupakan calon adik si kembar yang akan lahir dalam hitungan hari. Qian bahkan sudah cerewet untuk mengatur pernak-pernik apa saja yang boleh dipasang di kamar kosong di sebelah kamarnya dan juga Juan yang kelak akan menjadi kamar calon adik mereka. Mengingat semua kelakuan absurd namun manis dari Qian membuat Guanlin merasakan jutaan kupu-kupu sedang terbang di balik dadanya.
Setelah selesai mengganti seprai dan kawan-kawannya, Guanlin melangkah menuju sofa dan menggendong Qian dengan lembut untuk dipindahkan ke ranjang.
Guanlin meletakkan Qian di sisi kiri ranjang, lalu meletakkan dua boneka kesayangan putrinya itu di samping kiri dan kanannya, dan setelah itu ia menutup setengah dari tubuh Qian dengan selimut. Guanlin membungkuk sedikit untuk mendaratkan sebuah kecupan selamat tidur di kening sang putri, dan tanpa sengaja hal itu justru membuat Qian terbangun.
"Ayah,"
"Iya, sayang?"
"Ayah besok libur?"
Guanlin mengangguk seraya mengusap halus pipi gembil Qian, "mulai besok ayah sudah libur untuk menjaga bunda menjelang hari kelahiran adikmu." balas Guanlin.
Qian tersenyum, "Qian ingin jalan-jalan. Dengan ayah, bunda, Juan, dan juga adek bayi."
"Tapi, bunda harus beristirahat di rumah. Bagaimana kalau kita bertiga, hm?"
Qian memanyunkan bibirnya lalu menggeleng, "berlima. Qian mau kita berlima jalan-jalan. Bukan hanya bertiga." balas sang gadis kecil.
Masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Guanlin mencolek gemas hidung Qian. "Akan ayah bicarakan dengan bunda. Sekarang, Qian bobo, ya?"
Qian mengangguk, dan mulai berusaha untuk memejamkan matanya, saat Guanlin beranjak meninggalkan ranjang.
Guanlin melangkahkan sepasang kaki jenjangnya menuju kamar mandi, dan menghela nafasnya pelan saat mendapati Juan ketiduran dengan posisi bersandar di kloset. Guanlin berlutut di depan Juan, sambil telapak tangannya mengusap lembut kedua pipi Juan, berusaha untuk membangunkan putranya dengan selembut mungkin.
"Adek, sayang,"
Sayup-sayup, Juan mulai membuka pejaman matanya. Hal pertama yang menyambut netranya adalah senyum manis sang ayah yang selalu ia lihat setiap harinya.
"Adek ngantuk, ya? Ayo bersihin dulu badannya, habis itu kita ganti baju."
Juan mengangguk, dan mulai mengikuti perintah sang ayah untuk melepas piyamanya dan membilas tubuhnya dengan air hangat sampai bersih. Dengan telaten, Guanlin membersihkan tubuh Juan dengan sabun, lalu kembali membilasnya. Setelah selesai, Guanlin membungkus tubuh mungil Juan dengan handuk, lalu menggendongnya masuk ke dalam kamar.
Sama seperti apa yang tadi Guanlin lakukan pada Qian, Guanlin membawa Juan untuk memilih piyama mana yang akan putranya itu kenakan. Juan mengulurkan tangannya, dan meraih satu pasang piyama berwarna biru dongker dengan motif bintang-bintang yang ternyata sama persis dengan piyama yang sedang Guanlin kenakan saat ini. Guanlin tak bisa menahan senyumnya hanya karena hal kecil namun manis yang dilakukan oleh sang putra, dan itu membuat Guanlin gemas dan berujung menghujani wajah Juan dengan kecupan-kecupan manis.
"Jadi, Juan itu kembaran ayah atau kembaran jiejie?" tanya Guanlin.
"Kembaran bunda." jawab Juan asal.
Guanlin terkekeh, dan menghadiahi kecupan final di pipi kanan Juan. Dengan perlahan, Guanlin menurunkan Juan dari gendongannya, dan membantu putra kecilnya itu untuk memakai piyamanya. Setelah itu, Guanlin menggandeng tangan mungil Juan, dan membawa pemuda kecil itu ke atas ranjang.
Melihat Qian yang sudah terlelap, Juan memanyunkan bibirnya sambil kembali memusatkan perhatiannya pada sang ayah yang duduk di tepi ranjang.
"Ayah, jiejie pasti marah sama Juan."
Guanlin menggeleng, "siapa yang bilang kalau jiejie marah sama Juan? Sebelum tidur, jiejie membisikan sebuah rahasia pada ayah."
Juan menautkan salah satu alisnya, "rahasia?"
Guanlin mengangguk dengan penuh semangat, dan itu jelas membuat jagoan kecil kita ini mulai penasaran dengan rahasia sang kakak.
"Apa itu?" tanya Juan.
Guanlin memajukan tubuhnya sampai bibirnya kini berada tepat di samping telinga Juan.
"Jiejie sangat menyayangi Juan. Tapi jiejie bilang, Juan jangan sampai tau."
Bisikan sang ayah mampu membuat Juan terkekeh. Bukan karena terasa geli, tapi karena tak menyangka kalau kakaknya itu ternyata sangat menyayanginya.
"Dan, jiejie ingin mengajak Juan jalan-jalan. Besok." sambung Guanlin yang justru membuat Juan semakin memicingkan alisnya.
Juan pikir, Qian akan marah dan ngambek padanya selama berhari-hari karena lagi dan lagi Juan membuat ulah dengan mengompol dan turut membasahi piyama yang dikenakan kakaknya itu. Namun, rahasia sang kakak bahwa sebenarnya gadis kecil itu begitu menyayanginya, membuat senyum manis terus terpatri di wajah mengantuk Juan.
"Sekarang Juan tidur, oke?"
Juan mengangguki ucapan sang ayah, lalu membaringkan tubuhnya menghadap ke arah Qian yang juga tidur menghadap ke arahnya. Guanlin bangkit dari duduknya, lalu membenarkan letak selimut agar menutup tubuh kedua anaknya dengan baik. Guanlin membungkuk dan mendaratkan sebuah kecupan selamat tidur pada sisi kanan kepala Juan, lalu beranjak mematikan lampu dan menutup rapat pintu kamar kedua anaknya.
Ayah muda ini ternyata kembali ke ruang keluarga dimana televisi yang tadi ditonton Jihoon masih menyala, dan juga beberapa bungkus makanan ringan dan satu kardus kecil susu hamil masih berserakan di atas meja. Dengan sabar, Guanlin mulai membersihkan kekacauan yang diciptakan oleh istrinya beberapa saat yang lalu. Guanlin merapikan tataan bantal, setelah itu ia mematikan televisi yang beberapa jam lagi pasti akan dihidupkan kembali.
Guanlin melirik jam yang menempel di dinding ruang keluarga, dan ternyata jarum pendek sudah berada di antara angka tiga dan juga angka empat. Sedangkan jarum yang lebih panjang, kini berada di angka tujuh. Guanlin merenggangkan sedikit tubuhnya, sebelum memantapkan langkahnya menuju lantai atasㅡmenuju kamarnya dengan Jihoon.
Sungguh, Guanlin merasa memiliki tiga bayi sekaligus. Dua bayi kecil dan satu bayi besar.
Ah, ia ternyata sudah merindukan bayi besarnya yang kini tengah mengandung seorang bayi kecil. Bayi dengan bayi. Ugh, menggemaskan?!
Ceklek
"Yaampun, Jihoon..."
Guanlin hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil berusaha menutup pintu kamar sepelan mungkin. Bagaimana tidak menggeleng, apa yang dilihatnya sekarang benar-benar membuat Guanlin harus memijat kedua pelipisnya.
Di depannya, lebih tepatnya di sofa yang bersebelahan dengan lemari besar berisi pakaian-pakaian miliknya dan juga Jihoon, sang istri sedang berbaring dengan posisi kaki yang bertumpu pada pinggiran sofa, dan juga dengan earphone yang menyumpal kedua telinganya.
Guanlin melangkah menghampiri Jihoon yang ternyata sedang bermain diner dash, dan tampak jelas sekali kalau Jihoon benar-benar serius dengan permainan di dalam ponselnya sampai tidak menyadari kedatangan Guanlin sama sekali.
Tangan Guanlin terulur untuk mengusap surai lembut Jihoon, dan gerakan tersebut berhasil membuat Jihoon sadar dari keseriusannya bermain games. Jihoon mencabut earphone yang sebelumnya ia pakai, lalu mematikan ponselnya. Atensinya kini beralih seratus persen pada Guanlin yang tampak lelah dan mengantuk namun sama sekali tak menghapus senyum dan tatapan lembut di wajahnya yang semakin hari justru semakin tampan dan sempurna bagi Jihoon.
"Anak-anak gimana?"
"Udah bobo. Kamu kenapa belum bobo, sayang?" balas Guanlin.
Jihoon menggeleng cepat dengan bibir yang sedikit maju dan ditekuk, "sejak kapan aku bisa tidur kalau nggak meluk kamu?"
Guanlin terkekeh, lalu menangkup wajah Jihoon dan mengangkatnya sedikit. Guanlin menunduk dan mengecup bibir Jihoon berkali-kali. Menyalurkan rasa gemasnya sampai pada akhirnya terpaksa berhenti saat Jihoon dengan sengaja menggigit bibir bawahnya.
Guanlin merintih kecil, lalu mengusap gemas poni yang berjatuhan di sepanjang dahi lebar Jihoon. Tangannya terulur untuk meraih lengan kanan Jihoon, lalu menariknya untuk melangkah menuju ranjang mereka.
Dengan sabar, Guanlin membantu Jihoon untuk berbaring, dan memastikan bahwa selimut putih mereka ini sudah menutup tubuh istrinya sampai ke batas leher.
Setelah itu, Guanlin beranjak menuju sisi ranjang yang lain dan ikut berbaring di samping Jihoon. Tangan kirinya terulur, Jihoon yang cepat tanggap akan maksud Guanlin pun langsung berangsur mendekat dan menjadikan lengan kokoh itu sebagai bantalnya untuk tidur selama beberapa jam ke depan.
Jihoon memeluk tubuh Guanlin dengan tangan kirinya, sambil mendongakkan kepalanya untuk dapat menatap hasil karya ciptaan Tuhan yang sungguh luar biasa ini dari jarak yang begitu dekat. Jihoon semakin erat memeluk sang suami, lalu melesakkan wajahnya di perpotongan leher Guanlin setelah sebelumnya dengan jahil ia mengecup dagu panjang Guanlin sebanyak tiga kali.
Guanlin terkekeh, dan turut merengkuh tubuh Jihoon jauh lebih erat. "Bobo, ndut."
Alih-alih marah, Jihoon justru terkikik gemas. Belakangan ini, ia selalu ingin berada di dekat Guanlin. Belakangan ini, ia selalu ingin menghirup aroma tubuh Guanlin. Belakangan ini, ia tak akan bisa tidur jika tidak ada Guanlin di sisinya. Pokoknya, semua-muanya harus ada Guanlin. Kalau nggak ada Guanlin, ya Jihoon bete. Bete banget.
Jihoon mulai memejamkan matanya, sambil bibirnya lagi lagi dengan jahil mendaratkan dua kali kecupan pada dada bidang Guanlin yang terbalut piyama biru dongker bermotif bintang-bintang.
"Alin,"
"Hmm?"
"Barusan sambil nungguin kamu, aku main diner dash."
"And then?"
"Aku jadi pengen dandanin Qian..."
Iya, Hoon. Dimana korelasinya main diner dash sama dandan-dandanan.
Guanlin membuka pejaman matanya yang sempat terpejam untuk beberapa menit. Ia menunduk sedikit dan mendapati Jihoon sedang memainkan bibirnya sambil memejam.
"Yaudah, besok kamu dandanin Qian." balas Guanlin.
Jihoon membuka pejaman matanya, dan langsung bertukar pandang dengan Guanlin. "Emang Qian mau aku dandanin? Yang ada nanti perlengkapan make up bunda dibuang semua sama dia."
Guanlin tersenyum, lalu kembali memejam sambil menarik Jihoon agar semakin masuk ke dalam dekapannya.
"Ih, jangan kenceng-kenceng meluknya!! Dedeknya nggak bisa nafas!!"
"Hehehe, iya iya, ampun."
Jihoon hanya bisa memanyunkan bibirnya, "gimana dong, Lin? Aku pengen banget dandanin Qian..."
"Kenapa tiba-tiba banget, hmm?"
Jihoon mengangkat kedua bahunya, "nggak ngerti. Kepengen aja."
"Yaudah, sebelum kita jalan-jalan besok, kamu dandanin Qian dulu. Kalau dia nggak mau, bilang aja kamu nggak mau ikut jalan-jalan." balas Guanlin.
Jihoon memicingkan salah satu alisnya, "jalan-jalan?"
"Oh iya, aku lupa bilang sama kamu. Tadi pas aku selesai boboin anak-anak, Qian bilang kalau dia mau jalan-jalan sama bundanya, sama ayahnya, sama Juan, dan sama calon adiknya."
Jihoon tampak berpikir. Sebenarnya, dokter kandungan sudah memberi perintah agar Jihoon tidak lagi berkeliaran sesuka hati di luar rumah saat kehamilannya memasuki bulan ke sembilan, dimana dalam hitungan hari Jihoon sudah harus mempersiapkan proses persalinan. Namun, jika dipikir-pikir lagi, sudah beberapa bulan ini juga ia jarang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan anak-anaknya. Dengan alasan kedua anaknya itu mulai sibuk dengan aktivitas mereka di sekolah, dan Guanlin yang juga sering bolak-balik Korea-Jepang, atau ke negara lain, dan juga faktor malas Jihoon untuk sekedar meninggalkan rumah.
Dan kali ini, gadis kecilnya itu meminta untuk jalan-jalan? Bukan ide yang buruk, 'kan?
Jihoon mengeratkan pelukannya di area pinggang Guanlin, "aku mau makan di restorannya Daehwi." ucap Jihoon.
Guanlin mengangguk, sambil mengusap lembut punggung Jihoon agar istrinya itu bisa tidur dengan nyenyak. "Oke, besok kita ketemu aunty sama daddy nya anak-anak."
Seperti halnya dulu Jia yang memanggil Guanlin dengan sebutan 'daddy', ternyata anak-anaknya juga merengek untuk memanggil Jinyoung, sahabat sekaligus sosok yang sudah dianggap kakak oleh Jihoon dengan sebutan 'daddy', jadi apakah Guanlin bisa menolak permintaan anak-anak kesayangannya?
Jawabannya hanya satu; tentu saja tidak bisa.
♔
"Bunda...!!!"
Pagi hari di kediaman keluarga kecil Lai ini sudah dimeriahi oleh rengekan penuh penderitaan yang berasal dari bibir mungil Qian, yang sungguh sial nasibnya harus mendekam di atas sofa dengan posisi duduk bersila, dan pasrah tak bisa melakukan apa-apa saat kedua tangan Jihoon bergerak mengerjai wajah khas bangun tidurnya.
Qian tak henti-hentinya memanyunkan bibirnya saat jari-jari mungil Jihoon menjamah setiap titik permukaan kulit wajahnya. Qian sudah memohon agar bundanya ini mau berhenti, namun Jihoon sama sekali tak mau menuruti kemauan sang anak dan malah semakin asik untuk mendandani satu-satunya perempuan bermarga Lai ini.
Jihoon tak bisa menahan senyum bahkan tawa gemasnya saat melihat Qian semakin merengutkan wajahnya. Sungguh, Jihoon menyesal kenapa baru sekarang ia berpikir untuk mendandani Qian, kenapa nggak dari dulu aja? Membuat putri kecilnya merengek-rengek minta ampun namun tetap pasrah dengan jamahan lembutnya, sungguh menyenangkan bagi Jihoon!
"Qian tidak mau jadi jelek, bunda!!! Cukup, cukup!!!"
Bagaikan angin lalu, Jihoon mengabaikan ucapan sang putri. Tangan kanannya beralih meraih blush on, dan memoleskan alat make up tersebut dengan lembut pada kedua pipi Qian, demi menyempurnakan penampilan sang anak.
"Siapa bilang Qian jelek? Coba lihat."
Jihoon menoleh sebentar saat mendapati Guanlin kini berdiri di sisi kirinya, dengan kedua tangan yang memegang dua gelas berisi susu dengan warna yang berbeda. Jihoon meletakkan tempat blush on yang sebelumnya ia pegang, lalu mendongak sesaat ketika Guanlin menangkup wajahnya dan menyodorkan gelas susu berwarna putih tepat di depan permukaan bibirnya. Jihoon membuka mulutnya, dan membiarkan Guanlin dengan telaten memegang gelas susu tersebut selama Jihoon meminumnya. Lewat ekor matanya, Jihoon dapat melihat Qian yang beranjak turun dari sofa untuk meraih gelasnya sendiri yang berisi susu cokelat. Melirik ke arah lain, Jihoon mendapati Juan yang mulai melangkah ke arah ruang keluarga sambil meminum susu cokelat miliknya.
Jihoon menjauhkan wajahnya dari gelas yang sudah kosong itu, dan tersenyum kecil saat ibu jari Guanlin bergerak untuk membersihkan permukaan dan sudut bibirnya. Guanlin membalas senyuman sang istri, lalu meletakkan gelas susu yang sudah kosong itu di atas meja.
Jihoon hendak meraih kembali beberapa peralatan make up milik bunda, namun Qian lebih cepat menghalangi gerak sang bunda dengan telapak tangan yang sengaja ia tempelkan di ujung hidung Jihoon.
Jihoon melirik Qian lewat celah jari-jari mungilnya, "ayo, bunda belum selesai mempercantik Qian..."
Sambil menggeleng, Qian menunjuk-nunjuk gelas yang masih menempel dengan bibirnya, seolah memberitahu Jihoon bahwa ia masih sibuk menghabiskan susunya.
Jihoon berdecak, ia tahu ini adalah trik sang putri agar ia berhenti mendandani wajahnya. Padahal, hanya tinggal mewarnai bibir mungil Qian dengan liptint, sebagai polesan terakhir, dan semuanya selesai.
Guanlin terkekeh melihat aksi Qian yang ia paham betul, anak perempuannya itu sedang berusaha untuk menghindar agar Jihoon tak lagi memoles wajahnya. Guanlin mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap lembut puncak kepala Qian, "Qian cantik!"
Mendengar ucapan sang ayah, Qian langsung menyudahi acara minum susunya. Tatapannya terpusat pada Guanlin yang menatapnya dengan lembut, ah... apakah ayahnya sedang jujur? Atau hanya berpura-pura?
Qian meletakkan gelas susunya yang sudah kosong di atas meja, lalu kembali menatap sang ayah tepat pada manik matanya.
"Qian cantik?" tanyanya.
Guanlin mengangguk dengan mantap,
"Qian sangat cantik!" balas Guanlin tak kalah mantap dengan anggukan yang sebelumnya ia berikan sebagai jawaban.
Qian memicingkan salah satu matanya, lalu beralih menatap sang bunda. "Bunda, apakah Qian cantik?"
Jihoon menghela nafasnya, lalu mendekatkan wajahnya pada Qian.
"Coba berkaca pada mata bunda. Lihat, apakah Qian tetap cantik seperti biasanya atau justru semakin cantik saat bunda dandani seperti ini..." balas Jihoon, yang langsung dituruti oleh sang gadis kecil.
Qian menangkup wajah Jihoon, lalu mulai memperhatikan pantulan dirinya sendiri lewat manik mata sang bunda. Meski tidak begitu jelas, tapi entah mengapa Qian seolah bisa menyadari bahwa tepat di manik mata sang bunda, ada seorang gadis kecil yang sangat terlihat cantik dan manis.
Qian terkekeh, menampilkan senyum gusinya yang begitu mirip dengan Guanlin. Tanpa sadar, Jihoon ikut tersenyum melihat sang putri yang sedang terkekeh. Jihoon memajukan wajahnya, dan mencuri sebuah kecupan kilat pada deretan gigi kecil Qian.
"Bagaimana, hm??"
"Terima kasih, bunda!" jawab Qian, seraya mengusap lembut sepasang pipi berisi milik sang bunda.
Jihoon mengangguk sambil tersenyum. "Kiss?"
Di sisi kiri, Guanlin tersenyum melihat keromantisan Jihoon dan juga Qian. Dengan lembut, Guanlin mengusap bagian belakang kepala Jihoon seiring dengan Qian yang menghujani wajah bundanya itu dengan kecupan-kecupan manis.
"Ayah,"
Atensi Guanlin terpecah saat merasakan tarikan yang cukup kuat pada celana tidur yang ia kenakan. Guanlin menunduk, dan tersenyum saat mendapat sang jagoan kecil berdiri dengan tangan kanan yang melingkari pahanya, dan ibu jari tangan kirinya yang sengaja ia gigit.
Guanlin meraih tangan mungil Juan yang memeluk kakinya, lalu ia membungkuk sambil mengusap pelan puncak kepala sang putra.
"Juan ingin sesuatu?"
Juan mengangguk sambil melepas ibu jarinya yang sebelumnya ia gigit. Lalu, Juan merentangkan kedua tangannya dengan arah yang terpusat pada sang ayah.
"Gendong..."
Guanlin memicingkan alis sebelah kanannya, "gendong?"
Juan kembali mengangguk dengan pelan, dan Guanlin kembali menetralkan ekspresi wajahnya. Tumben-tumbennya Juan minta digendong? Biasanya nggak pernah? Juan cukup bisa dibilang sudah besar jika dibanding anak-anak seusianya, dan sekarang dengan manja minta digendong?
Guanlin menghela pelan nafasnya, dan hal itu berhasil membuat Juan memejamkan matanya karena sang ayah menghela nafas tepat di depan wajahnya. Juan kembali membuka pejaman matanya, dan mendapati sang ayah sedang tersenyum padanya.
"Kenapa minta diㅡ"
Belum sempat Guanlin menyelesaikan ucapannya, Juan sudah lebih dulu berhambur memeluk leher Guanlin dan menyeruakkan wajahnya tepat di perpotongan leher Guanlin. Tak bisa menolak, Guanlin pun pasrah dan mulai merengkuh tubuh mungil Juan ke dalam gendongannya. Guanlin kembali berdiri, sambil tangannya mengusap lembut punggung sang jagoan cilik yang ternyata masih mengenakan piyama yang sama dengan piyama yang ia pakai.
Guanlin mendaratkan sebuah kecupan lembut pada bagian samping kepala Juan, berusaha untuk mendapatkan perhatian sang anak yang justru semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Guanlin.
"Juan kenapa? Masih mengantuk?" tanya Guanlin, yang langsung Juan balas dengan gelengan pelan.
"Juan sakit?" lagi, Juan memberikan jawaban hanya dengan sebuah gelengan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Juan kenapa, hmm??" dan pertanyaan ketiga Guanlin kembali dijawab dengan gelengan pelan.
Pasrah, akhirnya Guanlin memilih untuk tetap mengusap lembut punggung Juan dan membiarkan putranya itu semakin mempererat pelukannya.
Guanlin melirik ke bawah dan mendapati Jihoon kini sedang menatap Juan dengan bingung. Dan melirik ke sisi kiri sedikit, jiejie-nya Juan ternyata juga sedang menatap sang adik dengan bingung.
Guanlin mengusap sebentar pipi Jihoon, yang berhasil membuat sang istri kini mengalihkan perhatian ke arahnya. Guanlin tersenyum, lalu menggumamkan kalimat 'lagi manja' tanpa suara, yang seolah berhasil menjawab rasa penasaran Jihoon.
Jihoon hanya bisa mengangguk, lalu beralih merapikan peralatan make up milik bunda ke dalam sebuah tas berukuran sedang. Setelah itu, Jihoon beranjak merapikan gelas-gelas susu yang sudah kosong yang ada di atas meja, dan membawa semuanya ke dapur untuk dicuci.
Di ruang keluarga, ketiganyaㅡ Guanlin, Juan, dan Qian, masih saja dalam mode hening, alias tak ada satupun di antara mereka yang buka suara bahkan sampai Jihoon kembali ke ruang keluarga setelah selesai mencuci semua gelas dan piring yang kotor.
Jihoon memposisikan dirinya untuk berdiri di belakang Guanlin agar bisa melihat wajah Juan yang kini menempel pada bahu kiri Guanlin.
Juan hanya diam disana. Menepuk pelan dan lembut bahu sang ayah, sambil mengedipkan matanya dengan tempo yang tak begitu cepat. Jihoon tersenyum kecil saat Juan membalas tatapannya tanpa mengubah posisinya sama sekali.
Jihoon bergerak mendekat dan mencium pipi Juan dengan lembut, "Juan mandi sama ayah, oke?" ucap Jihoon yang hanya dibalas anggukan oleh sang putra.
"Kita ketemu sama aunty sama daddy, mau?" tanya Jihoon lagi, yang juga kembali dibalas hanya dengan anggukan oleh Juan.
Kemudian, Jihoon beralih menggandeng lengan mungil Qian dan mengajak putri kecilnya itu untuk bersiap-siap di kamar.
Guanlin berusaha untuk mengendurkan pelukan Juan, namun Juan justru semakin erat memeluk leher ayahnya itu. Guanlin terkekeh melihat tingkah Juan yang mendadak manja tanpa sebab ini. Benar-benar tidak seperti Juan yang biasanya.
"Kita mandi, oke?"
Dan lagi, Juan memberikan jawaban melalui sebuah anggukan pelan tanpa berniat untuk membuka bungkaman mulutnya sedikitpun.
♔
Ting
Suara dentingan bel yang tak begitu nyaring, menyambut kedatangan keluarga kecil Lai di restoran cepat saji milik Daehwi yang sudah berdiri di kawasan Gangnam sejak satu setengah tahun yang lalu.
Guanlin menggandeng lengan mungil Qian saat memasuki pintu masuk utama restoran, sedangkan tangan yang satunya menjadi penopang tubuh Juan yang lagi lagi minta digendong olehnya. Jihoon melangkah di belakang Guanlin sambil mengusap-usap perut besarnya yang entah mulai terasa tak nyaman sejak ia membantu Qian untuk bersiap-siap. Karena sebelumnya Jihoon tak merasa begitu sakit, ia pun sedikit mengabaikan rasa sakit di perutnya. Namun, selama perjalanan menuju restoran Daehwi, entah mengapa rasa sakit di perutnya justru terasa semakin menyiksa dan tanpa ia sadari, wajahnya kini mulai basah dengan keringat.
Jihoon menggeleng berulang kali. Ia tak ingin jatuh sakit pada hari dimana ia pada akhirnya bisa menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya. Tidak, tidak. Jihoon harus kuat. Tidak mungkin ia merusak hari bahagia ini, bukan?
Jihoon menghela nafasnya dalam-dalam dan sangat merasa bersyukur saat melihat Daehwi dan Jinyoung tengah berdiri menunggu mereka di salah satu meja berbentuk lingkaran yang cukup besar yang ada di sudut restoran. Jihoon mengusap pelan perutnya, lalu mencoba untuk tersenyum semanis dan sesantai mungkin saat langkah kakinya berhenti tepat di sisi Guanlin, dan berhadapan langsung dengan teman semasa sekolahnya ini.
"Hey, Lin, Hoon!"
Bahkan sapaan Jinyoung pun terdengar seperti samar-samar di telinganya. Jihoon memejam, saat kepalanya juga mulai terasa berat. Tidak, jangan, Jihoon.
"Hoon?"
"Jihoon?"
"Sayang,"
"Bunda?"
"Hey, Jihoon,"
Entah, yang barusan itu panggilan ke berapa dan panggilan siapa, tapi yang pasti Jihoon bersyukur karena pada akhirnya rasa sakit di kepalanya menghilang, meskipun siksaan di dalam perutnya justru malah semakin menjadi-jadi.
Jihoon mengalihkan pandangannya pada Guanlin, lalu pada Juan yang kini juga menatapnya dengan cemas, lalu pada Qian, pada Daehwi, dan juga pada Jinyoung yang semuanya sangat terlihat khawatir dengan keadaan Jihoon yang seolah kehilangan kesadaran untuk beberapa detik tadi.
Jihoon menarik kedua ujung bibirnya, berusaha untuk mengukir seuntai senyum manis, lalu menggeleng.
"Aku nggak papa. Tadi pusing sedikit aja, belum sarapan, hehe."
Mendengar jawaban Jihoon, Daehwi langsung membulatkan matanya dan secara spontan tangannya terangkat untuk memukul lengan Guanlin.
"Guanlin?! Kok Jihoon belum sarapan?!! Udah jam makan siang loh ini!!!"
"Nggak usah ngegas gitu dong, Hwi. Kita semua emang belum sarapan, kok. Jihoon sama anak-anak cuma minum susu tadi pagi, gue cuma ngopi. Kita sengaja mau ngenyangin perut disini." balas Guanlin.
"Ih, tapi tetep aja Jihoon perutnya nggak boleh kosong!! Jihoon tuh lagi nggak sendiri, di perutnyaㅡ"
Jihoon meraih tangan Daehwi yang hendak melayangkan pukulan lain di lengan Guanlin. Jihoon terkekeh melihat betapa kejam dan posesifnya Daehwi kali ini.
"Bener kata Guanlin, kita semua mau puas-puasin makan di sini. Di tempatnya aunty sama daddy, iya kan?" tanya Jihoon sambil melirik Qian dan Juan bergantian. Qian hanya bisa mengangguk bersemangat, dan Juan lagi lagi hanya merespon dengan sebuah anggukan pelan.
Melihat keanehan pada jagoan kecil sahabatnya ini, Daehwi pun melangkah mendekati Guanlin dan berusaha untuk mengambil alih Juan dari Guanlin.
"Juan sama aunty, yuk?"
Lagi, sebuah gelengan Juan layangkan sebagai jawaban atas ajakan lembut Daehwi.
Daehwi menatap Jihoon dengan cepat, "Juan sakit?"
Jihoon menggeleng, sambil matanya melirik Juan yang daritadi hanya diam sambil sesekali mengusap atau menepuk pelan bahu Guanlin.
Jihoon mengangkat kedua bahunya, "daritadi nggak mau ngomong apa-apa. Maunya digendong sama papanya terus." jawab Jihoon.
"Ngambek kali, Hoon?" kali ini, Jinyoung yang melayangkan pertanyaan.
Jihoon menggeleng, "nggak, Jin. Dari tadi pagi pas minta gendong sama Guanlin juga nggak ngerengek, nggak nangis, nggak kenapa-napa. Cuma nempel aja sama papanya, nggak mau lepas."
Jinyoung tersenyum kecil sesaat setelah mendengar jawaban Jihoon yang tampak bingung dengan keanehan tingkah Juan yang secara tiba-tiba ini. Pernah satu kali Jinyoung membaca majalah milik Daehwi, dimana ada artikel yang mengatakan bahwa seorang anak bisa saja merasa cemburu saat tau kalau ia akan memiliki adik baru. Dan sepertinya, keponakannya ini sedang mengalami fase tersebut. Sangat berbanding terbalik dengan Qian yang justru tampak biasa-biasa aja.
Jinyoung turut melangkah mendekati Juan yang semakin erat memeluk leher Guanlin. Tangannya sengaja ia ulur untuk memberikan usapan lembut pada bagian belakang kepala Juan.
"Sama daddy, yuk? Kasian ayah capek gendong Juan terus. Juan mau makan es krim?"
Sebuah cubitan yang cukup keras hinggap di perut Jinyoung, "makan yang bener dulu baru dikasih es krim!" ugh, Daehwi galak.
"Makan nasi dulu, yuk? Nanti daddy kasih es krim yang banyak buat Juan. Oke, oke? Sekarang gendong sama daddy, ya?"
Jinyoung berusaha untuk meraih lengan mungil Juan, dan yes good, berhasil karena Juan pada akhirnya melepas pelukannya dari leher Guanlin dan beralih memeluk Jinyoung dengan erat.
Jihoon sedikit bisa bernafas lega karena akhirnya Juan mau lepas dari Guanlin. Bukannya apa, bahkan Jihoon pun tak bisa membuat Juan lepas dari ayahnya meskipun sudah berusaha berulang kali, dan itu jelas membuat Jihoon tak tega pada Guanlin yang harus terus menerus menggendong putra mereka. Melihat Juan yang mulai nyaman dalam gendongan Jinyoung, Jihoon beralih mengusap lembut lengan Guanlin. Dan Guanlin, hanya bisa tersenyum pada Jihoon sebagai jawaban bahwa ia baik-baik saja.
Jihoon beralih melirik Jinyoung yang mulai mengusap lembut punggung Juan. Lalu matanya beralih menatap Daehwi yang mulai menggandeng Qian untuk segera duduk di bangku yang sudah mereka siapkan secara spesial.
"Biasa, cemburu mau punya adek lagi."
Jihoon dan Guanlin sama-sama menoleh pada Jinyoung yang langsung terkekeh sesaat setelah mengucapkan kalimat tersebut. Jihoon tampak berpikir, masa sih Juan cemburu?
"Dari awal tau mau punya adek lagi, Juan malah seneng dan antusias banget kok, Jin? Masa gitu cemburunya baru sekarang pas bundanya udah mau lahiran?" tanya Guanlin, yang disusul dengan anggukan cepat dari Jihoon.
Jinyoung mengangkat kedua bahunya dengan pelan, "level kecemburuan anak beda-beda. Udah, ayo duduk." balas Jinyoung, yang kemudian melangkah memimpin Jihoon dan Guanlin untuk duduk di tempat yang telah disiapkan.
Sudah dua jam berlalu, dan Juan sudah tak lagi menempel pada Guanlin maupun pada Jinyoung seperti sebelumnya. Kini, Juan sudah duduk di bangkunya sendiri sambil menikmati es coffee bikinan daddy Jinyoung, Qian juga sedang sibuk menyantap potato berisi keju mozzarella yang menjadi menu favorit di restoran ini.
Jihoon tampak sedang asik mengobrol bersama Daehwi dan Jinyoung, meskipun tangannya terus mengusap-usap perutnya yang semakin terasa sakit. Jihoon tetap mengabaikan rasa sakit tersebut, tidak ingin membuat semua orang disini terutama Guanlin dan anak-anaknya menjadi panik atau khawatir.
Di samping Jihoon, Guanlin sedang duduk bersandar pada dinding bangku sofa, sambil terus menatap kedua anaknya yang tampak sangat senang saat apa yang sedang mereka nikmati masuk ke dalam mulut mereka. Hati Guanlin berdesir hangat saat menyadari bahwa akhirnya ia bisa menikmati waktu liburnya bersama dengan istri dan juga anak-anaknya. Menjadi seorang eksekutif muda, tentu banyak menyita waktu santai Guanlin. Ia sadar, ia lebih sering menghabiskan waktu di kantor, atau pergi ke luar negeri demi pekerjaan, dan hal itu jelas membuat Guanlin harus meninggalkan keluarga kecilnya.
Merasa ini adalah momen yang tepat, Guanlin meraih ponselnya dan memotret kedua anak kembarnya secara diam-diam. Guanlin tersenyum manis saat melihat hasil jepretannya yang ternyata lumayan memuaskan, lalu membuka salah satu aplikasi hits yang ada di ponselnya.
Swipe to see more >
lai.linlin tukang makan x tukang makan 🙈🙈💓💓
❤2033 💬295
view all comments...
j.youngbae ANAK-ANAK DADDY GEMES BANGET
baedaehwi makan yang kenyang ya sayang-sayangnya aunty (っ˘ڡ˘ς)
KANGDANIK share location lin, gue kangen si kembar nih
ongongong ^ kangen si kembar apa kangen bundanya kembar?
sexywoojin ^ [menyimak chorom]
seoooobie ^ MAU MAIN SAMA QIAN SAMA JUAN HUHUHU ayo kita ke rumah Jihoon sama Guanlin!!! @sexywoojin
ChunghaChoi ganti kenapa sih lin username ig lo. Sok gemes banget udah mau punya anak tiga juga
lai.linlin asik!!! Thankyou aunty, thankyou daddy udah ditraktir!! @j.youngbae @baedaehwi // restonya Daehwi nih bang @KANGDANIK // menyimak chorom @ongongong // sini seob main ke rumah, sekalian nemenin Jihoon udah mulai panik dia mau lahiran @seoooobie
lai.linlin gak berani kak KWKWKW Jihoon ini yang ganti @ChunghaChoi
sexywoojin KOK KOMEN GUE DIKACANGIN?!
lai.linlin sp y? @sexywoojin
sexywoojin hmm sudah kudugong @lai.linlin
sexywoojin hmm dia mulai lagi
sexywoojin hmm okelah kalo begitu
lai.linlin JIHOON LAHIRAN $^£¢%#&%&+¥-*¥&####!!!!!!!!!
♔
Nggak tau. Nggak ngerti. Semuanya terjadi begitu aja, dan asli semuanya benar-benar kayak mimpi yang berlangsung begitu cepat. Semua orang sudah berkumpul di ruang tunggu, sambil harap-harap cemas melirik pada lorong yang menghubungkan ruang tunggu keluarga dengan ruangan bersalin.
Seingat Daehwi, tadi itu mereka lagi ngobrol. Iya, Daehwi, Jihoon, dan Jinyoung lagi asik cerita tentang masa SMA mereka yang ya, banyak drama banget. Daehwi juga nggak melihat ada yang aneh dari Jihoon selama mereka ngobrol. Semuanya benar-benar terjadi kayak rollercoaster.
"A-aunty,,"
Daehwi tersadar dari lamunannya, dan langsung melirik Qian yang sedari tadi duduk di atas pangkuannya. Daehwi tersenyum, mengeratkan pelukannya di sekitar bahu Qian, berusaha untuk mengalirkan ketenangan pada keponakannya itu.
"Bunda sama adek pasti baik-baik aja. Qian berdoa terus, ya?" ucap Daehwi.
Qian tak bisa menjawab lagi ucapan Daehwi. Gadis kecil itu mulai menangis karena entah mengapa hatinya terasa begitu sakit saat teringat akan teriakan sang bunda yang begitu tiba-tiba saat di restoran tadi. Qian hanya bisa diam, dan menunduk sambil membiarkan Daehwi semakin memeluknya dengan begitu erat.
Daehwi melirik Juan yang justru tampak tenang di dalam dekapan Jinyoung. Pemuda kecil itu sama sekali tak menunjukkan raut apapun pada wajahnya, namun sesekali ia melirik sang kakak yang masih menangis di dalam dekapan hangat Daehwi. Ah, rasanya Daehwi ingin sekali menangis karena ini pertama kalinya ia berada di posisi semenegangkan ini. Pada saat Jihoon melahirkan Qian dan Juan, Daehwi tidak bisa datang karena harus menyelesaikan ujian memasaknya. Dan kali ini... Daehwi bahkan tak pernah menduga bahwa proses persalinan akan sebegini menakutkannya.
Lalu, Daehwi melirik teman-temannya yang lain yang juga duduk di samping Jinyoung. Ada bang Danik, Seongwoo, Woojin, dan juga Hyungseob yang bisa ia pastikan langsung tancap gas menuju rumah sakit sesaat setelah membaca komentar terakhir dari postingan terbaru Guanlin.
Dan di sisi kanannya, ada kak Chungha, kak Seungcheol, dan juga Jia yang sama-sama menunjukkan raut paniknya. Sedangkan bunda, ayah Dongho, dan juga keluarga Jihoon masih berada di dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Ah, dimana Guanlin?
Pria itu benar-benar melanggar aturan dari dokter kandungan yang sekarang tengah menangani proses persalinan Jihoon. Dokter Kim bilang, kondisi Jihoon sangat lemah sehingga harus diperiksa secara intensif lebih dulu sebelum masuk ke dalam ruang bersalin. Dokter Kim juga mengatakan bahwa tak ada yang boleh ikut masuk ke dalam ruang pemeriksaan intensif kecuali tim medis yang bertugas. Ya, namanya juga Guanlin. Melanggar itu ada di daftar lima besar kamus hidupnya.
Daehwi menghela nafasnya dalam-dalam, sudah hampir tiga jam berlalu setelah Jihoon dipindah ke ruang persalinan. Pikirannya benar-benar kalut, karena light board yang ada di atas ruang persalinan belum menunjukkan perubahan apapun yang mana artinya proses persalinan masih berlangsung dan entah kapan akan selesai.
Daehwi terus-menerus menghela nafasnya, sambil dalam hati ia merapalkan doa agar Jihoon bisa bertahan bersama bayinya.
Ting
Light board yang sebelumnya menyala itu kini mati.
Ceklek
Dan disusul dengan suara pintu yang terbuka.
Semua orang yang berada di ruang tunggu langsung berdiri dan berlari menghampiri dokter Kim yang tengah melepas atribut operasi yang masih melekat di tubuhnya. Seuntai senyum terbit di bibir dokter muda dan tampan itu, sesaat setelah ia membuka masker hijaunya.
"Xin Qian dan Yu Juan bisa masuk ke dalam." ucap dokter Kim, yang dua detik setelahnya langsung tertawa karena melihat kedua anak kembar yang langsung berlari masuk ke dalam ruang operasi.
Semua orang yang berada disana tak bisa menyembunyikan rasa haru dan bahagia mereka, saat melihat dua orang perawat membantu Qian dan Juan untuk memakai pakaian steril sebelum benar-benar bisa menemui kedua orang tua dan juga adik mereka.
Jihoon tak bisa menyembunyikan air matanya saat melihat dua jagoan kecilnya berlari penuh semangat ke arahnya. Dengan lemah, Jihoon merentangkan kedua tangannya, menyambut pelukan Qian dan Juan yang entah sangat Jihoon rindukan saat ini.
Jihoon tersenyum, saat Guanlin bersama bayi laki-laki mereka kini berdiri di belakang si kembar yang masih sibuk menerjang sang bunda dengan ciuman-ciuman manis.
"Sirius sama Canopus nya udah datang nih, ayah..." ucap Jihoon, lembut.
Qian dan Juan kompak berhenti menciumi Jihoon, langsung berbalik, dan nyaris saja terjatuh saat mata mereka menangkap sosok bayi kecil yang berada di dalam dekapan ayah mereka.
Tanpa sadar, Qian dan Juan meneteskan air matanya saat Guanlin mulai berjalan mendekat ke arah mereka.
"Yang ini Alpha Centauri dong, ya?" ucap Guanlin, sambil menuntun kedua anaknya untuk dapat melihat adik mereka lebih jelas lagi.
Guanlin tak bisa menahan senyumnya saat melihat Qian dan juga Juan menatap adik mereka dengan wajah yang sangat berbinar. Sungguh, Tuhan seolah tak pernah bosan memberikan berkat untuknya dan juga keluarganya.
"Halo jiejie, halo gege, aku Jungwoo..." ucap Guanlin sambil memperkenalkan sang bayi pada kedua kakaknya.
Qian dan Juan sama-sama menjerit senang sambil bertepuk tangan, "Lai Jungwoo!!!"
Setelah merasa cukup, Guanlin membawa Jungwoo pada Jihoon. Guanlin tersenyum, lalu mendaratkan sebuah ciuman yang cukup lama di bibir Jihoon.
Jihoon membalas senyuman Guanlin, dan tangannya terulur untuk menggendong Jungwoo. Jihoon memejamkan matanya, saat memberikan ciuman pertamanya pada kening lembut Jungwoo.
"Makasih, sayang. Bahkan ucapan terima kasih aja rasanya nggak cukup, karena lagi dan lagi, kamu nggak pernah berhenti ngasih aku kebahagiaan."
Jihoon membuka pejaman matanya saat mendengar bisikan lembut Guanlin di telinganya. Jihoon hanya bisa tersenyum, matanya terasa sangat berat setelah menahan lelah selama berjam-jam untuk melahirkan Jungwoo.
Jihoon sengaja memiringkan kepalanya sampai pelipisnya menyentuh bibir Guanlin, hal itu jelas membuat Guanlin terkekeh dan tanpa sadar meneteskan air matanya atas kebahagiaan yang membuncah di dalam hatinya.
"Aku sayang banget sama kamu, makasih sayang, makasih banyak."
Jihoon hanya bisa mengangguk, dan lama-lama ia terpejam karena rasa kantuk yang begitu kuat. Guanlin tersenyum kecil sambil mengambil alih Jungwoo dari dekapan sang istri.
Guanlin kembali menunduk, mendaratkan kecupan yang cukup panjang pada dahi lebar Jihoon sambil mengucap syukur dalam hatinya.
Demi Tuhan, ia sangat bersyukur memiliki Jihoon yang sejak awal ia perjuangkan dengan begitu banyak pengorbanan. Ia sangat bersyukur karena memiliki Qian, anak perempuannya yang selalu bertingkah dengan gaya lucunya, lalu Juanㅡ anak laki-lakinya yang sangat menyayangi bundanya, dan juga Jungwoo, buah hatinya, hadiah yang Tuhan masih percayakan padanya dan juga pada Jihoon.
Ketiga bintang paling bersinar itu kini menjadi nyata dalam hidup Guanlin. Xin Qian, Yu Juan, Jungwoo. The real life Sirius, Canopus, and Alpha Centauri.
FIN.
Hi, semua!!! Aku balik lagi nih hehe.
Gimana-gimana? Udah puas sama bonchap nya???
Sekarang aku mau nanya nih hehe. Dijawab atuh ya:(
1. Kalian tau ff ini darimana? Karena seinget aku, aku ngepublish Mauschen pertama kali itu pas masih era produce dan kapal panwink lumayan belum berlayar karena belum ada tragedi cium pipi pas final. So, kindly tell me darimana kalian tau Mauschen ya! ^^
2. Mauschen ngecewain gak, sih?
3. Mauschen BOOK 2 [YES / NO]
4. Abis ini, mau yang mana dulu yang diupdate? Meile atau Enigma? (Hint: Meileㅡ angst as usual, Enigmaㅡ fluff)
Aku tunggu komentar-komentarnya! Bye!!!! :-)) oh iya, maaf kalau banyak typo ya hehe aku tidak re-check soalnya:(
SATU LAGIII!!!! JANGAN LUPA MAMPIR KE STORY COLLAB AKU SAMA digglypuff & bananaflavored di lapaknya diggy, ya!
A story of Park Jiboon x Park Jihoon x Hwang Guanlin
THANKYOU ALL!
ⓒhoonxian, 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro