44
Masih nunggu?
Tinggal epilog di KK dan KBM tapi eke sibuk banget. Ntar aja eke ngetiknya, sekarang lagi fokus ke Dek Ola. Mulai seru.
Eke mo PO umik Desi tapi galau, langsung PO abis epilog atau gimana, yes? Wkwkw
Kalo mo dobel up, ramein komen yes. Di Yaya Malik pada dm kapan up, komennya aja ga tembus. Maap aja eke jadi males. Tapi, kayaknya udah pada tamat baca sih.
***
44 Madu In Training
Gendhis yang tidak tega karena selama di rumah ibunya, Daisy seolah dijadikan pembantu oleh sang ibu, pada akhirnya menarik tangan kanan sang ipar dan membawanya lari ke kamar gadis itu. Wajah Daisy terlihat lesu. Tetapi, bukan karena tadi diminta oleh Bunda Hanum untuk jadi seksi dapur atau antar-antar makanan kepada para tamu, melainkan karena Krisna malah belum nongol sama sekali ke rumah orang tuanya.
"Nungguin ayang?" Gendhis berusaha menggoda. Dia berbaring di atas tempat tidur sambil menggeser-geser layar HP. Daisy sendiri sedang mengusap-usap jemarinya dengan minyak zaitun yang dia temukan di meja rias iparnya. Lumayan membantu tangannya yang cukup lama terendam air akibat mencuci tadi.
Bunda Hanum sepertinya sedang balas dendam. Menurut Gendhis, ibunya seolah sengaja memanfaatkan Daisy yang begitu lembut dan manut, beda dengan anak bungsunya dan karena pada dasarnya Daisy tidak pernah protes walau kepalanya ditempeleng dengan wajan oleh mertua atau suaminya sendiri, maka dia hanya mengangguk ketika memandangi tumpukan piring bekas gulai dan makan para tamu arisan yang jumlahnya lumayan itu.
"Mas, lo gila, ya, ditungguin dari tadi. Bini lo, tuh, disuruh jadi babu sama Bunda. Dipermalukan di depan temen-temennya."
Daisy menoleh, berusaha menarik ponsel yang kini menempel di telinga Gendhis lalu berkata, "Apa-apaan, sih, Dhis. Jangan kasih tahu."
Terlambat. Gendhis sudah menjulurkan lidah. Dia tidak peduli sama sekali dan malah melanjutkan, "Buruan datang. Ntar bini lo diambil orang."
Daisy berhasil mendapatkan ponsel Gendhis dan dia tanpa ragu memutuskan hubungan telepon antara kakak beradik tersebut lalu melemparkan pandangan kalau dia amat sebal dengan kelakuan sahabatnya.
"Jangan jual kesusahan aku, dong, ke Mas Krisna. Nanti dia iba. Aku nggak suka." Daisy mengembalikan ponsel Gendhis ke atas tempat tidur.
"Lah, bagus, dong. Artinya dia ada perhatian."
Daisy tidak seide. Menurutnya, menguji perasaan pasangan dengan berpura-pura sakit dan terluka terlalu sinetron. Bila ada wanita yang memperlakukannya, dia tidak akan mencela. Tetapi, untuk praktik dalam kehidupannya sehari-hari, nol besar. Selama ini, dia selalu dikasihani karena status anak panti dan yatim piatu. Meski, gara-gara itu dia mendapat beasiswa dan bantuan siswa miskin, Daisy tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa label itu membuatnya amat sedih selama bertahun-tahun. Toh, orang yang tidak punya ayah ibu tidak selalu melankolis. Bahkan, mereka juga ingin dilihat bisa bangkit dan berjuang walau di satu sisi mereka amat terpuruk.
Kayak, ya, udah, sih. Aku udah nggak punya orang tua. Tapi, fokus hidupku udah ke arah yang lain.
Kini, melihat Gendhis seolah ingin menyatukannya dirinya dan Krisna dengan cara yang sama, membuat Daisy teringat lagi masa-masa dia jadi remaja tak berayah ibu dan selalu mendapat tatapan iba dan kasihan.
"Tapi, dia ngomong apa, Dhis?" tanya Daisy tidak tahan lagi. Walau tadi sempat merebut HP milik Gendhis, nyatanya dia juga penasaran dengan jawaban Krisna.
"Jiah, dia kepo." Gendhis tergelak. Di saat yang sama, Daisy baru sadar kalau dia belum salat Asar karena terlalu sibuk di dapur tadi. Separuh gamisnya bahkan masih lembab dan basah. Dia ingin bertukar pakaian, tetapi, agak malu juga hanya memakai mukena dengan pakaian dalam.
"Alah, pake aja bajuku. Di lemari banyak, tuh. Nggak kepake. Wong aku jarang di sini. Nanti bulukan kelamaan nggak dipake."
Daisy tersenyum namun merasa tidak enak hati, "Jangan gitu. Aku nggak berani sembarang pakai baju orang meski kamu temen dan iparku sendiri. Baju di kamarmu masih rapi, nggak aku senggol."
Gendhis sampai duduk di tempat tidur dan bengong dengan pernyataan Daisy barusan.
"Ya, ampun. Pake aja."
Daisy menggeleng. Gendhis sebenarnya sempat menggoda Daisy karena hampir dua bulan menikah, dia masih tidur di kamar sahabatnya tersebut. Tetapi, Gendhis tidak protes begitu Daisy bilang kalau Krisna menemaninya alias tidur bersama. Hanya saja, begitu Gendhis menanyakan tentang pakaian milik Kartika, Daisy hanya tersenyum tipis.
"Ambil yang bagus-bagus, dong. Mbak Tika sering beli baju nggak kepake, soalnya suka ditawarin sama temennya. Dia nggak tega. Jadinya numpuk di kamar Mas Krisna."
"Aku nggak berani, Dhis. Dulu, pas awal tinggal di sana, aku pernah salah pakai daster. Waktu itu bajuku abis, mau ambil ke panti, tapi aku sempetin nyuci dan berberes. Ketemulah daster, kukira itu punyamu. Aku nggak ingat ambil dari kamarmu atau kamar Mas Krisna. Jadinya kupakai. Eh, dia ngamuk. Aku nggak boleh sentuh semua barang Mbak Tika. Sejak itu, aku nggak berani lagi macam-macam. Sampai, masak pun, aku beli rice cooker kecil sama teko listrik, biar nggak ganggu dapur Mbakmu."
Daisy masih tersenyum dan bercerita tanpa ada rasa sesal atau beban. Namun, Gendhis yang mendengarnya tanpa sadar menitikkan air mata. Dia bahkan hampir memeluk Daisy yang berkata dia baik-baik saja, sampai akhirnya Gendhis tidak tahan lagi, "Ya Allah, Mbak. Segitunya masku jahat sama kamu."
"Bukan." Daisy mengoreksi, "Siapa saja pasti berat menerima orang lain saat hatinya masih berduka."
"Tapi kamu istrinya."
Debat itu tidak akan berakhir jika Daisy terus membela Krisna karena Gendhis merasa amat geram. Untung saja, Daisy menyembunyikan kisah makan mie instan karena jika tahu, dia pasti bakal semakin marah.
"Sudah, ah. Aku mau salat dulu. Pinjam dastermu yang panjang, ya. Nanti aku cuci dan setrika sampai wangi."
Gendhis berdecak. Pantas saja Daisy lebih mirip tawanan perang yang dijebloskan dalam kamp penyiksaan. Krisna sinting itu menyiksanya lewat batin. Dari luar terlihat seolah-olah dia sayang kepada istrinya sementara bila mereka hanya berdua, Daisy dianggap seperti orang yang tidak berguna. Dia merasa amat geram, tetapi, lagi-lagi Daisy selalu membelanya.
"Udah kesengsem ama dia, kan? Ngaku. Bentar lagi aku dapat keponakan, nih."
Dasar Gendhis. Dia, kan, sudah tahu kalau Krisna tidak mau punya anak selain dari rahim Kartika. Artinya, sampai kapan pun, Daisy tidak mungkin bakal bisa hamil. Dia sudah minum pil KB pemberian Krisna bulan lalu hingga habis. Gara-gara itu, Gendhis kemudian sadar dan bertanya lagi, "Kita ketemu tiap minggu, tapi kamu salat terus. Kalau nggak salah, kamu mensnya lama, kan? Bisa sampai tujuh atau delapan hari."
Daisy sudah turun dari tempat tidur dan hendak meminjam daster Gendhis dari sebuah keranjang plastik dekat lemari. Dia sempat menoleh sebelum menjawab, "Kan minum pil KB bulan kemarin."
"Bulan kemarin? Terus bulan ini?"
Daisy tidak mengerti maksud perkataan Gendhis. Dia cuma meminum saja pil pemberian Krisna. Tapi, pil tersebut sudah habis beberapa minggu lalu dan dia sebenarnya sudah ingin membeli sendiri ke apotek, hanya saja, kejadian ini dan itu, serta kesibukannya di panti membuatnya lupa.
"Belum beli."
Daisy heran, kenapa Gendhis melotot hingga biji matanya hendak keluar. Dia juga mempertanyakan sikap gelisah iparnya ketika Gendhis lagi-lagi bertanya, "Berapa kali campur dalam seminggu?"
"Kenapa, sih? Iya, kalau Mas Krisna mau, bisa tiap hari. Kadang sehari dua kali."
Dasar Krisna sinting, Gendhis memaki abang kandungnya. Manusia paling sinting dan munafik adalah abangnya seorang dan dia gemas ingin memukul kepala pria itu dengan pantat penggorengan.
"Bentar lagi aku mens, kali. Udah tanda-tanda mau kram."
Gendhis mencoba menghela napas, tetapi dia berusaha terlihat tenang.
"Kapan kamu pertama kali minum pil KB-nya? Pas malam pertama?"
Gendhis kenapa jadi seperti wartawan, sih, pikir Daisy. Dia sendiri malah menjawab pertanyaan iparnya tanpa sadar kalau saat ini, Gendhis sedang berhitung, terutama saat Daisy menjawab tentang hari pertama haid terakhirnya sebelum dinikahi Krisna.
"Seminggu sebelum nikah. Pas malam pertama, dia lagi marah-marah. Kalau nggak salah, dikasih pil KB pas hari ke tujuh, abis acara tujuh harian."
Kampret, Krisna. Lagi-lagi dia memaki abangnya. Tidak ingin Daisy hamil, tetapi dia sudah setor benih bahkan sebelum istrinya dilindungi kontrasepsi. Malah, beberapa minggu terakhir Daisy tanpa perlindungan sama sekali.
"Mukamu kenapa, Dhis? Aku nggak kenapa-kenapa, kan?"
Bagaimana dia bisa bilang Daisy tidak kenapa-kenapa? Diagnosa tidak bisa ditegakkan tanpa pemeriksaan dan dia khawatir wanita di depannya bakal histeris daripada bahagia. Tapi, secara kasat mata, Daisy masih baik-baik saja. Dia juga belum yakin, sebenarnya. Selama ini, dia tidak berani bertanya urusan ranjang Kartika dan Krisna, beda dengan Daisy yang memang lebih terbuka dibanding almarhumah kakak iparnya tersebut.
"Nggak tahu juga. Udah, sana ganti baju, terus salat. Aku mau ke depan dulu. Liatin pasukan arisan, sudah bubar atau sibuk ghibah. Tahu, kan, emak-emak kalau sudah ngobrol, panjang bahasannya. Apalagi soal banggain anak sendiri."
Daisy merasa tidak enak hati ketika Gendhis mengatakan soal membanggakan anak sendiri karena wajah Gendhis tampak suram. Tapi, dia merasa agak aneh juga dengan sikap Gendhis yang tumben-tumbennya mau keluar bila di depan nanti masih banyak tamu sang Bunda.
"Sekalian mau beli bakso malang."
Itu juga aneh. Di rumah Bunda Hanum sedang ada banyak makanan. Tetapi, Gendhis, sebagaimana Daisy, agak sedikit sungkan makan di sini karena belum-belum bakal mendapat pelototan tanda tidak setuju dari sang empunya rumah padahal status mereka adalah anak dan menantu. Daisy juga merasa tidak gratis. Dia sempat memberi seperempat honornya minggu ini karena menang lomba artikel yang diadakan oleh forum KopiSusudotcom. Hadiahnya lumayan dan senyum dang mertua kentara sekali ketika merasakan lembaran lima puluh ribuan dalam amplop agak sedikit banyak. Padahal, Daisy sendiri salah pencet nominal pecahan uang yang dia tarik sehingga seolah-olah memberi mertuanya banyak.
Sebenarnya memang yang dia beri lumayan banyak. Tetapi, kalau tidak begitu, Daisy merasa bibir Bunda Hanum selalu maju setiap melihatnya. Dia juga telah berusaha menjadi menantu yang baik, walau tetap saja, di mata wanita sosialita itu dia salah.
"Nah, gitu, dong. Cuci piring. Masak tiap ke sini mainan HP terus."
Dia bahkan tidak sempat mengeluarkan ponsel dari dalam tas rajut miliknya tetapi sang mertua mengomel seolah-olah dia sudah tenggelam memandangi layar dan lupa dengan semua tugasnya.
Tapi, seperti komentar serta postingan yang selalu lewat di beranda forum serta curhat emak-emak di Facebook yang kini mulai rutin dia sambangi, yang diuji dengan mertua dan suami bukan hanya dia saja dan sebagai manusia biasa, dia hanya perlu menambah stok sabar dan berharap seperti sinetron Hidayah di Indosiar, semua pemeran antagonis bakal kena tiup angin surga lalu berubah baik dan amat menyayanginya, paling tidak seperti saat mereka menyayangi mendiang Kartika Hapsari dulu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro