3. The First Adorable Smile in London Heathrow
Sejak peristiwa perdebatan mengenai keinginan Faye untuk mengambil beasiswa di Cambridge University beberapa bulan lalu, situasi di kediaman Kiai Mahfud jadi tidak sama lagi seperti sedia kala. Segalanya telah berubah.
Terutama pada hubungan Faye dan ibunya yang sedikit merenggang.
Meski waktu sudah berlalu, dan tidak ada lagi aksi saling adu opini tentang perkuliahan jauh, nyatanya Faye tetap menjaga jarak. Raganya memang masih menjalankan rutinitas seperti biasa; membantu pekerjaan rumah, kegiatan penting di pesantren, dan lain sebagainya. Namun, yang membuat suasana terasa suram adalah perubahan dalam diri Faye yang hanya berbicara seperlunya saja; kepada semua orang.
Tidak, bukannya Faye membenci keluarganya. Bahkan kurang dari tiga hari pasca insiden tersebut, Faye sudah memaafkan segala sikap dan kata-kata yang kurang berkenan di hatinya. Akan tetapi, sebagaimana luka pada umumnya, yang meski sudah sembuh sekalipun, pada akhirnya sisa dari luka itu masih ada. Membekas. Sulit untuk dihilangkan. Itu sebabnya, Faye memilih untuk banyak diam saat di rumah. Langkah ini ia ambil sebagai upaya dalam hal menjaga hati, agar ia tidak mendapatkan kecewa untuk yang ke sekian kali dari orang-orang terkasihnya. Bisa dibilang, Faye menurunkan ekspektasi.
"Fay," panggil Abi. Pria berusia senja tersebut mengetuk pintu kamar Faye terlebih dahulu sebelum memanggil.
"Iya, Abi?"
"Lagi sibuk Nak?"
Faye menoleh sejenak ke belakang. Menatapi beberapa koper yang sudah tersusun rapi di sekitar ranjangnya.
"Enggak, Bi, Faye udah selesai kemas-kemas," jawab gadis itu dengan nada datar. "Memangnya ada apa?"
Abi mengangguk samar diiringi seulas senyum tipis. Ada cetakan tak terbaca yang terpatri di wajah beliau. Seperti ada rasa berat, sedih, dan bangga di waktu yang bersamaan.
"Enggak apa-apa. Abi cuma... enggak nyangka kalau anak perempuan Abi akan segera meninggalkan rumah demi menimba ilmu di negeri orang."
Dengan satu ucapan terima kasih, beliau menduduki kursi yang Faye angsurkan. "Hatimu sudah lega, Nak?"
Pertanyaan itu... entah apa tujuannya. Tetapi Faye merasa, akan ada pembicaraan yang sedikit menyentil emosi nantinya. Ia lantas memilih mengikuti jejak sang ayah untuk duduk di kursi yang tak jauh dari meja rias. Jemarinya bertaut, meremas ujung jaket rajut berwarna ungu gelap, guna mengurai rasa canggung.
"Lega soal apa, Bi? Jadi kuliah di Cambridge? Tentu. Faye lega karena akhirnya Abi, Ummi, dan dua kakak Faye approved soal keputusan ini—meski harus ada drama yang sebenarnya enggak perlu."
Mahfud mengangguk. Seakan mengerti bahwa hal itulah yang akan Faye ucapkan. "Alhamdulillah. Tapi, bukan itu yang Abi maksud, Nak." Jawaban ini justru membuat Faye bingung, dan mengangkat sebelah alis sebagai reaksi.
"Maksud Abi?"
"Tentang hatimu. Apakah di dalam sana dia sudah merasa lega? Atau masih berselimut emosi? Abi berharap, kamu meninggalkan rumah dalam keadaan sudah baik, Faye. Agar semua urusan belajarmu di sana berjalan lancar."
Oh, sepertinya Faye tahu apa yang dimaksud 'lega' di sini. Pernyataan ayahnya ini merujuk pada perasaan yang Faye miliki untuk keluarga yang selama ini sering menentang mimpinya. Singkatnya, Mahfud sedang bertanya apakah Faye sudah memaafkan beliau, ibu, serta kakak-kakaknya.
"Abi. Tujuh belas tahun Faye bernapas di bentala ini, enggak satu kali pun Faye abai sama ajaran-ajaran dari Abi. Faye masih ingat—dan akan selalu ingat—bahwa menyimpan amarah terlalu lama tuh, enggak baik. Malah bisa mupuk dosa.
"Dan kalau Abi bertanya apa Faye udah memaafkan Ummi, Abi, dan Mas Fardan, maka jawabnya udah. Sejak hari ke dua pasca pertengkaran malah. Jadi, Abi jangan khawatir. Insya Allah, Faye berangkat dengan hati yang udah terbebas dari amarah dan semacamnya," terang Faye. Tutur bahasanya lembut, penuh perhatian. Ia sendiri bahkan masih heran, bagaimana bisa hari itu ia mengeluarkan kata-kata keras terhadap keluarganya. Seperti bukan dirinya sendiri.
Pengaruh setan emang seseram itu, Lafayetta.
"Alhamdulillah. Berarti anak Abi sudah besar. Sudah bisa mengontrol diri dan emosi. Abi bangga padamu, Fay." Mahfud mengulum senyum puas. Tampak sekali bahwa sebuah beban berat sudah beliau lepaskan barusan. Semua tercetak di wajah yang tak lagi kencang seperti waktu muda. "Tapi, Nak, kalau boleh tahu... apa alasanmu masih mendiamkan kami sampai saat ini?" tanya Mahfud lagi. Beliau, masih penasaran kenapa putrinya bisa berubah jadi lebih pendiam. Jika boleh mengatakan yang sejujurnya, beliau merindukan sikap putrinya yang ceria dan penuh senyum.
Sedangkan Faye, ditanya seperti itu oleh ayahnya, ia malah tidak langsung merespons. Ia membuang pandangan, menghindari tatapan lekat sang ayah agar bisa merangkai kalimat yang tepat.
"Sebenarnya, bukan mendiamkan sih, Bi." Faye mengutip kata 'mendiamkan' menggunakan jari-jari lentiknya. "Faye cuma ngerem diri aja, kok. Biar enggak ngerasain kecewa lagi—kalau-kalau ada beda pendapat lagi sama yang lain. Tapi di sisi lain, Faye nggak mau nyakitin hati Abi, Ummi, Mas Damar, Mas Fardan,dan Mbak Alea, kok. Makanya, Faye milih buat sedikit narik diri aja, biar enggak kelepasan ngomong juga. Enggak ada maksud lain, Bi."
"Tapi, Nak, Abi rasa kamu enggak perlu—"
Belum sempat Mahfud menuntaskan kalimatnya, riuh suara saling bersahutan memanggil nama Faye mulai terdengar dari arah luar. Faye selaku orang yang sedang dipanggili namanya pun bergegas keluar, disusul sang ayah. Betapa terkejutnya Faye, ketika ia tiba halaman depan dan mendapati teman-teman sekelas, wali kelas, serta kepala sekolahnya semasa di SMA sudah berkumpul di depan rumahnya—lengkap dengan banner berisikan ucapan-ucapan penyemangat.
"Masya Allah, ada apa ini, Manteman? Kenapa semuanya pada ngumpul di sini?" tanya Faye dengan mata yang mendadak berair tanpa sebab. Ia terlalu terkejut dan tersentuh melihat penampakan yang ada di hadapannya.
"Kita semua di sini mau nganterin kamu ke bandara, Fay," jawab seorang remaja perempuan berambut ikal dan dikucir ekor kuda.
"Iya, benar, Fay. Kita juga mau nyemangatin anggota berharga ISTFO kita ini, yang bentar lagi bakal jadi mahasiswa di salah satu kampus terbaik dunia," timpal remaja lainnya yang Faye kenali sebagai Fiore, rekan sebangkunya sejak awal perkenalan di masa orientasi.
Sebagai informasi, ISTFO merupakan singkatan dari IS—Ilmu Sosial—Two Forever, yang menjadi nama grup chat kelas mereka. Kebetulan, di sekolah tempat Faye belajar tidak ada sistem rolling class. Jadi, sejak kelas sepuluh hingga dua belas mereka belajar bersama sebagai rekan satu kelas. Masuk bersama dan lulus bersama, adalah prinsip yang mereka pegang teguh hingga kini.
"Ya Allah, kalian enggak perlu repot-repot gini, Guys. Aku nggak apa-apa kok, kalau enggak diantar. Serius," kata Faye dengan segenap luapan air yang siap menetes dari mata. Ia terharu. Bisa-bisanya teman seperjuangannya itu merencanakan ide gila seperti ini. Terlebih, ada wali kelas dan kepala sekolah yang turut serta.
"Ini bukan hal besar, Lafayetta. Justru kami senang bisa mengantarmu,meski hanya sampai bandara. Prestasimu itu ikut membawa kami bangga, Nak."
"Betul apa yang Bu Sustrini sampaikan. Keikutsertaan kami malam ini untuk mengantarmu juga merupakan bagian dari rasa terima kasih kami, Lafayetta. Sebab kamu sudah lulus dengan nilai sempurna se-Jawa Tengah, dan menjadi salah satu siswa Indonesia yang berhasil menembus universitas besar seperti Cambridge. Dua hal itu menjadi suatu kehormatan tersendiri bagi sekolah kita. Maaf kalau hanya ini yang bisa kami berikan, ya?" jelas Pak Soedigyo, selaku kepala sekolah.
Tidak ada hal yang membuat Faye bahagia selain mendapati kenyataan bahwa banyak orang yang menyayanginya seperti ini. Bahkan mereka semua sudah bersedia memundurkan jam tidur, agar bisa ikut melepas kepergiannya menuju Inggris. Lesakan rasa syukur dan terenyuh bercokol dalam diri Faye, hingga tanpa sadar dirinya sudah terjatuh dalam pelukan sang ibu yang kini juga ikut meneteskan air mata.
"Ya sudah, kalau begitu, kita siap berangkat sekarang?"
Faye tidak tahu kapan koper-kopernya sudah berpindah ke jok belakang dua mobil yang ia tahu sebagai mobil milik ayahnya dan Pak Soedigyo.
Kenapa... waktu terasa berjalan amat cepat? Kalau begini, rasanya Faye jadi enggan untuk meninggalkan Semarang.
🦪🦪🦪
Setelah sesi pelepasan yang cukup membuat Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani sempat heboh beberapa saat, akhirnya kini Faye tiba juga di negeri putih. Lebih dari sehari penuh perjalanan udara sudah ia tempuh. Rasa lelah tentu menggerayangi tubuh idealnya. Tetapi, perjalanan belum usai. Masih ada satu setengah jam lagi yang harus Faye tempuh untuk bisa sampai di kota tujuan.
Selama proses menunggu koper-kopernya keluar, hingga berhasil membawa semuanya di atas troli besi berkualitas tinggi, Faye melewatkan detik demi detik dengan mengagumi keindahan serta keramaian London Heathrow—bandara tersibuk di Inggris—yang menyambut kedatangannya.
Wah, keren! Gede banget bandaranya!
Awalnya, selama di dalam pesawat Faye sempat dilanda kecemasan tentang penampilannya yang berbeda. Ia takut akan mendapati tatapan aneh dari orang-orang asing karena dirinya berhijab. Namun, kekhawatiran itu pupus kala manik hitam kecokelatan Faye menangkap beberapa wanita yang berpenampilan sama dengannya berada di sekitaran bandara.
Lega. Ternyata, ia tidak sendiri.
"Aw!" pekik Faye tiba-tiba. Tidak terlalu kencang, tapi sempat sukses membuat beberapa pasang mata mengarahkan tatapan terkejut ke arahnya.
Sibuk mengagumi dan mengamati tempat baru, membuat gadis bertubuh setinggi 165 senti itu kehilangan fokus saat berjalan hingga sebelah bahu sampai lengannya secara tidak sengaja menabrak seseorang—yang mungkin sama-sama tidak fokus seperti dirinya.
"I'm sorry," ujar Faye kemudian, sembari membungkuk rendah pada orang yang baru saja ditabrak.
Tidak lama, Faye mengangkat wajah. Ia hendak melihat bagaimana kondisi orang tersebut dan melanjutkan aksi permintaan maaf. Sayangnya, bibir Faye mendadak sulit digerakkan saat ia mendapati seraut wajah tampan nan elegan, menyambut penglihatannya yang tidak minus. Seumur-umur... baru kali ini Faye bertemu pria setampan itu!
Masya Allah, ganteng banget Mas ini, batin Faye. Di detik berikutnya, ia langsung beristigfar. Mengingatkan diri sendiri bahwa tidak seharusnya ia memandangi wajah lawan jenis dalam kurun waktu yang lama. Bukan mahram, dosa.
"It's okay. You didn't even hurt me tho," kata pemuda tersebut dengan senyumnya yang... menawan!
Untuk ke dua kalinya, Faye terpaku. Lesung pipi yang terpahat sempurna saat bibir pemuda itu mengulum senyum, menghadirkan getaran aneh di dalam dadanya. Lagi-lagi, Faye spontan beristigfar. Ia tahu, ini adalah ujian pertamanya selepas pergi dari rumah.
Jaga mata, Fay, jangan jelalatan! Nanti Allah marah!
"Well, okay, then. I have to go now. So... have... a nice day?!"
Faye tidak tahu harus berpamitan dengan cara seperti apa. Ingin melontarkan salam seperti yang biasa ia lakukan, takutnya pemuda itu tidak mengerti karena beda budaya serta keyakinan. Jadi opsi satu-satunya yang Faye pilih adalah dengan mengucap doa semoga hari pemuda tersebut dilimpahkan banyak kebaikan.
Dua puluh detik berikutnya, baik Faye maupun si pria asing tersebut lantas berpisah jalan. Faye mendorong troli yang memuat tiga koper besarnya menuju keluar halaman bandara, sementara pemuda manis tadi... entahlah. Faye tidak memerhatikan ke mana laki-laki yang terlihat berusia tidak beda jauh dnegannya itu melangkah. Yang pasti, sebuah minicab berwarna putih dengan aksen merah pada bagian logo serta nama perusahaan di sebagian badan mobilnya, terlihat sudah menanti. Faye sudah memesan taksi tersebut dari salah satu aplikasi layanan airport transfer sejak seminggu yang lalu.
Sebelum Lafayetta Yumna Shihab benar-benar hengkang dari kemegahan London Heathrow, sejenak, ia kembali memusatkan pandangan ke bagian dalam bandara. Entah mengapa, insiden kecil dengan lelaki tadi cukup meninggalkan bekas positif di hatinya. Spontan, Faye mulai merasa bersalah.
Mengapa tadi ia tidak membelikan kopi atau minuman hangat lainnya saja sebagai permintaan maaf?
"Pokoknya, kalau suatu hari nanti kita ketemu lagi, kamu harus beliin dia kopi, Fay! Ingat itu."
Setelah memperingati diri, Faye pun bergegas memasuki minicab pesanannya, lalu menikmati sisa perjalanan hingga tiba di kota tujuan, Cambridge.
- To be Continued.
Malang, 20 Maret 2023
02.54 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro