Sekar-4
Sekar memandang pagar rumahnya dengan tatapan menerawang, enam tahun yang lalu Sekar berdiri di depan gerbang ini dengan perasaan yang sama, hancur berserakan. Namun uluran tangan sang bibi perlahan membantunya berdiri tegak. Bibi adalah adik dari almarhum Ayah Sekar, beliau menikah dengan seorang tentara, pernikahan yang mereka rajut dalam rentang waktu tiga tahun belum jua menghasilkan keturunan karena separuh dari usia pernikahan mereka dihabiskan sang suami di perbatasan untuk menjaga negara.
Akibat sebuah insiden baku tembak, suami bibi harus gugur. Setelahnya bibi tidak menikah lagi hingga ajal menjemputnya. Ketika musibah besar itu menimpa Sekar, satu-satunya anggota keluarga yang masih mengulurkan tangannya untuk membantu Sekar hanyalah sang bibi, beliau menyambutnya dengan tangan terbuka lebar, Sekar sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Air mata yang Sekar tahan sejak di tempat Aul kini mulai keluar, dengan cepat Sekar menghapusnya dan segera masuk ke dalam rumah, menyembunyikan diri dari sang anak dan menangis sendirian di kamar mandi.
"Bu..."
Suara Lutte serta tarikan pada baju yang dikenakannya membuat hati Sekar bergejolak. Ia merasa begitu bersalah karena telah membentak Lutte, anak yang tidak mengerti sama sekali akan kenyataan pahit yang menimpa mereka.
"Ibu, Ute salah ya? Ibu marah ya sama Ute?" tanya Lutte dengan isak tangis.
Sungguh, hati Sekar seperti diremat begitu kuatnya. Tidak, Lutte sama sekali tidak bersalah.
"Ibu... Ibu jangan marah...." Lutte merengek sambil kembali menarik baju milik Sekar. Air mata yang baru saja kering kembali menetes di pipi Sekar. Sekar tidak marah pada Lutte, ia marah pada dirinya sendiri yang harus mengalami semua ini hingga Lutte ikut terseret merasakan apa yang seharusnya anak seusianya tidak rasakan.
Setelah mengecilkan api kompor Sekar berjongkok, mensejajarkan diri dengan sang buah hati, menatap mata bening jernih yang penuh keingintahuan di hadapannya dengan penuh rasa bersalah. "Ibu nggak marah, Sayang."
Lutte memeluk Sekar dengan sangat erat, membuat Sekar menyunggingkan senyuman getir. Tangan kecil yang memeluknya ini lah sumber kekuatannya, karenanya Sekar mampu untuk menghadapi dunia yang tidak pernah berpihak padanya. Dengan sigap Sekar menggendong Lutte dan kembali melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat tertunda.
"Kalau Ibu nggak suka Ute panggil Om Randi, Ayah. Ute nggak akan manggil Om Randi Ayah lagi." Lutte menegaskan kembali, membuat senyuman kecil di wajah Sekar terkembang. Bagaimana mungkin Seekar bisa marah dengan anak manis ini?
"Ute Sayang, kita makan dulu ya? Ute siapin air minum kayak biasanya. Ibu takut telurnya gosong. Oke?"
Setelah menyiapkan makanan yang dimasaknya, Sekar segera menghampiri Lutte yang sudah menunggunya di ruang tengah sambil menonton televisi.
"Tadi di sekolah Ute ngapain?" Sekar membuka pembicaraan untuk menanyakan bagaimana hari sang anak di sekolah, pertanyaan wajib yang membuatnya mengetahui perkembangan pergaulan Lutte, untuk masalah akademis tentu Sekar menanyakannya pada Rasti.
"Bu guru ngajarin lagu baru sama doa baru, terus tadi Ute ngegambar."
Menggambar adalah salah satu kegiatan favorit Lutte, sejak kecil Lutte kerap kali menggambar bentuk binatang pada buku yang Sekar berikan untuk belajar mengenal huruf. "Ute gambar apa?"
"Gambar rumah, Bu."
"Coba mana buku gambarnya? Ibu mau lihat."
Lutte berlarian masuk ke dalam kamar, dan kembali keluar dengan buku gambar berukuran A5 miliknya. Sekar membukanya perlahan dan tersenyum melihat gambar sang anak yang terlihat cukup baik untuk seusianya.
"Gambhar Uthe baghus khan ya Bhu?" Lutte berbicara dengan mulut penuh makanan, membuat Sekar menegurnya dengan sebuah lirikan.
"Ini apa? Coba jelasin ke Ibu," Sekar menunjuk gambar yang ada di buku.
"Ini rumah, ini matahari, ini burung, nah yang ini Ute, Ibu dan yang satunya Ayah."
Sekar tersentak, tidak menyangka bahwa gambar tiga orang yang berpegangan di dalam gambar yang Lutte maksud adalah mereka dan sosok sang 'Ayah'.
"Bu guru nyuruh gambar Ayah?" Sekar bertanya keheranan.
Lutte menggeleng.
"Terus kenapa Ute gambar?"
"Kata Dirga, di rumah itu seharusnya ada Ibu, Ayah sama Ute. Kayak Dirga sama Ibu Novi dan Ayah Akbar. Jadi Ute ikut gambar Ayah."
Kalimat polos yang menguar dari bibir kecil itu membuat Sekar dilingkupi perasaan bersalah. Bibirnya terkatup tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Untuk pertama kalinya ia mempertanyakan kembali apakah keputusannya untuk mempertahankan dan membesarkan Lutte dengan tangannya sendiri adalah keputusan yang tepat.
***
Suara pintu toko terbuka, membuat Sekar kembali dari lamunannya. "Selamat datang, selamat berbelanja."
"Ngelamun mulu, ada masalah?" tanya Winda yang baru saja mengecek laporan penjualan toko di hari kemarin. Ia memperhatikan Sekar yang akhir-akhir ini kerap kali termenung sendirian dengan tatapan kosong. Sebelum-sebelumnya Winda tidak pernah melihat Sekar seperti ini.
"Enggak kok Win," kilah Sekar. Pertanyaan Lutte tentang sosok sang ayah benar-benar menguras isi hati dan pikirannya. Sejak lahir Sekar selalu memenuhi Lutte dengan dirinya, tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk mengenalkan apalagi menghadirkan sosok 'ayah' pada buah hatinya. Namun sejak Lutte bersekolah dan bergaul dengan teman sepantarannya, ia mulai mengerti bahwa ada yang berbeda dan salah dengan dirinya.
"Psssst... Sekar," bisik Winda dengan senyum mencurigakan. Alis Sekar mengkerut, jarak mereka tidak lebih dari satu setengah meter, mengapa Winda bertingkah seperti itu.
Winda menggeser tubuhnya mendekati Sekar. "Suka merhatiin cowok yang baru masuk tadi nggak?" tanya Winda.
Mata Sekar berkeliling, menemukan kepala yang menyembul di atara rak-rak toko, rambut yang familiar membuatnya mengetahui dengan pasti siapa yang Winda maksud, laki-laki yang telah memberikan anaknya permen kapas kemarin-kemarin. "Oh, pelanggan itu? Kenapa Win? Kamu naksir?"
"Jangan ngaco, Yira mau dikemanain kalau aku naksir cowok itu?"
"Terus kenapa?"
"Hampir tiap hari dia ke toko, apa kamu nggak ngerasa aneh?"
"Ya mungkin emang karena keperluannya ada di sini Win,"
"Ini hampir tiap hari Sekar, padahal kan dia bisa beli sekaligus keperluannya, tapi ini lebih kayak dicicil."
"Mungkin emang begitu metodenya belanja Win,"
"Apa nggak mencurigakan Sekar?"
"Mencurigakan gimana?"
"Kayaknya dia naksir kamu deh Sekar,"
"Hush... kamu ini Win, suka aneh-aneh aja."
"Kamu perhatiin matanya tuh beda kalau natap kamu Sekar!"
Sekar segera menyikut perut Winda karena objek pembicaraan mereka sudah selesai dengan belanjaannya dan sedang berjalan mendekat ke arah mereka.
Sekar dengan tangkas segera mengambil alat pencukur dan minuman berenergi yang pria itu letakkan di meja kasir. "Ini saja Mas? Minimal pembelanjaan lima puluh ribu rupiah bisa tebus barang-barang berikut dengan harga lima ribu rupiah saja," tawar Sekar sambil menunjuk beberapa barang yang menjadi promo toko mereka.
Pria itu menggeleng sambil tersenyum.
"Semuanya jadi tiga puluh empat ribu tujuh ratus rupiah,"
Pria itu mengambil dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang yang Sekar sebutkan.
"Tiga ratus rupiahnya ingin disumbangkan atau kembali?"
"Sumbangkan aja Mbak,"
"Ah, baik. Ini belanjaannya. Terima kasih telah mengunjungi toko kami."
"Anaknya kemarin gimana Mbak? Masih nangis?" tanya pria berlesung pipit itu.
Winda melotot ke arahnya dan memandangnya dengan tatapan seolah berkata apa gue bilang.
Sekar mendadak gugup, menurutnya ini situasi yang sangat canggung. "Sudah enggak Mas, terima kasih untuk permennya ya."
Pria itu mengangguk singkat , kemudian pergi meninggalkan toko.
Winda mendadak histeris. "Noh kan! Pake nanyain Ute segala."
"Kemarin Ute nangis histeris di toko, mungkin Mas tadi terganggu Win, jadi dia ingat. Lagian ini pertama kalinya dia ngajak aku ngomong selain soal belanjaan yang dia beli."
"Percaya deh Sekar, ini bukan hal biasa. Ada sesuatu yang lain dari laki-laki itu ke kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro