Sekar-3
Keresahan Sekar belum berakhir, sejak Lutte bersekolah topik 'Ayah' selalu terungkit kembali. Dan Sekar hanya bisa menjawab dengan kalimat yang sama, Ute cuma anak Ibu. Sekar sadar ia sedang menanam bom waktu, semakin dewasa tentunya Lutte tidak akan bisa menerima jawaban Sekar selama ini, dan Sekar sedang menyiapkan mental sejak jauh hari hingga waktunya tiba.
"Selamat datang, selamat berbelanja." Sekar reflek membuka suara saat mendengar pintu toko terbuka. Matanya membola melihat sosok yang tak disangka. Naluri Sekar menuntun langkah kakinya untuk mendekati kedua sosok tersebut. Randi, suami Aul yang merupakan sahabatnya sedang menggendong Lutte yang sedang menggeledot manja. "Mas Randi? Ute kenapa?"
Randi menyunggingkan sebuah senyuman. "Nggak apa-apa kok Sekar, kita cuma mau beli es krim aja."
"Ute minta sama Om Randi?"
Sekar mendadak merasa tidak enak. Selama ini ia menitipkan Lutte kepada Aul karena Winda tidak lagi bisa menggantikannya untuk menjaga toko di jam makan siang akibat disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Aul dengan senang hati menjaga Lutte karena ia sering bosan jika terus menerus sendirian di rumah saat Randi bekerja. Namun anak pertama mereka yang bernama Nindy baru saja lahir, hal itu membuat Sekar menjadi lebih tidak enak hati. Sekar takut jika Lutte merepotkan kedua pasangan muda yang baru saja menjadi orangtua itu.
"Nggak kok, Ute nggak minta. Aku sama Aul lagi pengen es krim jadi sekalian ajak Ute ke sini."
"Ute berat Mas, sini biar saya aja yang gendong." Sekar menjulurkan tangannya untuk meraih tubuh Lutte, tapi Lutte menolaknya.
Lutte membalikkan tubuhnya dan mengalungkang lengannya ke leher Randi dan memeluknya dengan erat. "Mau sama Ayah aja..."
Sekar tercengang. "Ayah?" Sekar memandang Randi dengan penuh tanda tanya sementara Randi mengulum senyum canggung.
"Sini sama Ibu!" Sekar mengambil Lutte dengan paksa dari gendongan Randi. Namun anak itu memberontak dan berusaha untuk tetap bertengger pada leher Randi yang kokoh. "Nggak mau! Ute mau sama Ayah!" teriak Lutte sambil menangis.
"Apa maksudnya ini, Mas?"
"Ute butuh seseorang untuk dia panggil Ayah, Sekar. Dan aku nggak akan keberatan akan itu." Randi mencoba memberi pengertian.
Sekar terkejut dan mengambil Lutte dari gendongan Randi dengan paksa. Namun Lutte masih terus berontak dan berteriak memanggil 'Ayah'. "Ute mau Ayah! Ute mau sama Ayah!"
"Ute!" tanpa sadar Sekar menegur Lutte dengan nada tinggi untuk pertama kali.
Hati Sekar hancur. Melihat sang anak yang begitu mendambakan sosok Ayah sampai memanggil suami sahabatnya dengan sebutan 'Ayah' seakan menjadi pukulan telak baginya. Batinnya tergungcang, dan kebingungan.
"Ute mau Ayah Bu... Ute mau Ayah..."
Sekar tak dapat lagi membendung air matanya. Bagaimana ia menjelaskannya? Bagaimana ia memberi pengertian kepada Lutte yang masih kecil?
Randi bisa melihat dengan jelas keresahan dan kegelisahan di wajah Sekar, hingga ia memutuskan untuk mengambil Lutte kembali ke dalam gendongannya. Detik berikutnya tubuh Sekar roboh, ia berjongkok sambil menyembunyikan isak tangisnya.
"Ute mau Ayah..." pinta Lutte dengan penuh pengharapan.
Bagai luka gores yang dibaluri oleh air lemon, perasaan sekar begitu perih mendengar penuturan Lutte. Sebagai Ibu tentu ia ingin memberikan segala yang terbaik untuk Lutte, namun tidak dengan permintaannya kali ini.
"Sekar, Ute butuh sosok Ayah. Kalau memang Ayahnya nggak ada, Ute bisa menganggap aku sebagai Ayahnya."
Sekar menggeleng lemah. Tidak, ia tidak mau. Sekar tidak ingin Lutte akan terlalu bergantung dengan sosok 'Ayah', entah siapa pun itu. Karena Sekar ingin membesarkan Lutte sendirian.
"Tapi, Mas—"
Pintu toko kembali terbuka. "Selamat datang, selamat berbelanja," ucap Sekar di sela isaknya. Bagaimana pun juga sekarang adalah jam kerjanya.
"Ayah... Ute mau Ayah..." Lutte terus merengek.
Sekar menghapus air matanya dengan kasar dan bangkit dari jongkoknya. "Mas, maaf aku harus kerja. Tolong titip Ute sebentar ya." Kemudian ia kembali ke meja kasir.
Sekar mengambil tisu yang ada di dalam tasnya dan menghapus jejak air mata yang membekas. Air mata di pipinya dapat mengering dengan mudahnya, namun hujan badai dalam benaknya belum reda sedikit pun.
Sebuah tangan menaruh kopi siap saji dan sebuah permen kapas dengan bungkus koala berwarna merah muda di meja kasir. "Mbak, permen kapasnya dua ya. Yang satu udah anak Mbak pegang. Satunya lagi bisa disimpan kalau anak Mbak nangis lagi nanti," ucap sang pemilik tangan.
Sekar terhenyak, ia tak melihat momen yang luput dari pengelihatannya akibat membersihkan jejak air matanya tadi. Tau-tau anaknya sudah menggenggam bungkusan yang sama dengan yang pria itu taruh di meja kasir.
"Terima kasih," ucap Sekar pelan. Pikirnya suara sang anak yang merengek pasti mengganggu pria di hadapannya hingga memutuskan untuk membelikan sesuatu yang dapat mendiamkannya.
Setelah membayar, pria itu kemudian mengambil botol kopi cepat sajinya dan pergi dari hadapan Sekar. Pria asing yang begitu familiar. Si pemilik lesung pipi yang sering mengunjungi tokonya.
***
Sekar pulang dengan langkah gontai, beban yang dipikulnya mendadak semakin melimpah saat Lutte menginginkan sosok Ayah. Ia bingung harus bagaimana.
Setibanya di rumah Aul untuk menjemput Lutte, anaknya sedang tidak ada di tempat. Aul bilang Randi sedang mengajak Lutte untuk membeli nasi goreng kesukaan Randi yang berada di dekat pasar. Jadi Sekar memutuskan untuk singgah sebentar sekalian menengok Nindy, anak Aul yang belum lama lahir.
Melihat Nindy yang masih begitu mungil membuat dirinya teringat saat Lutte baru saja lahir. Dulu Sekar ikut menangis saat Lutte bayi menangis karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Melihat Aul yang mendapat dukungan penuh dari keluarga dan suaminya agaknya membuat Sekar lega. Sekar tau betapa berat sebuah perjuangan saat statusnya baru saja berubah menjadi Ibu, terlebih ia menjalani semua itu sendirian.
"Kapan acara akikahnya Ul? Biar aku atur jadwal di toko, kamu pasti repot di sini, aku gamau nambahin kerepotan kamu dengan nitipin Lutte."
"Minggu depan, hari Selasa, Sekar. Mas Randi beli paket bersih yang tinggal diangkut aja box makanannya, jadi nggak repot-repot amat nanti, tinggal undang tetangga aja. Ngajinya juga abis maghrib,"
"Keluargamu pasti banyak yang datang Ul, aku nggak mau ngerepotin."
"Mereka pasti akan suka Lutte, dia anak pintar, Sekar."
Sekar terdiam, Lutte memang pintar, karenanya ia bersyukur. Namun karena kepintaran anaknya itu Sekar jadi khawatir. Khawatir jika anaknya akan mempertanyakan hal yang tidak dapat Sekar jawab.
"Sekar?" tergur Aul saat melihat Sekar yang termenung. Sekar kemudian meraih kesadarannya dan tersenyum, ia menjawab teguran Aul dengan gumaman singkat.
"Mas Randi tadi cerita..." Aul mulai membuka pembicaraan. Sekar masih diam, menantikan kelanjutan kalimat Aul. "Jangan terlalu keras dengan Lutte, Sekar." Aul memberi nasihat. Ia sedikit terkejut melihat Lutte pulang dengan mata sembab dan bekas air mata yang nampak sangat jelas di dalam gendongan suaminya. Aul hampir saja memarahi suaminya yang terkenal mempunyai perangai jahil itu. Namun sebelum Aul sempat mengeluarkan omelannya, Randi menjelaskan semuanya.
Sekar tertunduk. "Aku nggak bermaksud keras Ul, tapi Lutte nggak perlu harapan palsu."
"Maksudmu?" Alis Aul hampir menyatu karena keheranan.
"Hanya ada aku dan Lutte, nggak akan ada siapa pun lagi. Memanggil Randi dengan sebutan Ayah hanya akan buat Lutte lebih menginginkan sosok Ayahnya secara nyata Ul."
Sesungguhnya Aul tidak mengetahui latar belakang kehidupan Sekar di masa lampau, terutama mengenai Ayah Lutte yang tidak pernah ia lihat barang sekali pun. Meski penasaran, Aul menahan diri untuk tidak bertanya. Aul percaya suatu saat Sekar akan menjelaskan semuanya.
"Bagaimana pun seorang anak butuh sosok orangtua yang lengkap Sekar, kamu tidak bisa menjadi sosok Ibu dan Ayah dalam waktu yang bersamaan. Terlebih anak perempuan cenderung lebih dekat dengan Ayahnya."
Pikiran Sekar melanglang buana, yang dikatakan Aul tidak salah, karena ia juga dulu merasakan bagaimana menjadi sosok putri kecil yang begitu dimanjakan dan disayangi oleh Ayahnya. Sosok yang begitu ia cintai. Sosok yang telah wafat tepat seminggu setelah kejadian paling mengerikan terjadi dalam hidupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro