Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. One Step Closer

"Anggap aja ini salam perkenalan dari aku, Fay. Kamu udah traktir aku kopi plus makan siang, dan sekarang aku bagi kamu sekotak kue manis favoritku. Adil, kan?"

Sungguh. Faye tidak pernah menyangka jika ia akan terus teringat dengan jawaban lugas dari Ray di ujung pertemuan mereka berminggu-minggu lalu. Bahkan kue bernama madeleines yang ia tahu berasal dari Prancis itu saja sudah habis di hari ke dua pasca pemberian.

Kini, sudah nyaris dua bulan mereka belum bertemu kembali-padahal menimba ilmu di college yang sama. Tetapi bodohnya, Faye tidak sekalipun terpikirkan untuk bertukar kontak dengan Ray saat itu. Akibatnya? Faye dilanda perasaan tak sabar ingin bertemu dan mendengar kabar pria itu lagi!

"Fay, ingat. Kamu ini anak Kiai. Jangan genit," peringat Faye pada dirinya sendiri. Ujung bolpoinnya tengah digerak-gerakkan tak tentu arah, di atas sebuah halaman kertas putih di dalam binder. Seperti sedang berusaha mengendalikan sesuatu dalam diri yang sulit untuk dikontrol. "Kalaupun kamu punya kontaknya Mas Ray, emangnya kenapa? Mau spam chat tiap hari dan ngelalaiin tugas-tugas sampai dapat nilai jelek?" gerutunya lagi.

Faye tidak tahu jika rasa penasaran dan haus komunikasi seperti ini akan terjadi padanya. Biasanya, sedekat apa pun ia dengan teman-teman sekolah, tak pernah sekali pun menemui fase menggemaskan begini. Ditambah lagi, ajaran ilmu agamanya sangat kuat. Faye tak pernah tumbang dan melanggar batasan yang sudah agamanya terapkan untuk hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tak memiliki ikatan sakral semacam kekeluargaan.

Lalu, kenapa sekarang ia malah belingsatan sendiri? Belum tentu di sana Ray juga terpikir ingin bertukar kabar dengannya, kan?

Larut dalam pikiran yang terlanjur kusut, membuat Faye berjingkat singkat saat sebuah nada notifikasi meluncur di gawai pintarnya. Sebuah pesan dari Danielle, kawan baru yang juga satu almamater dan asrama dengan Faye. Bertanya apakah ia sudah makan malam atau belum.

Lafayetta YS.
Okay, see you there, Dan.
I'm on my way now.

Setelah membalas pesan tersebut, Faye bergegas membereskan peralatan tulis dan laptopnya. Kemudian ia bergerak meninggalkan area perpustakaan menuju Seat&Eat-restoran yang menjadi titik temunya dengan Danielle. Dua gadis berbeda ras itu sepakat untuk makan malam di sana hari ini.

Begitu Faye tiba di lokasi, ia segera memasuki restoran yang tidak terlalu luas namun beraura homey tersebut. Langkahnya memelan seiring dua kakinya menapaki anak tangga yang akan mengantarkannya ke meja pesanan di lantai dua. Sejenak, Faye memindai. Mencari keberadaan teman bulenya berada. Kebetulan, malam ini Seat&Eat ramai pengunjung.

"Here, Laf!"

Sebuah teriakan dari arah teras membuat Faye memusatkan perhatian ke sana. Semakin dekat jaraknya dengan meja di mana Danielle berada, semakin jelas pula bahwa di meja tersebut, Danielle tidak sendirian. Ada dua orang laki-laki yang menduduki kursi di sebelahnya.

Siapa?

"Akhirnya kamu datang juga, Laf!" ujar Danielle dengan senyum penuh keceriaan. Gadis berdarah Inggris-Australia itu lantas mempersilahkan Faye duduk di sisi kirinya. Lalu, Danielle, dengan cepat mulai memperkenalkan Faye pada dua sosok lelaki yang tengah sibuk berjibaku di depan laptop, seolah kehadirannya tidak memengaruhi fokus mereka sama sekali.

"Boys, listen up! This is Laf, my dearest mate that I've been told you."

Laf sendiri merupakan nama kesayangan yang Danielle beri untuk Faye, yang bisa berarti dua hal; singkatan dari nama depannya yaitu Lafayetta, dan pelesetan dari kata love. Sedekat itu Danielle mengartikan kehadiran Faye dalam hidupnya, walaupun mereka baru kenal beberapa bulan.

Sementara itu, menyadari sedang dibutuhkan antensinya, dua laki-laki yang tampaknya sama-sama mahasiswa Cambridge tersebut pun akhirnya mendongak. Berniat mengucap salam dan berkenalan singkat dengan Faye, lalu kembali melanjutkan tugas sebelum makanan pesanan mereka tiba.

Namun... di momen itu juga Faye spontan membelalakkan mata. Begitu juga dengan seorang pemuda yang tengah duduk di seberang mejanya kini.

"Mas Ray?"

"Faye?"

Kekompakkan keduanya barusan otomatis menyita perhatian Danielle dan Oliver-pemuda yang duduk di seberang Danielle dan di sebelah Ray.

"Hey, kalian sudah saling kenal?" Danielle menjadi yang pertama bertanya.

Faye mengangguk. "Iya, Dan. Kami sudah pernah bertemu sebelumnya."

"Wow, impressive!" puji Oliver yang baru saja bisa mengatasi rasa terkejutnya atas fakta mengejutkan dari Faye dan Ray, yang ternyata sudah saling kenal. "Sejak kapan?" imbuhnya.

"Iya, sejak kapan, Laf? Kenapa kamu tidak pernah menceritakan hal ini kepadaku sebelumnya?"

"I did, Dani." Faye memiringkan tubuh ke arah sahabatnya. "Kamu ingat madeleines yang aku bagi denganmu dua bulan lalu?" Dengan sabar, Faye membantu Danielle menggali ingatan yang sudah gadis itu lupakan.

"Madeleines? What-oh! That pretty sweety madeleines! Aku ingat, Laf! So, it was you, Ray? The Madeleines Boy?"

Faye memukul pelan lengan Danielle karena sudah menyebutkan kata The Madeleines Boy penuh percaya diri. Padahal, julukan itu merupakan rahasia antara mereka berdua saja, yang Faye cetuskan saat menjawab pertanyaan Danielle tentang siapa yang sudah memberikan sekotak kue lezat kepadanya. Harusnya, Ray tidak boleh mendengar hal memalukan ini, bukan?

"The Madeleines Boy?" kutip Ray dengan nada yang membuat Faye ingin menghilang sekarang juga. Tuh, kan! Dani, sih, nggak bisa rem mulut dikit, huhu!

"Serius, kamu nyebut namaku di depan Danielle kayak gitu, Fay?" tambah Ray yang berakhir dengan gelak renyah, yang entah sejak kapan sudah Faye rindukan kehadirannya.

Faye meringis, sarat akan malu, penyesalan, sekaligus permohonan maaf. "Hehe, maaf, Mas. Habisnya waktu itu Dani kepo banget, nanyain kuenya dari siapa. Daripada nanti timbul reaksi yang gimana-gimana, jadi... ya udah. Aku sebut aja The Madeleines Boy, alih-alih namanya Mas Ray," terang Faye buru-buru. Wajahnya memerah. Malu sekali sudah tertangkap basah begini oleh Ray.

"Enggak apa-apa, kok. Cuma, aku nggak nyangka aja, sih, kamu bisa kepikiran nyebut aku kayak gitu."

Faye meringis lagi. Bisa nggak, ya, bagian ini di-skip aja? Faye malu banget, Ya Allah!

"Oke. Udahan minta maafnya, Fay. Aku sama sekali enggak marah, kok."

"Makasih, Mas."

Beruntung, sesi saling ingin tahu yang dilancarkan oleh Danielle dan Oliver, serta kecanggungan yang Faye rasa untuk Ray bisa diakhiri dengan cepat. Terima kasih kepada pramusaji yang mengantarkan pesanan mereka di waktu yang tepat.

"Aku dan Oliver sedang ingin memakan makanan Asia, Laf. Tadi Ray juga sudah setuju, karena dia merindukan nasi. Jadi, tidak apa, kan, jika aku terlanjur memesankan untukmu menu yang sama dengan kami?" Danielle memberengut lucu. Tampak jelas ada kekhawatiran di dalam wajahnya, yang gagal membuat Faye kesal dan malah tertawa pelan.

"It's okay, Dan. Selama itu halal, aku tidak masalah," jawab Faye penuh kelembutan. Mendengar itu pun Danielle kembali memasang wajah cerah bunga mataharinya. Tampaknya gadis itu senang Faye tidak marah karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan soal makanan yang hendak dipesan.


Di atas meja, telah tersaji satu paket main course yang Faye kenali sebagai makanan khas Korea. Ada sepiring penuh nasi chicken katsu, semangkok besar curry noodles, pickled zuccini, saus katsu, serta tiga biji mandu yang dihiasi sosis kecil dan rumput laut kering. Jujur saja, Faye skeptis bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Mengingat, porsi makannya yang tidak terlalu banyak, serta perubahan pola menu sejak kedatangannya di Inggris.

Oke, dimakan aja, deh. Pokoknya, jangan sampai nyisahin banyak makanan.

Empat mahasiswa tersebut pun mulai melahap makanan masing-masing. Sesekali, diiringi obrolan dan canda ringan. Hingga ketika seluruh piring dan mangkok nyaris bersih dari makanan, mereka pun sepakat untuk beranjak dari Seat&Eat.

Jarak dari restoran menuju asrama tidaklah jauh. Faye, Danielle, Ray, dan Oliver dapat menempuh perjalanan hanya dengan berjalan kaki. Di depan, pasangan kekasih yang baru resmi merajut hubungan asmara minggu lalu-Danielle dan Oliver-pun memimpin jalan. Sementara Faye dan Ray, mengikuti dari belakang.

"How's life, Lafayetta?"

"Everything's going well. Mas Ray sendiri gimana?"

"Sama. Ya, meski kadang-kadang kangen sama Indonesia juga, sih."

Jawaban tersebut terdengar sepele, namun sukses membuat alarm pemantik rasa penasaran Faye berdering nyaring. Dari sini saja ia sadar. Bahwa banyak hal yang belum Faye ketahui tentang Ray.

"Emangnya, Mas Ray di sini udah berapa tahun, sih?" tanyanya memancing. Ia berharap, obrolan kali ini tidak akan terasa canggung lagi, dan bisa mengalir murni seperti arus Cam River yang polos.

"Mau jalan tiga tahun, kalau dihitung dari zaman foundation degree. Aku term tiga sekarang, Fay."

"Oh, ya? Berarti cuma selisih setahun dong, sama Faye?"

Ray mengangguk pasti. Masih dengan senyuman yang Faye rasa... tidak akan pernah bisa lenyap meski digerus akhir zaman.

Kemudian, Faye kembali bertanya, "selama itu Mas Ray enggak mudik sama sekali ke... Indonesia? Eh, aslinya Mas orang mana, sih?"

"Jakarta. Tapi ada darah Surabaya sama Lampung juga. Dan, ya, sejak datang ke sini sampai sekarang, aku belum pernah mudik."

"Meski lebaran?"

Sekali lagi Ray mengangguk. Sekilas, dapat Faye tangkap ada gurat rindu di sela netranya hangat. Ia jadi membayangkan, bagaimana rasanya jika dirinya mengalami hal yang seperti itu. Lama tidak mengunjungi tanah kelahiran, orang tua, keluarga, dan teman-teman. Sekarang saja, Faye sudah rindu berat pada mereka semua. Ia bahkan sudah merencanakan untuk mudik saat liburan pasca term 1 selesai.

"Mikirin apa?"

Faye tersentak. Apa sudah selama itu ia melamun secara tidak sadar?

"Eh, iya? Mas Ray tadi ngomong apa? Maaf, Faye agak oleng." Dengan gerakan kikuk Faye menggaruk tengkuk yang tidak gatal barang sedikit pun.

"Kita udah sampai."

Hanya tiga kata yang Ray beri, tapi otak cemerlang Faye-yang entah malam ini mengalami gangguan apa-mendadak sibuk berpikir, memangnya ia dan tiga temannya itu merencanakan ke mana? Seingatnya kembali ke asrama, bukan tempat yang lain.

"Oh, ayolah! Kami sudah menunggumu, Laf," kata Danielle merangkul manja lengan Faye. Ia semakin bingung, kenapa ia ditunggu?

"Enggak mau masuk?"

"Ke mana?"

Oh, Faye lupa. Ia sudah pernah berikrar, untuk tidak bersikap bodoh lagi di depan Ray. Tetapi lihat ini. Saat ini, tanpa sadar ia telah melakukannya kembali.

"Of course at the dormitory. Emangnya, kamu masih ada tempat yang pengin dikunjungi dulu, Fay?"

Dan dengan tercetusnya ucapan tersebut, seketika Faye menelisik pemandangan sekitarnya. Betapa terkejutnya ia karena kini, tubuhnya sudah berada di halaman depan asrama.

Astaghfirullah, ini kapan nyampainya? Duh, Fayeeee, lagi-lagi kamu bersikap bodoh di depannya Mas Ray! Malu-maluin!

"O-oh, enggak kok, Mas. Maaf, Fay nggak ngeh kalau udah sampai."

Bibir tipis Ray hendak bersuara, tetapi diurungkan niat tersebut dan malah mengembangkan senyum manis seperti biasa. Jantung Faye serasa... tidak aman.

Tak lama berselang, baik Danielle dan Faye berpamitan pada Ray, serta Oliver. Sebab dari titik ini, mereka harus berpisah arah. Namun, saat Faye sudah melangkah beberapa meter dari titik semula, tiba-tiba panggilan dari Ray membuatnya terhenti.

"Iya? Ada apa, Mas?" tanyanya bingung. Ujung kedua alis bagian dalamnya kini bahkan sedikit terangkat.

"Ehm... Maaf kalau terkesan enggak sopan, tapi, Fay, apa boleh kita tukeran kontak? Biar bisa saling berkabar kalau ada apa-apa."

Meski diiringi alasan klise, tapi begitulah akhir dari serangkaian perjalanan hari Jumat Faye-bertukar kontak dengan seseorang yang beberapa waktu belakangan membuat pikirannya sering terdikstrasi.

- To be Continued.

Malang, 30 Maret 2023
10.32 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro