3
Madu In Training 3
Kharisma Kafe yang berlokasi di bilangan Bintaro Sektor sembilan menjadi tempat pertemuan antara Kartika Hapsari dan Gendhis Wurdani Parawansa. Gendhis adalah adik kandung Krisna dan hal tersebut berarti bahwa Gendhis dan Kartika adalah saudara ipar. Hubungan mereka sangat akrab meski umur keduanya terpaut cukup jauh. Gendhis berusia satu tahun di bawah Daisy dan seperti Kartika, dia juga mengenal pengurus panti asuhan itu dengan baik.
Suasana kafe menjelang pukul dua di hari Sabtu itu lumayan sepi. Agak sedikit aneh karena biasanya di penghujung akhir pekan akan ada banyak pasangan yang mampir. Tapi, bagi Kartika, dia lebih suka keadaan sepi tersebut karena orang-orang tidak bakal sibuk mencuri kesempatan memperhatikan keadaannya. Walau sudah memilih duduk di salah satu meja yang letaknya berada di sudut pojok kafe yang terlindungi partisi rak kayu dengan dekorasi kaktus dan sukulen mini, Kartika masih merasa banyak mata yang memperhatikannya.
Dia sudah lelah menahan nyeri dan menangis semalam suntuk meratapi nasib. Pada Krisna, suaminya, dia berkata krim mata kedaluwarsa telah membuat matanya bengkak dan suaminya percaya saja bahkan menawarkan kunjungan ke dokter untuk memeriksakan keadaannya.
Untung juga, Krisna percaya kalau Kartika punya penawarnya dan bengkak di matanya akan sembuh menjelang malam nanti. Kenyataannya, dia memang mengoleskan masker mata, akan tetapi, dia kemudian sadar akan suatu hal dan adik iparnya, Gendhis bisa jadi perantara yang baik untuk membantunya.
Gendhis adalah seorang perawat dan selama ini dia sudah banyak membantu Kartika bertahan dengan penyakitnya.
Ponsel Kartika yang dia letakkan di atas meja kayu teak bergetar dan foto Gendhis muncul. Adik iparnya menelepon. Tanpa ragu Kartika mengangkat panggilan tersebut.
"Iya, Dhis. Sudah sampai dari tadi. Kamu sudah di parkiran?"
Kartika tersenyum karena sejurus kemudian pintu kafe terbuka dan kepala seorang wanita dengan tatanan rambut bergelombang dicat tembaga membuat Kartika menggoyangkan tangan.
"Dhis, sini."
Gendhis memberi kode kepada seorang pelayan kalau dia sudah ditunggu dan pelayan tersebut mempersilahkan Gendhis menuju tempat saudara iparnya berada. Mereka kemudian berpelukan selama beberapa saat dan detik itu, Gendhis sadar betapa kurus tubuh Kartika yang dikenalnya selama ini.
"Mbak." Gendhis menahan air mata, "Mas Krisna harus tahu. Kamu harus ke rumah sakit, kemo." Jemari kanan Gendhis menggenggam kedua jemari iparnya. Respon Kartika hanyalah sebuah gelengan pelan sebelum dia meminta Gendhis untuk duduk, "duduk, Dhis."
Gendhis menurut. Dia menyeka air mata yang tiba-tiba jatuh dengan punggung tangan kiri lalu berusaha tersenyum. Rasanya sakit dan menyebalkan bila melihat Kartika seolah bebal dengan keadaannya sendiri.
"Mas Krisna tahunya HNP*-ku kumat." Kartika bicara lembut, mencoba menenangkan hati Gendhis yang risau. Hari ini adik iparnya tampil amat menawan. Gendhis memakai kulot putih dan dipadukan dengan blus berwarna mauve yang terbuat dari bahan sifon. Dia terlihat masih muda dan sangat bersemangat. Agak aneh mendapati matanya berkaca-kaca dan Kartika merasa amat bersalah karenanya.
"Ini obat pesanan Mbak." Tanpa basa-basi, Gendhis mengangsurkan sekotak obat pesanan Kartika dan wanita berjilbab itu mengucapkan terima kasih dengan wajah tulus, "Mbak bergantung kepadamu. Mas Krisna bakal curiga…"
"Mbak kenapa, sih, nggak mau jujur? Dhis kenal sama Abang jauh lebih baik dari saudara kami yang lain. Mbak Ita sama Mbak Dian emang nggak terlalu peduli dan sibuk sama keluarga mereka masing-masing, tapi, Dhis tahu kalau Abang nggak bakal ninggalin Mbak cuma gara-gara penyakit ini."
"Umur Mbak nggak lama lagi." Kartika meraih tangan Gendhis kembali, mencoba menenangkan hati sang ipar yang begitu terkejut, "sel kankernya sudah menyebar sampai ke hati."
Gendhis terkesiap begitu mendengar jawaban Kartika.
"Mbak? Mbak sadar dengan apa yang sudah Mbak katakan? Bisa-bisanya Mbak menyimpan ini semua dari Mas Krisna?"
Kartika menggeleng. Wajahnya sedikit pucat sewaktu dia berusaha untuk melanjutkan.
"Perkembangan selnya terlalu cepat. Aku bahkan nggak punya waktu buat berpikir apa-apa kecuali apa yang mesti aku lakukan setelah aku tidak ada."
"Kenapa Mbak nggak mikirin tentang perasaan Mas Krisna?" Gendhis melanjutkan, matanya merah. Dia masih hendak bicara sewaktu seorang pelayan meminta izin untuk meletakkan pesanan mereka menjelang sore itu. Dia menunggu selama beberapa detik hingga pesanan mereka selesai baru kemudian Gendhis kembali melanjutkan, "ini bukan perkara sepele. Suami Mbak harus tahu."
Kartika mengangguk usai Gendhis bicara, "Tentu. Dia bakal tahu. Tapi, sebelum semua itu, Mbak harus mempersiapkan semuanya. Mbak tahu persis bagaimana sifat Masmu. Kami sudah bersama sejak SMA dan dia tidak bakal mudah bangkit bila tahu istrinya tidak bisa lagi diselamatkan."
Gendhis berdecak. Dia tampaknya tidak setuju dengan apa yang bakal diucapkan oleh Kartika setelah ini. Apa pun itu.
Karenanya, dia berusaha mengambil napas selama beberapa detik dan mengedarkan pandangan ke langit-langit kafe, berusaha menenangkan diri. Dia berkali-kali mengerjapkan kelopak matanya agar air mata sialan tersebut tidak perlu meleleh. Akan tetapi, kenyataannya amat susah dan dia harus bersikap seanggun mungkin menahan tangis di tempat sebagus ini. Orang-orang yang penasaran bakal mengira dia patah hati.
Yah, jika itu bisa disebut dengan patah hati, maka jawabannya benar. Dia bakal patah hati ditinggal oleh kakak ipar tersayangnya. Satu-satunya kakak ipar perempuan yang dia miliki dan selalu menjaganya sejak dia masih belia.
"Kalau Mbak nggak jujur kayak gini, Mas Krisna malah bakal makin sedih. Dia seharusnya jadi yang pertama tahu." Gendhis menyusut ingus. Dia kemudian meraih tisu yang tersedia dalam sebuah wadah di atas meja lalu mengusap hidungnya. Setelah itu, dia mengambil satu lembar lagi untuk mengusap matanya yang basah.
"Mbak tahu." Kartika membalas. Dia berusaha kuat dan tersenyum. Tangannya terlihat amat kurus dan Gendhis merasa amat marah kepada dirinya sendiri karena tidak sanggup memberi tahu abang kandungnya sendiri.
Yah, dia tidak terlalu salah. Dia selama ini mengira Kartika sudah memberitahukan semua kepada Krisna. Pantas saja sikap pria tersebut tampak normal. Dia memang selalu memperhatikan dan merawat istrinya dengan amat baik, pikir Gendhis. Tapi, mungkin Krisna kelewat bodoh hingga tidak sadar kondisi Kartika sebenarnya amat kritis.
"Aku bakal telepon dia kalo Mbak nggak mau. Habis ini, kita segera ke rumah sakit. Jangan ditunda lagi, Mbak. Setiap menit sangat berarti."
Kartika menyentuh punggung tangan kanan Gendhis seraya menggeleng pelan seolah dia sudah tahu ke mana muara penyakitnya akan berakhir.
"Segera setelah kamu pulang, Mas Krisna bakal mampir ke sini. Dia sudah janji akan datang dan merayakan hari jadi kami."
Gendhis menyumpah di dalam hati. Bisa-bisanya dia tidak ingat tanggal penting tersebut. Tapi, yang paling tidak wajar adalah sikap Kartika yang kelewat santai sementara di dalam tubuhnya ada bom waktu yang siap meledak.
"Dhis nggak punya kado." Dia mengeluh sementara Kartika membalas dengan seulas senyum, "Nggak perlu. Justru kedatangan Mbak ke sini adalah untuk minta bantuan kamu. Kado pernikahan kami sudah Mbak persiapkan, tapi, agak sedikit bermasalah dalam membujuknya. Cuma, Mbak tahu, dia adalah kado terbaik yang bisa Mbak beri buat Mas Krisna dan juga kamu, Dhis."
Gendhis mulai tidak suka arah pembicaraan ini, terutama setelah telinganya menangkap ada sebuah objek lain yang muncul di antara dirinya dan sang abang.
"Dia? Kado apaan sampai Mbak pake kata dia? Dia ini maksudnya orang? Mbak mau ngasih orang buat hadiah? Terus apa hubungannya sama Dhis sampe Mbak bilang baik Mas Krisna dan Dhis bakal suka dengan kado itu."
Gendhis bisa merasakan kalau tangan kakak iparnya sedikit lebih hangat dan gemetar dari biasanya. Meski begitu, wanita berusia tiga puluh tahun tersebut tetap tersenyum dan Gendhis seolah melihat cahaya dan semangat terpancar dari sinar matanya.
"Kado pernikahan kami, adalah seorang pengganti yang paling pantas mendampingi Mas Krisna dan menjadi kakak iparmu. Kamu bakal sangat bahagia, bahkan setelah aku pergi nanti."
"Mbak jangan macem-macem, deh." Gendhis menarik tangannya dari genggaman Kartika dan menatapnya dengan raut wajah tidak suka. Bagaimana dia bisa memikirkan hal seperti itu di saat genting macam begini? Mendengarnya saja Gendhis sudah tidak sudi, apa lagi membayangkan Krisna menikahi wanita selain Kartika.
"Mbak pikir Mas Krisna gila mau kawin lagi sementara bininya sekarang sekarat? Kalau dia tahu…"
"Daisy Jenar Kinasih, dia Kakak cantik kesayanganmu, kan? Bukannya sejak dulu kamu punya mimpi, punya satu lagi abang supaya dia bisa jadi kakak iparmu."
Kartika mengurai senyum. Tangannya lantas meraih gagang cangkir bermotif bunga mawar di hadapannya, lalu menyesap isinya seolah dia sedang menikmati minuman paling nikmat di dunia.
"Mbak Tika, ja… jangan gila." Gendhis merasa saat ini ada yang mencekik tenggorokannya karena tiba-tiba saja dia jadi amat kesulitan untuk menghirup udara.
"Kalian bakal cocok." Kartika mengedipkan mata, mengabaikan akting sang ipar yang kini bertingkah seperti ikan yang menggelepar karena meloncat dari air.
"Mbak gila. Mbak Daisy dan Mas Krisna itu musuh bebuyutan. Menyatukan mereka dalam sebuah pernikahan sama aja kayak mengurung seekor kambing di kandang serigala. Kambingnya bakal mati, Mbak. Mati." Gendhis menyentuh lehernya sendiri dan mengabaikan perasaan bergidik ketika dia membayangkan dua orang tersebut disatukan dalam sebuah bahtera pernikahan.
"Benar." Kartika mengangguk setuju, mengacungkan cangkir berisi larutan teh Twinings dengan gula batu ke arah adik iparnya.
"Jika kambing itu mau mati dengan mudah, dia bakal mati. Tapi, aku yakin, daripada mati, dia pasti memilih seribu cara supaya tetap hidup. Dan, suamiku, akan kuat bertahan sekalipun dia harus berpisah denganku."
Dasar wanita gila, pikir Gendhis. Kartika Hapsari benar-benar wanita gila dan sinting karena bisa-bisanya dia memikirkan hal paling edan seperti ini menjelang hari-hari terakhirnya di dunia. Pertama, mencarikan seorang madu untuk suaminya, dan kedua, menganggap seorang pria yang super tampan dan gagah seperti Krisna Jatu Janardana sebagai seekor kambing di dalam kandang yang siap mati diterkam serigala.
***
*Hernia nukleus pulposus (HNP) atau herniated disc adalah kondisi ketika salah satu bantalan atau cakram (disc) tulang rawan dari tulang belakang menonjol keluar dan menjepit saraf. Penyakit ini sering disebut oleh orang awam sebagai saraf terjepit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro