Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31

31 Madu in Training

 ‘Hei, ngapain kamu ke sini?”

Setelah Krisna, suara Bunda Hanum selalu berhasil membuat Daisy seperti terkena serangan jantung. Sejak awal wanita itu tidak pernah mendukung hubungan Daisy dan Krisna. Meski begitu, Daisy menguatkan hati untuk mendekat dan mencium punggung tangan mertuanya walau pasrah, daripada mendapat uluran tangan, dia mendapati sikap cuek Bunda Hanum ketika tangannya sudah terjulur.

Krisna mungkin sedikit lebih baik daripada ibunya sendiri karena pria itu masih menerima uluran tangannya tadi.

“Desi dijemput Gendhis, Bun.”

“Udah bagus tadi Krisna ninggalin kamu di rumah, eh, tahunya malah nekat mampir. Ini acara keluarga, bukan orang luar kayak kamu, anak panti.”

Daisy tidak heran lagi dari mana Krisna mendapatkan keahlian bersilat lidah miliknya yang amat ampuh menghujam jantung Daisy dengan kata-katanya. Meski saat ini, wanita berusia lima puluh delapan tahun tersebut memakai jilbab dan gamis yang menutupi tubuhnya rapat-rapat dari kepala hingga ujung kaki, nyatanya tidak mampu membuatnya untuk menjaga lisan sama sekali dan yang bisa Daisy lakukan saat itu hanyalah membuka tas cangklong miliknya dan mengeluarkan sebuah amplop berisi beberapa puluh lembar uang ratusan ribu hasil kerjanya selama satu bulan kepada wanita itu.

"Iya, Bun. Desi nggak enak aja tadi Gendhis tahu-tahu sudah nongol. Ngomong-ngomong, ini buat jajan Bunda."

Daisy menekankan kata jajan sedemikian rupa agar Bunda Hanum tahu, uang yang dia kumpulkan hingga rela bergadang, khusus untuk dia seorang dan gara-gara itu juga, Daisy sempat melihat kilasan senyum di bibir berpulas gincu merah cabai milik ibu mertuanya yang membuat wajahnya semakin putih berseri.

"Nah, kebetulan. Kirain kamu nggak tahu." balas Bunda Hanum. Dia mengira-ngira tebal uang di dalam amplop tersebut lalu bicara lagi.

"Mentang-mentang sudah nikah, jangan kamu kira suami kamu itu milik kamu, tok. Dia itu masih milik ibunya. Hakmu cuma sekian persen. Duitnya juga. Jangan sampai perutmu kembung karena kebanyakan menyembunyikan uang Krisna… "

Ya ampun. Sampai bagian sini juga, Daisy dibuat terperangah. Krisna benar-benar cetakan bundanya tercinta. Ucapan mereka tentang uang dan sebangsanya membuat Daisy merasa amat muak. Tidak heran juga, Kartika kemudian selalu menghadiahinya dengan tumpukan uang seolah sumber kebahagiaan di dalam hidup hanyalah bergepok-gepok nominal lembaran seratus ribuan. 

Bunda Hanum saja langsung meninggalkan Daisy dengan senyum dan tanpa ragu mengendus aroma uang yang masih berada di dalam amplop yang tersegel. Untung saja Daisy tidak memasak sambal terasi tadi. Karena jika iya, sudah pasti aroma tangannya yang menyegel perekat pada penutup amplop tersebut bakal membuat mertuanya mengoceh lagi.

Pantas Mbak Tika ngasih segala macam amplop, ATM, malah ada khusus yang buat Bunda. 

Memangnya jatah dari Mas Krisna kurang sampai Bunda masih minta sama menantunya? Dia kira aku ngabisin duit anaknya? Nggak lihat kalau yang aku pakai sekarang cuma gamis butut? Makan aja cuma Pop Mie sama telur rebus. 

Tapi, Daisy kemudian mengucap istighfar, seolah dengan kata-kata barusan dia seolah tidak ikhlas memberikan gajinya kepada Bunda Hanum. Bukan itu sebenarnya yang membuatnya tidak habis pikir, melainkan ucapan kalau anak lelaki adalah milik ibunya. Memangnya, selama ini Krisna milik siapa? Toh, kenyataannya, memang sang mertua yang melahirkan dan membesarkan seorang Krisna Jatu Janardana sehingga sifat mereka berdua pun terasa amat mirip di mata Daisy. 

Daisy amat bersyukur ketika akhirnya dia berhasil menemukan iparnya, Gendhis, sedang mengunyah sebuah apel di dapur. Untung saja saat itu beberapa sanak saudara Krisna mengenalinya dan tanpa ragu menunjuk ke arah dapur ketika Daisy bertanya tentang keberadaan Gendhis. Gadis itu adalah penyelamatnya di banyak kesempatan dan karena Gendhis juga dia hampir tidak pernah merasa sendirian meski ditinggal oleh Kartika. 

"Kamu ninggalin aku." Daisy mendekat ke arah iparnya. Gendhis sudah duduk di atas stool hitam di depan kitchen bar. Wajahnya tampak santai dan dia terlihat amat senang karena tidak dekat-dekat dengan ibunya yang saat ini menghilang entah ke mana usai mendapat hadiah dari menantunya.

"Laper aku, Mbak. Mending lihat Bulik sama Budeku sibuk masak daripada kamu sama Mas Krisna yang katanya berantem. Apaan, tadi? Kok, malah pegang-pegangan tangan?" 

Pasti Gendhis mengira prosesi cium tangan tadi adalah salah satu adegan mesra yang dia lihat di dalam rumah tangga abangnya. Sayangnya, Gendhis salah. 

"Apaan? Dia malah marah sama Mbak. Katanya aku sengaja minggat."

Lirikan mata Gendhis menandakan kalau dia tidak percaya sama sekali.

"Sumpah, Dhis. Waktu kubilang aku minggat ke panti karena dia ninggalin aku, balasan Mas Krisna malah ngatain aku bodoh karena nggak tahu kalau dia nunggu aku di parkiran lain dan aku yang salah nyari posisi mobilnya."

Gendhis menggumam tidak jelas. Mulutnya penuh dengan apel yang baru saja dia gigit.

"Yang bikin kesel, dia tahu aku di sana, tapi diam saja. Nggak manggil atau nyuruh aku kembali ke mobil. Oke, dia nggak mau repot-repot panggil namaku, dia, kan, bisa WA, misscall."

"Orang kayak Mas Krisna mesti dibalas dengan nyinyiran yang lebih pedas biar dia nggak bisa nyinyir balik. Masak gitu aja kamu nggak sanggup?"

Dasar gadis tengil, pikir Daisy. Dia bisa saja melawan Krisna, melakukan pembalasan yang lebih kejam juga boleh. Tapi, tujuan dia menjadi istri pria itu bukanlah untuk lebih tinggi atau lebih rendah daripada suaminya. Dulu egonya amat tinggi dan dia mengaku salah telah menjadikan Krisna bahan guyonan. Sekarang, usia dan statusnya sebagai istri membuatnya mesti berpikir ulang untuk semua tindakan yang dia lakukan. 

Lagipula, dia berharap hubungan mereka untuk selamanya walau sebenarnya kesal, Krisna tidak bisa seperti suami-suami idaman di drama Korea. Hanya saja, berkaca pada cerita pernikahan salah satu moderator di KopiSusudotcom, Kinan, yang memang akrab dengannya, dia sadar, mencari pria yang kadar kepekaannya tinggi, amatlah susah apalagi buat Krisna yang selama bertahun-tahun diperlakukan bak raja oleh Kartika. 

"Aku mau bantuin orang dapur aja. Masak, kek, cuci piring, kek. Nggak PD aku duduk di depan kayak nujuh harian kemarin. Orang-orang tahunya Mas Krisna duda."

Daisy ingin menjawab kalau di rumah semewah ini, dia terlihat seperti seorang ART dan tempat yang paling cocok untuk dirinya sendiri hanyalah di dapur, berbaur juga dengan para pembantu yang bekerja di rumah keluarga Janardana. Dia juga senang, beberapa sanak Krisna dan Gendhis yang punya hobi masak dan mengurus dapur menyambut niatnya dengan amat baik sehingga untuk pertama kali, Daisy merasa senang, ada yang menerima kehadirannya selain Gendhis. 

"Nanti kamu dicari Mas Krisna." Gendhis berdecak saat melihat Daisy sudah menarik lengan baju. Untung saja tidak ada laki-laki di dapur dan dia berniat membantu mencuci piring bekas makan siang yang kelihatannya sudah hampir menggunung. Gara-gara itu juga, dia berpikir kalau suaminya pasti ikut makan bergabung dengan yang lain, meski sedikit merasa miris, Krisna tidak pernah sudi makan masakan buatannya.

Sudahlah. Yang penting dia nggak nolak pakai baju yang sudah kamu cuci dan setrika. 

Tapi, setelah itu Daisy meralat ucapannya dan merasa malu kepada dirinya sendiri.

Ya kali, suamimu ke mana-mana nekat nggak pakai baju? Seneng, dong, para cewek lihatin dia.

Daisy menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan perasaan aneh di dada serta rasa panas di wajah yang muncul ketika membayangkan suaminya barusan. Biarpun sebal, toh, dia sudah beberapa kali melihat tubuh suaminya sendiri dan Daisy tidak bisa mengenyahkan pikiran sendiri. Salahkan saja Krisna yang punya hobi mengunjungi kamarnya demi minta jatah sesuka hatinya. Gara-gara pria itu, mata Daisy jadi tidak suci lagi, kan?

"Kamu ngapain, sih? Mau cuci piring aja mesam-mesem kayak habis lihat Jungkook?" 
tanya Gendhis dengan wajah heran ketika Daisy kembali mendekat ke arahnya dan menitipkan tas miliknya kepada sang ipar. Daisy sendiri mengerutkan alis dan dia memandang tidak paham kepada Gendhis?

"Jungkook? Mangkok?"

"Dahlah. Malu aku sama kelakuanmu, Mbak. Ngakunya gaul di dunia maya, yang gitu aja nggak tahu."

Daisy mengedikkan bahu dan dia menyebut sebuah nama yang membuat Gendhis bingung.

"Mestinya kamu tahu Htooantlwin sebelum yang lain, biar matamu segar." Daisy menjulurkan lidah sambil berkata, Krisna pasti mengerti siapa yang dia sebut barusan. Toh, suaminya pernah berkecimpung di dalam wadah yang sama dan penasaran, apakah nama yang disebutkan olehnya sempat dikunjungi oleh Krisna atau belum. 

"Heh? Siapa itu, Mbak? Gebetanmu yang lain?"

Tepat saat bertanya hal tersebut, Krisna muncul dari belakang Gendhis dan merebut apel dari tangannya yang baru tergigit seperempatnya tanpa ragu lalu berkata, "Gebetan siapa? Lo punya pacar?" tanyanya kepada Gendhis, sementara Daisy sudah memberi kode kalau Gendhis harus tutup mulut. Tidak asyik kalau di saat seperti ini, Krisna kembali memaki dirinya padahal barusan dia asal ngomong untuk menggoda iparnya saja.

"Lo kenal Htooant … siapa tadi, Mbak?" Gendhis yang tidak paham kode malah seperti menyiram bensin ke api dan Daisy yang salah tingkah segera menyodorkan tas miliknya lalu berlari ke bagian tumpukan piring di kamar mandi dan memilih mengusap pantat wajan dan panci daripada membalas pertanyaan iparnya yang sinting itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro