Aomine Daiki part 2
Kyaaaa!!!!! Aomine disini sexy-sexy gimana... gitu... XD (abaikan ocehan Alfi yang ini)
Repost: 21 April 2015
Mohon maaf lahir batin, semua ^^
Keesokan harinya di sekolah. Baru saja aku masuk ke kelas, aku langsung dikerumuni oleh gadis — gadis penggemar Aomine Daiki yang salah satunya adalah Erina. "Fumiko-san, kenapa kau selalu menempel pada Aomine-kun akhir — akhir ini, hah!?" bentak Erina.
"Aku di-" sebelum aku menyelesaikan ucapanku, Erina and the gank langsung menarik tanganku.
"Erina-san, kita mau kemana?" tanyaku saat ia menyeretku untuk pergi mengikutinya.
"Sudah, diamlah! Jangan banyak bicara!" bentaknya.
"Akukan hanya bertanya, Erina-san," jawabku. "Setidaknya izinkan aku untuk meletakkan tasku dulu," lanjutku.
"Berisik kau ya!" ia langsung merebut tasku dan melemparkannya entah kemana?
"Erina-san, tasku..."
"Berisik kau!" Erina langsung mendorongku masuk ke dalam gudang yang menyebabkan tubuhku tersungkur mencium dinginnya lantai gudang. Akh... sepertinya sikuku berdarah.
BRAK! Pintu gudang ditutup dengan kencangnya oleh salah satu anak buah Erina. Erina menarik rambut belakangku, membuatku langsung menatap ke manic matanya. "Untuk kesekian kalinya, Fumiko-san..." ia menyentakkan kenpalaku kebelakang, "... jauhi AOMINE-KUN!" bentaknya. "KARENA DIA ITU PUNYAKU! PUNYAKU!" ia menggampar wajahku sampai aku terpental kebelakang.
"Aku... mau saja... menjauhinya... Erina-san..." ucapku dengan suara lemah, "tapi..."
"Tapia pa Fumiko-san!?" bentaknya. "Kau mau bilang, kalau kau mencintainya!?"
"Bu...kan... kau... sa...lah... mengerti, Erina...-san," napasku mulai tersengal — sengal. Sepertinya asmaku mulai kambuh. Dadaku terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang menghimpitnya.
"Apa katamu!? Bukan!? Lalu apa!? aku tau kau menyukainya, Fumiko-san!" tuduhnya.
Ya... aku memang menyukainya, tapi... aku tau, bukan aku yang menjadi gadis idamannya. Aku tidak bisa membuatnya memandang wajahku lebih dari satu menit. "Dia... tidak..." hah! Hah! Aku tidak bisa melanjutkan kata — kataku lagi, karena sekarang aku benar — benar merasa kesakitan.
"Jawab aku! Fumiko-san!" bentaknya.
BRAK! Terdengar suara pintu didobrak, dan selanjutnya aku tidak tau apa yang terjadi, karena perlahan — lahan seluruh indraku perlahan melemah, dan pada akhirnya, semuanya menjadi gelap.
Perlahan — lahan aku membuka kedua mataku. Awalnya aku merasa kabur dengan semuanya, tapi perlahan — lahan, objek penglihatanku menjadi jelas semuanya. "ugh... dimana ini?" gumamku pada diri sendiri.
"Fumiko-san!" terdengar suara seseorang dari sebelah kananku.
"Ck! Kau ini... diamlah... jangan membuatnya semakin sakit," omel Mayumi senpai yang ada di sebelahnya.
"Hey... kau merasa lebih baik, Haruka-san," Mayumi membelai rambutku dengan lembut.
"Mayumi-san... kenapa aku ada disini?" tanyaku dengan suara lemah.
"Sudahlah, jangan banyak berpikir Haruka-san... istirahatlah," ucapnya dengan lembut.
Aku hanya mengangguk dan mulai memejamkan mata lagi. Ku rasakan sebuah tangan yang besar sedang mengelus — elus keningku. Masa tangan Mayumi sebesar ini sih? Ah, ya terserahlah. Intinya, karena belaian dari tangan tersebut, aku mudah untuk menyebrang ke alam mimpi.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, saat aku terbangun, matahari ternyata sudah berganti menjadi bulan. Aku harus segera pulang.
"Fumiko-san, kau mau kemana?" tangan Aomine senpai mencegahku untuk pergi.
"Pulang," jawabku.
"Baiklah, ayo," ia mengambil tasku dan menarik tanganku untuk keluar dari ruang UKS.
"Kita mau kemana senpai?" tanyaku.
"Pulanglah! Katamu, kau mau pulang," omelnya.
"Memangnya senpai tau rumahku?" entah kenapa, pertanyaanku membuatnya mendadak diam.
"Kalau begitu, kau beritahu saja arahnya," ucapnya setelah diam beberapa saat.
Selama perjalanan pulang, kami hanya berdiam diri dan disibukkan oleh pikiran masing — masing, tapi sejak keluar dari UKS, senpai tidak melepaskan geggaman tangannya. Membuatku senyum — senyum sendiri selama perjalanan pulang.
"Sudah sampai, senpai," ucapku saat melihat rumah berpagar merah.
"Yang mana rumahmu?"
Aku menunjuk rumah sederhana berpagar merah yang kebetulan hanya ada satu rumah yang memiliki pagar berwarna merah.
"Ya sudah, cepat masuk sana!" ia sedikit mendorong tubuhku agar segera masuk ke dalam rumah. "Kalau kau terlalu lama berada di luar, sakitmu akan makin parah. Sudah ya, aku pergi dulu. Jaa!" ia langsung membalikkan badannya dan berjalan.
"Arigatou... senpai," bisikku sambil tersenyum simpul lalu mulai membuka gerbang dan masuk ke dalam rumah.
***
Karena aku pulang dengan wajah yang teramat pucat, orang tuaku menyarankan agar aku tidak sekolah dulu, tapi karena hari ini ada penyisihan babak untuk menentukan siapa yang akan mewakili sekolah dalam lomba sains, aku memaksakan diri untuk masuk. Aku benar — benar optimis bisa mewakili sekolah untuk lomba sains kali ini. Biasanyakan, yang mewakili sekolahku untuk lomba sains itu Akashi senpai, Tomoko senpai dan Chieko senpai, tapi karena ujian kelulusan sudah hampir tiba, anak kelas 3 dilarang untuk ikut serta dalam kegiatan yang bisa mengganggu persiapan mereka dalam ujian kelulusan nanti.
Ketika aku berjalan di lorong kelas, aku dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahuku disaat aku sedang melamun, "senpai membuatku kaget," ujarku saat melihat orang yang mengagetkanku adalah Tomoko senpai.
"Kau hari ini masuk sekolah?" tanyanya, "aku pikir, setelah kejadian yang heboh itu, kau akan istirahat untuk sementara waktu," lanjutnya.
Aku tersenyum simpul, "tidak senpai, ada seleksi yang harus aku hadiri."
"Hmm... kalau kau sakit, aku bisa minta izin ke Shiraishi sensei, agar kau ikut test susulan saja," sarannya.
"Arigatou senpai, tapi aku lebih senang kalau mengikutinya langsung."
"Yah... kalau itu maumu, jaga kesehatanmu ya," ia menepuk — nepuk kepalaku. "Soal hama — hama itu biar aku saja yang membasmi. Kau tenang saja."
Aku menatap Tomoko senpai dengan sorot penuh tanda tanya.
"Tidak usah dipikirkan. Cepatlah masuk ke kelasmu," perintahnya.
Aku hanya mengangguk dan melanjutkan perjalananku menuju kelas.
***
Hari ini aku harus mengajari Aomine senpai lagi. Seperti perintahnya, aku harus menunggunya di dalam kelasku dan tidak kemana — mana. Karena sudah sejak sepuluh menit yang lalu ia tidak kunjung datang, aku berniat untuk pergi ke mini market yang ada di depan sekolah, aku ingin membeli minuman untuk melepas rasa dahagaku.
Karena takut Aomine senpai datang saat aku ke mini market, jadinya aku berlari mulai dari keluar kelas sampai ke mini market tersebut. Kalau hanya lari atau olahraga biasa sih, asmaku tidak akan kambuh. Penyakit asmaku hanya kambuh saat aku merasa ketakutan.
Dengan cepat aku merununi tangga, tapi tiba — tiba aku tubuhku jatuh ke depan. Bukan karena limbung atau apa, tapi aku merasa ada yang mendorong punggungku saat aku menuruni tangga tadi.
Bugh! Tubuhku bertabrakan dengan tubuh lain yang jauh lebih besar dan keras. Rasanya semua tulangku bisa patah kalau menabrak orang ini lebih kencang lagi. Tapi karena aku menabraknya, tubuhku tidak jadi bertabrakan dengan anak tangga yang lebih menyakitkan, dan untungnya orang yang tak sengaja ku tabrak itu memeluk tubuhku dengan erat agar badanku tidak jatuh.
"Hei, kenapa kau ceroboh sekali sih jadi anak!? Coba kalau aku tidak langsung kemari!" teriak Aomine senpai dengan geram.
"Maaf senpai, aku hanya merasakan kalau ada seseorang yang mendorong tubuhku," gumamku yang nyaris terdengar seperti sebuah bisikan super halus. Entahlah, ia mendengarnya apa tidak?
"Kau mau kemana sih!? Aku kan sudah memerintahkanmu untuk menungguku di kelas dan jangan kemana — mana!" bentaknya.
"Aku haus."
"Hah... astaga... Fumiko... aku kan sudah menyuruhmu untuk menungguku di kelasmu, kenapa kau bandel sekali sih," kali ini suaranya sedikit melunak.
"Aku haus, senpai. Aku mau beli minum," ucapku sambil memandang tepat ke manic matanya, yang tentunya harus membuatku benar — benar mendongak untuk memandang tepat ke manic matanya.
"Cepat kembali!" ia memutar kepalaku dengan sebelah tangannya hingga membuat tubuhku berbalik kearah yang sebelumnya.
"Tapi aku haus, senpai."
"Seharusnya kalau kau ingin memohon, pasang wajah memohonmu, jangan pasang wajah datarmu seperti itu. Ayo!" ia merangkulku dan sedikit menyeretku menuju kelasku.
"Senpai... haus..." ucapku dengan suara yang lirih.
"Tidak usah memelas Fumiko-san, aku sudah membelikanmu minuman sebelum ke sini. Kau pikir aku setega itu, membuat anak orang yang mengajariku mati kelaparan dan kehausan?" candanya yang membuat dirinya sendiri tersenyum geli.
Aku sampai tidak berkedip melihat Aomine senpai tersenyum seperti itu. Dia kelihatan sangat mempesona.
"Sudah... jangan memandangiku terus seperti itu, nanti asmamu kambuh lagi," ledeknya sambil tersenyum.
Baru kali ini aku melihatnya tersenyum seperti itu. Apakah seorang Aomine Daiki akan selalu tersenyum seindah itu? Pantas saja... banya wanita yang mengejarnya. "Sayangnya wajah senpai terlalu tampan untuk membuat asmaku kambuh," gumamku pada diri sendiri.
Setelah sadar kalau aku baru saja mengucapkan serangkaian kata — kata bodoh, aku langsung membungkam mulutku dengan kedua tanganku. Aku harap ia tidak mendengarnya!
"Kau kenapa?" tanya Aomine senpai. "Kenapa kau membungkam mulutmu seperti itu sih?" tanyanya lagi. "Apa kau sedang tidak enak badan? Kalau begitu, hari ini tidak usah belajar saja yah? Akan aku antar kau pulang," wajah jahilnya tadi langsung berubah menjadi panic dan khawatir.
Aku melepaskan tanganku yang membungkam mulutku, "tidak senpai, aku baik — baik saja."
"Tapi wajahmu terlihat merah," ia mendekap wajahku dengan kedua tangan besarnya dan merundukkan kepalanya untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajahku.
Melihat wajahnya dari jarak sedekat ini membuat perasaanku tidak karuan, dan wajahku semakin memerah saja karena ulahnya. Aku mengalihkan pandanganku untuk menenangkang perasaanku yang sedang tidak karuang seperti ini.
"Sepertinya kau benar — benar harus pulang," setibanya di kelas, ia langsung mengambil dan menarik tanganku lagi untuk pergi.
"Tunggu dulu senpai," aku menahan langkahku agar kami tidak pergi. Jujur, aku tidak ingin melewatkan moment ini.
"Kau sedang sakit Fumiko, sebaiknya cepat pulang, sebelum sakitmu bertambah parah," ucapnya dengan nada penuh kekhawatiran.
"Tidak senpai. Aku serius. Aku baik — baik saja," kupandang matanya untuk meyakinkannya kalau aku benar — benar baik. "Aku... aku..." aku benar — benar bingung harus bilang apa kepadanya agar aku tidak kehilangan moment ini.
"Kau kenapa Fumiko-san?" Aomine senpai langsung menuntunku untuk duduk di bangku terdekat.
"Aku... aku... aku hanya... haus," ucapku dengan suara lirih.
Ia menarik napas panjang lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, "ini, minumlah!" ia menyerahkan sebotol air mineral padaku yang sebelumnya dibuka dulu olehnya. Dia benar — benar gentleman.
Aku menengguk beberapa isi air mineral itu, lalu menyerahkannya kembali pada Aomine senpai, karena ia yang memegang tutupnya. Kupikir ia akan menutupnya, tapi ia malah meminum sisa air mineral itu sampai habis. "Tenang saja, aku masih punya dua botol lagi jika kau masih haus."
Kalau Aomine senpai minum bekas botolku, berarti... secara tidak langsung... kami... berciuman!? Ok, tahan emosimu Haruka, kalau wajahmu terus memerah seperti itu, nanti Aomine senpai akan menyeretmu pulang detik ini juga.
"Kau benar — benar merasa sudah baikankan?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Aomine senpai mulai mengeluarkan buku — buku pelajarannya. Dan aku pun mulai menjelaskan materi bahan ujiannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro