Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14

Part 14 didedikasikan buat @nalanala_ karena komentar terbaiknya di part 13.
By the way, I'm really sorry just published it today. This part makes me uncomfortable but also important to the plot. So, setelah menunda-nunda selama dua minggu, akhirnya publish deh.

Selamat membaca!
XS









Setelah bersabar menunggu barista mengisi cangkir bone china dengan cappuccino panas, Isti kembali menghampiri meja Jonan dan Fendi lagi. Duduk di sebelah Fendi, meskipun matanya diam-diam tertuju ke arah Jonan.

"How's life, Friend?" tanya Fendi sambil ndusel-ndusel manja di celah antara bahu dan leher Isti.

"Baik-baik aja, Fendi Sayang." Isti mengecup pipi cowok itu lembut dan cepat-cepat mengusap bekas lipstik yang nggak sengaja tertinggal di sana. "And congrats buat rencana jalan-jalan ke Hongkongnya. Jangan lupa bawa oleh-oleh yaaa!"

Jadi ya, di Insta Story kapan itu, Fendi mengumumkan rencananya menghabiskan cuti tahunan dengan berlibur bersama Ben.

"Is, kok lo kelakuannya Indonesia banget sih?" sindir Fendi dengan bibir manyun. "Tahu temennya traveling, langsung nodong oleh-oleh."

"Hahaha, kidding, kidding." Isti tersenyum lebar. "Gue ralat deh: gue doain semoga lo dan pacar bersenang-senang selama berlibur di sana. Cuman jangan sampai overbudget karena kebanyakan belanja di sana—tragic banget di sana foya-foya kayak Sultan, balik sini malah jadi gelandangan."

"Makasih buat sarannya, Rhenald Kasali." Fendi terkekeh. "Eh, by the way, baru-baru ini Ben juga nasehatin gue kayak gitu. Emangnya gue seburuk itu ya kemampuan ngatur keuangannya!"

"IYA!" seru Jonan dan Isti hampir bersamaan.

"That's fake news, Guys! Apa buktinya?"

Isti langsung mengangkat sebelah tangannya. "Lo bela-belain begadang demi ngikutin bidding celana jeans di eBay yang lo yakin banget masih sodaraan dengan yang dipake Britney di videoklip Pretty Girls."

Jonan mengernyit. "Jujur, baru kali ini gue denger tentang jeans itu. By the way, lo menang bidding-nya nggak?"

Fendi menghela napas panjang, sementara Isti mati-matian menahan tawa. "Kalah telak, Jon."

"Ada mbak-mbak dari Taiwan yang nge-bid tinggi banget—"

"Seribu lima ratus dolar," imbuh Fendi cepat.

"—dan berkali-kali lipat di atas budget yang disiapin Fendi."

"Ouch! Turut berduka ya, Man!"

"Tapi itu kan cuman sekali dan nggak menang lagi. Jangan diitung sebagai bukti kalo gue pemboros dong—"

"Jadi lo beneran lupa kalo gara-gara kalah bidding itu, lo malah impulsif beli boneka Britney Spears yang edisi From The Bottom Of My Broken Heart?"

"Euh—"

"Sama boneka Britney pake baju seragamnya Baby One More Time?"

"...."

"Dan boneka Britney versi Lucky? Dan dua boneka dari edisi You Drive Me Crazy karena seller-nya nggak jual terpisah?"

"Alis Jonan naik sebelah. "Hah? Habis berapa lo beli itu semua, Fen?"

Yang ditanya terlihat malu sekali. "Euh, kartu kredit gue sampai overlimit. Boneka-boneka itu collector's item semua...."

"And that's your answer, my dear friend." Isti menepuk pelan punggung tangan Fendi. "Makanya, saran gue: pas nyampe Hongkong nanti, kartu kredit langsung lo titipin ke Ben. Jadi lo-nya bisa lebih terkontrol belanjanya."

"Ugh! Jadi nyesel gue dah cerita semuanya ke lo, Is."

"No, you're not."

Fendi berusaha mempertahankan ekspresi cemberutnya, tapi nggak bisa. Sesaat kemudian, cowok itu menyikut pelan Isti sambil menyengir lebar. "No, I'm not," akunya.

Jonan ikutan tertawa juga.

"Anywaaaay, gue mau ngambil es buah lagi—dan ngegodain Irman yang ternyata lagi gencar pedekate sama Stella."

Isti tersentak kaget. "Wait. Stella... Stella Raumanen?"

"Iyaaaa!" Ekspresi wajah Fendi tampak begitu antusias. Ghibah really is his superpower. "Keduanya selfie bareng sebelum nonton film Marvel yang mana gitu. Ternyata oh ternyata, malam itu date-nya mereka berdua."

"Temen sebangku jadi cinta, rada klise nggak sih?" Jonan berkomentar.

"Klise AND sweet," koreksi Isti, yang diamini oleh Fendi.

"Panjang umur, itu dia si Irman... dan Stella!" Fendi langsung berdiri dari kursinya. "Fufufufu, sekali lempar, langsung kena dua target?! Makin semangat deh gangguinnya. Dah dulu ya, Guys. Nanti gue samperin lagi."

Jon dan Isti melambaikan tangan hingga Fendi benar-benar menghampiri teman lama mereka yang ternyata lagi pedekatean itu.

"Fendi bener-bener nggak berubah ya?"

"I kinda hope he'll never change," kata Jonan sebelum menyendokkan potongan semangka ke dalam mulut.

"Same," balas Isti sambil tertawa.

"Isti...." Jonan meletakkan gelas es buahnya dan berpaling ke arah Isti. Ekspresinya berubah lembut.

"Ya?"

Cowok itu nggak langsung menjawab. Dia terus menatap mata Isti dan cewek itu merasa seolah-olah Jonan sedang berusaha menyihir kesadarannya dengan kehangatan yang terpancar dari situ. Dilihatnya Jonan kemudian menekuk kedua tangannya dan menumpukan sikunya di atas meja. Isti tergerak untuk melakukan hal serupa.

"Glad to see you're smiling again," kata Jonan dengan suara lirih.

"Karena siapa itu coba?"





<<

Begitu menikah, Isti langsung diboyong Rakan ke Surabaya.

New place, new role as a wife.

Tiga bulan pertama, semuanya terasa indah. Mereka melakukan yang selayaknya dilakukan oleh pasangan yang baru saja menikah; sering janjian keluar, menonton film, jalan-jalan ke pantai. Rakan juga tampaknya menikmati perannya sebagai pemandu wisata. Dia mengenalkan Isti dengan berbagai tempat menarik di kota itu, dan beberapa kali mengejutkan istrinya itu dengan hadiah-hadiah kecil. Misalnya saja sepasang anting dari kulit kerang atau sebuket bunga ketika Isti mengira mereka hanya akan makan malam saja di Depot Bu Rudy.

Rakan Chaniago is a suitable husband.

Meskipun begitu, Isti mulai menyadari ada yang salah dengan kepribadian suaminya itu. Kali pertama firasat jelek itu muncul ketika mereka janjian bertemu di sebuah mall. Rakan nggak memberi tahu tempat janjian persisnya, jadi Isti berasumsi mereka akan bertemu di Main Entrance.

Handphone-nya mati setengah jam lalu, jadi dia nggak punya pilihan apa pun kecuali menunggu. Setelah empat puluh lima menit lebih, akhirnya Isti memutuskan untuk pulang saja. Tapi sebelum itu, dia butuh ke toilet dulu.

Ketika itulah dia berpapasan dengan Rakan. Raut wajah cowok itu benar-benar lain, berbeda dengan sosok hangat yang setia menemaninya selama tiga bulan terakhir. Meskipun begitu, mengira Rakan bersikap begitu karena kesal menunggu, Isti memutuskan untuk menyapanya dengan lembut, "Mas, aku kira kamu nggak datang—"

Cowok itu mencengkeram tangan Isti dan menariknya menjauh dari pintu toilet. Mereka berhenti di ujung lorong dan tiba-tiba saja Rakan merebut tas tangan Isti dan merogoh isinya. "Handphone kamu mana?"

"Ada tapi mati tadi."

Rakan menatapnya nanar, lalu membanting tas tangan itu ke lantai. Karena nggak diritsleting penuh, isinya tumpah ke mana-mana. Isti kaget, tapi memilih untuk membereskan barang-barangnya terlebih dahulu.

Setelah kembali berdiri, dilihatnya Rakan tampak intimidatif dengan berkacak pinggang di hadapannya. "Jadi orang tolol amat sih?! Kamu nunggu di mana dari tadi? Aku nungguin tauk!"

Isti refleks mundur dua langkah. Wajahnya mendadak seputih kapas. "A-aku nunggu di Main Entrance."

"Kita kan kemari buat makan di restoran di lantai tiga. Kenapa nunggu di sana segala?"

"Aku kira kamu bakal nemuin aku dulu, baru ke sana bareng."

Rakan berdiri membeku, matanya tampak liar di wajahnya yang merah padam. "Kenapa nggak nelepon?"

"Kan udah aku bilang, M-mas, handphone-ku mati."

"Nggak bawa power bank?"

"Ketinggalan di rumah—"

Isti terlalu takut untuk meneruskan ucapannya karena Rakan mendadak terlihat seperti monster. Cowok itu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan marah. Ketika berbalik ke arahnya, urat-urat di leher Rakan bertonjolan seperti tambang. "TOLOL!"

That word again.

Rakan sadar Isti tersinggung. Ketika mereka tiba di restoran, cewek itu memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat.

Setelah memesan dan membiarkan pelayan restoran meninggalkan meja mereka, Rakan lalu meminta maaf. Dia menggenggam tangan cewek itu penuh penyesalan, lalu berusaha menjelaskan alasan di balik reaksinya itu. "Kamu itu istriku, jadi wajar kalo aku khawatir berlebihan kayak tadi. Apalagi kamu kan baru di Surabaya ini—kalo sampai kenapa-napa, pasti aku yang salah karena nggak becus jaga kamu."

Susah untuk terus marah setelah itu. "Iya, Mas. Aku ngerti kok."

Rakan mengecup dahi Isti lembut, lalu tersenyum. "Glad to hear."

*


Isti menyimpulkan kalo suaminya itu memiliki masalah dalam hal mengendalikan temperamen. Kali kedua, ketika pagi-pagi Rakan menendang sisi tempat tidur untuk membangunkan Isti. Cewek itu benar-benar kaget saat mendapati wajah suaminya merah padam lagi.

"A-ada apa?"

"Kamu ngacak-ngacak meja kerjaku kan?"

"Hah? Nggaklah, mana aku berani."

"Udah, ngaku aja!"

"Beneran nggak, Mas!" Mata Rakan melotot dan tonjolan urat di lehernya semakin kentara. "Aku cuman nyapu dan ngepel ruang kerja kamu, tapi m-mejanya... sama sekali nggak aku sentuh."

"BOHONG!"

"Beneran, Mas!"

"Kalo gitu, ke mana berkas perusahaan Korea itu pergi?!"

Isti langsung beranjak dari tempat tidur, bermaksud untuk mengecek meja kerja itu. Tapi yang ada Rakan malah mengiranya mencoba menghindari konflik dengannya. Rakan menarik lengan kausnya, berusaha menahan langkahnya.

"Mau ke mana kamu?! Aku belum selesai ngomong!"

"Ke ruang kerjamu, Mas. Aku yakin berkas itu nggak ke mana-mana, cuman terselip—"

"Iya, kan kamu yang nyelipin."

"Astaga! Aku bener-bener nggak nyentuh. Tahu berkasnya kayak apa aja nggak—"

PLAKKK!

Tamparan Rakan mengenai telinga Isti. Jadi untuk beberapa waktu lamanya, telinganya berdeging dan dia merasa pusing hingga terduduk di lantai. Dia menatap Rakan tak percaya, tak lama kemudian air matanya keluar deras.

"Aku nggak tahu harus gimana ngeyakinin kamu," isaknya. "Aku bener-bener nggak tahu berkasmu ada di mana. Sumpah demi Tuhan, Mas!"

Cowok itu berjongkok di hadapannya. Jantung Isti memompa kencang di balik tulang rusuknya. Bulir-bulir keringat membasahi dahi dan pelipisnya. Tiba-tiba saja dia merasa sangat nggak berdaya. Yang bisa dia lakukan ketika itu hanya menunggu. Berharap Rakan nggak melakukan yang lebih buruk daripada tamparan tadi.

"Kamu nggak apa-apa kan?"

Rakan bermaksud menyentuhnya, tapi refleks di dalam diri Isti mendorong untuk menjauh. Cowok itu menahan tangannya tetap tinggal di udara. "Aku stres banget karena ada rapat penting hari ini. Aku bener-bener butuh berkas itu sebagai bagian dari materi rapat."

"M-makanya... tadi aku mau nyari. Tapi kamunya—"

"Aku tahu."

"...."

"...."

"Y-yawdah, kalo gitu aku ke ruang kerjamu ya. Kamu bisa ngawasin aku dari pintu buat maatiin aku nggak ngacak-ngacak meja kamu."

"Aku bantu berdiri ya."

"Nggak usah."

Rakan tampak kecewa, tapi kemudian mengangguk pelan. "Oke."

Lima belas menit kemudian, berkas sialan itu akhirnya ketemu juga. Nggak di meja atau di mana pun di ruang kerja Rakan. Berkas itu berada di dashboard mobil.

Rakan tahu dia salah, tapi Isti ingat sampai berangkat pun tak sepatah kata maaf pun terucap dari mulutnya.

*


Pola seperti itu berulang terus. Isti termakan janji Rakan akan berubah dan mengira tetap bersama suaminya itu akan membantunya mengendalikan temperamennya. Tentu saja ada masa-masa bahagia—mengingat itu membuat Isti yakin kalau pernikahan ini masih bisa diselamatkan.

Isti juga percaya kalo yang Rakan butuhkan adalah cinta dan kasih sayang. Dia juga percaya kalo Rakan memiliki masalah mental, entah depresi atau tertekan, yang menambah penting kehadirannya di sisi suaminya itu. Nggak sekali dua kali Rakan bilang akan memilih mati kalo Isti sampai terpikir untuk meninggalkannya.

Isti menikahi Rakan Chaniago bukan karena cinta—itu benar. Tapi cintalah yang membuatnya bertahan dengan perannya sebagai istri Rakan. Cinta juga yang membuatnya terus menganggap kalo Rakan adalah sosok suami yang sempurna—dan memendam segala yang buruk di dalam dirinya saja. Untuk beberapa saat lamanya, trik itu berhasil. Ternyata memang mudah untuk mengubur dalam-dalam segala kesulitan, sakit hati dan terluka, dan memilih untuk tampil di depan umum sebagai sosok yang kuat dan percaya diri. Apalagi sekarang Isti tinggal jauh dari saudara dan orangtua, juga teman-teman yang biasa jadi tempat curhat tentang apa saja. Ketimbang mendiskusikan ini-itu tentang keadaan rumah tangganya—"Ini bener nggak?" "Ada yang salah nggak sama suami gue?"—lebih baik tersenyum dan memberi jawaban standar: semuanya baik-baik aja.

Isti nggak sadar, yang dia lakukan justru semakin menggerogoti harga dirinya. Terlalu sering dia mendengar Rakan memakinya dengan tolol, goblok, idiot, dan sumpah serapah kebun binatang lainnya hingga suatu masa, Isti merasa semuanya itu benar adanya. Seperti dicuci otak, Isti merasa dirinya memang nggak bisa apa-apa tanpa Rakan. Malah, dia juga berpikir, hanya Rakan yang sudi bertoleransi dengan istri goblok dan tolol seperti dirinya.

Sebaliknya, semakin hari Rakan merasa semakin kuat. Apa saja bisa jadi sumber kemarahannya. Bahkan sesederhana pertanyaan di pagi hari, "Mau sarapan nggak, Mas?"

Cowok itu menurunkan koran supaya bisa menatapnya tajam. "Iyalah. Tolol amat sih pertanyaannya! Pagi-pagi ya harus sarapan."

Isti diam saja. Memilih untuk pergi ke dapur dan membuatkan sarapan.

*


Putra pertama mereka, Klaus, lahir di awal Juni. Momen bahagia itu nggak berlangsung lama karena langsung disibukkan dengan menyusui dan mengganti popok. Sebisa mungkin Isti nggak melibatkan suaminya, tapi itu membuatnya gampang capek.

Rakan nggak tahu—bisa jadi, nggak mau tahu juga. Suatu malam, sepulangnya dari kantor, Rakan minta jatah. Nggak berani membantah, Isti bilang akan menemui Rakan di tempat tidur setelah dia mandi.

Ketika selesai mandi, dilihatkan Rakan sudah tinggal bercelana boxer saja di tempat tidur. Dia menepuk sisi kosong, memberi isyarat supaya Isti datang mendekat. Cewek itu mengangguk tanpa suara, lalu melepaskan lilitan handuknya.

Isti memejamkan mata kuat-kuat ketika merasakan tangan Rakan merayap naik ke payudaranya. Meremasnya sambil terkekeh pelan, "Makin gede ya."

Isti berusaha tetap nyaman, tapi Rakan membuatnya terasa sulit. Cowok itu kasar, baik dari gesture maupun ketika memasuki dirinya. Dan cewek itu merasa lebih baik melakukannya dengan mata terpejam, karena dengan begitu dia tak harus melihat wajah Rakan saat menindih tubuhnya.

Ketika sebentar lagi menuju klimaks, Isti membuat kesalahan fatal. Dia menguap—sesuatu yang sebenarnya nggak bisa dia hindari karena kurang tidur terus sejak Klaus lahir.

"Jadi gitu ya kamu sekarang...."

PLAKKK!

Ekspresi Rakan membuat Isti ketakutan. Lenguhan penuh gairah selama setengah jam terakhir dengan cepat digantikan oleh dengusan kebencian.

"Jadi tidur sama aku ngebosenin ya buat kamu?!'

"Mas, Mas... please! Tadi itu bener-bener... di luar kendali aku."

"Di luar kendali gimana? Kamu nguap, Lonte! Apanya yang nggak jelas?!"

Isti mulai terisak. Nggak tahu harus bilang apa. Rakan nggak suka mendengarnya, memilih untuk membungkamnya dengan tamparan sekali lagi.

PLAKKK!

"Sekali lagi kamu nguap-nguap kayak gitu lagi, nggak bakal aku maafin."

Isti menelan ludah. Terlalu takut untuk menjerit dan akan membangunkan Klaus ketika Rakan menarik rambutnya dengan kencang. Sekujur tubuhnya lemas dan tak berdaya. Rasa sakit di area selangkangannya tak seberapa dibanding ketakutan yang membungkus tubuhnya ketika itu.

Sebaliknya, Rakan malah sangat menikmati situasi itu. Dia ejakulasi lebih lama dari biasanya, bahkan setelah selesai pun masih punya energi untuk pergi ke dapur untuk minum. Meninggalkan Isti yang melengkungkan tubuhnya di tempat tidur dengan gemetar dan bibir yang tak henti-hentinya melafazkan doa mohon keselamatan.

Paginya, setelah Rakan berangkat ke kantor, Isti menghubungi nama pertama yang terlintas di pikirannya. Orang yang paling dia percaya lahir dan batin.

"Halo, Is. Apa kabar nih mamanya Klaus?" sapa Jonan via Skype. Suaranya riang dan ramah seperti dulu.

Isti ingin membalas dengan senyuman, tapi sulit.

"Is, kenapa?"

Isti mencoba untuk bicara. "Euh, a-aku...."

"Pipimu kenapa?"

Seketika itu juga, Isti lepas kendali. Tangisnya pecah di tempat.

*


Jonan berangkat ke Surabaya hari itu juga. Memboyong Isti dan bayinya keluar dari rumah itu ke Singapura. Jonan juga mengintruksikan cewek itu untuk meninggalkan handphone-nya. "Berkaca dari kelakuan suamimu, kemungkinan besar dia nginstall app buat ngecek keberadaanmu."

Isti sama sekali nggak membantah.

Keduanya tinggal bersama Jonan selama sebulan. Ayah dan ibu Isti kemudian datang ke Singapura, awalnya marah karena termakan kebohongan Rakan kalo Isti minggat bersama selingkuhannya. Tapi kemudian Isti bercerita tentang insiden hari itu dan beberapa kali berhenti sejenak karena nggak sanggup membendung emosi.

Orangtua Isti bahkan diam seribu bahasa ketika Jonan menyodorkan hasil diagnosis dokter orthopedic di rumah sakit bereputasi baik di Singapura. Jonan cerita, begitu turun dari pesawat, insting cowok itu memerintahkan untuk langsung membawa Isti ke sana. Dan ternyata firasatnya benar, tangan Isti pernah patah karena perbuatan abusif Rakan, begitu juga dengan rusuk dan pergelangan kaki kanannya.

"Kenapa kamu nggak cerita sih, Nak, kalo kamu menderita kayak gini?" tanya ibunya sambil terisak.

"Aku pernah bilang kok!" jeritnya. "Tapi Ibu yang nggak percaya."

Beliau terhenyak seketika.

Ucapan Isti terdengar patah-patah karena tangisannya. "Waktu itu... Ibu malah bilang..., nggak baik... menjelek-jelekkan... suami sendiri...."

>>


So yeah, Isti punya mantan suami abusif dan Jonan membantunya bebas. Which inspires me  to remind all of my readers to be more aware of red flags. Seharusnya lebih cermat lagi memperhatikan tanda-tanda kalo cowok yang lagi deket sama kalian punya potensi abusif.

Ada yang mau share tanda-tandanya atau mungkin bercerita tentang pengalamannya? Monggo lho! This is a safe space for all of us.

Thanks for reading~


Sailor Pepperoni,

CHRISTIAN SIMAMORA

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro