Baab 27 Kota Tenteram
Malik dan yang lain sedang bersiap untuk takeoff. Dari bandara Halim Perdana Kusuma menuju Adi Sumarmo memakan waktu sekitar 1 jam 15 menit. Perjalanan yang dilakukan sepulang kerja, hari kamis tidak membuat semuanya terburu-buru karena telah dipersiapkan sehari sebelumnya.
Tiba di bandara Adi Sumarmo pukul lima lebih dua puluh menit sore hari, menjelang magrib. Karena pekerjaan yang telah mereka selesaikan di awal waktu, jadi bisa ijin pulang untuk ikut ke kampung Malik.
Adik perempuan Malik—Maya— yang menjemput mereka semua di bandara. Menggunakan mobil yang dibelikan Malik, Avansa. Maya cantik, sopan, terlihat sekali seperti orang Solo yang ramah dan lembut dari cara bicaranya.
“Mas Malik,” panggil Maya lalu mencium punggung tangannya. Maya bersalaman dengan yang lain juga. “Ini, Mbak Abel, ya?” tanyanya ketika bersalaman dengan Abel.
“Iya. Pasti Mas Malik udah cerita banyak, ya, tentang aku?” Mereka berjalan ke arah tempat parkir.
“Ndak, kok, Mbak. Tapi, banyak banget. Semua tentang Mbak Abel, Mas Malik cerita semua.” Melirik ke Malik, lalu melihat ke Abel lagi. Semua tertawa mendengar apa yang diucapkan Maya.
“Ojo cerito neko-neko, May!” (Jangan cerita macam-macam, May!) ancam Malik pada Maya.
Mereka telah naik mobil menuju Karanganyar. Melewati Solo, Malik sengaja lewat Solo Kota—Jalan Slamet Riyadi—agar Abel bisa melihat-lihat kota Solo walaupun sebentar.
Duduk di depan, di samping Malik, Abel banyak bertanya tentang kota Solo. “Itu taman SriWedari?” tanya Abel saat berada pada belokan Jalan Slamet Riyadi menuju Jalan Jenderal Sudirman.
“Iya. Nanti di depan ada juga Benteng Vastenburg.”
“Banyak tempat sejarah, ya, di kota Solo?” sahut Jojo yang duduk di bangku paling belakang.
“Iya. Ini ke kanan, kan, keraton Solo, Mas,” tunjuk Maya pada Jojo saat mobil melewati lampu merah.
“Nanti ke sini, ya. Kalo mau balik ke Jakarta,” seru Naura.
“Boleh, tuh. Buat upload foto di instagram.” Sinta menambahkan.
“Kalian, tuh, ya. Upload-upload terus kerjanya,” ejek Jojo pada Sinta dan Naura. “Liat, tuh, Abel. Anteng, enggak banyak omong, lagi gugup entar gimana ngomong sama mertua,” lanjutnya mengejek Abel.
Semua tertawa melihat Abel. Malik hanya geleng-geleng kepala, tangan kirinya menggenggam tangan Abel memberikan semangat.
Tiba di rumah Malik, rumah yang sebesar separuh dari rumah Abel dengan halaman yang luas belum di ubin—masih tanah—ditanami banyak pepohonan. Ada pohon melinjo, pohon pisang dan pohon-pohon kecil di dekat teras.
Masuk rumah Malik, depan ada ruang tamu dengan kursi kayu seperti jaman dulu, lalu sebelah kanan ada kamarnya. Masuk ke dalam ada tiga kamar dan ruang tengah lalu ke belakang dapur dan kamar mandi.
“Assalamu’alaikum,” sapa Malik memasuki rumahnya. Ada Bulik yang rumahnya di samping rumah Malik.
“Wa’alaikumsalam,” teriak Ibunya—Ike—dari dapur. Bapaknya yang masuk kerja malam, sudah berangkat. “Eh, Tole Malik wis teko.” (Eh, Tole Malik sudah datang.) Malik mencium punggung tangan Ike, Ike berteriak ke belakang, “Sa, rene! Tole Malik wis teko.” (Sa, sini! Tole Malik sudah datang.)
Tepat jam tujuh malam mereka sampai di rumah Malik. Udara yang dingin karena musim hujan membuat mereka sedikit kedinginan. Terlebih, udara di Karanganyar masih tergolong sejuk karena masih banyak pepohonan.
“Malik,” sapa Isa—Bulik Malik— Adik Ike.
Malik mencium punggung tangan Isa, lalu mereka mengobrol ke ruang tamu. “Ini Abel, Buk. Calonnya Malik.” Malik memperkenalkan Abel pada Ibu dan Buliknya.
Abel tersenyum, menyalami mereka dengan ramah. “Abel, Buk.”
“Iya. Saya mau ke belakang dulu,” pamitnya, mengajak Isa ke dapur.
Malik memberitahukan kamar yang akan mereka tempati. Malik dan Jojo tidur di kamar depan, samping ruang tamu. Abel dan Maya tidur bersama di kamar tengah, lalu Naura dan Sinta tidur di kamar depan, dekat kamar Malik. Karena kamar yang dekat dengan dapur itu kamar orang tuanya.
Sebelum tidur, mereka makan malam bersama. Abel lebih banyak diam karena gugup dan takut dengan Ike. Terlihat seperti galak dari raut wajahnya. Isa telah pulang karena ada tamu yang datang ke rumahnya.
Bicara soal Ike, umurnya sekitar 55 tahun, suaminya, Agus. Bekerja sebagai buruh pabrik di usia yang sudah senja. Selisih lima tahun dengan ibu malik.
Saat pagi hari, Bapak Malik sudah pulang dari bekerja. Naura, Sinta, Jojo dan Maya sudah pergi sebelum Abel bangun. Mereka ke alun-alun Karanganyar dengan jalan kaki sambil jogging untuk melihat-lihat indahnya kota Karanganyar.
Malik yang sudah mengobrol dengan Bapaknya, menyuruh membangunkan Abel.
“Bel, bangun.” Malik mengelus lengan Abel, namun hanya menggerakkan tangannya untuk menyingkir. Dengan pelan, Malik mencium pipi Abel. Ini untuk pertama kali dirinya berani mencium Abel. Rasanya seperti terbakar gairah, dirinya seperti dituntut untuk melakukan lebih dan lebih. Abel masih belum bangun
Malik melihat ke arah pintu, tidak ada orang. Malik mencoba mencium bibir Abel. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, entah mendapat bisikan setan dari mana, Malik menutup pintu untuk mencium bibir Abel lagi.
Kedua kalinya Malik mencium bibir Abel hingga terbangun. Abel dengan wajah syok hanya berdiam diri saat melihat Malik tepat di depan matanya. Dengan jarak yang sangat dekat, hanya lima centimeter telah memagut bibirnya.
Bibir tipis nan kenyal itu membuat Malik meminta lagi dan lagi, hingga percumbuan mereka memanas, Abel telah duduk di hadapan Malik dengan memiringkan muka untuk lebih menikmati pagutan mereka. Tangannya berada di belakang leher Malik, tangan satunya meraba bagian dagu.
Setelah lima menit bercumbu, Abel melepaskan kecupan mesra dengan napas terengah-engah. Malik meminta Abel untuk merapikan pakaiannya dan segera pergi mandi.
Malik duduk di ruang tengah, depan televisi sembari menunggu Abel mandi. Ike sedang ke pasar membeli sayur. Tidak ada orang di rumah kecuali Malik dengan Bapaknya.
Selesai Abel mandi, rombongan dari alun-alun telah pulang. Membawa jajanan pasar yang dibeli di pinggir jalan, Jojo memberikannya pada Malik.
“Nih, oleh-oleh dari jogging.” Jojo duduk di sebelah Malik. Naura dan Sinta mengekor di sampingnya.
“Abel baru mandi?” tanya Sinta pada Malik.
“Iya. Entar jadi ke Grojogan Sewu, enggak?” Malik bertanya pada semuanya.
“Jadilah, Mas. Mbak Abel pengin banget ke sana katanya,” jawab Maya dari dapur.
Mereka berencana hari ini ke Grojogan Sewu, besok ke Keraton Solo, lalu hari minggu adalah persiapan untuk pulang.
Berada di rumah Malik membuat semuanya betah, karena tampak asri dan sejuk. Orang-orang sekitar juga ramah dan sopan.
Tak terasa sudah hari terakhir berada di Karanganyar, rumah Malik membuat semua tampak berat meninggalkan suasana kekeluargaannya. Bapak Malik yang libur kerja ikut mengantar ke Bandara.
“Ati-ati neng Kuthone uwong, Le. Delo engkas keluarga besar nyusul dinggo lamaran neng Nduk Abel.” (Hati-hati di Kota orang, Le. Sebentar lagi keluarga besar akan menyusul buat lamaran ke Genduk Abel.) Agus memeluk dan memberi wejangan pada Malik.
Semua berpamitan terutama Abel pada Ike. Masih terlihat kaku dan takut saat berhadapan dengannya. Ike yang susah untuk membaur, membuat Abel merasa rikuh terhadapnya. Ia juga datar, menjawab apa yang menjadi ditanyakan, tidak ada basa basi. “Ibuk, Abel pamit dulu. Maaf kalo merepotkan selama menginap.”
“Iya, enggak apa-apa.”
#Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro