Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. At the Bridge Sighs, We Meet Again

Setahun penuh telah Faye jalani untuk melewati proses penyetaraan kurikulum pendidikan atau yang biasa disebut dengan istilah foundation degree, sebelum menjejaki dunia perkuliahan di University of Cambridge. Selama itu pula, Faye berusaha keras untuk selalu mendapat grade A+ pada A levelnya. Semua ia lakukan demi memenuhi salah satu persyaratan agar bisa melengkapi berkas pendaftaran di kampus impian. Pada fase ini, Faye memilih Cambridge Ruskin International College-salah satu kampus yang terintegrasi langsung dengan Universitas Cambridge-sebagai tempatnya menimba ilmu untuk sementara. Computing and technology adalah jurusan yang ia ambil.

Jujur, selama menjalani masa foundation degree tersebut, Faye sering dihadapkan pada perasaan bersalah akibat salah satu kebohongan besarnya terhadap sang keluarga. Namun sejauh ini, Faye selalu menyugesti diri sendiri untuk menganggapnya sebagai white lie dengan tujuan yang baik dan bukan diperuntukkan hal yang buruk. Walau ia sepenuhnya sadar, bahwa apa pun jenisnya, berbohong tetaplah tidak bisa dibenarkan.

Dalam diam, Faye menarik semua ingatan itu-momen saat sebelum keberangkatannya menuju negeri putih ditentukan. Faye ingat, ia sempat mengatakan kepada Abi, Ummi, serta dua kakak laki-lakinya, bahwa ia telah diterima sebagai mahasiswa baru di Cambridge. Padahal sejatinya, tidaklah demikian. Kala itu, yang sebenarnya terjadi adalah Faye belum dinyatakan secara resmi menjadi mahasiswa di sana. Melainkan, keberangkatannya menuju Inggris yang dijadwalkan lebih awal adalah untuk menempuh pendidikan penyetaraan kurikulum terlebih dulu.

Lantas, mengapa Faye nekat membohongi orang-orang terkasih yang menurutnya sangat berharga tersebut? Apakah ia terlalu berambisi ingin menembus dinding salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia, yang terkenal ketat dalam memilih calon siswanya?

Tidak. Semua perkataan tidak jujur yang sempat dilontarkan semata-mata hanya agar ia diizinkan untuk menimba ilmu di tempat yang menurutnya tepat. Faye tidak ingin dikurung dengan segala macam aturan, terlebih soal statusnya yang merupakan anak perempuan seorang pemuka agama kenamaan. Ia yakin, perempuan juga punya hak yang sama dengan laki-laki, dalam hal pendidikan maupun karier.

Perempuan boleh meraih ilmu dan profesi setinggi-tingginya. Sama seperti para kaum adam. Ya, setidaknya itu salah satu prinsip yang Faye pegang.

Lalu, alasan ke dua atas tindakan nekat tersebut adalah karena Faye tidak ingin membuat kedua orang tuanya merasa segan atau terbebani perkara biaya foundation degree-nya, yang jelas berbeda hitungan dengan biaya selama belajar di Universitas Cambridge kelak. Mengingat, seluruh biaya pendidikan dan akomodasi setahun terakhir sudah ditanggung oleh ketua Ikatan Alumni Tim Olimpiade Komputer Indonesia, yang juga memprakarsai terlaksananya OSN Bidang Informatika tingkat SMA yang Faye ikuti, yaitu Bapak Ramadean.

Faye sangat tahu, ayah dan ibunya tidak akan pernah mengizinkan Faye menerima perlakuan istimewa seperti itu dari siapa pun. Apalagi, keputusan Pak Dean-begitu Faye memanggil beliau-memberikan hadiah berupa pembiayaan pendidikan karena beliau ingin sepenuhnya mendukung bakat Faye di bidang informatika dan di luar lingkup OSN. Menurut beliau, Faye sangat berbakat di sana. Maka dari itu, Faye berusaha keras menyembunyikan fakta tersebut. Ia membiarkan orang tuanya terus mengirim sejumlah uang setiap bulan sebagai biaya pendidikan serta kebutuhan sehari-hari. Juga supaya tidak menimbulkan kecurigaan.

"Ya Allah, kalau nanti Faye dikasih kesempatan, Faye pengin banget ngejelasin ini semua dan minta maaf sama Abi, Umi, Mas Damar, dan Mas Fardan. Biar Faye enggak kepikiran terus kayak gini."

Di tengah jembatan ikonik milik Cambridge, Faye bermonolog. Gemericik arus Cam River yang terhampar di hadapnya kini, lengkap dengan balutan senandung angin yang berembus syahdu, membuat hati kecilnya merasa tenteram untuk sesaat. Apalagi, siang ini tidak banyak orang yang melintasi kawasan The Bridge of Sighs seperti hari-hari biasanya. Sebuah keberuntungan tersendiri.

"Excuse me."

Mendadak, Faye tertarik mundur dari gemerlap dunianya yang penuh warna. Alam bawah sadar pun kini sudah sepenuhnya berpijak pada realita. Semua itu karena satu kalimat ringan yang baru saja menyapa.

"Well, I'm sorry for disturbing you, but... can I ask you something?"

Lagi-lagi, suara merdu tersebut mengambang di sekeliling taman rungu milik Faye. Sebelum benar-benar merespons, ia berpikir keras dalam diam. Kok rasanya familier banget, ya, sama suara ini? Tapi siapa?

Dan dalam hitungan detik, posisi Faye sudah berbalik menghadap sang lawan bicara. Seutuhnya. Tidak lagi membelakangi sosok asing tersebut seperti sebelumnya.

Akan tetapi, di waktu yang bersamaan dengan keputusan untuk memberi reaksi, manik cantik milik Faye spontan terbelalak ketika mengetahui siapa pemilik dari suara renyah barusan. Sekali lagi batin Faye bersorak histeris. Sebab, sejak pertemuan pertama hingga saat ini, tidak sekalipun Faye bisa melupakan postur wajah hangat, lengkap dengan bingkai lesung manis di dua sisi pipi lelaki tersebut.

Ya, betul. Dia adalah sosok pemuda yang tidak sengaja bertabrakan kecil dengannya di London Heathrow setahun lalu.

Alhamdulillah, akhirnya ketemu! Plis, Fay, jangan lupa sama janjimu dulu buat traktir Mas Ganteng ini secangkir kopi hangat!

"I wanna ask you about this-"

Belum lengkap pemuda berpakaian rapi tersebut berucap, tanpa sengaja tiba-tiba Faye melontarkan celetukan yang otomatis membuat keningnya berkerut samar.

"-beneran Mas Ganteng di London Heathrow ternyata!"

Menyadari baru saja kelepasan bicara, Faye pun sigap mengatupkan bibir sejenak, kemudian berdeham singkat. "Sorry, I didn't mean to ignore you. So... what's going on?" ujar Faye setelah berhasil mengendalikan letupan bahagia di dasar hatinya.

"Kamu orang Indonesia?"

"Hah?"

Si pemuda tersenyum jenaka. Menerbitkan lekukan-lekukan tegas, yang membuat jari-jari Faye gemas ingin mencubit. "Jadi, kamu mahasiswi asal Indonesia juga?" tanya lelaki itu lagi dengan segaris lengkungan hangat yang tak kunjung pudar. Semakin dipandang, Faye jadi makin kecanduan. Astaghfirullah.

"Kok, Mas tahu kalau saya dari Indonesia?"

"Karena kamu barusan say something cute pakai bahasa Indonesia. Am I wrong?"

Mampuuuussss! Kamu sih, Fay, nggak bisa kontrol bibir. Mas Ganteng jadi denger kan, apa yang kamu omongin! Meski di bilang imut, tapi malunya ini lhoooo!!

Seluruh wajah Faye terasa memanas. Luapan rasa malu hanya mampu tersiar di dalam hati saja. Sudah cukup celetukan spontan tadi membuatnya nyaris kehilangan muka, jadi jangan ada lagi adegan konyol jilid dua atau riwayatnya di depan laki-laki jangkung itu bisa tamat.

"Maaf, kalau ucapan saya ambigu. Tapi, saya beneran masih ingat betul sama Mas. Setahun lalu, kita pernah ketemu di London Heathrow soalnya. Dan... saya beneran kaget waktu notice kalau orang yang baru saja menyapa saya ini ternyata orang yang sama dengan yang saya tabrak waktu itu," terang Faye pada akhirnya. Sudahlah. Ia memilih untuk menekan rasa malunya saja. Barangkali dengan begini, pintu untuknya bisa memenuhi janji sendiri terbuka lebar, kan?

Sejenak tidak ada respons berarti dari pemuda yang masih Faye ingat betul wujudnya hingga kini. Faye jadi menerka-nerka. Apakah ada dari ucapannya barusan yang terdengar aneh?

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena di detik ke lima puluh, dengan jelas Faye mendengar gelak tawa ringan terukir dari bibir milik sosok tersebut.

"Saya ingat. Kamu... gadis berbaju putih dengan jaket rajut ungu tua, dan hijab lilac itu, kan? Yang bertabrakan dengan saya saat kamu sedang fokus mendorong troli berisi tiga koper, sembari menikmati ragam keramaian London Heathrow."

Penuturan lengkap tersebut membuat Faye membeku dalam posisi. Otaknya mendadak kosong. Bingung harus mereaksi seperti apa selain sebaris kalimat berbunyi, "Mas ingat sama saya?"

Dan pertanyaan itu bersambut anggukan kecil. Lagi-lagi dengan tawa merdu yang entah mengapa terasa nyaman bagi Faye.

"Penampilan kamu hari itu nyaris sama seperti hari ini," imbuh si lelaki dengan santai, seolah mengerti akan keterkejutan dan kebingungan Faye.

Tanpa aba-aba, kepala Faye bergerak mematut diri. Mengamati penampilannya yang memang berwarna senada dengan hari ketibaannya di Inggris dulu. Bedanya, waktu itu Faye mengenakan rok berwarna putih, sedangkan kali ini celana kulot yang serupa dengan warna hijabnya.

Ya Allah, bahkan si Mas Ganteng ingat juga sama warna pakaian Faye hari itu! Boleh nggak, sih, Faye salto sekarang?

"Ternyata, Mas beneran ingat sama saya!"

"So, can we introducing ourselves now?"

Faye mengangguk mantap. Akhirnya, setelah ini ia bisa menyebut nama asli dari si pemuda alih-alih menggunakan dua kata keramat seperti sebelumnya; Mas Ganteng.

"Albany Ray Antasena. Panggil aja Ray. Kamu?"

"Lafayetta Yumna Shihab."

"Okay, nice to meet you, Lafayetta."

"Iya, senang juga ketemu sama Mas Ray. Tapi, manggilnya Faye aja enggak apa-apa, Mas. Biar nggak kepanjangan," jawab Faye seraya menyambut uluran tangan dari Ray.

Satu hal yang tidak Faye sadari saat ini adalah, bahwa ini kali pertama baginya untuk menjabat tangan seorang laki-laki selain Abi dan kakak-kakaknya. Ya, rasa kelewat gembira itu telah mengalihkan sebagian dunia Faye.

🦪🦪🦪


"Oh, iya. Tadi Mas Ray mau tanya apa, ya?" tanya Faye saat ia dan Ray sudah berada di sebuah kafe. Gadis itu benar-benar menunaikan janjinya untuk membelikan Ray secangkir kopi hangat, ditambah seporsi bagel sandwich yang sudah dibagi menjadi dua lalu diberi isian krim, buah pisang, dan blueberry-sebagai menu makan siang.


Seolah tersadar, Ray pun segera mengangsurkan kamera yang sejak tadi dikalungkan di leher. Menunjukkan salah satu hasil bidikannya kepada Faye.

Dengan gerakan hati-hati, Faye meneliti isi kamera yang disodorkan padanya. Di dalam layar kecil itu, tampak pemandangan indah The Bridge of Sighs dari sisi timur. Tepatnya, di bagian ruang terbuka yang berhias beberapa bunga cantik di sepanjang tepian sungai Cam.


"Fotonya bagus!" puji Faye dengan jujur. Matanya bahkan berbinar saat menelisik paduan apik antara bangunan jembatan dan gedung kampus yang terlihat begitu klasik, hijau gelap aliran sungai Cam, serta ragam warna cantik yang dihasilkan dari pepohonan, rumput, juga bunga-bunga yang nyaris memenuhi sebagian sisi bawah foto.

"Makasih buat pujiannya."

"Tapi, emangnya apa yang mau Mas Ray tanyain dari ini? Well, Faye enggak jago jepret-jepretan, lho, ya. Jadi, kalau Mas Ray mau minta saran atau pendapat, cuma kata bagus dan pintar aja yang bisa Faye kasih."

Ray tertawa. Entah sejak kapan dirinya dan Faye mulai berbicara menggunakan bahasa yang lebih santai. Tidak seformal seperti di pertemuan awal tadi.

"Coba kamu perhatiin bagian ini," ucap Ray seraya memperbesar ukuran foto hingga menampilkan setitik kecil siluet objek berwarna cerah. "Enggak apa-apa, nih, aku simpan foto ini, Fay? Soalnya, ada wajah kamu yang enggak sengaja kefoto pas lagi berdiri di sana," tambah Ray.

Lamat-lamat, Faye mengamati. Benar saja. Di dalam potret yang menawan itu, terdapat tangkapan dirinya yang sedang berdiri di atas jembatan The Bridge of Sighs, lengkap dengan tatapan mata yang aneh-akibat sedang melamun tadi.

"Lah? Kenapa Mas Ray tanya? Kan, foto itu punyanya Mas Ray?" Jujur Faye tidak mengerti. Kenapa hal seperti ini harus ditanyakan kepadanya?

"Privasi, Fay. Aku enggak mau nyimpan foto yang belum dapat izin dari orang yang wajah atau seluruh anggota tubuhnya enggak sengaja kejepret di lensaku, enggak peduli sebagus apa hasil fotonya."

Oh? Bijak juga, ya? Sampai-sampai, privasi orang lain yang nggak sengaja kefoto aja dipikirin. Padahal biasanya orang kan, ya tinggal jepret terus save aja. Nggak izin-izinan segala. Hati kecil Faye sibuk mengagumi fakta-fakta terbaru Ray. Kalau boleh jujur, Faye suka laki-laki yang berpikiran luas dan dewasa seperti Ray. Tipe orang yang enak untuk diajak mengobrol tentang banyak hal.

"Oalah, kirain apa." Faye mengembalikan kamera tersebut pada sang pemilik. "Enggak apa, kok, Mas. Simpan aja. Toh, di situ muka Faye juga enggak kelihatan jelas, kok. Mungil banget malah, kayak semut."

Baik Faye maupun Ray, sama-sama terbahak. Merasa lucu dengan jawaban yang barusan Faye aturkan.

Obrolan demi obrolan pun terus mengalir. Dari sana jua, Faye mengetahui bahwa ia dan Ray sama-sama mencatatkan diri sebagai mahasiswa University of Cambridge, lebih tepatnya di St. John's College. Bedanya ada di jurusan yang mereka ambil. Jika Faye mengambil computer science, maka Ray berada di jurusan lain yaitu History and Politics.

Kemudian tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Sudah dua jam lebih rupanya mereka bercengkerama. Dengan sopan, Faye pamit undur diri terlebih dulu. Meski setelah ini sudah tidak ada jadwal kelas, tetapi Faye harus bergegas menuju perpustakaan untuk menyelesaikan salah satu esai.

Dan sebelum benar-benar berpisah, Ray sempat memberikan kotak berukuran sedang yang diketahui berisi beberapa butir kue manis berbentuk cangkang kerang aneka warna.


"Madeleines?" tanyanya saat isi dari kotak tersebut terungkap. Ray menganggukkan kepala singkat. Membenarkan pertanyaan Faye, yang merupakan nama asli dari kue-kue aesthetic tersebut.

Awalnya Faye enggan menerima bingkisan tersebut. Tapi, setelah Ray menjelaskan jawaban yang cukup tegas dan menarik, ia lantas menyetujui, lalu berterimakasih sebanyak lima kali sebelum benar-benar hengkang.

Dan tanpa pernah Faye ketahui, saat punggungnya mulai tampak mengecil seiring dengan langkah yang terus menuntun kakinya menjauh, sebersit garis elok nan menawan justru terpatri di wajah kalem milik Ray. Cukup lama.

"It is nice to know and meet you in the right time, Lafayetta."

- To be Continued.

Malang, 29 Maret 2023
16.54 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro