7. Here Comes Trouble
Setelah berhasil memastikan bahwa Faye masih sanggup untuk berjalan kaki, Ray lekas menuntunnya menuju salah satu kafe yang terletak tidak terlalu jauh dari kawasan St. John's. Rupanya, Ray ingin mengajaknya makan siang. Faye sudah sempat menolak, berkata bahwa ia tidak selera memakan apa pun. Akan tetapi, Ray tetap pada keputusan awal, dengan opsi memilih makanan-makanan yang tidak terlalu berat. Bagi Ray, tidak ada alasan bagi Faye untuk melewatkan jam makan siangnya, apalagi dengan kondisi yang sedang tidak fit.
"Kamu duduk di sini aja dulu, Fay. Biar aku yang ambil makanannya."
Kurang merasa tidak enak apalagi Faye sekarang? Setelah membuat Ray harus repot mengunjungi dirinya-meski sevcara tidak langsung-kini lelaki dengan tinggi 185 senti itu malah membayarkan serta mengambilkan pesanan makanan miliknya di meja kasir. Dalam hati Faye kembali bertekad, di pertemuan berikutnya, ia akan mentraktir Ray lagi. Atau, lebih baik ia membuatkan bekal sendiri saja? Kira-kira, menu seperti apa yang Ray sukai?
"Nah, pesanan sudah siap, Nona Lafayetta. Silakan dinikmati," tutur Ray dengan gaya yang dibuat semirip mungkin dengan pramusaji professional. Faye menganga. Tidak percaya dengan pemandangan yang sedang dilihatnya kini.
"Kok, banyak banget, Mas? Kan, nafsu makan Faye lagi anjlok ke dasar bumi?"
"Banyak gimana, Fay? Cuma croissant sandwich, a bowl of cereal, sama vanilla latte aja, tuh? Kan, enggak berat kayak nasi?"
Faye hendak mengeluarkan kalimat protesnya lagi, ketika Ray lebih sigap menyela. "Kamu harus minum obat supaya lekas membaik, Fay. Tapi selain obat, tubuh kamu juga tetap butuh asupan nutrisi.
"Seenggaknya kalau kamu nggak nafsu makan makanan yang berat, yang aku pesanin ini aja udah cukup ringan, kok. Malah nutrisinya juga lengkap. Ada karbo, protein, dan lain-lain." Ray menyanggah protesan Faye dengan penuturan panjang, yang membuat Faye terkesima.
Lelaki itu... apakah dia bersikap sebaik ini terhadap semua orang, atau hanya pada Faye saja?
"Don't worry, Fay. Enggak masalah kok, kalau enggak habis. Yang penting udah ada nutrisi yang diserap sama tubuh kamu," tambah Ray lagi.
"Makasih banyak, Mas Ray, again, aku jadi ngerepotin, Mas."
"Sssshhhttt! Many times I've said, Lafayetta. Kamu enggak pernah sekali pun ngerepotin aku. Oke? Jadi, stop bilang 'maaf udah ngerepotin' dan semacamnya."
Faye mengangguk saja. Jika dipikir lagi, tidak ada salahnya menuruti permintaan Ray, yang memang sudah selalu perhatian padanya. Lalu, tanpa panduan lagi, Faye segera memotong sandwich. Melahap pelan-pelan, dan berusaha menelannya meski lidah terasa sedikit pahit.
Agenda makan siang pun berlangsung khidmat. Hanya saja, kali ini nyaris tidak obrolan seru seperti biasanya. Sesekali, Ray akan bertanya bagaimana rasa dari menu-menu yang sudah Faye pesan.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba Ray izin untuk ke toilet sebentar. Ada hajat yang tidak bisa ditunda lagi katanya. Sementara di jarak waktu yang tidak berbeda jauh, Faye juga mendapat panggilan video. Dari ayah dan ibunya. Segera, Faye letakkan pisau dan garpu yang dipakainya untuk melahap croissant sandwich.
"Assalamualaikum, Abi, Umi," sambut Faye ketika panggilan telah terhubung. Dapat ia lihat, ada binar bahagia di mata kedua orang tuanya tersebut.
"Waalaikumsalam warahmatullah. Anak Abi, gimana kabarnya? Sehat?" suara berat yang Faye rindukan mulai terdengar. Betapa Faye sadar, sudah lsma ia tidak menghubungi keluarganya.
"Alhamdulillah, Bi, meski enggak sehat seratus persen, tapi Faye dalam keadaan baik, kok."
"Beneran, Nak? Tapi wajah kamu agak pucat. Kamu sakit? Kalau didengerin lagi, suaramu agak beda lho, Nduk," gantian ibu kandung Faye yang bersuara. Seperti seorang ibu pada umumnya, insting beliau sangat kuat dan akurat.
"Ya, agak meriang sih, Bi, Mi. Tapi, enggak yang gimana-gimana, kok. Faye masih bisa beraktivitas. Lagian, jadwal kuliah belakangan ini juga nggak padat. Jadi, aman."
Sebisa mungkin, Faye mencoba untuk menenangkan hati kedua orang tuanya, agar tidak dirundung panik berlebih, apalagi kini mereka tengah dibentangkan oleh jarak dan waktu.
"Serius, Nak? Udah minum obat?"
"Tadi pagi udah, kok. Cuma yang sekarang belum, soalnya ini Faye lagi makan siang."
"Oh, ya? Lagi makan apa ini, Fay? Makanan di sana enak, nggak? Enakan mana sama masakan Umi?"
Sejenak, Faye mengurai tawa. Karena jika ditelisik lebih lanjut, sebenarnya Faye sangat suka makan, meski dalam jumlah yang tidak banyak. Ia akan memakan makanan apa pun yang terlihat menarik di matanya, asalkan halal. Selama berada di Inggris pun, Faye merasa cocok-cocok saja dengan menu andalan khas sini.
Tapi jika ditanya, makanan mana yang terbaik di antara menu super fancy yang Inggris miliki atau masakan sederhana buatan ibunya, jelas Faye akan memilih opsi nomor dua. Bagaiamanapun juga, sejak Faye terlahir ke dunia, masakan buatan ibunyalah yang membantunya tumbuh menjadi Lafayetta yang sekarang.
Selagi asyik berbincang ringan dengan Kiai Mahfud dan istrinya, Najwa, Faye sempat melupakan fakta bahwa dirinya tidak makan siang seorang diri. Ada Ray yang menemani.
"Sori agak lama, Fay, toiletnya full tadi."
Dalam sekali hentak, Faye membeku di tempat. Ia baru tersadar akan eksistensi Ray di dekatnya. Hal itu jua yang memantik rasa penasaran sang ayah, hingga menelurkan tanya dengan nada sedikit ketus.
"Suara siapa itu, Fay? Kok kedengaran seperti suara laki-laki?"
"Fay, kamu lagi makan sama siapa, Nak?"
Astaghfirullah, gawat! Faye kudu jawab apa ini?
Di sisi lain, entah disadari atau tidak, sejak kembalinya Ray dari toilet, lelaki itu telah mengamati gerak-gerik Faye dengan serius. Bahkan ia belum menyentuh lagi makanannya. Semakin Ray amati, semakin dia paham bahwa ada getaran takut yang tercetak di wajah ayu milik teman perempuannya tersebut.
Dengan hati-hati, Ray memusatkan pendengarannya. Dalam hati ia meminta maaf kepada Yang Maha Kuasa, Faye beserta orang tua. Dia tidak bermaksud menguping, Ray hanya ingin memastikan keadaan saja.
Dan setelah Albany Ray Antasena memahami titik permasalahan yang terjadi, lelaki berotak cemerlang itu lekas melabuhkan ujung telunjuknya di atas tangan Faye yang tidak tersorot kamera ponsel. Faye sempat terkejut, namun tidak menepis telunjuknya. Mungkin karena terlalu kalut.
"Fay, boleh aku ngomong sebentar sama orang tua kamu?"
Ya Allah, apalagi ini?
"Mas ..." Faye melempar tatapan penuh kekhawatiran terhadap Ray. Bukannya apa-apa, hanya saja, ia tidak siap untuk membuat Ray dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Ray tidak bersalah, Faye lah yang salah karena tidak berhati-hati atau memperkirakan hal seperti ini akan terjadi. Salahnya juga yang tidak pernah memberi tahu Ray bahwa ia merupakan putri dari seorang kiai terkenal, yang namanya sudah tersebar di seluruh penjuru negeri. Jelas, sosok beragama kuat seperti Kiai Mahfud menentang keras putrinya menjalin pertemanan dengan laki-laki asing-kecuali rekan-rekan sekolahnya dulu.
Memahami itu, dalam hitungan detik Ray segera menenangkan Faye. Meyakinkan bahwa tidak akan hal buruk yang akan terjadi. Dia hanya ingin berbicara, itu saja. Untung saja, Faye menurut. Sehingga, kini ia dengan berani memindahkan ponsel dari tangannya kepada Ray.
"Saya ingin berbicara empat mata dengan kamu. Tolong menjauh sebentar dari putri saya."
Tubuh Faye melemas kala mendengar abi-nya berkata demikian.
Ya Allah, tolong jaga hati ayah Faye. Tolong lembutkan emosinya, biar beliau enggak ngeluarin kata-kata kurang menyenangkan buat Mas Ray.
- To be Continued.
Malang, 30 Maret 2023
20.18 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro