Aomine Daiki part 1
Namaku Fumiko Haruka. Aku kelas 2 — A. Saat itu, aku sedang berjaga di perpustakaan, menggantikan penjaga perpustakaan yang sedang sakit. Karena hanya aku, anggota perpustakaan yang paling rajin, akhirnya aku yang disuruh untuk menjaga ruang perpustakaan ini.
Saat ini pengunjung perpustakaan sedang sepi, mungkin karena ini sudah lebih 30 menit dari bel tanda pulang berbunyi. Hanya ada beberapa anak kelas tiga yang sedang membaca buku disini. Mungkin mereka sedang menyiapkan diri untuk ujian kelulusan dan ujian masuk ke SMA.
Suasana perpustakaan tanpak sunyi. Membuatku bisa sedikit bersantai untuk sementara waktu sambil membaca buku sejarah favoritku. Ku sandarkan punggung ke kursi empuk yang hanya dimiliki penjaga perpustakaan. Hah... kursinya sangat empuk dan nyaman. Kalau begini jadinya, aku betah berlama — lama disini.
BRAK! Pintu perpustakaan dibuka dengan satu gebrakan yang sangat kencang. Membuat semua orang yang berada disini menengok kearah yang sama. Saat aku mendongakkan kepalaku, aku melihat ada kakak kelas berambut merah masuk ke dalam perpustakaan. Di belakangnya ada seorang gadis berambut hitam legam yang sedang menyeret — nyeret pria berkulit tan berambut navy blue. Kalau aku tidak salah mengingatnya, nama dari ketiga senpai itu, Akashi, Tomoko dan Aomine.
Kenapa aku bisa tau nama mereka? Soalnya Akashi senpai adalah murid terpandai di sekolah ini, ia juga menjabat sebagai ketua OSIS yang merangkap menjadi ketua tim basket SMP Teikou yang tim intinya mendapat julukan Kiseki no Sedai. Begitu juga dengan Tomoko senpai, ia juga termasuk murid terpandai di sekolah ini. Kalau tidak salah, Tomoko dan Akashi itu selalu bersaing dalam segala hal untuk menjadi nomor satu. Dia dancer terbaik yang pernah ada di SMP Teikou ini. Aku benar — benar mengagumi sosok Tomoko senpai yang sempurna dan tegas. Yang terakhir, Aomine Daiki. Ace dari tim basket sekolahku yang sangat... engg... mempesona?
Ya, selain mengidolakan Tomoko senpai, aku juga mengidolakan pemain ace basket sekolah ini. Selain pandai bermain basket, dia juga... memiliki pesonanya tersendiri. Banyak wanita yang mengejar — ngejarnya, tapi semuanya di tolak begitu saja. Lebih tepatnya, didiamkan begitu saja, sampai wanita — wanita itu pergi. Bahkan terkadang, dia tidak segan — segan untuk mengatakan kata — kata yang kejam untuk mengusir mereka.
Tapi... ada apa ya? Kok Akashi senpai sama Tomoko senpai sampai serusuh itu sih? Biasanya, kalau mereka kemari juga tenang — tenang saja. Tidak sampai menendang pintu perpustakaan seperti itu.
BRUG! Terdengar suara buku dibanting ke meja. Aku sampai terkejut mendengar suara sekencang tadi. "BACA SEMUA BUKU ITU! AWAS KALAU SAMPAI ADA YANG KAMU LEWATKAN, AHO-KUN!" bentakan Tomoko senpai memenuhi seluruh ruangan ini. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Terutama saat ada orang yang melirik ke arah mereka dengan tatapan tidak senang, langsung dapat pelototan mematikan dari Akashi senpai. Bahkan aku juga menjadi korban pelototannya yang mematikan itu. Aku langsung menyembunyikan wajahku dibalik meja pendataan buku. Sungguh menyeramkan.
"Maaf, permisi," panggilan seseorang.
Akupun mendongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang memanggilku. Ternyata Tomoko senpai. "A-ada apa senpai?" tanyaku dengan gugup.
Ia tersenyum manis, "jangan gugup seperti itu dong... aku kan tidak akan membunuhmu," ucapnya dengan ramah, "mungkin tidak. Untuk saat ini."
Tenggorokanku langsung tercekat saat mendengar pernyataan Tomoko senpai.
"Tidak... tidak... aku hanya bercanda, Fumiko-san, hehehe," ucap Tomoko senpai.
"Tomoko senpai... tau namaku?" gumamku pelan.
"Tentu saja aku tau. Kau kan anggota perpustakaan yang paling rajin berada disini. Ditambah lagi, kau termasuk anak berprestasi," ucapnya dengan tersenyum ramah ke arahku. "Ku dengar kau itu murid terpintar di angkatanmu ya?" bisik Tomoko senpai.
"Emm... ah... tidak juga, senpai," wajahku tertunduk malu mendengar pujiannya.
"Jangan merendah seperti itu ah, Miko-chan. Kau membuatku gemas," tangan Tomoko senpai mengacak — ngacak puncak kepalaku.
"Hana-chan! Mana bukunya!" teriak Akashi senpai dari tempat duduknya yang berada di tengah — tengah ruanga.
"On the way nii-chan!" teriak Tomoko senpai.
"Oh iya, tidak keberatan kan, kalau aku panggil Miko-chan?" tanyanya. Sebelum aku ingin menjawab, ia sudah berucap lagi, "kau tau dimana buku soal bahasa inggris terbitan Oxford? Sama kumpulan soal terbitan GNF? Dan... oh iya, novelnya Pseudonymous Bosch yang suka kau baca itu. Aku lupa apa judulnya?"
Aku langsung mengangguk dan mengambil buku pesanannya. Setelah itu, aku langsung memberikannya kepada Tomoko senpai. "Arigatou Miko-chan~" Tomoko senpai langsung berlari ke meja tengah yang letaknya memang agak jauh dari sini. Aku pun kembali duduk di kursi empukku sambil menekuni kembali buku bacaanku.
BRAK! Tubuhku terlonjak kaget mendengar gebrakan meja yang sangat kencang. "Baka! Sudah berapa kali aku bilang!? Kau harus mengubahnya dulu kedalam satuan SI! Baru kau bisa mengerjakannya!" omelan menggema diseluruh ruangan.
"Memang apa bedanya sih, Akashi-kun? Yang ini harus diubah dulu, sedangkan yang ini tidak perlu," ucap Aomine dengan kesal.
"Ya bedalah baka! Yang ini soal perbandingan, dan yang ini bukan!"
"Sudahlah. Pokoknya kerjakan saja seperti apa yang aku perintahkan. Jangan membantah lagi ckris!" suara gunting terdengar nyaring sampai kemari.
Astaga, kalau aku punys guru seperti itu sih, lebih baik aku mati saja. Sabar ya Aomine senpai, penderitaanmu ini pasti akan berbuah manis pada akhirnya kok... yang tabah ya?
Saat kulirik ke arah mereka, ternyata Akashi senpai dan Tomoko senpai sedang berdiskusi. Lebih tepatnya sedang berdebat. Karena beberapa kali aku melihat Akashi senpai menatap mata Tomoko dengan tatapan penuh amarah. Kenapa lagi... ini... coba? Kenapa perpustakaan mendadak jadi tempat penyiksaan seperti ini sih? Hah...
"Hey, kau!"
Aku mendongakkan kepalaku, "i-i-iya... A-aka-shi senpai?" ucapku tergagap karena takut didatangi makhluk paling mengerikan yang pernah ada.
"Kau bisa mengajari manusia bodoh berkulit hitam yang ada disana?" Akashi senpai menunjuk ke arah Aomine senpai. "Aku dan Hanako harus pulang sekarang, karena kami ada acara penting. Kau ajari dia pelajaran fisika dan bahasa inggris," ucap senpai dengan perintah yang sangat jelas di setiap kata yang terucap dari mulutnya.
"Ta-tapi-" belum selesai aku berucap, Akashi senpai langsung memotong ucapanku. "Aku tidak menerima penolakan, gadis kecil. Kalau kau berani menolaknya, guntingku yang akan bernegosiasi denganmu, agar kau mau mengajarinya, ckris!" Akashi senpai mengacungkan guntingnya di depan wajahku yang membuatku bergidik ngeri.
Glek! Dengan susah payah, aku menelan ludahku. Mau tidak mau, aku mengangguk mengiyakan perintahnya.
"Oh, astaga... nii-chan... jangan sekasar itu dong sama dia. Dia itu adik kelas kita tau," ucap Tomoko senpai saat ia sudah berdiri di sebelah Akashi senpai."Maafkan dia ya, dia memang suka seperti itu. Tidak bisa menerima penolakan. Kami pergi dulu ya, Miko-chan. Mohon bantuannya," Tomoko senpai langsung merangkul Akashi senpai dan menyeretnya pergi dari perpustakaan.
Sebelum benar — benar meninggalkan perpustakaan, aku mendengar Akashi senpai sempat berucap seperti ini, "kalau kau tidak mengajarinya, akan kugunting tubuhmu." Glek! Matilah aku.
BLAM! Pintu perpustakaan ditutup dengan kencangnya.
"Hei! Kau jadi mengajariku atau tidak? Kalau tidak, aku akan pulang," ucap Aomine senpai dengan malas.
Dengan langkah ragu, aku berjalan mendekati Aomine senpai. "Senpai mau belajar apa?" tanyaku dengan ragu sambil menarik kursi yang ada di seberang mejanya.
"Sebenarnya aku tidak suka belajar apapun, tapi aku lebih tidak suka kalau gunting Akashi mendarat di tubuhku," ucap Aomine senpai dengan ketus.
"Ettooo... kita belajar fisika dulu ya senpai? Sepertinya kau tadi sedang belajar fisika."
"Terserah kau saja," ucap Aomine senpai malas.
Aku pun segera menjelaskan seluruh materi fisika yang akan keluar untuk ujian kelulusan. Yang aku tau, ujian kelulusan itu selalu mengulang materi kelas 1 dan 2. Hanya sedikit materi kelas 3 yang keluar, dan itu tidak akan menyulitkanku untuk memberikan materi ke Aomine senpai yang terkenal malas belajar ini.
"Kenapa kau bisa membuat rumusnya menjadi lebih mudah sih?" tanya Aomine senpai saat ia sedang mengerjakan tugas yang aku berikan.
"A...aku tidak tau senpai. Aku hanya menjelaskan apa yang aku ketahui," ucapku dengan suara pelan.
"Tapi sepertinya setelah ini, hidupmu tidak akan tenang."
Aku mengerutkan keningku. "Hm? Maksud senpai?"
"Aku malas untuk menjelaskannya. Kau lihat saja nanti."
Setelah mengajari Aomine senpai, aku langsung bergegas pulang ke rumah. Aku masih tidak bisa percaya. Aku? Aku bisa duduk berhadapan langsung dengan Aomine senpai? Bahkan, aku bisa berbicara dengannya. Dah hebatnya, hanya berdua? Oh, astaga... ini mimpi terindah yang pernah aku alami!
***
Jadwal olahragaku berbarengan dengan kelas 3-B, kelasnya Aomine senpai. Aku suka memandanginya dari jauh. Dia terlihat mempesona saat berolahraga.
Ketika pandangan mata kami tak sengaja bertemu, aku membuang pandanganku kearah lain. Apa dia menyadari kalau sejak tadi aku memandanginya? Semoga saja tidak.
10 menit lagi bel istirahat akan berbunyi. Sensei mempersilahkan kami untuk istirahat terlebih dahulu untuk berganti pakaian, dan mendinginkan badan setelah melakukan aktivitas olahraga yang melelahkan.
Saat menuju ruang ganti, aku tak sengaja menabrak seseorang, "sumimasen, sumimasen," ucapku sambil menundukkan badanku.
"Oh, tidak apa anak manis," ia mengacak — ngacak rambut biru mudaku sambil tersenyum manis. Setelah itu ia melangkah masuk ke dalam ruang ganti.
Setelah berganti pakaian, aku segera menuju ke kelas untuk meletakkan baju olahragaku, kemudian pergi menuju kantin. Karena hari ini aku tidak sempat membuat bento, jadi mau tidak mau aku harus ke kantin untuk mengisi perut.
Aku membeli sepotong sandwich dan sekotak susu vanilla untuk mengisi perutku. Aku segera mencari tempat duduk untuk makan, karena jam istirahat baru saja berbunyi. Ternyata kantin sangat ramai ya saat jam istirahat tengah berlangsung? Aku mulai memakan sandwich ku sambil memandangi orang — orang yang sedang berlalulalang di kantin. Tiba — tiba saja, ada seseorang yang menghalangi pandanganku. Kudongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang menghalangi pandanganku?
"Maaf-ssu. Apa kau Fumiko Haruka yang kemarin mengajari Aomine?" tanya pria pirang yang biasa dikenal dengan nama Kise Ryouta.
Aku mengangguk memgiyakan.
"Oh, akhirnya aku menemukanmu-ssu!" ucapnya girang. "Ayo ikut aku-ssu!" tanpa menunggu jawaban dariku, ia langsung menarikku entah kemana.
"Senpai, makan siangku..." ucapku saat ia terus menyeretku.
"Nanti akan kubelikan lagi-ssu. Sekarang kau ikut aku-ssu. Kalau kau tidak mau ikut aku, aku bisa mati-ssu," ucap Kise senpai sambil terus menyeretku entah kemana.
Sebenarnya aku mau dibawa kemana sih? Dari tadi aku ditarik — tarik terus olehnya. Akhirnya sampailah aku di depan kelas 3-A. kelas 3-A? untuk apa senpai membawaku kemari?
Baru selangkah saja aku memasuki kelas tersebut, tubuhku langsung menegang. GLEK! Aku menelan ludahku dengan susah payah. Baru saja masuk, aku langsung disambut tatapan mematikan dari Akashi senpai.
"Oh, dia yang bernama Fumiko?" tanya gadis berambut pirang yang duduk di depan Akashi senpai. "Hei, Tet-chan, rambutnya sama sepertimu tuh... jangan — jangan dia adikmu lagi," goda gadis itu pada... WOA! SEJAK KAPAN PRIA ITU DUDUK DI SEBELAHNYA!?
"Tidak Hikari-chan, dia bukan adikku," jawab pria itu dengan wajah tanpa ekspresi.
"Wah... kalau dia bukan adik mu... jangan — jangan dia itu jodohmu. Habis kalian terlihat mirip sih... hahaha," goda wanita yang dipanggil Hikari tadi.
Pria berambut biru muda itu menoleh ke gadis yang ada di sebelahnya, "itu tidak lucu."
Gadis yang disebelahnya justru tersenyum geli mendengar tanggapan dari pria yang ada di sebelahnya.
"Aku memanggilmu bukan untuk melihatmu berdiri di depan situ," ucap Akashi senpai dengan ketus. "Cepat kemari!" suaranya benar — benar kental akan perintah yang absolute.
Aku mengangguk pelan dan berjalan mendekati mejanya.
"Dengarkan ucapanku baik — baik. Aku hanya akan mengatakannya sekali," perintahnya dengan tegas yang aku sambut dengan anggukan pelan karena sangking takutnya aku bahkan tidak berani memandang matanya. Aku hanya bisa memandan ke arah lantai dan pura — pura tertarik degan sepatu sekolahku sendiri.
"Setiap pulang sekolah, kau harus mengajari Daiki sampai ujian kelulusan selesai." Ucapannya barusan benar — benar membuatku memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Apa maksudnya menyuruhku mengajari Aomine senpai? Kenapa juga harus aku? Bukankah dia, Midorima senpai dan Tomoko senpai itu cerdas ya? Kenapa harus aku?
"Kenapa ha-" ucapanku dipotong oleh Akashi senpai.
"Aku tidak pernah menerima penolakan, Fumiko Haruka-san, ckirs!"
Melihatnya asik memain — mainkan guntingnya, membuatku bergidik ngeri. "Ba-baik senpai... mulai dari hari apa aku harus mengajarinya?"
"Mulai hari ini. Tapi kau harus ke lapangan in door, karena hari ini ada latihan basket, tapi jika kau keberatan, aku bisa menyuruh Daiki langsung ke perpustakaan," ujarnya.
Aku mengangguk, "baik senpai, sepulang sekolah nanti, aku akan ke lapagan in door."
"Anak pintar. Kembalilah ke kelasmu. Sebentar lagi masuk."
Aku mengangguk lalu mulai membalikkan badan untuk keluar dari kelas ini.
"Tunggu dulu, Fumiko-san," seseorang menarik pergelangan tanganku, membuat langkahku terhenti. "Kau pasti belum sempat makan kan? Ini, ambilah," ia menyerahkan roti padaku. "Namaku Kokoro Hikari, tapi kau bisa memanggilku Hikari. Soalnya kalau kau memanggilku Kokoro, aku takut kau akan bingung. Soalnya namaku dan pria ini hampir sama. Bedanya, kalau dia itu Kuroko," Hikari senpai tersenyum kepadaku.
"Arigatou senpai," setelah mengucapkan terima kasih, aku segera pergi meninggalkan kelas itu untuk segera menuju ke kelasku. Di tengah perjalanan menuju kelas, aku dihadang oleh beberapa gadis cantik dan sexy.
"Hey, Fumiko-san. Dengar — dengar kemarin kamu menghabiskan waktu berduaan dengan Aomine-kun ya?" tanya wanita bertubuh sexy itu yang bernama Erina.
Salah satu dari temannya menjambak rambutku, "jawab Fumiko! Jangan diam saja! Kau punya mulutkan!" bentak salah satu dari mereka.
Aku tidak bisa menjawabnya. Kalau aku iyakan, mereka akan semakin menyiksaku lebih dari ini, jadi aku hanya bisa diam sambil menahan rasa sakitku akibat jambakannya barusan.
"Apa yang kalian lakukan," tanya suara baritone yang tegas itu.
"A-aomine-kun..." tiba — tiba saja jambakan yang ada di rambutku terlepas.
"Pengecut sekali sih kalian, beraninya main keroyokan," setelah mengatakan hal seperti itu, dia menarik pergelangan tanganku untuk pergi dari kerumunan wanita tadi.
Setelah sampai di kelasku, ia melepaskan pegangan tangannya dan melangkah pergi. "Berusahalah untuk melawan, jangan diam saja," ucapnya sambil terus berjalan tanpa menoleh ke arahku.
Padahal hanya ucapan sederhana yang tak berarti, tapi ucapannya sudah bisa membuat hatiku berbunga — bunga, dan darahku berdesir dengan sangat cepat. Kenapa sih, sosoknya bisa sangat mempesona di mataku? Padahal, aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya terhadap pria lain. Bahkan aku merasa biasa saja saat seorang Kise Ryouta menggenggam tanganku, tapi saat Aomine senpai yang memegang tanganku... rasanya beda. Ada sesuatu yang membuatku merasa aman dan nyaman disaat ia menggenggam tanganku. Hah... sepertinya ini akan berakhir dengan kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan.
***
Betapa terkejutnya aku saat memasuki lapangan in door. Woah... para kiseki no sedai memang luar biasa ya? Permainan mereka memang bukan terlihat seperti anak SMP pada umumnya.
"Dai-chan! Gurumu datang," seru wanita berambut merah muda.
"Hah... padahal aku baru saja mulai," keluh Aomine senpai.
"Sumimasen senpai, tapi aku disuruh-"
"Ya, ya, ya, terserah kau saja," ucapanku dipotong oleh Aomine senpai. Ia langsung duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan.
Aku berjalan menghampirinya yang sedang menenggak minumannya dengan rakus. "Senpai. Kita belajar disini atau... dimana?" tanyaku dengan ragu saat sudah ada di hadapannya.
"Kita belajar di atap saja. Aku tidak bisa tahan kalau harus belajar disini," Aomine senpai langsung bangkit dan menenteng tasnya, lalu pergi meninggalkan lapangan basket in door.
"Hey! Fumiko-san! Jalannya bisa cepat sedikit tidak sih!?" omel Aomine senpai yang berjalan di depanku saat kami sedang menaiki tangga.
"Maaf senpai, tapi kakiku itu tidak sepanjang kakimu," ucapku santai sambil terus menaiki anak tangga.
Tiba — tiba saja aku merasakan tubuhku melayang. Maksudku, tiba — tiba saja aku merasa ada yang menangkat tubuhku, "woaaa!!! Turunkan aku!!" teriakku histeris karena takut tiba — tiba terjatuh.
"Diamlah. Kau itu, berisik sekali" omel Aomine senpai yang entah sejak kapan sudah menggendong tubuhku seperti menggendong karung beras. "Kalau kau berjalan seperti itu, kapan kita sampainya, baka!" makinya.
Iya deh senpai... maaf. Tubuhku kan kecil. Jadi kakiku juga kecil. Jangan salahkan aku kalau aku berjalan seperti kura — kura karena kakiku yang pendek ini.
Setelah sampai di atap sekolah, Aomine senpai langsung menurunkan badanku yang sepertinya tidak berat sama sekali baginya. Padahal dia menggendongku dari lantai 2 sampai lantai 4, tapi napasnya masih normal — normal saja. Apa aku benar — benar tidak memiliki berat ya?
"Hey! Fumiko-san! Kenapa diam saja?! Kau jadi mengajariku atau tidak? Kalau tidak, aku mau latihan basket," omelnya.
"Sumimasen senpai, ayo, kita mulai sekarang."
Setelah menjelaskan beberapa materi, aku memberinya soal — soal yang kemungkinan akan diujikan saat ujian kelulusan nanti. Ternyata, dia bisa juga ya, untuk serius. Aku pikir, Aomine senpai itu tidak akan pernah bisa serius sama sekali. Ternyata aku salah.
"Kenapa?" tanya Aomine senpai sambil mengutak — ngatik soal matematikanya.
Aku mengerutkan keningku, "kenapa? Kenapa apanya?" tanyaku tak mengerti.
"Kenapa kau memandangiku seperti itu?" tanyanya tanpa memandang ke arahku.
Aku masih tak mengerti dengan maksud perkataannya, "memang aku memandangimu seperti apa?"
Sekarang ia menatap mataku dengan tajam, "kau menatapku seperti ingin menerkamku."
Hah? Apa katanya barusan? "menerkammu? Menerkammu untuk apa? aku kan bukan kanibal, senpai."
Tok! Ia memukul kepalaku menggunakan buku cetak matematika yang tebalnya gak bisa diperkirakan lagi bagaimana sakitnya jika ditimpuk dengan buku setebal itu, "aduh... senpai... kau mau membunuhku ya?" ucapku sambil meringis kesakitan dan mengusap — usap kepalaku yang sedikit berkunang — kunang.
"Ternyata kau hanya pintar dalam pelajaran ya? Selebihnya kau bodoh!" omelnya.
Aku tak menghiraukan ucapannya. Aku terlalu sibuk mengusap — usap kepalaku yang sakit. Aduh... apa dia benar — benar tidak memiliki perasaan ya? Sampai — sampai dia memukul gadis kecil sepertiku dengan buku setebal itu.
"Hey! Fumiko-san!" panggilnya.
Aku hanya diam sambil mengusap — usap kepalaku.
"Apakah aku terlalu kencang memukulmu?" tanyanya dengan suara yang sedikit rendah.
Aku hanya mengangguk sambil terus mengusap — usap kepalaku yang sakit. Aduh... kenapa pusing sekali sih?
Tiba — tiba aku merasakan ada tangan besar yang ikut mengusap — usap kepalaku. Menerima sentuhan dari Aomine senpai, membuat darahku berdesir deras, dan jantungku seperti akan meloncat keluar dari tulang rusukku. "Maaf, kalau aku memukulmu terlalu kencang, aku tidak-"
Aku langsung menepis tangannya dari atas kepalaku, takut jantungku beneran jatuh karena perbuatannya barusan, "tidak apa senpai. Aku tau kau tidak sengaja."
Hening untuk beberapa saat, karena aku dan Aomine senpai sibuk dengan kegiatan masing — masing. "Senpai," ucapku memecah keheningan. "Sepertinya sudah sore. Sebaiknya kita segera pulang," saranku.
"Terserah apa katamu," Aomine senpai langsung membereskan barang — barangnya dan pergi meninggalkan ku duluan yang masih terpaku di tempat melihatnya pergi meninggalkanku.
"Hah... sepertinya penyiksaan terberat dalam hidupku adalah berdekatan dengan Aomine senpai," aku menarik napas dalam — dalam untuk menjernihkan semua pikiranku yang mulai terisi oleh bayang — bayang Aomine Daiki sang ace Teikou. Huft... ayolah Haruka... jernihkan pikiranmu.
***
Sedikit menyebalkan, karena cuman part anak satu ini doang yang banyak di cerita ini. Salahku juga yang nulisnya bertele-tele. -_-
Semoga kalian senang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro