Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44. Tambatan Terakhir di Ibu Kota Maetala

Di bawah langit yang berawan kelabu, dengan angin laut yang membawa aroma garam dan kematian, persiapan para Gilitua dan manusia di Maetala berlangsung dengan intensitas luar biasa. Di dermaga yang panjang dan penuh sesak, ribuan kapal berjajar, masing-masing bersiap untuk meluncur ke dalam perjalanan panjang yang akan menentukan nasib kekuasaan di dunia ini. Kapal-kapal besar dengan lambung baja mengilap bersanding dengan kapal-kapal perang yang lebih kecil namun tak kalah tangguh, membentuk formasi yang menyerupai tembok laut yang mustahil ditembus.

Di atas sebuah bukit yang menghadap ke lautan dan dermaga, Raja Nergal berdiri dengan anggun, mengenakan jubah hitam panjang yang berkibar-kibar tertiup angin. Di tangannya, tongkat kekuasaannya terbuat dari obsidian berukir, memantulkan kilau suram yang membangkitkan rasa hormat sekaligus ketakutan. Matanya yang tajam memantau setiap pergerakan, setiap kapal yang mengatur posisi, dan setiap prajurit Gilitua yang bersiap dengan senjata-senjata berat.

Para prajurit Gilitua dan juga manusia dari Kerajaan Maetala, memeriksa persiapan terakhir mereka. Perisai raksasa, senjata tombak besar yang terbuat dari logam hitam, dan panah berujung tajam dipoles hingga mengilap, siap untuk menciptakan kehancuran. Beberapa prajurit mengikat baju zirah mereka yang berat, sementara beberapa manusia bergotong royong membawa kendi besar berisi minyak untuk dilemparkan dalam pertempuran. Di sisi dermaga, para dukun Gilitua dengan tato ritual di tubuh mereka, melantunkan doa dan mantra kuno, memanggil roh-roh pelindung lautan dan mengikat angin untuk membawa keberuntungan bagi armada besar ini.

Raja Nergal berbicara kepada para panglimanya, suaranya seperti gemuruh yang menembus udara. "Pastikan persenjataan mereka siap. Tidak boleh ada kelengahan. Perjalanan kita sungguh panjang." Para panglima membungkukkan badan dalam-dalam, menerima perintah dengan penuh ketaatan. 

Ditempat yang sama, para prajurit dan pelaut Majapahit tengah sibuk mempersiapkan kapal-kapal mereka untuk perjalanan yang akan membawa mereka kembali ke Kertala. Tiga kapal utama yang akan mereka gunakan kini berdiri gagah di dermaga, lambungnya yang besar dihiasi dengan ukiran tradisional dan layar yang sudah dipasang dengan hati-hati. Kapal-kapal ini, yang merupakan mahakarya navigasi dan kekuatan laut Majapahit, diperbaiki dan dipoles dengan saksama oleh para tukang Maetala.

Sorengpati Majapahit, yang dipimpin oleh Bhre Demong, Bhre Lancap, dan Uleng Tepu, bergerak cepat di antara para prajurit, mengawasi persiapan yang sedang berlangsung. Mereka memastikan semua perlengkapan dan perbekalan dimuat dengan aman: jewawut, rempah-rempah, air segar, dan persenjataan yang disusun rapi di bagian bawah kapal. Bhre Lancap, yang wajahnya selalu menunjukkan keprihatinan sejak kehilangan banyak pasukan, memeriksa tali-temali kapal dan berbicara dengan nahkoda untuk memastikan layar akan berfungsi dengan baik di tengah angin laut yang keras.

Gajah Lembong, yang berdiri di atas dek kapal Uleng Tepu, mengawasi persiapan ini dengan mata penuh perhitungan. Sorot matanya menyapu barisan prajurit yang masih tersisa, mengingatkan dirinya pada tanggung jawab besar yang ada di pundaknya. Ia memberi perintah tegas namun penuh kehormatan, menyemangati para prajurit yang bekerja tanpa lelah. "Pastikan setiap papan dan paku sudah diperiksa. Tidak boleh ada yang lemah, kita akan menghadapi laut dan mungkin juga musuh yang mengintai."

Di sekeliling kapal, suasana sibuk terdengar dari suara kayu yang dipalu, pelaut yang berteriak, dan suara ombak yang terus menghempas dermaga. Para prajurit Majapahit bekerja sama dengan penuh disiplin, meskipun rasa lelah dan ketegangan menggantung di udara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya akan membawa mereka kembali ke rumah, tetapi juga akan menentukan nasib Majapahit di tengah konflik yang terus membayangi.

Sementara itu, para Sorengpati berdebat kecil tentang bagaimana mereka harus mengatur formasi kapal jika mereka diserang di perjalanan. Bhre Demong dengan suara beratnya menyarankan formasi bertahan, sementara Bhre Lancap merasa mereka harus siap untuk manuver cepat jika terdesak. Uleng Tepu, yang biasanya menjadi penengah, hanya mengangguk setuju dengan senyum penuh makna, memberikan pandangannya saat mereka sepakat untuk tetap fleksibel.

Di dermaga, beberapa prajurit Majapahit yang masih setia mengenakan pakaian tradisional mereka, kain dan keris yang tergantung di pinggang, terlihat mengucapkan doa dan harapan. Mereka membungkuk hormat ke arah laut kepada Sang Hyang Widi, berharap perjalanan mereka akan mendapat berkah. Di tempat lain, beberapa dari mereka berdiam diri, memandangi lautan dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, memikirkan rumah yang mereka tinggalkan dan apakah mereka akan selamat sampai ke sana.

"Angkat barang-barang dengan hati-hati!" perintah salah satu Sorengpati, sementara beberapa prajurit mengangkut peti-peti besar yang berisi emas dan permata dari Maetala. Emas dan permata ini yang menjadi harapan terakhir mereka, menjadi harta yang harus dilindungi selama perjalanan. Kapal Uleng Tepu, sesuai perintah Gajah Lembong, dipersiapkan hanya untuk perbekalan, sementara dua kapal lainnya memuat campuran prajurit dan barang-barang penting.

Di seberang dermaga, prajurit Majapahit yang masih terluka akibat perbudakan dan pertarungan sebelumnya, membantu membawa air dan makanan. Sorot mata mereka penuh luka, menyadari betapa pentingnya momen ini, meskipun mereka mungkin belum sepenuhnya memahami pertempuran yang akan datang. Tak jauh dari situ, disebuah bukit, menara pengawas menyemburkan api biru dari lampu-lampu purva, menandakan saatnya para awak kapal bersiap memasuki armada mereka masing-masing.

Di antara ribuan kapal perang yang sedang dipersiapkan untuk melaut, Mardukh dan para tawanan lainnya digiring keluar dari penjara bawah tanah. Udara yang segar dan terik matahari yang menyilaukan membuat mereka menyipitkan mata setelah begitu lama terkurung dalam kegelapan lembab yang memakan semangat mereka.

Rantai besi yang berat masih membelenggu pergelangan tangan dan kaki mereka, bergemerincing setiap kali mereka melangkah di atas kayu dermaga yang kokoh. Para penjaga Gilitua, dengan wajah yang keras dan tubuh raksasa mereka, menjaga para tawanan dengan waspada, seolah takut satu gerakan saja akan menjadi awal pemberontakan.

Mardukh berjalan di depan, tubuhnya yang letih terlihat lebih ringkih di hadapan para Gilitua yang kekar. Di sampingnya, Enil dan Bansir mengikuti, dengan ekspresi wajah yang penuh tekad namun tak dapat menyembunyikan kekhawatiran mereka. Setiap langkah menuju kapal besar yang berlabuh di depan mereka terasa berat, seperti beban takdir yang semakin dekat untuk dijalani.

Kapal yang akan mereka naiki adalah kapal terbesar dalam armada itu, tempat di mana Raja Nergal sendiri akan berlayar. Kapal itu adalah sebuah mahakarya perang, dengan tiang-tiang layar setinggi pohon-pohon raksasa, dan lambung yang dilapisi besi hitam mengilap, terukir simbol-simbol kekuatan Gilitua. Di sepanjang tepi kapal, meriam besar berjejer, siap menembakkan api kehancuran.

Saat mereka menaiki tangga menuju dek kapal, Raja Nergal berdiri di atas anjungan, memandang mereka dengan mata yang tajam, penuh dengan rasa superioritas dan kekejaman yang tak terselubung. Jubah hitamnya berkibar tertiup angin laut, dan tongkat obsidiannya bersinar dalam kilauan mentari. Melihat Mardukh dibawa ke hadapannya, senyum dingin muncul di bibirnya.

"Kau akhirnya keluar dari kegelapan, Mardukh," ucap Raja Nergal dengan suara seperti guruh, penuh ejekan. "Kita akan mengantarkan tamu mu kembali ke Kertala."

Mardukh menatap Raja Nergal tanpa gentar, meski tubuhnya yang lemah hampir tak mampu berdiri tegak. "Kau tidak akan pernah mencium bau Kertala, Nergal" Kata-katanya disambut dengan tawa kasar para Gilitua yang berdiri di sekitar Raja Nergal.

Enil dan Bansir berdiri di belakang Mardukh, saling menukar pandangan penuh kekhawatiran, sadar bahwa mereka kini berada di jantung bahaya. Dari posisi mereka di dek, mereka bisa melihat hamparan kapal perang yang membentang hingga ke cakrawala, sebuah pemandangan yang menegaskan skala besar dari rencana invasi ini. Kapal-kapal besar dan kecil, lengkap dengan para prajurit Gilitua dan manusia yang bersemangat, bersiap meninggalkan dermaga, membawa kekuatan yang luar biasa.

Di atas anjungan, Raja Nergal memberi isyarat, dan sangkakala mulai berbunyi. Suaranya menggelegar, memerintah kapal-kapal untuk bersiap berlayar, dan riuh rendah sorakan prajurit menggema di atas air yang berkilauan. Di tengah suasana ini, Mardukh dan kawan-kawannya hanya bisa saling bertukar pandang, berusaha menenangkan diri di tengah arus yang tak terhindarkan. Mereka berharap, bantuan dari Meso segera datang, meskipun dengan pertempuran besar sekalipun.

Satu demi satu, kapal perang mulai bergerak, berderak melintasi dermaga dengan para tukang dan prajurit berlari-lari untuk memastikan segala sesuatunya diatur dengan sempurna. Suara rantai jangkar yang ditarik, teriakan para kapten yang memberi komando, dan deru ombak bercampur menjadi satu simfoni yang menegangkan. Di kapal-kapal utama, para komandan Gilitua memegang peta yang digambar dengan darah dan tinta, menunjukkan rute-rute strategis yang telah direncanakan dengan hati-hati.

Langit mulai berubah warna, dan angin membawa hawa dingin yang seolah menjadi pertanda buruk, tetapi semangat para prajurit tak gentar. Raja Nergal memandang ke cakrawala, di mana lautan dan langit bertemu, seolah-olah berhadapan langsung dengan takdir. Mata tajamnya berkilat dengan tekad. Prajurit ini akan berangkat menuju Ishtar Terra, dimana portal dunia bisa dibuka oleh Mardukh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro