14. What's Wrong with Him?
"Mas Ringga juga lagi di Inggris sekarang. Kuliah S2."
"Siapa tahu kamu ketemu dia, kan, Fay. Wish you all the best kalau kalian sampai ketemu lagi. Hehe. "
Dua kalimat yang pernah Faye highlight dari chat panjang Fiore kapan hari kembali terngiang. Ia tidak menyangka, candaan sahabatnya soal pertemuan kembali dengan Dzaka Deringga yang dianggap tidak mungkin terjadi itu justru kini sedang terlaksana nyata.
Di depan mata Faye, tengah berdiri sosok setinggi 177 senti, dengan sweater cokelat yang melindungi tubuh dari udara dingin, serta rambut pendek yang ditata gaya koma. Penampilan yang agak jauh dari Ringga yang pernah Faye kenal.
Dulu, semasa sekolah, Ringga terkenal anti dengan yang namanya rambut panjang. Ketika batang-batang rambutnya sudah memanjang sekitar dua senti saja, dia sudah gatal ingin segera memangkasnya jadi lebih pendek. Tetapi kini, apa yang Faye lihat justru sebaliknya. Mantan seniornya di sekolah itu, tampak memelihara rambutnya lebih panjang dan diwarnai dengan cokelat yang lebih terang dari busananya.
"Mas Ringga? Masya Allah, gaya Mas sekarang beda banget lho, sama dulu. Fay hampir enggak ngenalin Mas Ringga. Apa kabar?" sapa Faye sedikit basa-basi. Sejujurnya, ia kikuk. Merasa aneh dengan situasi saat ini. Momennya sungguh tidak pas.
"Alhamdulillah, baik, Fay. Eh, tapi kamu kok di sini? Lagi liburan?"
"O-oh, enggak, Mas. Fay kuliah. Masih tahun pertama."
"Oh, ya? Lho, bukannya Abi enggak setuju kamu kuliah jauh, Fay? Gimana cerita nya kamu bisa sampai di sini? Dan lagi, kamu kuliah di mana? Jurusan apa?"
Sederet pertanyaan yang terdengar seperti sudah disusun sebelumnya itu mau tak mau membuat Faye jadi menjawabnya satu per satu. Bahkan tanpa sadar, Faye mempersilahkan figur kakak kelas panutannya tersebut untuk bergabung di meja yang ia dan Ray tempati.
"Uhuk!"
Aksi batuk sederhana Ray terbukti ampuh untuk mendapatkan atensi dari seorang Lafayetta. Nyatanya, kini gadis itu mulai sadar pada situasi, di mana ini tidaklah sendiri. Ada Ray, yang sudah ia abaikan selama beberapa menit untuk meladeni pertemuan tak terduganya dengan Ringga.
"Mas Ray enggak apa-apa?" Tangan Faye tergerak untuk mendorong gelas Ray mendekati sang empu. "Minum dulu, Mas," katanya.
Melihat hal itu, membuat sosok Ringga bertanya gamblang, "ini siapa, Fay? Suami kamu?"
Ray yang sedang meminum Blueberry Burst-nya pun tersedak. Pertanyaan ngawur yang sarat akan dia tersebut, bagaimana bisa diucapkan secara blak-blakan seperti itu? Oleh seorang lelaki pula.
Di samping itu, pipi Faye kian terasa panas. Tidak tahu apa penyebabnya. Apakah AC di ruangan ini dipadamkan?
"Bukan, Mas Ring."
Ada yang patah, tapi bukan kayu. Segaris patahan itu menggores ulu hati Ray, hingga terasa seperti sedang dicubit. Entah mengapa. Ada rasa kecewa ketika Faye menampik tanya bahwa Ray bukanlah suaminya. "Ini Mas Ray, temanku sekaligus kating di kampus. Mas Ray, ini Mas Ringga, kakak kelas Faye di SMA dulu." Faye lantas memperkenalkan keduanya. Karena bagaimanapun juga, kini mereka bertiga berada di satu meja yang sama. Tidak mungkin saling diam, bukan?
"Oh... alhamdulillah," ucap Ringga secara spontan, yang terdengar baik di telinga Ray hingga pemuda itu melemparkan sengat listrik mematikan lewat tatapan mata.
Faye yang tidak berpengalaman dengan situasi ini pun merasa awkward. Ia tidak tahu harus bagaimana mencairkan suasana. Karena jelas sekali terasa ada hawa dingin yang menyelimuti Ray dan Ringga.
"Oh, iya, Fay. Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu kuliah di mana?"
"University of Cambridge, Mas. Di St. John's college. Jurusan—"
"—computer science?" tebak Ringga dengan cengiran lebar, yang Faye yakini sudah lama tak terlihat.
"Kok, Mas Ringga tahu?"
Dzaka Deringga tersenyum penuh kemenangan. Seolah ini saatnya bagi dirinya melepas kartu AS yang sejak tadi sudah ditahan.
"We're on the same boat, Fay. Of course I know that you're here because your heart wants to be joining the departments."
🦪🦪🦪
"Seru ya, acara temu kangen dadakannya tadi," tuding Ray, sesaat setelah kereta yang akan membawanya dan Faye kembali menuju Cambridge bergerak. Lelaki itu bahkan tidak menatap wajah Faye— yang kebetulan duduk di kursi samping sebelahnya—saat berujar demikian. Dirinya justru bersedekap, bersandar pada jendela, seraya menatap pemandangan luar.
"Ya... lumayan, sih. Mas Ringga emang orangnya seasyik itu kalau diajak ngobrol, Mas. Lama banget Faye enggak ketemu sama dia. Jujur, kaget sih, bisa ketemu lagi di sini."
Sadar atau tidak, Faye melontarkan jawaban dengan nada yang di telinga Ray terdengar sangat antusias. Menyebalkan.
"Tapi yang lebih enggak nyangkanya lagi, bisa kebetulan banget kita satu almamater lagi, Mas, meski beda college."
Ya. Ringga tadi sempat menginformasikan pada Faye bahwa kini dirinya tengah menempuh pendidikan lanjutan di Universitas dan jurusan yang sama, tetapi beda kampus. Jika Faye berada di St. John's, maka Ringga berada di Clare college.
"Ya... ya. Emang seru, sih, ketemu teman lama di negeri orang," sindir Ray yang muak mendengar nama Ringga terus-terusan disebut oleh Faye. Tidak bisakah gadis itu menepikan dulu urusan Ringga dan berfokus padanya, partner perjalanan menyenangkan hari ini?
Ray sampai heran. Apakah momen manis dan tawa yang tercipta sepanjang hari tadi begitu saja lenyap dari diri Faye? Apakah... dirinya tidak seberarti itu bagi sosok Lafayetta?
"Mas Ray kok, nanggepinnya gitu, sih? "
Cukup peka juga kamu, Fay, batin Ray memuji. Salah satu hal yang membuat Ray ingin lebih dekat dengan Faye adalah karena gadis itu pintar, asyik diajak mengobrol, dan peka terhadap banyak hal. Tetapi, untuk kasus ini, apa Faye tidak sedikit pun memiliki kepekaan atas eksistensinya yang terluka karena diabaikan oleh sesi pertemuan singkat dengan masa lalu?
"Enggak apa-apa. Cuma capek aja. Mau istirahat."
Hanya jawaban itu yang Ray ucap. Singkat, jelas, dan... sedikit menusuk bagi Faye. Ia dengan cepat menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Ray. Refleks, satu tangannya tergerak untuk menyentuh kening Ray, memeriksa apakah ada demam di sana atau tidak, yang sayangnya hal itu spontan ditepis oleh Ray. Bukan apa-apa, Ray hanya terkejut. Karena sentuhan barusan, merupakan skinship terjauh yang pernah Faye lakukan padanya.
"S-sori, Fay. Aku enggak bermaksud nangkis tangan kamu... "
Di detik yang sama, timbul perasaan bersalah dalam hati Ray. Kenapa ia memiliki refleks yang buruk seperti barusan? Bagaimana bila Faye terluka?
"Nggak apa-apa, Mas. Kayaknya, Mas Ray beneran capek, deh. Istirahat aja, Mas. Nanti Faye bangunin kalau udah sampai."
Ray sempat menebak dalam diam, reaksi Faye ini... apakah benar hadis itu murni tidak tersinggung atas tindakan impulsif semenit lalu? Atau ia hanya untuk menenangkan Ray saja agar tidak semakin panik?
Ingin sekali Ray menanyakan hal itu langsung pada Faye. Tapi sesuatu dalam dirinya yang membara, melarang keras untuk buka suara. "Was it him?" Hanya kalimat itu yang berhasil terlontar.
"Ya?"
Ray tidak menggubris pertanyaan balik Faye, yang jelas-jelas tidak mengerti ke mana arahnya. Ray kemudian berpamitan istirahat. Siapa tahu, emosi aneh yang membingkai hatinya ini bisa padam setelah ia mengistirahatkan diri.
Beberapa menit berusaha, tak jua bisa Ray terlelap. Rasanya tidak nyaman tidur dengan posisi duduk seperti ini. Akan tetapi, suatu tindakan tak terduga tiba-tiba terjadi dan entah mengapa hal itu kontan membuat Ray merasa lebih rileks.
"Sleep well, Mas. Semoga musik ini bisa bantu Mas Ray lebih gampang tidur," tutur Faye setelah berhasil memasangkan sebelah Earphone-nya di telinga kanan Ray yang terhalang jaket atau topi.
-To be Continued.
Malang, 4 Maret 2023
20.36 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro