72
Pada nungguin momen eke nyiksa Krisna, kan? Ini lagi OTW. Sayangnya, eke kalo nyiksa, semua pada ikutan.
Apaah? Nyuruh Gendhis balik karena ada yang ketinggalan? Tyidac bisa, Esmeralda. Eke tydac sebaik itu. Kalo mo nyiksa Mas Nana, siksa juga Dedesnya.
Kejaam kaw, Mak
🤭
Kagak, la.
Yang kejam, yang baca tapi ga komen sama ga vote.
Yang ga tahan, silahken ke KK/KBM app atau shopee. Bukunya tinggal berapa itu, eke lupa. Wkwk.
Jangan pula kaw nulis, 'Mak semangat nulisnya. Jangan kejam-kejam.'
Lah, kok😅
Orang udah lama tamat, bijimana, sik?
***
76 Madu in Training
Gendhis yang sempat berhenti di pinggir jalan karena mendadak melihat penjual sate kemudian merogoh saku rok miliknya demi memeriksa panggilan yang sejak beberapa saat lalu membuatnya tidak konsentrasi memesan. Ketika dilihatnya sang penelepon, perawat muda itu menghela napas. Lagi-lagi sang abang menghubunginya.
"Mau apa lagi, sih, nih bapak si kembar?" Gendhis mengoceh. Dia meminta waktu kepada sang penjual sate agar bisa meladeni Krisna.
"Lo nggak telepon Desi, kan? Dia nggak angkat panggilan gue, udah tiga kali tadi."
"Jiah, lo, gimana, sih? Kalau gue teleponan sama dia, nggak bisalah gue angkat telepon lo, Oon."
Masa bodoh kena marah karena memanggil Krisna dengan sebutan oon. Kenyataannya si abang yang sedang jatuh cinta kepada bini mudanya itu telah membuat Gendhis senewen. Tadi dia menghubungi sang adik padahal rindu kepada istrinya. Sekarang, dia menuduh Gendhis menelepon Daisy, padahal kenyataannya, merekalah yang saling telepon saat ini.
"Dia sudah mandi, kan?" tanya Krisna lagi, "Biasanya kalau dari luar, Desi langsung mandi. Badannya suka gerah."
Duh, yang hapal kelakuan istri mudanya, Gendhis jadi iri. Kenapa mereka berdua bisa sangat semesra itu sekarang? Dia sendiri masih jomlo dan gelar itu bakal abadi karena dia masih belum menemukan pria kesayangannya. Semua yang pernah mendekatinya punya perilaku minus dan dia ogah menjalani hubungan neraka. Hidup Gendhis sudah terlalu suram untuk ketambahan satu kesuraman lagi dan dia ogah merana selama sisa hidupnya nanti.
"Udah tadi. Pas gue makan."
Gara-gara itu juga Gendhis sadar, entah sudah berapa kali dia makan hari ini. Untung badannya tetap seperti itu. Toh, perawat kadang butuh banyak tenaga terutama bila kondisi klinik sedang ramai-ramainya.
"Cuci piring, kali, ya?" Krisna bertanya lagi. Tetapi Gendhis tidak sependapat.
"Tidur kali." Gendhis menebak.
"Sejak hamil, dia mudah sekali terbangun. Kadang harus pipis. Lagian HP-nya sudah kusuruh bunyi takut kalau aku telepon penting." Krisna tampak khawatir. Karena itu pula, Gendhis lantas melirik arlojinya dan menemukan kalau hari sudah hampir pukul empat sore.
"Dahlah, balik sana kalau kangen. Bini tinggal satu. Diambil orang ntar lo nangis."
"Nggak guna nanya sama lo." Krisna menggerutu. Menyuruh orang pulang saat sedang bekerja adalah solusi yang paling tidak bermutu dan walau dia sendiri pemilik dealer mobil tersebut, bukan berarti dia seenaknya ongkang-ongkang kaki atau malah memilih pulang lalu memeluk dan mencium dahi wanita kedua yang berhasil membuatnya memikirkan Daisy selama seharian ini.
"Lo sendiri yang nelepon. Udah sana, gue mau beli sate." Gendhis memarahi Krisna. Sorenya terasa amat menyebalkan ditelepon dua kali oleh lelaku tidak tahu diri. Padahal apa susahnya pulang? Lagipula, kenapa Krisna masih gengsi. Daisy juga sudah jadi istrinya dan mereka sudah lebih dari sekadar akrab. Buktinya, tadi pagi dia sampai memergoki pasangan tersebut adu bibir.
Huh, mengingatnya lagi sampai membuatnya bergidik.
"Mas, sudah belum sate saya?" Gendhis menoleh ke arah penjual sate kembali. Penjual tersebut masih meladeni pembeli sebelumnya dan Gendhis agak merasa heran karena tadi dia berteleponan cukup lama.
"Beli berapa, sih, Mas? Lama banget. Saya cuma pesan sepuluh."
"Seratus lima puluh tusuk, Mbak. Sebentar, ya. Anak buah saya lagi bakar sate pesanan Mbak. Yang ini tinggal dikemas, punya bapak yang berdiri di belakang Mbak."
Orang kaya? Apa tidak muntah makan sate sebanyak itu, pikir Gendhis. Seratus lima puluh tusuk, kayak pesanan Suzana, Gendhis menahan geli di dalam hati. Bodohnya, dia malah menoleh begitu mendengar pria yang disebut sebagai pembeli royal tersebut dan ketika pria itu juga menyebutkan hendak membayar pesanan Gendhis, matanya melotot.
"Ngapain lo sok baik hati bayarin gue?"
Syauqi Hadad yang tidak menyangka akan bertemu perawat nyentrik berambut tembaga di hadapannya itu hanya menyunggingkan senyum. Tetapi, belum dua detik, Gendhis langsung melengos dan memberitahu penjual sate kalau dia tidak sudi ditraktir.
"Nggak usah, Mas. Saya bayar sendiri. Emangnya wanita apaan, makan duit anak yatim?"
"Salah satu franchise toko kopi milik saya, yang cabangnya di mal depan baru saja setor royalti. Keuntungannya buat makan sama anak-anak, Mbak Gendhis. Jadi ini bukan uang donatur yang saya nikmati sendiri."
Halah, Gendhis mana mau mendengar. Dia bahkan mengibaskan rambutnya dan berjalan menjauhi si kepala yayasan panti asuhan seolah Syauqi berbuat dosa besar kepadanya atau malah, pria itu baru saja menginjak tahi kucing dan berniat membagikan aroma kotoran itu kepadanya.
***
Ujung remot TV yang berada di atas meja menghantam dahi Fadli dengan cepat dan seketika, pandangannya menggelap. Di saat yang sama, Daisy meraih toples porselen berisi kue kesukaan Hanum Sari Janardana yang posisinya juga berada di atas meja. Sekali lempar, benda tersebut berhasil menghantam hidung Fadli dan dia berteriak kesakitan.
Ceceran remah kue mengotori permadani lembut dari Turki pembelian dari Kartika dan Daisy memohon maaf di dalam hati telah menjadi penyebab kekacauan itu dan berjanji bila Fadli sinting itu telah kabur dari rumah suaminya, dia akan membawa karpet tersebut ke binatu. Tetapi, saat ini ada yang lebih gawat dan Daisy tidak yakin dia bisa melewati semua itu dengan mudah.
Daisy berjalan agak sedikit tertatih demi menghindari Fadli yang mengaduh usai jidatnya benjol barusan. Entah kenapa dia memutuskan untuk menoleh ke arah belakang sewaktu berlari menuju pintu depan. Karena itu juga, Daisy tidak sadar telah menabrak salah satu kursi tamu dengan tempurung lutut kanan. Dia meringis dan berjalan memegangi gamis agar tidak tersandung.
Di saat yang sama, Fadli yang tahu bahwa targetnya hendak kabur segera siaga. Dia berlari cepat melompati meja ketapang lalu mengejar Daisy yang sudah berada di tengah-tengah antara pintu dan ruang tamu. Dengan sekali tarik, dia berhasil menjambak jilbab yang dipakai oleh wanita hamil tersebut. Daisy terpaksa berhenti dan menarik jilbabnya sekuat tenaga agar tidak terlepas, sementara Fadli dengan mudah mendapatkan kelemahan korbannya lalu semakin menjadi.
"Sini, kasih lihat Abang, Des." Fadli menyeringai amat lebar, "Rambut lo pasti panjang dan lebat. Enak banget nariknya pas dari belakang…"
Senyum semringah tidak lepas dari bibir Fadli dan Daisy tahu saat ini pria itu sedang memikirkan hal paling kurang ajar yang dia tahu.
"Sensasinya beda kalau sama cewek bunting. Gue udah baca. Makanya, gue kepingin banget … Ugh."
Daisy berhasil menarik rak tempat majalah dan melemparkannya tepat ke perut Fadli. Dia bersyukur pria itu melepaskan jilbabnya sehingga dia bisa kembali berlari.
Sayangnya, baru dua langkah, Daisy nyaris tersungkur dan dia menahan perutnya dengan mengorbankan kedua lutut. Wajahnya menahan sakit ketika tempurung lutut yang tadi menghantam ujung kursi tamu semakin menjadi. Tetapi, fokus Daisy bukan itu. Dia lebih mencemaskan hantaman yang terjadi antara lutut dan granit menyebabkan guncangan di rahimnya.
Anak-anakku, bertahanlah. Jangan kenapa-kenapa. Ummi sedang berusaha …
Daisy berteriak lagi. Kedua kakinya diseret sehingga dia harus memiringkan tubuh agar tidak terjadi gesekan antara perutnya dan lantai. Walau sekarang, pinggang dan pinggulnya terasa seperti disayat-sayat. Fadli sama sekali tidak belas kasih memperlakukannya sebagai seorang wanita dan ibu hamil.
"Tolong ja… jangan." Daisy memohon karena sekali lagi, Fadli mencoba menarik jilbab yang dipakai Daisy. Dia seharusnya minta pria itu membunuhnya saja. Auratnya hanya milik Krisna, suaminya. Dia tidak akan sudi memperlihatkan sejengkal saja untuk pria lain.
Sebuah tamparan melayang ke pipi kiri Daisy disusul tamparan-tamparan lain tanpa ampun di kedua wajahnya yang membuat Daisy mendadak pening. Meski begitu, dia masih berusaha melawan. Tangan dan kakinya berontak setiap Fadli hendak menyentuh tubuhnya.
"Diam, Bodoh!" Fadli yang geram meraih kedua bahu Daisy lalu menghantamkan punggung wanita malang tersebut ke lantai. Entah berapa kali kepala Daisy membentur granit. Pandangannya sudah mengabur. Hidung wanita muda itu sudah keluar darah. Bibir Daisy juga sudah pecah. Tetapi, dia tahu, bila menyerah saat ini, Fadli tetap bakal menghabisinya.
"Anda manusia paling menjijikkan yang pernah saya lihat." Daisy menyemburkan ludah. Tetapi, gara-gara itu, Fadli mencekik lehernya dengan amat kuat sehingga dia merasa nyawanya sedang berada di ujung tanduk. Secara refleks, Daisy kembali menendang dan menarik tangan pria itu agar melepaskannya.
"Lo diam, Brengsek."
Fadli berhasil meraih vas bunga lain yang berada di atas meja kecil dan tanpa ragu, dihantamkannya benda tersebut ke dahi kanan Daisy berkali-kali hingga akhirnya dia kehilangan kesadarannya. Fadli sendiri, setelah terengah-engah menyaksikan korbannya berlumuran darah, bukan merasa iba. Dia sempat berdiri, untuk melanjutkan kembali melepas tali pinggang yang tadi tertunda karena Daisy memilih kabur. Setelahnya, dengan tangannya, dia meraba-raba pergelangan kaki hingga betis Daisy yang terlindungi legging berwarna hitam. Liurnya terbit sekalipun korbannya berbadan dua.
Dua? Seingatnya Daisy hamil anak kembar. Luar biasa. Sensasinya pasti amat berbeda dengan wanita-wanita biasa yang telah dia nikmati sebelum ini.
"Gila, mulus banget." Fadli menelan air ludah. Tidak dia pedulikan jilbab Daisy yang memerah. Ibu jari kanannya saat ini bermain di bibir Daisy yang terpejam.
"Des. Lo punya pesona gila-gilaan. Gue nggak tahan lagi, Sayang. Kita terbang ke surga habis ini."
Fadli menarik tali pinggang dan kini mulai melepaskan celananya. Dia bahkan, tidak peduli sama sekali ketika melihat genangan air di sekitar paha dan lutut Daisy.
"Lo nggak ngompol, kan? Baru mau dikasih enak."
Fadli menarik kaus dalamnya hingga lepas dan melemparnya sembarangan. Dia lalu menyingkap gamis Daisy, bersiap menarik legging wanita itu. Senyumnya mengembang. Daisy Djenar Kinasih pasti bakal memohon-mohon kepadanya untuk dipuaskan seperti yang lain.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro