Kise Ryouta
Hwaaa!!!!!!! Oke, otaknya Alfi mulai rusak nih, gara – gara tugas Kimia yang bejibun -_- maaf ya semua, karena frustasi, part ceritanya Kise jadi kena imbasnya. Please… jangan bully saya! :v
Peace and Love all! :*
Happy reading! ^_^
14 Maret 2015
Aku kira, kehidupan SMP ku akan biasa – biasa saja, tapi ternyata kehidupan SMP ku yang tenang terganggu saat ada pria popular yang menyatakan cintanya padaku. Cih! Yang benar saja. Siapa dia? Berani – beraninya dia menyatakan cinta padaku.
Aku tak peduli sepopuler apapun dia dan sekaya apapun dia, aku tidak akan pernah suka kepadanya. Yang benar saja! Sikapnya seperti anak kecil, gak jauh bedanya sama Airi yang berisik dan childish itu. Memuakkan.
Dan entah ketiban sial apa aku hari ini, aku harus duduk bersebelahan dengannya! Yang benar saja! Kenapa mendadak si tsundere lumut itu duduk di tempat pria childish itu. Dan dengan songongnya, dia menyuruh si pirang untuk duduk di sebelahku. Astaga… apa aku juga harus bawa lucky item seperti Midorima, agar terhindar dari kesialan ini?
Tuk! Sebuah pulpen menimpuk kepalaku dan mengembalikanku ke dunia nyata lagi. “Kau melamun lagi ya?” tanya ketua kelasku, Hanako.
“Tidak,” jawabku datar.
“Coba jelaskan apa yang tadi aku umumkan!” perintahnya.
“Festival budaya, kelas kita akan bikin café.”
“Baiklah kalau begitu, cepat jalan!” perintah Hanako sambil menatapku tajam.
Jalan? Jalan kemana?
Tiba – tiba saja ada orang yang mencubit pipi kiriku, “aww!” pekikku kesakitan.
“Makanya, kalau lagi rapat, jangan bengong,” sekarang Hanako malah mencubit kedua pipiku dengan gemasnya.
“Aw! Hanako-chan, berhenti,” aku menepuk – nepuk tangan Hanako yang mencubit kedua pipiku.
Ia melepaskan cubitannya. Aduh… pasti pipiku merah deh, gara – gara dia. “Ya sudah, cepat sana pergi!” usir Hanako.
“Kemana?” tanyaku dengan wajah datar.
Kali ini ia menjewer telingaku hingga membuatku berdiri. Setelah berdiri, ia melepaskan jewerannya, “cepat sana! pergi belanja perlengkapannya!” ia mendorong tubuhku. Sialnya badanku tidak sampai jatuh ke lantai, melainkan jatuh ke pelukan si pirang yang menyebalkan.
“Chiekocchi tidak apa-ssu?” tanya Kise.
Aku langsung bangkit dan mendorong tubuhnya, “jangan pegang – pegang.”
“Chiekocchi jahat-ssu,” ucapnya dengan menunjukkan raut wajah yang sedih.
“Kalian berdua, kalau tidak pergi sekarang, akan menerima akibatnya,” Hanako sudah menunjukkan ekspresi bak raja iblis yang siap menerkam siapa saja. Kalau sudah seperti ini, sebaiknya aku cepat – cepat pergi.
“Baiklah,” aku langsung berjalan keluar kelas.
Saat berjalan di lorong kelas, aku baru ingat, aku kan tidak tau apa yang harus dibeli? Bodohnya diriku. Aku langsung membalikkan badanku untuk kembali ke kelas.
BUK! Aku tak sengaja menabrak seseorang. Aduh… kayaknya hari ini aku sial banget deh.
“Chiekocchi tidak apa-ssu?” tanya Kise sambil memegang lenganku agar tidak jatuh.
Aku melirik kedua tangannya, “lepas.”
Kise langsung melepaskan tangannya yang memegang bahuku, “maaf-ssu.”
“Sedang apa kau disini? Mengikutiku?” ucapku dengan dingin.
“Kan tadi Hanakocchi menyuruh kita untuk membeli perlengkapannya-ssu…” jawabnya.
Aku mendengus sebal, “kau bawa catatannya?”
“Bawa-ssu! Aku tadi sudah mencatatnya-ssu!” ucapnya dengan ceria sambil memamerkan catatannya padaku.
Aku langsung pergi meninggalkannya.
“Chiekocchi! Tunggu aku-ssu!”
***
Sesampainya di mall, aku langsung menuju ke tempat yang menyediakan barang – barang dekorasi yang ada di dalam list.
“Chiekocchi! Tunggu aku-ssu… jangan cepat – cepat jalannya-ssu,” rengek Kise yang tertinggal jauh di belakangku.
Aku menghentikan langkahku. “Dasar lelet,” cibirku.
“Chiekocchi… jalannya jangan cepat – cepat dong… kan aku harus mendorong kereta belanjaannya-ssu,” kata Kise setelah sampai di sebelahku.
“Itu sih kamunya saja yang lelet,” aku berjalan lagi, tapi kali ini aku berusaha menyamai langkahnya, agar tidak berisik dan merengek meminta ditunggui.
“Eh, itu kan Kise-kun!” ucap seorang gadis yang barusan aku lewati.
“Iya! Iya! Itu Kise-kun!”
Dan tiba – tiba saja aku dan Kise sudah dikerumuni oleh para gadis yang meminta foto dengan Kise.
Aksi saling mendorong satu sama lain pun terjadi. Saat bersusaha keluar dari kerumunan tersebut, tak sengaja ada orang yang menabrakku hingga terjatuh. Astaga!! Demi ajing – anjing cyber yang imut – imut itu! Ini benar – benar hari tersialku!
Sebuah tangan terulur untuk membantuku berdiri, “ayo berdiri-ssu,” ucapnya. Tapi sayangnya aku hanya mendiamkan saja tangan itu dan berdiri dengan tenagaku sendiri. Orang yang mengulurkan tangannya untukku tadi hanya menghela nafas berat.
“Maaf semuanya, hari ini aku sedang buru – buru-ssu, sampai jumpa lagi-ssu,” Kise langsung pergi dengan mendorong kereta belanjaannya sambil menarik tanganku.
***
Sesampainya di kelas, aku dan Kise langsung meletakkan barang belanjaannya di meja paling depan.
“Mi-chan, Ki-chan, kenapa lama sekali sih? Aku sampai ngantuk nungguin kalian kembali, hoammm…” Hanako pura – pura menguap.
“Hanako-chan lebay deh,” ledek Airi.
“Kayak kamu enggak aja sih dek…” ucap Hanako sambil menepuk – nepuk puncak kepala Airi yang lebih pendek darinya. “Eh iya Mi-chan, siku mu kenapa? Kok memar begitu?” Hanako menunjuk siku kananku.
Sepertinya ini gara – gara tadi, pikirku. “Bukan masalah.”
“Cepat kompres lukamu di UKS dengan es!” perintah Hanako.
“Sudahlah Hanako-chan, ini bukan luka serius,” kataku cuek.
“Akan jadi serius kalau tidak diobati,” Hanako melipat tangannya di depan dada sambil menatapku tajam.
“Sudahlah Chiekocchi, turuti saja-ssu,” Kise langsung menarikku ke ruang UKS.
Sekarang aku sudah duduk di ranjang UKS, sedangkan Kise sedang menyiapkan air kompresan untuk mengompres lukaku. “Kau sekarang boleh kembali Kise-kun. Aku bisa mengompresnya sendiri,” ucapku dingin.
“Kenapa sih, Chiekocchi selalu menolak kebaikanku-ssu?” Kise mulai mengompres lukaku.
“Aw! Baka! Ini sakit!” pekikku.
“Memangnya, tidak boleh ya, berbuat baik kepada orang yang kusukai-ssu?”
Aku sudah bosan mendengar pernyataan cintanya. Kenapa dia begitu mudah untuk menyatakan cinta? Kesannya perasaan cintanya itu seperti barang obralan yang sangat mudah untuk dijual. “Salah, kalau kau suka kepadaku,” aku langsung turun dari ranjang dan pergi meninggalkan Kise sendirian di ruang UKS.
Tapi sebelum aku benar – benar keluar dari UKS, Kise mengatakan sesuatu yang membuatku tertegun untuk beberapa saat, “ternyata, mencintai Chiekocchi itu lebih sulit dibandingkan harus mengerjakan soal fisika-ssu. Kalau soal aku tidak bisa mengerjakannya, aku punya Hanakocchi untuk membantuku, tapi kalau cintamu itu sulit untuk ku gapai, aku tidak punya seorangpun untuk membantuku.”
***
Sehari sebelum festival budaya berlangsung. Semua orang yang ada di kelasku sudah ribut mengenai mitos soal acara tukar dasi di saat malam pesta kembang api. Sebenarnya, ini hanya mitos saja di sekolahku, tapi entah mengapa, semua orang yang ada disini percaya kalau pria dan wanita yang bersekolah disini, melakukan pertukaran dasi dengan seseorang yang dicintainya, maka mereka tidak akan pernah berpisah selamanya. Mitos yang aneh, tapi mereka semua percaya akan hal itu. Sayangnya, aku tidak memercayainya sedikitpun.
“Emi-chan~ dari pada berdiam diri seperti itu, lebih baik kau ambilkan kardus yang ada di atas lemari itu,” Airi menunjuk kardus yang ada di atas lemari.
“Ambil saja sendiri,” ucapku cuek sambil terus mencatat biaya yang dikeluarkan untuk membuat café besok.
“Ih, Emi-chan jaha! Seandainya aku lebih tinggi darimu, aku akan mengambilnya sendiri,” ucap Airi lalu memanyunkan bibirnya.
Aku berdiri dari tempat dudukku, “iya, iya, dasar manja.”
Ternyata lemarinya tinggi juga ya? Aku harus benar – benar berjinjit agar dapat mengambil kardusnya. Tapi mungkin karena kardusnya juga yang terlalu berat, aku sedikit mengalami kesulitan untuk menariknya.
Tiba – tiba saja ada tangan kokoh yang meraih kardus itu dengan mudahnya. “Kalau tidak bisa, seharusnya kau minta tolong-ssu. Bagaimana kalau tadi kau tertimpa kardus ini-ssu? Kau bisa celaka-ssu,” Kise langsung membawa kerdus itu ke Airi.
“Ki-chan! Mi-chan! Bantu aku menghias ruangannya!” teriak Hanako dengan penuh semangat.
Akhirnya aku, Kise, Hanako, Midorima, dan beberapa orang tinggi yang ada di kelas ini menghias ruangan.
“Apa sih Shin-chan, kok vas bunganya ditaro disitu sih? Kan jelek tau…” omel Hanako yang ada disebelahku.
“Ditaruh disini akan lebih bagus nanodayo,” jawab Midorima.
“Menurutku, kalau ditaruh di dekat pintu seperti ini akan menghalangi orang lewat, Midorima-kun. Lebih baik ditaruh di ujung ruangan,” saranku.
“Tidaklah, kalau ditaruh di ujung ruangan tidak akan kelihatan-ssu, lebih baik ditaruh disini-ssu…” ucap Kise yang mendadak sudah berada di sebelah Midorima.
“Apa sih Kise-kun, kalau ditaruh disini akan menghalangi jalan tau.”
“Tidaklah Chiekocchi, akan lebih bagus ditaruh disini.”
“Tidak Kise-kun, lebih bagus ditaruh disana,” aku tetap ngotot dengan pendapatku.
“Tapi Chiekocchi-“
“Hey, hey, kenapa jadi kalian berdua yang ribut sih?” Hanako memotong acara debatku dengan Kise. “Terus Mi-chan, sejak kapan kamu jadi banyak omong didepan orang lain? Biasanya kamu hanya cerewet saat denganku saja.” Dheg! Detak jantungku seakan berhenti mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Hanako. Benar juga. Kenapa aku jadi cerewet begini ya?
“Hey Mi-chan, jangan blushing begitu dong~” goda Hanako. Sontak saja aku langsung memegang kedua pipiku.
“Eh, padahal aku hanya bercanda loh… tapi kenapa kamu jadi blushing beneran sih? Hahaha,” Hanako tertawa puas setelah melihatku blushing beneran.
“Wah, Airi-chaaannn!!” Hanako berteriak dengan sangat keras. “Mi-chan ternyata bisa blushing juga loh!!” goda Hanako.
Mukaku makin merah saja mendengar godaan Hanako. Astaga… aku kenapa sih… ugh…
“WOAH! Ini sejarah Hanako-chan!” pekik Airi dengan hebohnya. “Harus diabadikan nih! Mana kamera!?” sekarang dia heboh mencari kamera.
Seseorang langsung memelukku. Membuat wajahku tersembunyi di dada bidangnya. “Wah, Airi-san, jangan begitu dong-ssu,” ucap Kise. “Kan kasihan Chiekocchi.”
“Uhh… Kise-kun senang sekali membela Emi-chan ya…?” goda Airi.
“Sudahlah, kalian berdua berisik sekali nanodayo,” omel Midorima. “Kalau kalian bercanda terus, sampai besok tidak akan selesai nanodayo.”
“Ehem.” “Ki-chan, mau sampai kapan kau memeluk Mi-chan?” bisik Hanako. Sontak saja, aku langsung mendorong tubuhnya.
“Wah, Hanakocchi merusak momentnya-ssu,” ucap Kise dengan wajah (sok) sedih. Cih, pria lebay.
“Memang,” Hanako memeletkan lidahnya kearah Kise untuk meledeknya. Tanpa sadar aku tersenyum melihat tingkah mereka berdua yang… konyol?
Jpret! “Yey! Aku dapat foto Emi-chan yang sedang tersenyum!” teriak Airi dengan hebohnya.
Sontak saja, aku jadi kaget dan menghilangkan senyuman yang tanpa sadar terukir di bibirku barusan.
“Mana Ai-chan!?” Hanako langsung merebut ponsel Airi.
“Woah… Mi-chan kawaii!” pekiknya kesenengan.
Aish… cerobohnya aku. Kenapa aku bisa kelepasan tersenyum begitu sih? Tapi… melihat senyum Hanako yang bisa selepas itu… tidak apalah untuk sekali – kali. Jujur saja, akhir – akhir ini ia jarang tersenyum. Mungkin bisa dibilang dia lebih sering terlihat acuh tak acuh dan sedikit depresi. Mungkin? Lagi pula, membuat orang lain tersenyum itu kan perbuatan yang baik.
“Wah… Airi-san, aku minta fotonya ya-ssu…” mohon Kise yang membuat mataku membulat sempurna. Apa – apaan sih nih anak? Mau minta fotoku? Untuk apa? Jangan – jangan untuk mengusir tikus di rumah lagi? Aish… kejamnya kau, Kise Ryouta.
“Apa imbalannya?” tanya Airi dengan nada suara yang manja.
“Apa ya-ssu?” Kise Nampak berpikir. “Airi-san minta apa-ssu?”
“Hmm… bagaimana kalau dasimu itu? Saat pesta kembang api nanti,” ucapnya dengan cengiran lebar yang terukir di bibirnya.
Kise hanya diam. Ia kelihatan bingung untuk menanggapi permintaan Airi.
“Wah, Ai-chan mulai nakal ya? Aku adukan ke onii-chan ah~” Hanako berjalan riang ke luar kelas. Mungkin mau menghampiri Akashi?
“Eh… Hanako-chan! Aku hanya bercanda!” Airi langsung mengejar Hanako.
“Hiraukan saja mereka Chieko-san, ayo kerja lagi nanodayo,” ucap Midorima yang ada di sebelahku. Aku hanya mengangguk untuk menanggapinya.
***
Pagi yang sudah dinantikan semua orang pun tiba. Festival budaya. Setiap kelas membuat stunt nya sendiri. Kelas kami memutuskan untuk membuka café dengan para butler dan maid yang akan melayani para pengunjung.
“Emi-chan! Ayo pakek kostumnya dong!” bentak Airi dengan sebalnya.
“Tidak mau.”
“Ayolah Emi-chan… aku tidak akan menyuruhmu menjadi maid. Aku cuman menyuruhmu untuk mengenakan ini dan menarik perhatian para pengunjung untuk datang ke café kita…”
“Tetap saja kau menyuruhku memakai baju itu,” kulirik baju maid yang dipegang Airi. “It’s a big NO! Airi-chan.”
“Mi-chan~ jika dalam 10 menit kau tidak mengganti bajumu dengan baju maid itu… aku akan menyuruh Kise Ryouta untuk menggantikan bajumu itu,” ucap Hanako dengan pandangan setajam silet (?)
Aku langsung merebut dengan kasar baju maid yang dipegang Airi dan bergegas berjalan ke kamar mandi yang ada di dekat kelas.
Setelah berganti kostum, aku menatap heran bayangan diriku di cermin yang ada di kamar mandi. Sunggu aneh aku mengenakan pakaian maid sialan ini! Arrgghh… kalau Hanako tidak turun tangan seperti tadi, mungkin aku akan melarikan diri ke taman belakang sekolah yang sepi itu.
Tok! Tok! Tok! “Mi-chan! sudah selesai belum?” tanya seorang gadis yang sepertinya itu Hanako.
“Iya, sudah,” jawabku malas.
“Cepat kembali ke kelas! Jangan lama – lama!” setelah itu, terdengar langkah yang mulai menjauh dari kamar mandi.
Huft… haruskah aku keluar dengan penampilan yang memalukan seperti ini? Aku kembali menatap pantulan diriku di cermin. Hah… baiklah… lebih baik aku kembali sajalah… sebelum Hanako mencetuskan ide lebih gila daripada ini. Aku yakin, ia pasti orang yang bertanggung jawab atas apa yang aku kenakan saat ini.
Aku sudah kembali ke kelas. Lebih tepatnya aku sedang didandani oleh Hikari untuk menyambut para pengunjung café nanti. Katanya, kalau mau menarik perhatian pengunjung, atau menyambut pengunjung, penampilanku harus menarik, dan blablabla, akhirnya aku harus di make-up.
Kenapa? Kalian heran ya, kenapa Hikari bisa berada di kelasku? Padahal kelas kami itu berbeda. Soalnya, Hikari tidak ikut memeriahkan stunt yang dibikin oleh kelasnya. Ia lebih memilih kabur daripada harus menjadi tukang salon dadakan. Ya… katanya sih begitu. Tapi dia ke kelasku juga ujung – ujungnya menjadi tukang salon dadakan.
“Mi-chan!” panggil seseorang.
Aku menoleh ke asal suara itu dengan wajah yang baru selesai di make-up oleh Hikari, “ya?”
Jpret! “Yes! Dapat-ssu!” seru Kise.
“Mana? Mana? Coba lihat!” Hanako, Airi, dan Hikari sudah heboh mengelilingi Kise. Lebih tepatnya mengerubungi hp nya.
“Woah… Emi-chan kawaii!” puji Hikari.
“She look so perfect,” puji Hanako.
“Kyaaa!!!! Emi-chan!!! boleh kubawa pulang!?” Airi terlihat gemas sendiri setelah melihat ponsel Kise.
“Kise-kun, hapus fotonya!” perintahku sambil memandangnya sinis.
“Tidak mau-ssu” Kise langsung mengantungi ponselnya.
Aku langsung berdiri dan berjalan menghampirinya, “hapus, sekarang, juga!” perintahku sambil berjalan mendekati Kise.
“Tidak akan-ssu,” Kise langsung lari ke luar kelas.
Aku pun langsung mengejarnya. “Kise-kun! Hapus fotonya!” teriakku sambil berlari.
“Tidak mau-ssu,” Kise berlari sambil menghindari orang – orang yang berlalu-lalang.
“Ki-see!” karena sepatuku yang agak licin, akhirnya aku terjatuh saat berlari mengejar Kise. Untungnya wajahku tidak sempat mencium kerasnya lantai. Karena saat ini ada seseorang yang memeluk pinggangku.
“Chiekocchi tidak apa-ssu?” tanya Kise yang ternyata wajanya berada tak jauh dari wajahku. Sontak saja, wajahku langsung memerah. Entah itu karena malu atau kaget. “Chiekocchi baik – baik saja-ssu? Kenapa wajahmu merah-ssu? Apa kau sakit-ssu?” serentet pertanyaan langsung keluar dari mulut Kise.
Aku langsung berdiri tegak dan menjauhkan tubuh Kise, “ti-tidak, a-aku tidak apa,” jawabku sedikit tergagap. Aduh, kenapa omonganku jadi aneh begini sih?
Kubalikkan badanku untuk memunggungi Kise. Kupegang kedua pipiku, astaga! Kedua pipiku sudah memanas! Pasti wajahku sudah sangat merah!
“Kau baik – baik saja-ssu?” aku merasa kalau suara Kise sangat dekat denganku.
Kutolehkan kepalaku kearah kanan, dan benar saja! Wajah Kise terlalu dekat denganku! Kudorong tubuhnya untuk menjauh dariku, “ba-baka! Wajahmu terlalu dekat, tau!” omelku.
“Aku kan hanya memastikan kalau Chiekocchi itu baik – baik saja-ssu… aku takut kau kenapa – kenapa-ssu… mengertilah perasaanku Chiekocchi…” ucapnya dengan pandangan mata yang sendu.
Dheg! Astaga! Kenapa jantungku? Kenapa ia mendadak terasa seperti ada yang menusuknya ya? Melihat pandangan sendu Kise, membuat hatiku… sakit? Apa iya, aku juga merasa sedih saat melihatnya sedih dan kecewa? Ah, mustahil! Itu pasti hanya ilusi saja.
“Chiekocchi, kalau tidak enak badan, ke UKS saja-ssu,” Kise sudah menarik tanganku dengan lembut.
Aku menarik tanganku dari genggamannya. Tidak bisa. Aku tidak bisa menerima sentuhan kecil darinya. Itu membuat jantungku berdebar secara tidak normal. Itu tidak baik untuk kesehatan jantungku! Bisa – bisa aku mati muda karena penyakit jantung. “Tidak apa Kise-kun, aku baik – baik saja,” aku langsung berjalan kembali ke kelas. Akhirnya suaraku kembali normal.
***
Acara tadi pun berjalan lancar. Malam ini, adalah malam yang sudah dinanti – nanti oleh semua murid, terutama untuk para gadis. Mereka akan menukar dasi mereka dengan pasangannya. Mereka beranggapan kalau melakukan tukar dasi di malam festival budaya, mereka tidak akan terpisahkan oleh orang yang sudah bertukar dasi dengannya. Aneh? Memang. Tapi mereka percaya. Kecuali aku, tentunya.
Saat setelah berganti baju menjadi baju seragam lagi, aku melihat Kise yang sepertinya sedang bersembunyi dari kejaran fansnya. Aku yang berada di lantai tiga bisa melihatnya bersembunyi di sebelah lemari yang ada di lantai dua yang kebetulan letaknya berseberangan denganku. Jadi aku bisa melihatnya.
Tunggu dulu. Sepertinya ada yang aneh dengannya. Dheg! Benar juga. Kemana dasinya!? Kenapa dia sudah tidak mengenakan dasi!? Apa jangan – jangan…
Tanpa sadar air mataku telah menetes. Aku berlari ke kelas untuk menangis sepuasnya. Aku yakin, di kelas sudah tidak ada seorangpun.
Aku terduduk di tempat dudukku sambil menyembunyikan wajahku diantara tangan yang sudah terlipat diatas meja.
Sreek! Suara pintu digeserpun terdengar. “Ternyata kau disini-ssu?”
Dheg! Aku bisa merasakan detak jantung dan napasku berhenti saat mendengar suara itu.
Aku merasa ada sebuah tangan yang mengelus rambut coklat panjangku, “Chiekocchi sepertinya kelelahan ya-ssu? Sampai tertidur di kelas begini-ssu,” sekarang aku merasa ada yang mengecup puncak kepalaku.
Aku langsung terbangun dan menghapus jejak air mataku.
“Ma-maaf Chiekocchi… kau jadi terbangun,” Kise menundukkan wajahnya. Untung saja ia tidak menyadari jejak air mataku.
“Chiekocchi tadi habis menangis ya-ssu?” ia berjongkok di sebelah kiriku. Kedua tangannya menopang dagunya. Ia benar – benar terlihat seperti anak kecil. Benar – benar bukan tipe ideal ku. Tapi bodohnya, jantungku suka berdebar saat berada di dekatnya. Bahkan saat pertama kali ia menyatakan cintanya padaku dulu, jantungku sudah serasa ingin keluar dari tempatnya. Tapi mungkin karena egoku yang terlalu tinggi, aku masih bisa menanggapinya dengan ekspresi dingin dan menganggap hal itu tidak pernah terjadi. Aku kejam ya? Memang.
“Kau kenapa-ssu?” sekarang tangannya sudah digunakan untuk menggenggam tanganku, dan dagunya disanggah di paha kiriku. Ia benar – benar terlihat seperti anak kecil, dan tololnya aku menyukainya.
“Kemana dasimu? Apa kau sudah menukarnya dengan seorang gadis?” mulutku yang terkadang tidak bisa dikontrol ini akhirnya mengucapkan kata – kata bodoh itu. Ish! Aku benci saat otak dan mulutku tidak berjalan selaras dengan semestinya. Baka! Baka! Baka! Aku merutuki diriku dalam hati.
“Iya…”
Satu kata singkat yang keluar dari mulutnya mampu membuat hatiku hancur berkeping – keeping.
“Tapi… sepertinya… gadis itu tidak mau menukar dasinya dengan dasiku-ssu…” Kise menyandarkan kepalanya di paha kiriku.
Tahan Emi, kau tidak boleh terlihat cengeng di depannya. Ini resikonya kalau kamu jatuh cinta dengan orang popular yang sebenarnya tidak akan pernah bisa kamu capai, “Me-memangnya kenapa?” sial! Suaraku terdengar serak karena menahan tangis.
“Sepertinya dia tidak suka padaku-ssu…” ucap Kise sedih.
Kamu sedih karena wanita itu sepertinya tidak menyukaimu? Aku lebih sedih Kise! “Tidak mungkin Kise-kun. Tidak akan ada gadis yang bisa menolakmu,” ucapku. Oke, kalian boleh menyebutku munafik atau apalah, terserah.
“Ada, buktinya dia selalu saja menolakku saat aku dekati-ssu…”
Ku basahi tenggorokanku dengan menelan ludah yang rasanya sangat sulit untuk dilakukan, “memangnya siapa gadis itu, Kise-kun?”
Ia mendongakkan kepalanya untuk menatap mataku, “Chiekocchi,” jawabnya singkat.
Aku hanya bisa mematung mendengar pernyataannya barusan.
“Kau selalu bersikap dingin kepadaku-ssu… kau selalu menghindar saat aku dekati, dan kau tidak pernah menanggapi pernyataan cintaku dengan serius-ssu. Itu membuatku sedih-ssu…” Kise menundukkan wajahnya.
Aku hanya bisa diam melihatnya seperti itu. Sebenarnya, aku ingin menangis mendengar perkataannya. Setelah perlakuan buruk yang ia terima, ia masih saja mencintaiku. Aku memang gadis yang kejam! Bisa – bisanya aku melukai hatinya yang lembut itu.
Kise mendongakkan wajahnya lagi. “Ini untuk yang terakhir kalinya-ssu. Jika kau menolakku, dan memintaku pergi, aku akan menjauhimu, Chiekocchi.”
Oh tidak! Jangan Kise!
“Aku serius Chiekocchi. Kali ini, tolong anggap ucapanku ini serius-ssu,” ia menarik napas panjang. “Aku menyukaimu Chieko Emicchi. Maukah kau jadi pacarku-ssu?” Kise menatap mataku dengan intens.
Aku membuang pandanganku kearah lain. Kudengar ia menghembuskan nafasnya dengan berat. Ku lirik kearah Kise. Ternyata kepalanya sedang tertunduk lesu. Maafkan aku Kise, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih seperti itu. Kukecup puncuk kepalanya.
Sontak saja, ia langsung mendongakkan kepalanya untuk menatapku. “Emicchi…?” ucapnya sedikit tidak percaya.
“Apa?”
“AKU MENCINTAIMU-SSU!” Kise langsung bangkit untuk menyerangku. Umm… maksudku, ia langsung bangkit untuk memeluk dan mencium pipiku. Sungguh, aku merasakan getaran – getaran yang sangat aneh menjalar disetiap tubuhku.
Ia melepaskan pelukannya, “I Love You, Chiekocci,” ia mencium pipiku.
Aku hanya mengangguk saja.
“Kok cuman mengangguk sih-ssu? Harusnya kau menjawab pernyataan cintaku dong-ssu…” rengeknya.
“Bujuklah aku,” ucapku sambil menunjuk bibirku. Entah setan apa yang merasukiku. Aku terlihat seperti wanita murahan yang ingin dicium oleh pasangannya.
Senyum Kise langsung merekah dengan indahnya. Perlahan, wajahnya mulai mendekat ke wajahku. Saat bibirnya sudah menyentuh bibirku, seluruh tubuhku terasa lemas dibuatnya. Bukan karena ciuman biasa ini, tapi Kise mencium bibirku dengan sedikit melumatnya. Arrgghh!! Aku bisa gila kalau menerima ciuman Kise yang begitu… menggairahkan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro