2. Faye's Big Dream
Terlahir di dalam lingkungan keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, serta terikat status sosial sebagai putri dari salah satu pemuka agama terbaik di kota, tidak lantas membuat Lafayetta menjadi besar kepala dan menjauhkan diri dari dunia luar. Ia tetap tumbuh seperti remaja seusianya, bersosialisasi layaknya masyarakat pada umumnya, dan memiliki mimpi yang juga ingin diperjuangkan seperti pemuda-pemudi lainnya. Benar-benar seperti manusia yang tak terbatas oleh status sosial.
Namun, satu-satunya hal yang menjadi pembeda antara Faye dan anak-anak kiai lainnya di sini ialah terletak pada cita-cita. Jika umumnya seorang gus atau ning ingin mengikuti jejak orang tua; entah sebagai ustaz, ustaza, dan lain sebagainya, maka berbeda halnya dengan Faye yang justru tidak ingin berkecimpung di dunia keagamaan ketika ia sudah dewasa nanti.
Sejak kecil, Faye sangat suka membaca buku, terutama tentang sejarah. Banyak buku yang sudah dilahap habis olehnya. Pun demikian dengan ribuan pengetahuan mengenai masa lalu yang sudah berhasil merebut hatinya. Baik itu sejarah dunia, maupun sejarah Islam. Dari situ, Faye sempat bercita-cita ingin menjadi seorang arkeolog. Ia ingin mendekati seluruh jejak sejarah di dunia, lalu menyerbarluaskannya pada masyarakat. Untuk apa? Tentunya agar kenangan-kenangan berharga yang pernah terpatri di atas bentala tersebut tidak mudah direnggut oleh masa.
Dan salah satu upaya Faye untuk bisa meraih mimpinya sejak dulu adalah dengan keluar dari aturan yang biasa mengikat putra-putri kiai atau semacamnya, yaitu; mengenyam pendidikan di sekolah swasta berbasis agama Islam atau bahkan mengabdi di pondok pesantren.
Tidak, bukannya Faye meremehkan instansi-instansi pendidikan swasta semacam itu. Hanya saja Faye paham, jika ia bersekolah di sana, maka ruang geraknya nanti akan sangat dibatasi. Faye tidak mau jalannya menuju mimpi harus menemui terlalu banyak hambatan. Apalagi, jika belajar tentang sejarah, akan terasa lebih menyenangkan jika bisa bepergian langsung ke tempat-tempat yang dijejaki oleh masa lalu, bukan?
Lalu, apakah keputusan Faye tersebut mendapat persetujuan dari pihak keluarga? Tentu saja tidak. Ada ummi dan dua kakaknya yang menentang. Menurut mereka, sudah sepantasnya bagi seorang ning seperti Faye untuk mengenyam pendidikan di sekolah berbasis Islam supaya bisa menguatkan kadar keimanan di tengah gempuran zaman yang semakin ngawur. Apalagi, abi juga merupakan kiai tersohor dan memiliki pesantren yang diminati banyak orang. Malu, jika putri bungsu Kiai Arifin Mahfud terpantau berbeda dari dua kakak laki-lakinya.
Dan... tentang menjadi arkeolog?
Tentu mimpi besar milik Faye ini ditertawakan. Menurut ummi, Adamar, dan Fardan, perempuan seperti Faye tidak perlu repot-repot menjelajahi dunia untuk mengulik sejarah yang sudah berlalu. Faye hanya cukup menjadi perempuan yang rajin, cerdas, kuat, dan patuh saja, agar suatu hari nanti bisa menjadi istri serta ibu yang sempurna bagi keluarga kecilnya.
Faye yang dulu merasa sangat terintimidasi hanya bisa menangis. Tidak berdaya melawan ibu serta dua kakak yang notabene lebih tua darinya. Faye tidak berani melawan, karena sejatinya ia tak pernah diajari untuk tumbuh menjadi anak yang kurang ajar.
Beruntung, abi menjadi satu-satunya pelita bagi Faye kecil kala itu. Dengan tegas beliau memperbolehkan Faye untuk bersekolah di sekolah umum, dengan catatan Faye tidak boleh menjadi arkeolog. Meski persyaratan tersebut terasa memberatkan, namun gadis berkulit seputih santan itu menerima. Yang penting ia tidak harus berjalan di atas stereotipe anak-anak kiai. Itu saja.
Hingga kini, Faye berhasil membuktikan pada ummi serta dua kakaknya bahwa tidak ada yang salah bagi seorang ning untuk bersekolah di sekolah umum. Nyatanya, Faye justru menjadi siswa berprestasi di salah satu SMA negeri di Semarang, dengan nilai-nilai akademiknya yang nyaris menyentuh angka sempurna di semua kategori. Jelas hal ini sedikit demi sedikit mengikis keraguan mereka, meski belum juga sepenuhnya bisa menerima keinginan si putri bungsu untuk bisa bergerak sebebas kupu-kupu.
"Kenapa wajah kamu kayak gitu, Fay? Kamu sakit?"
Fardan, kakak nomor dua Faye, mengerutkan kening. Setengah bagian tubuhnya tergerak maju untuk memeriksa kondisi adiknya yang kini terlihat aneh. Tidak banyak bicara, mata berkaca-kaca, dan tampak seperti gelisah.
"Enggak demam, tuh," ujar Fardan kemudian. Lalu, laki-laki usia dua puluhan yang gemar menggengam tasbih tersebut pun memilih duduk di sebelah Faye. "Little girl, ada apa? Kenapa kamu kelihatan cemas gitu? Ada masalah?"
Iya, Mas. Masalah yang sangat besar. Jawaban itu hanya diteriakkan Faye di dalam hati saja. Jika tidak, sudah pasti Fardan akan mereaksinya dengan berlebihan.
"Enggak ada, Mas. I'm fine."
"Serius? Tapi wajah kamu nunjukkin sebaliknya, tuh? Kamu enggak lagi bohongin Mas, kan, Fay?" tuduh Fardan penuh curiga. Dan jujur saja, Faye tipe gadis yang sukar berbohong. Wajahnya yang kalem dan cukup ekspresif mampu menunjukkan apa saja yang sedang dirasakannya. Entah itu senang, sedih, marah, semuanya.
Setelah cukup lama mendiamkan Fardan dengan sebuah tanda tanya besar, Faye pun kembali membuka suara. "Mas, kalau Faye mau ngomong, bakal didengerin, nggak?" katanya. Di balik lengan busananya yang panjang, genggaman tangan Faye menguat. Seolah ada rasa takut yang siap mempermaikannya sepanjang waktu.
"Ya, jelas didengerinlah, Fay. Masa enggak? Emangnya, kamu mau ngomong apa, sih?"
"Ya, ada. Sesuatu. Tapi... nanti aja, deh. Nunggu Ummi sama Abi pulang."
"Lah, kenapa gitu? Kamu ada masalah serius emangnya? Coba ngomong sama Mas, ada masalah apa sebenarnya, Fay? Kenapa harus nunggu Ummi dan Abi terlebih dulu?"
Faye kembali bungkam. Ia tidak ingin menyampaikan kabar yang mungkin akan membuat sebagian keluarganya mendadak jantungan ini, sebelum orang tuanya benar-benar tiba di rumah. Ia takut akan disudutkan lagi oleh Fardan, yang jelas-jelas pasti murka setelah mendengarnya nanti.
Gadis berhijab lilac persegi empat itu sudah berdiri dari posisi, bersiap untuk pergi ke kamar, jika saja suara abi tidak mencegah langkah kakinya. "Ada apa ini, Mas, Fay? Kok nungguin Abi dan Ummi segala?"
Sang kepala keluarga, bergerak mendekati dua buah hatinya. Disusul Najwa yang datang dengan sebuah tas berisi mukenah di tangan. "Iya, ada apa ini? Mas sama Fay bertengkar?" tanyanya. Gestur cemas dan bingung sudah terselip di antara wajah beliau yang ditumbuhi beberapa sulur keriput.
"Enggak, Abi, Ummi. Kami enggak bertengkar, kok." Fardan menjadi yang pertama menjawab. Dia lekas menyalimi kedua tangan orang tuanya dengan penuh rasa hormat, yang disusul oleh sang adik setelahnya. "Tapi, kayaknya Faye lagi ada masalah, deh. Dia enggak mau kasih tahu sebelum Abi dan Ummi tiba," imbuhnya.
Mendengar itu tubuh Faye yang semula sudah tegang, kini bertambah kaku lantaran belum terlalu siap untuk bercerita. Tetapi, jika bukan sekarang, kapan lagi Faye bisa memberitahukan kabar yang membuatnya gembira bukan main?
"Oh, ya? Ada apa, Nak? Kamu ada masalah apa?"
Faye tertawa kering. Satu-satunya pengalihan yang terlintas di pikirannya saat ini hanyalah dengan mengajak mereka semua makan. "Gimana kalau kita makan malam dulu, Bi, Mi? Faye lapar, nih."
Dan dalam hitungan detik, permintaan tersebut pun dikabulkan. Keluarga yang sudah tidak lagi lengkap itu—karena Adamar bersama sang istri tinggal terpisah—memulai kegiatan makan bersama. Sesekali diselingi obrolan kecil di dalamnya. Faye menikmati saja momen singkat itu sembari membiarkan hati sibuk menguatkan diri. Ia tahu, apa yang akan disampaikannya setelah ini pasti akan menuai reaksi yang tidak selaras dengan yang seharusnya.
"Jadi, gimana, Fay? Apa benar kata Masmu tadi?" Najwa menjadi yang pertama buka suara, sesaat setelah makan malam berakhir. Masih di meja makan memang, tapi sepertinya beliau sudah tidak sabar ingin mendengar keluh-kesah putrinya.
"Emm, gini, Mi, Bi..."
Faye gugup. Bulir-bulir jagung sudah bercucuran di balik hijabnya. Ya Allah, mohon bantuan-Mu supaya Faye bisa menyampaikan kabar baik ini ke keluarga. Dan tolong, buat mereka menerima keputusan Faye dengan mudah. Aamiin. Segelintir doa ia panjatkan terlebih dahulu, sebelum akhirnya ia mulai berkisah.
"Jadi, gini..." Lagi-lagi degup jantungnya yang tak beraturan membuat laju bibirnya tak bisa bergerak mulus. Getaran ragu itu, sangat sulit untuk dihentikan.
"Bicaralah, Nak. Abi, Ummi, dan Mas Fardan siap untuk mendengar apa pun yang ingin kamu sampaikan."
Seperti biasa. Suara lembut milik abi selalu berhasil menenangkan hati kecil Faye, walau sedikit. Perlahan, ia pun memberanikan diri untuk berbicara.
"Abi Ummi, Mas, tolong dengarin penjelasan Faye sampai akhir dulu, ya. Dan tolong jangan marah setelahnya," kata Faye dengan suara yang bergetar samar. "Jadi, ada yang mau Faye sampaiin. Dan di balik apa yang Faye akan sampaiin ini, ada sejuta harapan supaya Abi, Ummi, dan Mas Fardan bisa menerimanya. Karena ini juga udah jadi keputusan Faye."
Tiga orang dewasa di hadapan Faye hanya bergeming. Memilih untuk menanti saja apa yang sekiranya akan disampaikan oleh anggota termuda di keluarga mereka setelah ini.
Tak lama, jemari-jemari ramping Faye tergerak ke dalam saku. Mengambil sebuah kertas terlipat berhiaskan logo yang cukup asing di mata Mahfud, Najwa, dan Fardan, lalu menyodorkannya di atas meja.
"Surat apa itu, Nak?"
Faye sudah menggerakkan bibir hendak bersuara. Akan tetapi pergerakkannya kalah cepat dari Fardan, yang secepat kilat mulai menyela.
"Cambridge University? Bisa dijelaskan apa maksudnya itu, Fay?"
Bismillah. Tolong permudah jalannya, Ya Allah.
"Jadi... apa yang Mas Fardan lihat itu benar Bi, Mi. Ini surat pemberitahuan dari Cambridge University buat Faye." Perlahan, gadis yang masih dilanda rasa takut akan ditolak itu mulai mengangkat tinggi wajahnya. Ia siap untuk menjelaskan semua pertanyaan yang bersarang di kepala para kesayangannya. "Faye diterima di Universitas Cambridge, jurusan computer science. Surat hasil ini enggak dikirim langsung dari Inggris, sih, tapi Faye cetak fail aslinya yang dikirim secara online. Terus, di situ juga diinformasiin kalau perkuliahan akan dimulai di bulan Oktober nanti. Tapi, seenggaknya Faye udah harus berangkat ke sana pas bulan September, buat ngurusin administrasi, asrama, dan lain-lain. Oh iya, ini Faye dapat beasiswa, kok, bukan jalur reguler," lanjut Faye kemudian.
Tangannya tergenggam saling menguatkan. Seraya menanti, respons seperti apa yang akan diterima. Satu per satu, dilihatnya wajah ibu, ayah, dan Fardan. Ketiganya menunjukkan satu reaksi yang sama; kaget.
Wajar. Mereka baru saja mendengar kabar besar yang sebentar lagi akan membuat mereka harus melepas kepergian anak termuda ke negeri Raja Charles.
"Tunggu. Universitas ini ada di mana, Fay? Di Jakarta?" Najwa yang memang tidak banyak pengetahuan tentang universitas itu pun bingung. Seumur-umur, baru kali ini beliau mendengar ada kampus dengan nama seperti itu di Indonesia.
Alih-alih Faye, Fardan justru sigap menyahut pertanyaan ibunya dengan nada amarah yang tertahan. "Bukan, Mi. Universitas ini bukan terletak di Jakarta, tapi di Inggris."
Baik Mahfud maupun Najwa, keduanya semakin terkejut luar biasa. Bedanya, Mahfud bisa dengan cepat menguasai diri, sementara Najwa justru sebaliknya. Wanita berusia nyaris setengah abad itu malah tersulut emosi. Sejak dulu, saat Faye kecil, beliau memang tidak pernah suka jika Faye terlalu terobsesi dengan dunia luar.
"Apa-apaan kamu, Fay? Kuliah di Inggris? Yang benar saja!" teriak Najwa dengan mata memanas. Beliau sama sekali tidak menyangka, jika kebaikan suaminya yang membebaskan Faye selama ini telah disalahgunakan seperti ini.
Seorang perempuan belia merantau di negeri antah-berantah, dan menjadi kaum minoritas? Big no.
"Ummi, tapi, kan, Faye ke sana tujuannya buat belajar? Bukan yang lain. Lagipula, bisa tembus di Cambridge itu udah alhamdulillah banget, Mi. Soalnya, buat bisa jadi mahasiswa di sana tuh, saingannya jutaan orang dari seluruh negera. Ditambah, seleksinya juga ketat," jelas Faye dengan nada yang sebisa mungkin dibuat tangguh. Ia harus bisa meyakinkan keluarga—terutama ibunya—karena inilah satu-satunya kesempatan bagi Faye untuk bisa menggali ilmu sebanyak-banyaknya, meski harus di negeri seberang.
"Ini yang Ummi enggak suka kalau kamu harus sekolah di luar lingkungan agama. Kamu pasti dipengaruhi lingkungan nggak baik di luar sana."
Hening. Cepat atau lambat, Faye tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Well, kamu udah tahu jawaban kami, Fay. Jadi, case closed."
Sudut ego Faye tersentil kala mendengar jawaban sepihak dari Fardan. Lelaki itu, tidak menunjukkan eskpresi berlebih seperti ibu mereka. Tetapi dari suaranya saja sudah menunjukkan seberapa murkanya dia terhadap sang adik.
"Case closed?" tanya Faye mengulangi. Ia tidak terima dengan jawaban Fardan yang seolah-olah menjadi penentu. Bukankah masih ada abi yang lebih berhak untuk memberikan keputusan di sini?
"Closed buat Mas Fardan sama Ummi aja kan, maksudnya? Abi aja belum kasih jawaban, kok," timpal Faye lagi. Ia mengalihkan pandangan kepada sang ayah. Mengharap ada secuil kebijaksanaan dari abi, lalu mengizinkannya pergi. "Abi, gimana? Faye boleh, kan, kuliah di Cambridge? Faye mau kejar cita-cita, Bi."
Mahfud, selaku kepala keluarga, hanya bisa menghela napas. Berat sekali. Lagi-lagi beliau dihadapkan pada kenyataan yang mengharuskan dirinya untuk memilih; mengikuti kemauan istri dan putranya, atau mengabulkan keinginan si putri bungsu lalu membuat mereka saling berkonflik. Sebenarnya, siapa yang bersalah dalam kasus ini? Mimpi Lafayetta? Atau ego istri serta putranya?
"Fay, anakku. Kalau seumpama... rencana itu dibatalkan, apa bisa?"
Adalah jawaban yang akhirnya Mahfud beri dan berbalas tatapan kecewa dari Faye. Bahkan kini air mata sudah membasahi pipi gadis itu.
"Abi... juga enggak setuju Faye kuliah di Cambridge? Apa karena Inggris itu jauh, Bi? Atau... karena Abi lebih nurutin kemauan Ummi dan Mas Fardan yang pengin ngurung Faye di sini?"
"Jaga mulut kamu, Fay! Abi sama Ummi nggak pernah ngajarin kita untuk jadi anak pembangkang!"
"Kapan Faye pernah membangkang, Mas? Kapan?"
Tanpa disadari, Faye sudah menaikkan tangga suaranya. Tidak membentak, hanya menaikkan satu atau dua oktaf lebih tinggi dari biasanya.
"Selama ini, Faye selalu nurutin semua kemauan Mas Fardan, Mas Damar, dan Ummi. Faye nggak boleh jadi arkeolog, oke. Faye enggak boleh nugas di luar rumah, oke. Faye harus begini, iya. Faye harus begitu, siap. Jadi, di mana letak membangkangnya, Mas? Coba sebutin!"
"Kamu enggak mau mondok, approved. Kamu nggak mau sekolah yang berada di bawah naungan yayasan islami, iya. Kamu diturutin buat bersekolah di sekolah negeri dari SD sampai SMA juga iya." Fardan menjawab dengan suara yang sama kencangnya. Tampaknya ia tidak bisa lagi menahan emosi, hanya karena Faye ingin dimengerti.
"Cuma itu? Mas, bisa enggak sih, kita hidup pakai logika sedikit? Enggak semua hal harus dikaitkan sama agama, Mas. Abi juga pernah bilang kan, bahwa kebutuhan akhirat dan duniawi harus seimbang? Dan ketika Faye udah ngejalanin semua urusan keagamaan Faye, kenapa untuk urusan duniawi yang sebenarnya nggak buruk, malah ditentang kayak gini? Apa salahnya? Faye cuma mau nyari ilmu sebanyak-banyaknya. Faye mau jadi wanita sukses. Itu aja."
Untuk pertama kalinya, Lafayetta Yumna Shihab mengeluarkan isi hati. Tepat di hadapan seluruh keluarganya—minus Adamar—dan di waktu yang tepat. Sekali saja, ia ingin didengar. Ingin dimengerti dan didukung apa cita-citanya. Apakah itu salah?
"Cukup. Jangan berdebat. Kita bicarakan lagi besok," ujar abi menengahi. Jujur, beliau sendiri juga merasa sulit harus bersikap seperti apa.
"Maaf, Bi. Tapi Faye mau... semuanya dituntasin malam ini juga."
"Apalagi yang mau dituntaskan, Faye? Jawaban Ummi, Abi, dan Mas Fardan tetap sama. Enggak ada kesempatan untuk kamu pergi ke Inggris. Titik."
"Faye cuma mau menimba ilmu, Mi, apa itu salah?"
"Salah, karena kamu melunjak. Lagi pula, ada banyak kampus ternama di Indonesia. Kenapa pilih yang jauh? Kita enggak pernah tahu apa yang akan orang-orang sana lakukan terhadapmu, Fay. Kamu akan jadi minoritas di sana!"
"Ummi, sekarang ini zaman udah maju. Banyak orang yang tahu tentang Islam, dan menghormati agama kita. Apa yang Ummi khawatirkan? Faye yakin, kok, Faye akan baik-baik aja. Faye bisa jaga diri sendiri."
"Lafayetta! Kamu lupa posisimu sebagai ning, hah? Kamu itu harus bisa menjaga reputasi Abi! Kamu harus memberi contoh yang baik untuk para santri, dan perempuan-perempuan di luar sana. Setiap tutur dan tingkahmu itu akan dijadikan panutan sama mereka. Jadi, bersikaplah yang baik dan jangan membangkang!"
Faye mendengkus kesal. Lagi-lagi tentang statusnya sebagai anak kiai. Memang, apa fungsi dari menjadi seorang anak kiai, sih? Harus menjadi bodyguard demi bisa menjaga nama baik sang kiai? Atau demi gengsi agar dicap sebagai family goals?
"Maaf, Ummi. Faye cuma mau ingatkan, barangkali Ummi lupa." Faye mengambil jeda sebentar. Dadanya perlu dilonggarkan sedikit. Terlalu pengap akibat menangis dan emosi di waktu bersamaan. "Di mata Allah, kita semua sama, Ummi. Hanya makhluk kecil yang enggak punya kuasa. Status ning, gus, kiai, ulama, dan lain-lain itu ada, bukan untuk dibanggain atau disombongin. Tapi—"
"Jaga ucapan kamu, Fay! Jangan sok pintar demi melawan Ummi!"
Sebuah tamparan mengiringi sesi bentakan Najwa pada putrinya. Dan kini, untuk pertama kalinya juga, beliau menyakiti hati Faye lengkap dengan aksi kekerasan. Dalam sekejap, Najwa menyesali tindakannya.
"Fay... Faye, maafkan Ummi, Nak. Maaf, Ummi khilaf," ucapnya penuh rasa sesal.
Di sisi lain, Faye tidak menyangka akan mendapat pukulan seperti barusan dari ibunya. Bahkan tujuh belas tahun ia hidup, tak sekali pun wanita itu atau ayahnya pernah memarahinya dengan hebat. Baru kali ini saja.
Jika boleh berkata jujur, Faye lelah. Hatinya kecewa. Apa sebegitu kotornya dunia luar hingga Najwa sekeras itu ingin mengekang Faye di dalam tempurung berkedok keamanan?
"Jadi, ini jawabannya, ya?"
Najwa terlihat berusaha mendekat, tetapi secepat cahaya Faye menghindar. Sebelah tangannya masih memegangi pipi yang masih memerah akibat tamparan keras Najwa.
"Maaf harus ngomong gini, Ummi, Abi. Tapi... Faye udah capek. Faye capek nurutin semua kemauan Ummi dan kakak-kakak Faye. Dengan atau tanpa izin Ummi... Faye akan tetap ambil beasiswa di Cambridge. Kalaupun Ummi enggak terima... silakan hapus aja nama Faye dari daftar kartu keluarga."
Bukan ini yang sebenarnya Faye harapkan. Tetapi kekecewaan atas luka yang baru saja ibunya beri, membuatnya tidak bisa berpikir sejerni air telaga. Usai mengatakan hal tersebut, ia pun berlalu. Menuju kamar, mengunci pintu rapat-rapat.
Sesusah itukah, mendukung impian besar Faye?
- To be Continued.
Malang, 18 Maret 2023
17.45 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro